Esoknya...
Kicauan burung menyambut pagi ini. Erma duduk dengan tenang di bangkunya dengan kelas yang masih sepi, hanya ada satu anak laki-laki saja yang sudah datang itu pun dirinya langsung keluar kelas.
"Hari sabtu, adalah hari terbosan sepanjang hidupku." Gumam Erma melihat jadwal piket tertempel di dinding dengan rapi.
Tertulis dengan jelas bahwa ada nama 6 orang anak yang mendapat giliran piket hari ini. Dirinya adalah yang termasuk dalam jadwal.
Erma membalikkan tubuhnya, menatap keseluruhan ruang kelas kosong. Tiba-tiba saja gambaran demi gambaran terus berputar dalam pikiran. Seakan membuat hatinya menjadi sakit.
Flashback on...
"Kau tau, hari ini ada pelajaran matematika. Kau harus menjaga bukumu dengan baik, kalau tidak nanti ada tikus kecil yang mengambilnya." Sindiran halus dari Zeline terdengar di pendengarannya Erma.
Erma yang duduk sendirian tanpa teman pun seakan dapat merasakan dengan jelas kalau semua murid tak suka padanya.
"Bukan menjaga buku saja, tapi juga menjaga teman." Balas wanita di samping Zeline.
Keduanya tertawa keras. Puas, sangat puas mereka menyindir seseorang yang masih bagian dari kelas itu.
"Ahkk sayang sekali ada teman tapi di jauhi, sudah itu lihatlah penampilan nya sungguh sangat kuno." Sindir anak yang lain. Menatap Erma dari kejauhan.
Erma hanya mengenakan pakaian bekas dari tetangganya, ibunya saat ini belum memiliki uang yang cukup untuk membeli seragam sama dari sekolah. Warna pada pakaian Erma sudah memudar sekali. Sehingga ia terus di hina kuno.
Erma hanya bisa mengepalkan tangannya dengan kuat. "Tahan Erma, hanya dua tahun lagi kau akan tamat dari sini." Gumam Erma sambil bergetar. Genangan air mata terlihat jelas di sana, mata yang memerah, hati yang pedih seakan hidupnya memang sangat menyedihkan.
Flashback off....
....
Erma menggigit bibir dengan pelan, "kenapa mereka membenci ku? Apa aku sehina ini?" batin Erma menatap barisan ketiga yang paling belakang yang dimana tempat duduk rombongan Zeline, temannya dan Agam duduk.
"Apa kau sudah menyapu kelas?" Tanya seseorang murid wanita berdiri di ambang pintu yang pintu terbuka. Di tangan kanannya memegang tas jinjing, dan tangan kirinya memegang botol air minum. Penampilan itu selalu ada di setiap pagi dan itu juga sudah menjadi ciri khasnya.
Erma terlonjak kaget, hingga membuat dirinya langsung balik badan menatap pemilik suara. Dan ternyata itu adalah Mika Myesha, teman sekelas Erma yang duduk di belakang bangku Agam dan Nando. Erma tak begitu dekat dengannya, semenjak seluruh murid IPS 1 membullynya. Erma sedikit lebih diam, dari kelas 10 semester 2 sampai sekarang kelas 12 sementara 1. Pendapat Erma hanya satu, jika semua orang berubah padanya berarti keseluruhan teman di kelasnya juga berubah. Bodoh? Tentu tidak, lebih baik menyendiri di banding ada teman tapi bikin hati sakit.
Mika Myesha seorang gadis biasa, yang memang sedikit menonjol dari anak perempuan yang lain. Tubuhnya yang pendek dengan kulit putih kekuningan, di sertai bulu mata lentik dan alis hitam lengkung sempurna. Bisa di katakan tubuh mika hanya sebatas bahu Erma. Di tambah lagi ia menggunakan jilbab yang hampir menutupi keseluruhan tubuhnya. Membuat tubuh yang mungil bertambah mungil bila di pandang.
"Ada apa dengan mu, Erma? Apa kau sakit?" Tanya Mika begitu perhatian, Mika menghampiri Erma yang masih diam mematung tak percaya.
Selama ini tak ada murid kelas yang mau berbicara padanya. Tapi kenapa Mika bertanya seolah-olah tak terjadi apa apa. Mika melambaikan tangannya di depan wajah Erma.
"Kau tidak apa apa?" Sekali lagi Mika bertanya pada Erma.
Hanya saja kali ini Erma langsung mengangguk pelan.
"Apa kau sudah piket?" Tanya Mika berjalan ke arah tempat duduknya, meletakkan semua barang di atas meja.
"Belum, aku baru datang?" Jawab Erma sedikit ragu ragu dan tetap masih pada posisi yang sama.
"Ini baru jam 6, lebih baik kita piket sebelum anak yang lain datang. Kau menyapu dua baris kanan," Mika menunjuk barisan Erma. "Dan aku dua baris kiri. Kalau sudah kita langsung ngepel."
Erma hanya diam, berjalan ke arah tempat alat sapu dan pel yang biasanya di letakkan di samping lemari buku. Erma mengambil sapu, begitu juga dengan Mika. Untungnya semua kursi berada di atas meja, sehingga dapat menyapu semua dengan cepat.
Dalam beberapa menit Erma menyelesaikan tugasnya, tinggal sekarang mengeringkan lantai.
"Kau menunggu di depan pintu! siapa yang mau masuk kelas. Suruh berdiri di luar dulu, tunggu sampai lantai kering. Aku akan membersihkan papan tulis." Suruh Mika memencet remot kontrol AC dan kipas agar segera hidup.
Dinginnya pagi di tambah AC dan kipas yang hidup membuat ruang kelas itu seperti berada di luar negeri saja. Bahkan semua jendela kaca yang sengaja di biarkan tertutup, menjadi berembun.
Erma bersiap siap mau menolak, tapi Erma melihat Mika yang sudah bergerak bersiap siap membersihkan papan tulis yang memang mulai menghitam karna tinta spidol.
Tubuh yang pendek, membuat Mika kesusahan membersihkan bagian atas. Akal di beri untuk berpikir, akhirnya Mika menyeret salah satu kursi di barisan paling depan, sesekali ia bergumam geram. Lalu kembali membersihkan papan tulis dengan cepat.
Erma hanya berdiri diam saja, suara lantunan ayat suci Al-Qur'an sudah di putar oleh anak OSIS. Ia menatap lorong koridor yang sepi dan sunyi, banyak murid-murid yang lewat tapi bukan murid dari kelasnya, membuat dirinya menjadi bosan. Erma pun memilih masuk, dan membuka pintu dengan lebar.
"Astaga, kenapa tubuhku sangat pendek sekali saat dimana membersihkan papan tulis ini." Gerutu Mika kesal.
Erma menatap Mika dari jauh, Mika turun dari kursi lalu menggesernya ke samping. Kemudian naik lagi, untuk membersihkan bagian yang masih hitam. Ingin sekali rasanya ia tertawa, tapi itu tak mungkin. Bisa bisa harinya akan ada badai nanti.
Lagi asik asik melihat kegiatan Mika, Erma terkejut melihat anak yang masuk begitu saja. Padahal lantai masih basah.
"Ehgg..." Erma menahan suaranya, padahal ia mau menegur.
Mika yang sudah selesai pada bagian papan tulis di sisi kiri, langsung turun dan menghadang anak yang baru masuk.
"Apa kau tak melihat lantai masih basah, atau memang kau buta?" Marah Mika sambil menunjuk wajah anak itu serta lantai.
"Aku mau masuk, apa salahnya sih?" Kesal anak itu tanpa rasa bersalah.
Erma hanya bisa menggaruk kepalanya bingung, melihat kondisi saat ini.
"Kau masih bertanya, astaga...percuma saja orang tua mu menghabiskan uang hanya untuk menyekolahkan anaknya yang masih saja bodoh."
"Ayolah Mika, aku hanya ingin masuk." Bujuk anak itu.
Mika tak menjawab, tapi langsung memukul pundak anak laki laki itu dengan kencang.
"Kau mau keluar atau ku adukan pada wali kelas?" Ancam Mika membuat nyali anak itu menciut.
"Oke oke." Dengan pasrah anak itu keluar, tanpa menatap Erma. "Dasar tukang ngadu." Gerutunya ketika sudah keluar dari kelas.
Erma hanya bisa diam saja, walau ia mendengar anak itu mengeluarkan kata-kata.
"Kau larang siapa saja yang mau masuk, Erma!"
Pertegas Mika dengan wajah yang kesal. Erma hanya bisa mengangguk pelan, entah kenapa sekarang ia malah semakin bingung dengan perempuan yang sibuk membersihkan seluruh bagian papan tulis. Mika kembali naik ke kursi itu lalu membersihkan papan tulis dengan santai.
Dengan gugup Erma ingin mengatakan sesuatu pada Mika. Terutama tak ada siapapun di sekitar mereka, kecuali anak laki-laki yang tadi memaksa masuk, kini hanya berdiam duduk di dekat pintu kelas, tak lupa sambil memainkan handphone canggih nya.
"T-tapi..." Suaranya langsung menurun, dan kedua bola mata gadis itu melotot saat melihat tubuh jenjang Agam yang tiba tiba berdiri di depannya. Tatapan tajam seakan langsung menusuk pandangan Erma. Ia menunduk untuk menghindari tatapan elang.
"Kau bantu Mika, biar aku yang jaga di sini!" Perintah Agam dengan nada suara yang sangat rendah.
Dengan cepat Erma mengambil koran, lalu membersihkan papan tulis yang masih kotor. Masih tercium dengan jelas aroma parfum yang Agam pakai di indra penciumannya. Jantung Erma tiba-tiba berdebar kencang, rona di pipi membuat rasa panas sekilas.
Agam meletakkan tasnya di meja Erma, dan ia pun berdiri di ambang pintu sambil melipat kedua tangannya. Murid kelas yang baru datang langsung diam dan berdiri di depan pintu, tak ada yang ingin masuk kedalam kelas. Hingga Mika dan Erma menyelesaikan tugasnya, barulah Mika menyuruh Agam untuk memberi perintah pada yang lain.
Bel berbunyi nyaring saat saat anak murid kelas IPS satu, masuk bergerombolan. Semuanya langsung mengeluarkan Al-Qur'an kecil, dan bersiap untuk mengaji pagi.
Suara lantunan keras serta merdu pertanda murid-murid menjalankan tugas pagi dengan baik. Membuat guru pengawas yang biasa memeriksa kelas langsung berbelok ke arah kelas lain, melewati kelas IPS satu yang berada di ujung sekali.
Karna wali kelasnya guru agama, kelas IPS satu menjadi contoh teladan bagi kelas yang lain. Bahkan terang terangan guru memuji mereka hingga membuat perlombaan setiap hari Senin di umumkan. Lombanya adalah kelas tertauladan, kelas terbersih, dan kelas terkompak.
IPS satu sering mendapat piala kelas tertauladan terbaik. Kelas terbersih selalu di menangkan oleh kelas 11 IPA 2. Dan kelas terkompak di menangkan oleh kelas 12 IPS 3. Lomba itu di buat untuk membuat anak murid menjadi terdidik dengan baik. Hadiah menjadi pacuan dalam perlombaan, selalunya kepala sekolah yang memberi uang dari dompetnya langsung untuk pemenang. Karena itulah semua murid selalu aktif dalam kegiatan itu, dan hal itu sudah biasa dalam pertiap Minggu. Hari Senin adalah hari pengumuman hasil, sedangkan hari Sabtu sebagai seleksi akhir dalam penilaian.
....
Bersambung...
....