Malamnya.
Sunyi...
Hanya kesunyian yang menemani David saat ini. Duduk di kursi louger dengan kaki yang melintang panjang, serta tangan kanan di tekuk ke arah belakang kepala sebagai pengganti bantal. Kedua bola matanya memandang langit malam yang tak begitu indah, dengan tatapan campur aduk. Kadang menatap dengan sendu, kadang menatap dengan mata penuh amarah dan terkadang menatap langit malam dengan tatapan kecewa. Sunyi sepi begitu terasa jelas saat terdengar suara binatang kecil seperti jangkrik dan kodok mengiringi malam yang dingin.
Dari arah pintu kamar David yang terbuka, Imam hanya bisa terdiam sambil sesekali melangkah mendekat. Ia memandang David dari pintu balkon yang menjadi penghubung antara ruang kamar dan balkon. Sesekali Imam mengeluarkan suara mendesis kecil. Dalam beberapa menit ia memperhatikan David, ia baru menyadari bahwa orang yang ia perhatikan saat ini sedang galau. Bukan galau karena cinta melainkan galau karena kecemburuan terhadap saudara.
"apa yang kau pikirkan?" tanya Imam berjalan mendekati David, ia pun memilih duduk di kursi louger satunya. "tatapan mu yang melihat langit seperti pria yang galau akan cinta. Tapi..." Ia berdecak pelan, seakan memberi ejekan pada David. sayangnya orang di depannya itu hanya diam saja, tak bergerak sedikit pun. "...yang aku tahu kau bukanlah orang seperti itu. Mana ada anak perempuan yang menyukai anak berandalan sepertimu ini."
Bukannya marah, David malah membenarkan posisi tangannya saja. Ia mengganti tangan kirinya yang kini sebagai bantal di kepala. Imam merasa saat ini adalah waktu yang tak tepat untuk mengajak David bercanda.
"Kau tahu..sebaik-baiknya diriku, aku juga merasakan apa yang kau rasakan." ujar Imam ikut merebahkan dirinya di kursi louger yang ia duduki. "Benar apa yang kau katakan tentang karakter dalam anime Doraemon. Sebaik-baiknya setiap karakter, pasti ada saja kelemahan dan kelebihan dalam diri mereka. Saat itu juga aku kagum padamu, David." ungkap Imam dengan sangat jujur. Membuat David yang malas mendengar ocehan itu langsung tercekat dengan air liurnya sendiri.
"Di sisi dirimu yang nakal, kau juga menyimpan satu kelebihan. Kau tak pernah satu kali pun menyakiti wanita. Bahkan kau melindungi mereka, yang sebenarnya aku sendiri tak bisa melakukan tindakan itu... Seharusnya hal itu harus kau tunjukkan pada semua orang. Agar mereka tahu, di balik sosok yang bejat, ternyata tersimpan satu kantung kecil kebaikan."
"sudahlah, aku tak ingin membicarakan tentang itu saat ini." ketus David.
"benarkah?" Sindir Imam, "Dulu aku pikir dunia ini baik, sayangnya pemikiran itu berubah. Benar kata orang tentang dunia ini sangat kejam. Yang seolah-olah tak membiarkan siapapun agar bisa menjadi pribadi yang sempurna." Imam mengambil nafas panjang, "kau beruntung David, kau memiliki orang tua yang sangat perhatian, yang sangat ingin ikut campur dalam urusan masa depan anaknya. Seharusnya aku tak pantas kau sandingkan dengan drajat mu." tutur Imam dengan suara yang mulai bergetar seakan menahan sesak yang segara membuncah keluar.
Imam pun akhirnya duduk menatap atap rumah orang di sebrang sana. Matanya mulai berkaca-kaca, "Aku hanya anak angkat, aku tak tahu siapa orang tua kandung ku. Wajah mereka, bagaimana tutur bicara mereka, bahkan nama mereka pun.. aku tak tahu. Dengan umur yang hampir memasuki 18 tahun ini, aku hanya bisa berdoa, agar tuhan mengasihani dan memberikan semua jawaban yang selama ini aku tanyakan."
Entah kenapa David yang malah meneteskan air matanya lebih dulu. Ia menggigit bibirnya karena tak kuat untuk mengatakan satu kata saja.
Dari bayangan mata Imam, ia kini sadar bahwa saudara tirinya yang menangis saat ini. "hahaha.." tawanya sedikit memaksa, "kau tak perlu menangis... seharusnya aku yang sedih di sini. Dan ya... Jika kau kena marah oleh mami, jangan coba-coba untuk iri padaku. Karena disini, kaulah yang beruntung...bukan aku. Kau dengar tidak?" tanya Imam memukul pundak David.
"ya...ya..aku dengar. akulah yang beruntung." jawab David dengan suara pelan.
"bagus! kalau aku dengar kau mengulangi hal tadi siang, kita lihat saja apa yang akan aku lakukan padamu."
Setelah mengatakan ancaman itu, Imam memilih berlalu, tapi baru beberapa langkah ia menghentikan langkahnya.
"mami marah karena ada sebab, seharusnya kau bertanya apa sebabnya? Kenapa mami bisa semarah itu? Dunia ini luas, manusia hidup untuk saling bersaing satu sama lain. Dan mami mungkin ingin kau menjadi pemenang dalam persaingan itu. Karna dia ingin kau menjadi anak yang baik, pintar, sopan di masa depan." Imam menasehati David seperti biasa.
Di saat inilah yang David sukai, Imam memberikan kata kata bijak layaknya seorang kakak kandung.
David yang menatap langit mengedipkan matanya kembali. Dari atas langit muncul satu bintang yang sangatlah terang. Ia tersenyum pada bintang itu. Lubang lesung pipi di kanan dan kiri pipinya seketika menghiasi wajah.
"Kau benar... tapi masalahnya aku tak bisa memenuhi apa yang mami dan papi inginkan. Seharusnya mereka mengerti apa yang ku mau. Bukan malah memberikan beban yang baru." Balas David menekan setiap ia menyebut kedua orangtuanya.
Nada kekesalan masih Imam rasakan saat David berbicara. Imam menatap David sekilas, melipat kedua tangannya di depan dada.
Dalam beberapa detik kesunyian malam kembali terasa di telinga. Imam hanya tersernyum pelan, lalu berbalik menatap David yang masih pada posisi nyamannya.
"Seandainya kau tuhan, apa yang kau lakukan pada pengikut mu?" Tanya Imam dengan santai lalu menunjuk David.
Kedua bola mata langsung terbuka lebar, terduduk diam membisu, menatap ke arah Imam tak percaya.
"Pertanyaan apa itu?" Ketus David tak masuk akal dengan pikirannya.
"Jawab saja! seandainya kau tuhan, apa yang kau lakukan pada pengikut mu?" Imam mengulangi pertanyaannya dengan menatap David sambil memasang wajah serius.
"Aku akan menyuruh mereka ke jalan yang ku tentukan, mungkin..." Jawab David dengan santai dan penuh keraguan.
Dari wajah yang serius mulai muncul guratan misterius. "Jika di antara mereka ada yang memilih jalan yang salah, apa yang kau lakukan?" Tanya Imam dengan cepat. 'kali ini mungkin bisa membuat mu mati kutu.' sambungnya di dalam hati.
"Ak..aku...menegur mungkin?"
Kedua alis Imam naik mendengar jawaban David yang tak jelas, kemudian Imam melipat kedua tangannya bersandar pada pagar balkon.
"Begitu juga dengan orang tua. Disaat ada anaknya yang salah mereka akan tegur. Kalau di tegur tak mempan, meraka akan memberikan pukulan sayang, kalau itu tak mempan juga..mereka akan terpaksa memilih jalan tegas, dan pintas. Yaitu memasukkan ke pesantren atau sekolah beragama lainnya." Ucap Imam memberi penerangan di hati David.
"Menjadi orang tua itu saja sudah susah, mengatur beberapa anak yang bisa terhitung dengan jari. Di tambah lagi menjadi tuhan. Kurasa kepalamu akan pecah setelah mengatur manusia di seluruh dunia ini." Ejek Imam.
"Ya ya ya, pantas saja mami dan papi menyayangi mu."
Imam terkekeh pelan, "sudahlah...kalau kau memang tak mau beruba, kau akan mendapat imbalan dari sikapmu. Sekarang aku mau kau minta maaf sama mami!" Pinta Imam. "Kau membuatnya menangis , kalau perlu kau bersujud di kakinya. Hati mami pasti sakit sekali, dan aku yakin surgamu sudah jauh beberapa meter sekarang." Sambung Imam sedikit menghina David.
"Kau!.." David menunjuk wajah Imam.
"Mami rasa, David tak perlu meminta maaf." Fara keluar dari persembunyian nya.
Bibir imam terangkat sedikit saat melihat Fara berjalan mendekat.
"Mami?" David tak percaya bahwa Fara mendengar semuanya yang mereka bicarakan.
"Sebenarnya mami mengajak kalian untuk makan malam. Tapi, mami mendengar ada yang menceramahi anak nakal ini." Goda Fara lalu menjewer telinga David dengan kuat.
"Aawh...David rasa begitu." David mengelus telinga nya, "Mungkin papi tak sia-sia memberikan nama Imam pada orang ini. IMAM, ada dua kemungkinan di masa depan..." berpura pura untuk meramalkan nasib, "Yang pertama mungkin menjadi Imam masjid, dan yang kedua bisa jadi Imam keluarga. Bener gak?" Tanya David dengan memasang wajah jahilnya.
Wajah Fara sedikit beruba saat David mengucapkan 'Mungkin papi tak sia-sia memberikan nama Imam pada orang ini.'
Ekspresi sedih sangat terlihat jika di perhatikan dengan jelas. Sayangnya David dan Imam masih asik dengan dunia mereka berdua.
"Heyy. Aku sudah geram dengan kata kata itu, kau selalu mengataiku Imam masjid." Geram Imam berpura-pura.
Fara melihat keduanya beradu mata langsung tertawa pelan, untuk menutupi rasa kesedihan.
"Panggilan itukan doa, aku berdoa terus sama Tuhan. Kau tak terima kasih, eghhgg.." David membuang muka.
"Aku tak peduli!" Balas Imam.
"Sebelum kalian adu jontos, lebih baik mengisi daya dulu. Setelah 100 persen, baru boleh...terserah mau di mana, asalkan jangan merusak masa depan kalian." Kata Fara sambil berdiri.
"Masa depan apanya?" Tanya imam dan David kompak.
"Apa perlu mami mengatakan nya?"
"Ya!...Kami tak mengerti maksud mami." Kata David sedikit heran.
"Kalian ini pasti sudah mimpi basah, mami rasa kalau kalian menikah pasti sudah memiliki anak." Kata Fara berlalu pergi tanpa menjelaskan apa maksud dua kata yang ia keluarkan beberapa menit yang lalu.
Imam dan David menyerengit bingung maksud kata kata Fara barusan. Kemudian beberapa detik barulah keduanya paham, lalu mereka memegang masa depannya masing masing. Wajah mereka pun memerah malu, akhirnya kedua anak remaja laki laki itu berjalan mengikuti Fara yang sudah jauh di depan.
Rasa tegang dan hening langsung hilang tertebawa angin. Fara yang tadi marah pada anaknya kini akhirnya bisa mengerti mengapa anaknya begitu tertekan. Di satu sisi ia masih kesal terhadap sikap yang nakal itu, tapi disisi lain ia merasa bangga. Karena David hampir memiliki sifat yang sama persis dengan Ghanis (papinya).
....
Yang mau komen silahkan komen ya...kasih masukan biar aku tu tahu apa yang kalian rasakan dan bayangkan saat baca cerita ini.
Atau mungkin cerita aku kurang dapet nuansanya?
Maaf kalau gak nentu uploadnya. Soalnya aku lihat situasi dan kondisi ide serta semua kalimat yang tertulis. Selagi hanya kata maaf lah yang bisa aku katakan. Dan terimakasih udah baca dan setia dalam mengikuti cerita ini.
....