Bandar Udara Ngurah Rai, Denpasar, Indonesia.
Pesawat penerbangan internasional dari Mexico City baru saja mendarat. Dave and Nico bergegas ke tempat pengambilan bagasi untuk mendapatkan barang-barang bawaan mereka.
"Ingat ya Dave, kita harus menjaga rahasia tentang identitas kita selama di sini, sesuai dengan pesan ayahmu." Nico berbisik perlahan mengingatkan Dave.
"Iya, aku ingat. Jangan kuatir. Lagipula siapa sih yang akan mengenali kita di sini hehe..." sahut Dave sambil nyengir-nyengir kuda.
Nico menjulurkan lidahnya ke Dave.
"Huuu... dikasih tahu yang benar malah meledek. Ayo kita ke hotel terlebih dahulu untuk beristirahat dan membersihkan diri. Baru nanti setelah itu kita rencanakan apa yang akan kita lakukan selama kita di sini."
Pantai Kuta di Sabtu sore itu terlihat cukup ramai didatangi pengunjung. Annisa berjalan perlahan-lahan meyusuri pantai. Merasakan lembutnya pasir bercampur dengan air laut di telapak kakinya.
Sebentar lagi matahari akan terbenam di ufuk barat. Langit sore itu terlihat amat bersih dan biru, sehingga terlihat jelas matahari berwarna oranye kekuning-kuningan yang semakin lama semakin tenggelam.
Annisa melihat jam tangan sportnya di tangan kirinya. Waktu menunjukkan hampir pukul 6 petang.
"Hmm... Nampaknya Ella datang telat lagi kali ini," gumam Annisa dalam hati.
Akhir-akhir ini ia menjadi dekat dengan Ella sejak kepergian mereka jalan-jalan bersama Venus Tur dan Travel ke Mexico beberapa waktu yang lalu. Ella yang ternyata juga tinggal di Denpasar merupakan gadis yang menarik dan asyik untuk dijadikan teman baik bagi Annisa.
Tiba-tiba ada sepasang tangan menutup matanya dari belakang. Annisa meraba tangan tersebut, terasa halus dan lembut. Dan ia mencium bau parfum sahabatnya yang sangat familiar belakangan ini.
"Ini pasti Ella, si ratu telat," tebak Annisa dengan lantang.
Ella langsung tertawa terbahak-bahak dan melepaskan tangannya. Ia pindah ke depan Annisa sekarang dan memencet hidung sahabatnya itu dengan gemas.
"Aku baru terlambat sedikit kok sudah dibilang ratu telat," protes Ella.
Annisa pun balas menjewer telinga kiri Ella dengan menariknya sedikit ke atas.
"Ini hukumannya atas keterlambatanmu sore ini, Nona. Terlambat hampir satu jam kok masih dibilang telat sedikit," sahut Annisa.
"Aduh... aduh... ampun Nisa... ampun... Iya deh maaf aku telat lagi kali ini. Jalanan sungguh macet di malam minggu ini. Benar kok. Percaya deh." Ella mencoba menjelaskan kepada Annisa.
"Ah alasan terus kamu Ella. Aku yakin pasti besok-besok kamu datang telat lagi dengan berbagai alasan yang lain. Ya kan ?" Annisa mencibirkan mulutnya ke arah Ella.
"Kamu benar sekali Nona Tahu Segalanya Tentang Aku Sahabatmu... Hahaha..." teriak Ella sambil berlari meninggalkan Annisa untuk menghindari serangan jeweran kuping dari Annisa selanjutnya.
Annisa turut berlari mengejar Ella yang sudah meninggalkannya jauh di depan.
"Ella, tunggu !" Teriak Annisa sambil bersungut-sungut.
Tiba-tiba entah darimana datangnya, sebuah bola kaki melayang di depannya, keras mengenai dahi Annisa. Annisa merasakan kepalanya mendadak sakit, badannya terasa melayang, kemudian tubuhnya jatuh menghempas pasir pantai yang putih nan sejuk.
Sepasang tangan kokoh meraih tubuh Annisa dengan lembut, meletakkan dirinya pada pelukan orang tersebut, kepala Annisa disandarkan pada lengan kirinya sambil tangan kanannya mengguncang-guncang bahu kiri Annisa dengan perlahan, mencoba menyadarkan Annisa.
"Nona... Apakah Nona tidak apa-apa ?" Tanya lelaki tersebut dengan sopan.
Annisa pelan-pelan membuka matanya, tercium bau parfum yang familiar baginya, namun ia lupa di mana ia pernah mencium aroma parfum tersebut.
Dilihatnya sesosok lelaki dengan wajah tampan, keturunan latin, berambut hitam potongan chic masa kini sedang tersenyum ramah kepadanya.
Annisa tiba-tiba tersipu malu karena pada saat itu wajahnya teramat dekat dengan wajah lelaki muda tersebut. Ia mencoba-coba mengingat di mana ia pernah mencium parfum itu. Aroma maskulin bernuansa buah-buahan, sangat segar dan memberikan sensasi semangat bagi siapapun yang berada di dekatnya. Wajah lelaki tersebut juga tidak terasa asing di pikirannya, namun ia belum bisa mengingat dengan jelas apakah ia pernah bertemu dengan pria itu sebelumnya atau tidak.
Semakin ia mencoba mengingat, semakin kepalanya bertambah pusing jadinya. Annisa mencoba berdiri, badannya limbung ke belakang, namun dengan sigap lelaki itu menangkapnya, sehingga ia tidak jadi terjatuh untuk kedua kalinya. Kemudian memapahnya untuk duduk ke kursi panjang yang terbuat dari kayu yang terletak tak jauh dari situ.
Ella datang berlari-lari dari kejauhan. Sambil terengah-engah Ella bertanya bertubi-tubi meminta penjelasan, baik kepada Annisa langsung maupun kepada lelaki asing di sebelahnya.
"Nisa... Kamu tidak apa-apa ? Ada apa ? Apa yang sebenarnya terjadi ?"
"Oh, perkenalkan saya Dave. Maafkan kalau Bahasa Indonesia saya masih patah-patah. Saya baru berkunjung kemari belum lama ini. Tapi saya sudah belajar sedikit tentang percakapan dalam Bahasa Indonesia."
Dave mencoba memperkenalkan dirinya kepada Ella yang memperhatikan dirinya secara seksama, dari ujung kepala sampai ujung kaki, dan membuat Dave merasa sedikit jengah.
"Tadi Nona ini berlari menuju sekelompok anak-anak yang sedang bermain sepak bola di tepi pantai. Secara tak sengaja seorang anak menendang bola kaki tersebut ke arah Nona ini dan mengenai tepat ke kepalanya," ujar Dave menerangkan dengan terbata-bata.
Annisa mengangguk perlahan mengiyakan penjelasan Dave tersebut dan berkata kepada sahabatnya, "Benar Ella, tadi aku kurang hati-hati dan tidak melihat bola kaki itu melayang ke arahku. Untung ada Dave ini yang segera menolongku." Annisa memandang Dave dengan tersenyum,
"Terima kasih banyak ya Dave. Aku Annisa. Ini sahabatku Ella. Senang bertemu denganmu."
Annisa mengulurkan tangannya ke arah Dave. Dave mengelap tangan kanannya terlebih dahulu ke celana pendek jeans biru donker yang saat itu dipakainya, telapak tangannya sedikit berkeringat dan ada sedikit sisa pasir di sana menempel pada saat menolong Annisa terjatuh.
Dave menyambut uluran tangan Annisa dengan sedikit gemetar. Tangan Annisa yang putih terasa amat lembut di telapak tangan Dave yang agak kasar namun cukup hangat dan nyaman itu.
"Dengan senang hati Annisa. Senang bertemu dengan kalian berdua di sini."
Dave terlihat gembira karena Annisa sudah bisa tersenyum kembali. Senyum yang selama ini ia nanti-nantikan, senyuman manis sang bidadari yang selama ini ia dambakan, senyuman cantik yang selalu mampir dalam mimpinya tiap malam. Akhirnya keinginan Dave terkabulkan juga, tak sia-sia ia datang jauh-jauh dari negaranya untuk bertemu dengan Annisa kembali.
Nico memperhatikan dari jauh ketiga orang yang sedang berbincang-bincang seru itu dengan tersenyum. Ia turut berbahagia atas pertemuan sahabatnya dengan gadis yang diinginkannya. Sesungguhnya ia sangat ingin menghampiri mereka dan bergabung dalam percakapan mereka. Namun ia sadar belum saatnya ia menampakkan diri. Bukan petang itu. Ia tidak ingin merusak rencana yang sudah ia susun rapi bersama Dave untuk mendapatkan gadis cantik itu. Saat itu Nico sudah merasa cukup puas hanya dengan memandang mereka dari kejauhan.
Villa Bagus, Kuta, Bali.
Terdengar bunyi kunci pintu kamar hotel dibuka, Dave melenggang masuk kamar sambil bersiul-siul riang. Mukanya yang disinari lampu kamar hotel yang cukup terang terlihat amat berseri-seri.
"Ahem..." Nico berpura-pura batuk kecil.
"Bagaimana pertemuannya Dave ? Apakah berjalan sesuai dengan rencana ?" Tanya Nico meminta penjelasan Dave.
"Idemu sungguh brilian kawan. Seorang Nico memang maestro sebagai sutradara dan amat piawai mengatur segalanya di belakang panggung. Bravo ! Bravo !" Puji Dave bertepuk tangan dengan kencang.
"Untung semuanya berjalan lancar. Aku sudah sempat panik tadi ketika anak itu menendang bola kaki ke arah Annisa terlalu kencang. Aku takut Annisa benar-benar terluka tadi. Untunglah ia tidak apa-apa. Ternyata anak itu terlalu bersemangat mengikuti arahan kita sebelumnya," ujar Nico sambil tertawa kecil.
"Oh ya Nico, sudah kamu bereskan tentang upah ke anak-anak itu ?" Tanya Dave mengingatkan.
"Sudah beres Bos, jangan kuatir. Aku juga sudah wanti-wanti kepada mereka agar mereka tutup mulut rapat-rapat kepada siapapun mengenai peristiwa ini." Nico mengacungkan jempol tangan kanannya sambil tersenyum lebar.
Annisa menerawang ke atas langit-langit kamar apartemennya sambil berbaring di tempat tidur. Ia mengingat-ingat kembali pertemuannya dengan Dave petang tadi. Sambil tersenyum-senyum kecil Annisa membayangkan wajah tampan Dave, suaranya yang renyah dan ramah, senyumannya yang menawan, tubuhnya yang atletis, sungguh ia tak pernah bertemu dengan lelaki sesempurna Dave selama ini.
Ada terbersit rasa menggelitik di hatinya, hangat namun terasa nyaman. Terdapat suatu perasaan yang tak asing baginya saat bertemu dengan pria yang berasal dari negara latin tersebut. Tapi sampai sekarang Annisa belum juga dapat menemukan apa penyebabnya. Semakin diingat-ingat, semakin ia merasa kesal sendiri.
Tiba-tiba dia teringat akan artikel yang belum diselesaikannya. Dengan sigap ia lompat dari tempat tidur, menarik kursi dan duduk di depan meja kerja metal kesayangannya.
Annisa menyalakan laptop dan mulai mencari-cari ide tulisan di mesin pencari di internet. Selagi asyik membaca referensi tulisan-tulisan yang sudah ia dapatkan, telepon genggam yang terletak di sebelah kanan laptopnya bergetar halus.
Konsentrasi Annisa mendadak buyar. Segera ia raih telepon genggamnya dan membaca pesan yang diterima. Dari Ella ternyata.
"Nisa, kamu lagi apa ? Sudah selesaikan tugas artikel kamu untuk minggu ini belum ? Jangan membayangkan Dave terus ya ! Hahaha..." Bisa-bisanya Ella meledeknya di malam selarut ini.
"Iya, ini aku juga lagi mencari ide untuk artikel itu. Sudah kamu tidur sana. Mengganggu konsentrasi aku saja. P.S. Just kidding ! Hehehe..." Balas Nisa balik mengirim pesan ke sahabatnya.
Tangan Annisa tanpa dia sadari menggeser membuka daftar nomor telepon di telepon genggamnya dan mencari nama seseorang di situ. Dave.
Pada pertemuan tadi sore, mereka bertukar nomor telepon genggam dan saling berjanji kepada masing-masing akan saling berhubungan, bahkan akan mengatur pertemuan berikutnya bila ada kesempatan.
Annisa bertanya-tanya dalam hati, sedang apa Dave gerangan di sana.
Ingin rasanya ia mengirimkan pesan singkat ke Dave menanyakan tentang hal itu. Tapi Annisa mengurungkan niatnya.
Mereka baru saja berkenalan hari itu, gengsinya mengalahkan niatnya untuk menghubungi Dave duluan. Lagipula hari sudah larut malam. Tidak baik bagi seorang perempuan mengirimkan pesan malam-malam kepada seorang pria yang baru saja dikenalnya. Annisa memutuskan untuk menunggu Dave yang menghubunginya.
Mungkin besok, gumamnya dengan penuh harap.
Ia mulai menggerakkan jarinya di keyboard laptopnya dan mulai mengetik. Jarinya menari-nari seirama suasana hatinya saat itu.
Annisa sadar bahwa seharusnya ia menyelesaikan tugas artikel malam ini. Namun suara hatinya berkata lain. Ia malah memilih untuk menulis puisi sekarang.
Katakan padaku oh malam yang sunyi, adakah ia memikirkanku malam ini. Beritahu aku wahai bintang yang bersinar terang, apa yang ada dalam pikirannya sekarang. Bisikkan kepadaku duhai bulan penjaga malam, apa yang sedang ia lakukan menjemput malam. Kirimkan padanya oh sang dewi impian, salam dari diriku yang menunggu sang pujaan.
Seketika Annisa terpana setelah ia selesai menuliskan puisinya. Ada sesuatu perasaan aneh yang membuat hatinya bergetar. Perutnya terasa bergelora, seakan-akan ada kupu-kupu menari-nari, mengajaknya berdansa.
Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta ? Pikir Annisa.
Ia pun menggeleng ragu. Tidak mungkin. Aku baru saja bertemu dengannya. Bagaimana aku bisa merasakan jatuh cinta secepat itu ? Gumam Annisa dalam hati. Tapi... Apakah ini yang disebut orang-orang sebagai jatuh cinta pada pandangan pertama ? Annisa kembali menanyakan kepada diri sendiri.
Ia menggeleng keras, dan memutuskan untuk berkonsentrasi pada tugas artikel yang harus diselesaikan malam itu juga.
Dave memandang ke langit cerah malam itu melalui balkon kamar hotelnya. Suasana di malam itu cukup dingin, namun suasana di hati Dave cukup hangat, sehangat perasaannya setelah bertemu dengan Annisa hari ini.
Telah lama ia menunggu perjumpaan itu, dan hari yang ia nanti-nantikan akhirnya terlaksana juga. Ia amat bersyukur telah bertemu dengan gadis pujaannya, namun ia masih belum tahu bagaimana caranya mengungkapkan perasaan hatinya kepada Annisa.
Dave ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sangat mendalam atas jasa Annisa yang tidak ternilai harganya dalam usaha penyelamatan dirinya waktu itu.
Namun ia tidak ingin Annisa merasa tidak nyaman atau bahkan ketakutan akan keberadaan dirinya. Karena tindakan nekatnya datang dari Mexico ke Indonesia hanya untuk mencari Annisa, menurut Dave dan Nico justru akan bisa membuat Annisa menjadi salah sangka atas tujuan mereka.
Jarang sekali ada seseorang yang rela melakukan hal tersebut, datang jauh-jauh ke negeri antah berantah hanya untuk mengucapkan terima kasih, serta banyak lagi alasan-alasan yang tidak masuk akal yang telah terpikirkan oleh Dave dan Nico yang mungkin dapat membuat Annisa menjadi berpikir yang tidak-tidak tentang Dave.
Lagipula ada hal lain yang juga membatasi diri Dave untuk dapat berterus terang kepada Annisa. Ia telah berjanji kepada ayahnya, untuk tidak membocorkan identitas dirinya kepada siapapun selama ia berada di Indonesia.
Walaupun sesungguhnya Dave tidak yakin bahwa kelompok Le Coyote berniat mengikutinya ke Indonesia dan akan mencelakainya di sini, namun ia harus tetap memegang teguh janjinya.
"Seorang lelaki Moreno sejati adalah ia yang dapat memegang teguh janjinya dan menepati ucapan yang telah ia ikrarkan." Terngiang-ngiang kembali ucapan ayahnya di telinga Dave.
Bip bip.
Sebuah pesan singkat masuk ke telepon genggam Annisa di pagi hari. Annisa yang sedang menikmati sarapannya saat itu, menghentikan sejenak gigitannya pada roti bakar bikinannya yang berisi telur orak arik dan sosis sapi yang lezat dan menggugah selera. Ia kemudian bangkit dari kursi meja makannya dan berjalan menuju meja kerjanya, tempat telepon genggamnya diletakkan.
"Selamat pagi Nona Cantik. Nyenyak tidurnya semalam ? Semoga kabarmu baik pagi ini." Dave.
Annisa tersenyum lebar. Dadanya membuncah gembira. Sungguh suatu hal yang amat menyenangkan untuk memulai hari. Dan ia pun membalas pesan Dave tersebut.
"Selamat pagi Tuan yang baik hati. Tidurku nyenyak semalam, pulas bagaikan bayi. Terimakasih. Kuharap kabarmu baik juga pagi ini." Nisa.
Annisa kemudian melanjutkan kembali sarapannya yang tertunda. Segera sesaat ia sedang menghabiskan kopi susu hangat bertaburkan butiran coklat kesukaannya, telepon genggamnya berdering nyaring memecahkan kesunyian di pagi hari itu. Nisa hampir tersedak ketika melihat nama penelepon yang tertera di layar. Dave.
"Hallo..." Annisa menjawab teleponnya dengan dada berdebar-debar. Ia merasakan suasana hatinya menjadi mendadak tidak karuan.
"Buenos Dias Senorita, apa kabarmu pagi ini ?" Sapa Dave dengan suara yang empuk dan menawan hati.
"Kabar baik Dave, terima kasih. Kabarmu sendiri bagaimana ?" Annisa bertanya balik.
"Kabarku luar biasa pagi ini Nisa, thanks. Sudah sarapan ? Pagi ini aku dan Nico temanku berjalan-jalan ke arah pasar Kuta, dan aku menemukan tipat cantok di sana. Rasanya lumayan juga." Cerita Dave dengan semangat.
"Oh ya ? Tipat cantok ? Kamu suka dengan rasanya Dave ?" Annisa tertawa kecil, tak menyangka kalau Dave ternyata menyukai makanan tradisional Bali tersebut. "Aku tadi sudah sarapan roti bakar dan minum kopi susu. Perutku sudah kenyang sekarang. Hehe..." Kata Annisa malu-malu.
"Apa rencanamu di hari Minggu yang cerah ini, Nisa ? Jika kamu belum ada rencana, aku bersama temanku ingin mengunjungi Pantai Dreamland di Pecatu. Kamu boleh mengajak Ella kalau kamu mau. Semakin banyak teman, semakin ramai. " Ajak Dave dengan harap-harap cemas.
"Umm... Aku sih belum ada rencana apa-apa untuk hari ini, Dave. Baiklah, aku mau. Aku ajak Ella juga ya. Dia pasti senang juga kalau diajak jalan-jalan ke pantai. Maklum kami berdua ini kan pencinta pantai haha..." Annisa mencoba tertawa untuk menyembunyikan kegembiraan hatinya karena akan segera pergi bersama dengan Dave hari itu.
Dave nyaris saja berteriak kegirangan karena Annisa menerima ajakannya pergi. Ia mengatur nada suaranya supaya tidak kentara akan perasaan hatinya saat itu.
"Baiklah Nisa, kalau begitu aku akan bersiap-siap terlebih dahulu. Sebentar lagi aku jemput ke apartemenmu ya." Dave lalu menutup telepon genggamnya dan meloncat-loncat gembira seperti anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya.
Nico menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan sahabatnya tersebut.
"Bagaimana tentang rencana hari ini, Nico ? Sudah beres semua kan ? Jangan sampai ada yang meleset dari rencana semula ya !" Tanya Dave memastikan.
"Sudah beres semua, Bos. Mobil beres. Reservasi tempat beres. Kursi berjemur beres. Restoran beres. Permainan beres. Semua rencana sudah siap dan menunggu untuk dilaksanakan." Sahut Nico mantap.