SMA Negeri 15.
Kegiatan hari Sabtu hanya ada satu jadwal pelajaran, yaitu sejarah peminatan. Dan sisanya, adalah jadwal bebas. Seperti ekstrakurikuler, dan lainnya. Mulai dari jam 07.00 teng, semua para murid harus mengaji bertadarus Al-Qur'an sampai ke jam 07.30 pagi.
Setelah mengaji biasa ada jadwal senam bersama, itu juga hanya sampai pada jam 08.45. hari ini jadwal senam bagi seluruh anak kelas sepuluh dan sisanya hanya berdiam di dalam kelas masing-masing. Murid yang berada di kelas selalunya berkeliaran bebas tanpa ada hambatan, berkeliaran bukan berarti mereka bisa keluar dari kelas. Tapi, mereka hanya bisa berkeliaran di dalam kelas saja. Jika ada yang ingin keluar, mereka harus memakai tanda izin yang biasanya di kalungkan di leher pemakai. Tanda izin itu juga hanya di sediakan 2 saja dalam setiap kelasnya.
Bagi semua orang mungkin hal itu menyenangkan, tak ada yang keluar kelas, tak ada yang ke kantin, hanya berdiam diri sambil memainkan handphone, atau bahkan bergosip. Tapi tidak bagi seorang murid wanita, yang kini duduk di kursinya sambil menatap ke arah papan tulis dengan tatapan yang membosankan. Sesekali hembusan nafas kesal terdengar lirih. Karna itu Erma selalu menganggap hari Sabtu adalah hari terbosan sepanjang hidupnya.
Bosan karena tak ada satu pun yang mau berbicara padanya. Bosan karena tak ada yang mau berteman dengannya. Tapi tidak kali ini, tiba-tiba seorang laki-laki dengan mata yang tajam bernama Agam berdiri di depan meja Erma. Di ikuti oleh Mila dan juga Nando.
Erma menatap ke tiga orang itu dengan tatapan sedikit sinis, terutama pada Agam. entah kenapa kebosanan itu semakin menjadi-jadi. Baru beberapa detik mereka bertiga berdiri, salah satu dari mereka memilih untuk segera duduk.
Ya... Mika orangnya, ia memilih duduk di kursi kosong samping Erma. Untuk semua orang di dalam kelas itu, tak ada yang peduli pada sikap Mika, Nando dan Agam. Anak murid IPS satu hanya bisa sibuk pada pemikirannya masing masing. Kecuali satu anak perempuan bernama Zeline. Matanya selalu saja menatap gerak-gerik orang yang berada di meja musuhnya dengan tatapan sinis, terutama ke arah Erma. Tatapan mata itu seolah tak mau lepas dari apa yang Erma lakukan.
Agam yang menyadari hal itu, hanya bersikap cuek. Malahan dirinya memilih menyeret dua kursi dari barisan sebelah kiri Erma, di bandingkan meladeni sikap Zeline yang berada tak jauh darinya. Anak laki-laki itu memberikan pada teman laki-laki bernama Nando, yang kini sibuk dengan leptop besar berwarna hitam. Tanpa pikir panjang, pantat Nando akhirnya mendarat duduk di kursi itu. Posisi mereka hanya terhalang oleh satu meja panjang kayu, Nando duduk di depan Mika, dan Agam duduk di depan Erma.
Mata Nando bergerak begitu cepat mengawasi leptop, kalau Agam sibuk dengan layar handphone yang menyalah. dan Mika, sibuk dengan buku tulis serta pulpennya.
Sedangkan erma hanya bisa membisu, tak mengeluarkan satu patah pun dari bibir kecilnya. Dua bola matanya sesekali menatap meja yang penuh coretan pena, pensil, serta tipp-ex. Sedangkan tangannya bersembunyi di balik laci. Sesekali Erma menggigit bibir bawahnya untuk menghilangkan rasa canggung dan gugup.
Selama ini dirinya tak pernah merasakan berhubungan sedekat ini. Kalau pun pernah, itu juga dulu. ketika semuanya masih dalam kenormalan.
Tiba-tiba saja mata gadis pemalu itu melotot kaget saat merasakan ada yang menyenggol kakinya. Tanpa mengeluarkan suara, Erma menarik kakinya lalu merubah posisi letak kakinya ke arah pertengah antara kursinya dan kursi Mika. "astaga...dasar cabul." batin Erma kesal. Sudah cukup ia merasakan sakit hati. Kali ini Erma tak ingin ada keributan sama Agam.
"Oke,.." cetus Nando tiba-tiba, dan akhirnya perhatian Erma kini mengarah pada Nando, "aku sudah cari beberapa gambar untuk pembahasan persentasi nanti. Mika dan Agam sudah melihatnya, tinggal kau saja yang belum." Nando menggeser kan leptopnya di depan Erma.
Layar leptop yang hidup itu langsung Agam pindahan agar lebih menghadap ke wajah Erma.
"Ini bagian mu," tunjuk pria itu ke layar leptop dengan nada suara yang rendah, "kau membahas sistem sosial dan politik. Untuk penjelasannya, kau ambil inti materi dari buku atau google. Ingat! Ambil yang benar benar penting." Agam memperingatkan Erma.
Anggukan pelan Erma berikan sebagai jawaban. Di layar leptop terlihat hanya menampilkan dua gambar yang berbeda. Dan gambar itu sangat jelas Erma lihat. Nando melirik Mika seakan ia bertanya apa Erma mengerti atau tidak. Sedangkan Mika sendiri hanya diam saja, sambil menggedik kedua bahunya sebagai jawaban tak tahu.
"Aku tak tahu, Bu Suntari akan memanggil kelompok siapa. Aku mau kita mempersiapkan diri. Hari ini kita cari bagian yang sudah di bagikan, sekarang!" Agam menutup layar leptop itu dengan pelan.
Mika langsung membuka buku cetak yang sudah ia bawah, Nando mencari penanya tapi tak ada sehingga ia akhirnya mengambil pena cadangan dari tas. "ya Allah... kelas ini, gak bisa ngeliat pena tergeletak sebentar. Pasti langsung hilang, heran nian aku." Gerutuan menjerit kesal terlontar dari bibir Nando. Tangan dan matanya sudah merabah keseluruh bagian tas, Tetap saja tak ada, "haiiss...ini namanya bikin panas hati." tutur Nando membanting tasnya dengan kuat, dan wajah yang kesal kini berganti pasrah.
Mika yang mendengar suara gerutuan Nando, langsung menyembunyikan satu pena berbentuk imut ke dalam laci meja. Dengan raut wajah yang biasa, ia melihat wajah pasrah Nando yang kini berjalan mendekat. Setelah mendekat, laki-laki itu langsung mengambil kotak pensil kain yang imut berwarna biru.
"Mika..pinjam penamu?" Ucap Nando yang sudah memeriksa isi kotak pensil Mika.
"Kalau pinjam, tunggu pemiliknya memberikan. Bukan kau ambil sendiri. Sini!" Ketus Mika merebut kotak pensilnya dengan kuat. Sambil berpura-pura mencari pena di kotak pensilnya itu.
"Kayak gak tahu aku aja." Balas Nando dengan santai. Lalu duduk menunggu pena pinjaman.
"Pena ku tak ada, semua isinya habis." tuturnya sambil mencoret-coret pena yang ia miliki di atas kertas kosong, "Kalau kau mau pinjam, beli isinya di koperasi sana. " ketusnya setelah berhasil memeriksa beberapa pena miliknya.
"Ya elah...sama aja aku beli, cuma bedanya wadah pena punya kamu." Kesal Nando tak mau membeli isi pena.
"Ya udah kalau gak mau." Dengan santai Mika membaca buku cetak tebal di depan wajahnya.
"Hey, astaga...." Geram Nando tak tahan dengan sikap Mika.
"APA?" bentak Mika, "kau selalu meminjam penaku, tapi tak ada satupun yang kembali. Seharusnya aku yang kesal, kau menghilangkan penaku lagi." sambungnya dengan wajah yang sangat sinis.
Diam diam Erma mencari pena di dalam laci, saat sudah ketemu ia langsung meletakkan di atas buku tulis Nando yang sudah terbuka.
"Pinjam saja punyaku!" Ucap Erma sedikit takut, dan cemas.
Dalam hatinya terus mengatakan, apa dia mau meminjam barangku? Atau malah Nando menghina ku? Kenapa kau bersikap bodoh Erma?
Nando menatap pena dari Erma, baru ingin mengambil. Agam sudah memberikannya pena lain, lalu mengambil pena milik Erma. "Kau pakai milikku, biar aku pakai yang ini." Dengan santainya Agam mengatakan itu.
Nando memberikan tatapan tak percaya pada Agam. Kemudian Nando bergegas mencari materi kelompok. Erma yang menyaksikan itu diam membisu. Tapi tidak dengan Agam, sesekali Agam melirik tangan Erma yang sudah memegang pena berbentuk sama dengannya.
"Erma aku menemukan materi bagianmu, kau baca dan tulis ya. Punyaku nanti saja, karna aku bagian terakhir."
Mika memberikan handphone nya pada Erma dengan wajah tersenyum.. tetapi tangan Erma sangat ragu untuk menerima handphone itu.
"Cepat Erma!" Mika memaksa Erma mengambil dengan cepat.
Penuh keraguan ia akhirnya mengambil handphone itu, lalu membacanya setiap kata dan kalimat yang tertulis di sana. Dalam beberapa menit membaca saja ia sudah mendapat inti penting materi pembahasan.
Begitu juga dengan Agam, dan Nando. Keduanya sudah mendapatkan inti masing-masing. Sedangkan Mika membaca halaman buku, sambil melihat ke arah Erma.
30 menit berlalu...
Nando merenggangkan semua jari jari tangan, dan leher. Sehingga menimbulkan bunyi-bunyian seperti ranting patah. "Ahk perutku sudah lapar, aku mau ke kantin dulu." Nando pamit pada Agam.
"Eh... tunggu."
Agam mencegah Nando saat Nando sudah berada di depan pintu. Seketika tubuh yang tinggi langsung berbalik arah, sambil menatap Agam yang sibuk mengeluarkan uang dalam dompetnya.
"Aku haus, belikan air minum, sama sosis goreng. Ingat jangan kasih saus!"
Nando menghampiri Agam, mengambil satu lembar uang lima puluh ribu.
"Botolnya mana?"
Tanya Nando menadahkan tangan kanannya.
"Gak ada, kamu sembunyikan saja di balik baju atau celana."
"Enggak akh, nanti ketauan sama guru penjaga bisa berabe. Lagian aku gak mau kena hukuman gara gara bawa'in air minum kemasan punya kamu." Oceh Nando.
"Haisshhh kau ini... Mika pinjam botol air mu!" Agam meminta Mika meminjamkan botol airnya sayangnya...
"Botol ku masih penuh, coba kau cek di lemari, biasanya juga ada." Mika menunjuk lemari di dekat meja guru, menggunakan bibir mungilnya. Karna kedua tangannya penuh memegang buku cetak.
Nando pun memeriksa apa benar ada botol kosong, "gak ada." Jerit Nando melihat tempat penyimpanan botol air ternyata kosong. "Siapa nih yang makek botol di sini, harap di cuci bersih dan di kembalikan!" Teriak Nando seperti membaca pengumuman saja, itu ia lakukan agar semua temannya mendengar.
Beberapa anak yang meminjam botol, memberi tanda jempol yang berarti oke.
Agam menatap wajah Erma dengan tajam, "pinjam botol mu!"
"Botolku masih penuh." balas Erma dengan bodohnya menunjukkan botol air berwarna hijau miliknya yang kini ia pegang.
Dengan rasa tak peduli, Agam merebut botol itu. Kemudian ia meminum air di dalamnya seperti orang kesetanan hingga sampai setengah, "kau bilang haus, kan?" Agam bertanya pada Nando sambil mengelap air tertumpah di wajah.
"Ya."
Agam memberikan botol Erma saat Nando di dekatnya, "minumlah. Setelah itu kau beli air minum dan isikan sampai penuh." Suruh Agam.
Erma yang tadi diam hanya bisa melotot saat dimana Agam meminum air di dalam botol kesayangannya. Padahal botol itu cukup besar di bandingkan dengan botol Mika. Tapi Agam dengan cepat meminum sampai setengah.
"Kayaknya tu perut sama kayak kantong Doraemon? Aku saja dari pagi sampai sore kadang gak habis. Dia...dia meminumnya dalam waktu beberapa detik saja. Ya tuhan...."
Dalam hati Erma menjerit keras karena tak percaya apa yang dirinya barusan lihat.
"Kenapa kau melihat ku seperti itu?" Tanya Agam melihat Erma yang menatapnya dengan rasa tak percaya.
Seketika wajah Erma langsung tertunduk malu, pipinya kini terasa panas, ia ketahuan menatap Agam dengan lama. Erma segera menyibukkan dirinya dengan segala hal. Semua itu pun, tak luput dari mata Agam.
....
Bersambung...
....