Chereads / SIRUP CINTA SAHABAT. / Chapter 3 - BAB 3. bakat yang tak ada makna...

Chapter 3 - BAB 3. bakat yang tak ada makna...

Imam POV...

Sebenarnya itu hanya alasan ku saja agar tak membantu David menyelesaikan bagiannya. Jujur saja aku sebenarnya tak menyukai sifat kenakalan David yang sekarang sudah hampir kelewat batas. Aku sadar, bahw diriku hanyalah anak angkat dalam keluarga ini. Umurku lebih tua lima bulan dari David, mungkin karena itu ia selalu saja bersikap keras kepala, selalu membantah, kasar, semaunya, yang sangat mengherankan ia selalu membantah ucapan mami, tapi ia selalu mengucap janji yang sama sekali tak pernah ia tepati. Sungguh anak durhaka sekali..

Sewaktu kecil kami sering membuat kenakalan, tapi itu dulu karena sekarang aku sadar bahwa aku hanya anak angkat. Aku harus lebih mengerti perasaan seorang ibu yang begitu menyangiku, merelakan semua demiku, dan bahkan ia tunjukkan kasih sayang tanpa ada rasa cemburu di antara aku dan David. Aku tak boleh membuat keluarga David kecewa setelah sudah menjadikan aku bagian dari keluarganya. Aku sedikit tahu diri.

Sekarang ini aku berjalan ke arah di mana kantin berada. Setelah sampai pantatku langsung memilih duduk di pojokan agar tak terlihat jelas oleh orang orang. Pikiran ku terus berputar di mana aku melihat anak remaja bermain bersama teman-temannya saat hujan kemarin. Seketika bayangan wajah yang samar-samar membuat hatiku merasa senang. Ada apa denganku?...

Suasana kantin yang sepi membuat ku sedikit lega. Aroma bakso yang enak tercium di hidungku seketika menggoda perut untuk segera di isi. Aku bergegas memesan bakso dan mengambil air minum dalam lemari es.

Saat aku kembali dengan air minum botolan di tangan, satu mangkok bakso sudah tersedia di tempat dudukku tadi.

Aku memakannya dengan lahap, tanpa adanya suatu racikan dari kecap serta saus. Aku hanya menggunakan satu sendok sambal sebagai penambah bumbu rasa pedas. Pernahku dengar, bahwa tak baik jika sering memakan makanan yang di tambah saus serta kecap.

Beberapa berlalu di gantikan sebuah hadiah dari mu tuhan. "Alhamdulillah...kenyang." gumamku menghabiskan seluruh air di dalam botol kemasan. "bohai, uangnya di bawah mangkuk, ya..." ucapku mencoba berdiri.

Bohai si penjual bakso hanya mengangguk tersenyum padaku. tangannya memegang satu sobekan kertas kardus makanan. ia mengipasi wajahnya yang ku tahu, kantin sekarang ini memang sangat panas. Di tambah lagi dengan keberadaan beberapa kompor gas yang menyala.

Dengan perut yang sudah terisi, aku pun langsung bergegas pergi menuju kelas. Aku sudah tak peduli lagi bagaimana nasib David. Berjalan terus dan terus berjalan sampai kini aku menyusuri koridor sekolah yang sepi, sampai pada akhirnya dalam beberapa meter lagi pintu kelas yang paling ujung akan ku gapai. Kelas yang paling berada di dekat tangga menuju WC itu adalah kelas ku. Kelas yang sering di bicarakan oleh guru karena sering membuat ulah, berisik, berontak, dan lain lain. Semua itu juga ada sangkut pautnya dengan David. Seketika dalam hitungan detik, nama baik anak IPA tercoreng hanya karena anak nakal.

Kalau saja David tak masuk sekolah, kelas itu akan damai seperti hari hari ku. Suara pak Bakar terdengar jelas dalam telinga di saat aku baru mau membuka pintu.

Aku mengetuk pelan, dan mengucapkan salam. Baik pak Bakar maupun teman sekelas, semuanya melihat ke arahku. Pak Bakar membalas salam ku, lalu menyuruhku untuk segera duduk.

"Assalamualaikum..."

"Waalaikumussalam, masuk dan duduklah!" Tutur pak Bakar dengan wajah ramahnya.

Aku pun masuk kedalam kelas sebelum duduk aku menyalami tangan pak Bakar yang sudah mulai keriput. Barisan ketiga dari sisi kiri adalah tempatku. Aku duduk sambil merapikan tas David yang masih berada di atas meja. Kemudian dengan tenangnya mengeluarkan buku cetak serta buku tulis matematika, meletakkan semua dengan rapi di atas meja.

Setelah itu pak Bakar kembali melanjutkan penjelasannya yang tertunda.

Dalam sepuluh menit aku menunggu David, rasa di hati sudah mulai tak tenang.

Kemana anak itu pergi?

Sesekali aku melihat jendela, apa ada David atau tidak. Tapi tetap saja tak ada orang di koridor. Dalam hatiku terus menggerutu geram. Apa anak ini membuat ulah lagi? Nulis aja kok lama, padahal kan cuma buat proposal. Itu pun tinggal menyalin punya ku.

....

David POV.

"Kemana perginya sih Imam? Kok gak balik balik lagi?" Gumamku. Aku menutup lembaran kertas yang aku tadi tulis. Terlihat jelas meja di depanku sangat sangat berantakan.

"Tu anak memang sengaja kayaknya pergi ninggalin aku disini. Biar bisa pacaran..eh bukannya Imam masjid gak punya pacar ya?" Pikirku mengejek Imam dengan rasa tak khawatir. Karena hanya aku sendiri di ruang OSIS sekarang ini.

Dengan kesal aku membereskan meja OSIS yang berantakan. Menyusun semua kertas kertas yang sangat tidak penting bagi kehidupan ku. "Kalau tau begini aku gak akan mau jadi OSIS sih sosis ini. Merepotkan saja, di suruh ini itu tapi tak membuat diriku jadi pintar. Malah membuang waktu sia-sia saja." Aku mendengus melepaskan semua kekesalan.

Akhh ingin sekali rasanya menjerit, tapi aku urungkan. Bisa bisa nilai harga diri jatuh. Aku pun memasukkan kertas kertas itu sembarangan kedalam loker. Setelah itu bergegas pergi menuju ruang kelas.

Pasti tu sih Imam masjid udah masuk ke kelas. Pikirku, saat hampir sampai kelas. ehh ternyata benar. Aku melihat imam melalui jendela kelas. Ia menulis dengan tenang sedangkan aku gelisah yang nantinya akan mendapat ceramah gratis dari pak Bakar.

Aku menggaruk kepala pusing memikirkan bagaimana cara agar tak mendapat omelan dari pak Bakar. Baru saja membayangkan bagaimana Pak Bakar mengomel. Kepala ku sudah pusing duluan.

Dari dalam kelas, mata pak bakar sudah melotot seakan ingin segera meloncat menuju ku. sekarang tubuhku terasa tegang, di setiap kali pak bakar melangkah mendekati ku.

"David, bukannya langsung masuk ini malah mondar-mandir di luar." Tegur pak Bakar yang tubuhnya berada di ambang pintu kelas.

Aku meneguk air liur dengan pelan, akhirnya aku pun menunjukkan satu keahlian ku, yaitu dengan sedikit menunduk kepala dan menunjukkan wajah berpura pura sedih. Mungkin Pak Bakar tak akan memberiku ceramah.

Kilat menyambar otakku saat ini, sepintas ide licik muncul dalam kepala. "David takut pak, kalau bapak nanti marah. Mendingan disini aja." Bohongku dengan nada bicara sedikit rasa bersalah. Aku mengucapkan kalimat yang sebenarnya aku sangat jijik mengatakannya.

"Bapak sudah bilang, kalau tugasmu selesai kamu langsung masuk kedalam kelas bukan malah di luar sini. Sekarang masuk!" kata Pak Bakar dengan mata melotot ke arah ku.

Dengan langkah kaki gemetar serta gugup, aku langsung masuk kedalam kelas. Dan duduk di sebelah Imam. Aku membuang muka ketika Imam menatapku.

Dan pelajaran pun berlanjut sampai bel berbunyi nyaring.

....

bersambung...