Author POV...
Suara bel sekolah berbunyi nyaring, bahkan satu guru kesiswaan pun sudah menyetel satu lagu yang keras di spiker sekolah. Itu di lakukan agar tak ada lagi satupun siswa atau siswi yang masih berada di sekolah.
Sekarang di setiap kelas sudah terdengar suara murid membaca doa pulang bersama. Satu persatu murid-murid dari kelas sepuluh SMA sampai kelas dua belas berbondong-bondong keluar dari kelas mereka. Karena Erma korban bully, jadi ia hanya bisa berjalan cepat menghindari semua musuh-musuhnya. Ia keluar kelas tanpa ada lagi kepala yang menoleh ke kanan, ke kiri bahkan ke belakang. Membuat satu siswa laki-laki yang sedang membantu mengangkat kursi ke atas meja menjadi tergesa-gesa.
"kamu kenapa sih gam, kayak orang mau beol aja." sindir Rey melihat temannya membuat kebisingan.
"aku lupa kalo ada janji."
Rey menyerengit heran, "janji? ohh ya udah sana, biar aku aja yang piket. Kamu bisa besok piketnya." ucapnya sambil menyelesaikan tugas piket dengan rapih.
Agam mendengar itu langsung meninggalkan kursi yang akan ia naikkan. "makasih Rey, ya udah kalo gitu aku pergi.." ucap Agam mempercepat langkahnya sambil tergesa-gesa memasang tas punggungnya.
Matanya terus mencari keberadaan Erma, sayangnya tidak ketemu. Dari mulai koridor kelasnya sampai ke koridor menuju gerbang sekolah, ia tetap tak menemukan wajah Erma. Karna tak ketemu, ia pun bergegas pergi menghampiri parkiran motor.
Dengan motornya, Agam mencari Erma sampai ke jalan menuju halte bus di mana Erma selalu menunggu angkutan umum. Sesampainya di sana, ia malah melihat tubuh Erma sudah setengah masuk kedalam anggota berwarna merah.
"ahhhh..." desah Agam sedikit kesal. Dalam diam ia terus memperhatikan kemana angkutan umum itu membawa Erma.
Saat angkutan itu melangkah maju, ia pun ikut melajukan motornya sambil menjaga jarak, agar orang yang ia ikuti tak merasa curiga.
....
Erma POV.
Entah kenapa aku malah merasakan ada sesuatu hal yang janggal. Perasaan dan pikiran ku terus tertujuh pada sesuatu yang sama sekali tak pernah aku pikirkan. Sampai aku tak menyadari bahwa sudah lima belas menit aku berada dia angkutan umum ini.
'untung udah sadar, kalo enggak kan bisa berabe. Malah jalan menuju rumah udah deket banget.' ucapku dari dalam hati.
Karena sudah mulai dekat dengan rumah, aku pun segera memencet tombol kecil yang berada di atas pintu bis itu. Bis yang aku tumpangi menepi dan akhirnya aku turun dari angkot dengan perlahan, membayar dengan uang jajan yang masih tersisa.
Dan berjalan memasuki gang perumahan sederhana. Hanya satu warna rumah saja yang berbeda, siapa lagi kalau bukan rumahku. Rumah bercat hijau sederhana yang terletak sedikit hujung.
Berjalan terus saja berjalan dengan santai hingga aku tak sadar bahwa aku sudah berada di depan rumah. Aku mengetuk pintu dengan pelan, mengambil sepatu yang sudah terlepas dari kaki kemudian meletakkannya di rak sepatu yang terbuat dari kayu bekas. Membuka pintu, dan hanya kesunyian lah menyapa saat ini. "Aku pulang." Teriak ku.
Tak ada sautan dari ibu, mungkin ibu pergi berbelanja untuk makan malam. Aku bergegas mengganti seluruh pakaian ku.
....
Di waktu yang bersamaan...
Agam melihat rumah Erma dari jauh. Ia hanya bisa duduk di atas motor yang masih menyala sambil mengigit bibir. Kerutan wajah yang menaruh misteri dan harapan.
"jadi itu rumahnya?" gumam Agam.
....
Erma POV...
Beberapa menit setelah aku pulang, barulah terdengar suara pintu yang terbuka.
"Erma apa kau sudah pulang?" Teriak ibu dari luar rumah.
"Ya." Jeritku menjawab ibu. Setelah sudah selesai aku keluar dari kamar dengan pakaian santai.
Melihat ibu merapikan bakul dan wadah kotor bekas gorengan. Ibu menatap kearah ku, "kapan kau pulang?" Tanya ibu begitu perhatian.
"Tadi, Erma lapar. Apa ibu sudah masak?" Tanyaku sambil melihat lihat ke arah tudung saji di atas meja.
"Belum, tapi ini ibu sudah belikan nasi bungkus untuk kita makan." Ibu menunjukan 3 bungkus nasi dengan lauk.
Aku mengambil piring, dan membuka bungkusan itu dengan senang. "Wahhh nasi perkedel." Ujarku.
"kamu suka?" Tanya ibu sambil memasangkan sandal jepit nya.
"Suka, ibu mau kemana?" Tanya saat melihat ibu ingin pergi lagi.
"Ibu lupa mengambil wadah gorengan di warung Bu Salma." Ujar ibuku.
Aku menutup bungkus nasi yang sudah terbuka dan menindihnya dengan sendok agar tak terbuka. Lalu bergegas menyusul ibu, "biar Erma saja."
"Tapi ini sudah mau hujan." Tunjuk ibu pada awan yang sudah sangat mendung.
"Erma tak peduli hujan atau pun enggak, biar Erma saja. Dahh...." Aku berlari cepat meninggalkan ibu yang masih bingung.
"Haiss dasar anak ini."
....
Dari luar rumah...
Agam yang hampir bergegas pergi, langsung terdiam mematung melihat wajah dan tubuh Erma yang keluar dari rumahnya. Entah kenapa ia malah tersenyum melihat keadaan itu. Sekarang ia malah tak bisa apa apa, "dia mau kemana?" gumam Agam, lalu menatap awan yang memang sudah mulai menggelap. "bentar lagi pasti hujan!"
Ia pun akhirnya mengikuti Erma dari jauh, untungnya helm yang ia pakai kacanya berwarna hitam, jadi separuh wajah Agam tertutup oleh kaca helm. Beberapa meter mengikuti Erma yang terus melangkah, tiba-tiba handphonenya berdering di sertai getaran kecil. Mau tak mau ia mengangkat panggilan itu.
"hello?" jawab Agam dengan nada yang tak bersahabat.
"Kamu sekarang di mana, Agam? kenapa belum pulang di jam segini?" tanya seorang pria dari sambungan telpon.
"Ck..iya ini juga mau pulang, lagian tumben papa peduli sama Agam." ketus agam pada orang di sebrang sana.
"cepatlah pulang!... bundamu masuk rumah sakit."
"bunda masuk rumah sakit pun itu semua gara-gara papakan? kenapa sih papa gak ninggalin aku sama bunda berdua aja? kami lebih bahagia kalau papa gak ada." sinisnya langsung mematikan sambungan telpon.
Dari jauh ia hanya bisa memandang wajah Erma yang sekarang ini berbincang dengan seorang wanita paruh baya di depan warung. "akhhh..." kesalnya, langsung memutar balik arah. Mengendarai motornya dengan kelajuan yang di ambang batas normal.
....
Erma POV...
Saat mau pulang, ehhh hujan malah turun dengan deras. Aku hanya bisa berusaha melindungi wadah gorengan agar tak kena hujan. Bibirku tersungging lebar, sudah lama aku tak merasakan air hujan.
"Akhh senangnya, sudah lama sekali hujan tak jatuh mengenai kulitku." Kataku menerobos hujan. Detik dan rintik terus melaju menerpa tubuh. Baju yang ku kenakan lama kelamaan menjadi basah.
Sambil berjalan, sesekali aku loncat ketika ada genangan air yang ku lihat. "ahkk senangnyaaa..." teriakku memutarkan seluruh tubuh. Terpaan air hujan seolah menghilangkan semua beban yang selama ini mengganggu pikiranku.
Tanpa aku sadari bahwa ada anak laki laki memperhatikan ku dari jauh. Ia hanya berdiri sambil memegang payung berwarna hitam.
Aahhhh sungguh bahagia sekali rasanya. Rasa dingin yang menusuk kulit sama sekali tak ku perduli kan.
Jalanan menjadi sepi saat ini, hanya ada aku yang bermain hujan. Aku sangat merindukan saat-saat masa kelas satu SMA. Aku menatap langit mendung, membiarkan dan merasakan semua air jatuh menimpah seluruh bagian wajah. Sekarang aku malah merasakan wajahku seperti di pijat oleh seseorang. Seratus beban di punggung sudah hilang tersapu oleh hujan. Tubuhku terasa ringan, aku memasang wajah bahagia.
Baru saja merasa bahagia, Bayangan wajah ibu yang sedang marah langsung terlintas di dalam kepala.
"Astaga...pasti ibu marah." Gumamku menyadari bahwa sudah lama berada di luar.
Aku mempercepat laju langkah, sampai wadah gorengan yang ku pegang menjadi basah.
"Ya ampun Erma, hari ini akan menjadi sial bagi mu." Gerutu ku mengutuk diri sendiri.
Jarak rumah sekarang hanya beberapa meter saja, aku dapat melihat ibu yang sedang mondar-mandir dengan wajah penuh kecemasan. Baru saja aku ingin bersembunyi, ibu sudah melihatku.
Aku berjalan penuh rasa bersalah, tapi ibu sudah menyusulku tanpa payung. Yang membuat baju ibu ikut basah.
"Kau ini, ibu menunggu penuh rasa cemas." Ucap ibu dengan suara serak. Ibu memelukku dengan erat.
"Kau dari mana saja, hah? Apa ada yang mengganggu mu lagi?" Tanya ibu dengan cepat.
Aku menggeleng pelan, lalu menarik tangan ibu agar menepi ke teras. Satu pukulan keras mendarat di pantatku, siapa lagi kalau bukan ibu pelakunya. Wajah ibu sekarang mirip sekali dengan bayangan yang tadi terlintas di kepala ku.
"Jangan bilang kau bermain hujan, Erma?" Tuduh ibu yang memang tepat sasaran.
Mendengar ibu berbicara bulu kudukku langsung berdiri semua. Aku tersenyum salah tingkah, dengan cepat bersiap siap kabur untuk menghindar pukulan sayang yang sebentar lagi akan ku dapatkan.
"Dasar anak nakal." Teriak ibu dari teras. Karena aku sudah berlari mengitari rumah. Masuk lewat pintu belakang, dan menutup pintu kamar mandi dengan rapat lalu menguncinya agar ibu tak bisa masuk.
Baru ingin membuka baju yang melekat di badan, satu dobrakan keras menciptakan suara bising siang ini.
"Kau selalu membuat ibu naik darah Erma. Keluar...keluar atau ibu akan..."
"Erma sudah membuka baju ibu-" potongku berpura pura, "Erma sudah mens, gak mungkin kan kalau ibu mau melihat tubuh Erma yang telanjang."
"Terserah... kalau kau tidak keluar sekarang, ibu akan menghukum mu nanti. Dengar itu!" Teriak ibu dari luar.
Aku hanya bisa tertawa pelan dari kamar mandi, aku menempelkan telinga di pintu agar bisa mendengar suara langkah ibu.
BRAK..
Satu pukulan keras di pintu membuat ku terkejut, hingga telingaku merasakan suara dengungan begitu keras.
"Dengar tidak?"
"Iya." Jawab ku pelan, setelah menjawab itu, akhirnya aku mendengar suara langkah kaki ibu yang semakin menjauh.
Akhh aku mengelus-elus telinga ku, menghilangkan suara dengung yang masih saja terdengar.
"Astaga, dari dulu ibu tak pernah berubah."
Dengan rasa kesal aku melepaskan semua pakaian, lalu meletakkannya di baskom kecil supaya bisa langsung dicuci. Setelah itu aku mengguruyi seluruh badan dengan air di dalam bak yang hangat.
....
Bersambung...
....