Chereads / SIRUP CINTA SAHABAT. / Chapter 5 - BAB 5. Pilihan...

Chapter 5 - BAB 5. Pilihan...

Di pagi hari...

Erma POV...

Agam masuk dengan wajah datarnya, "kata Bu Suntari, hari ini sampai seterusnya kiita belajar perkelompok. Nama kelompok sudah di pilih oleh Bu Suntari sendiri," ucap Agam begitu keras.

Bagaimana sekarang? apa yang harus aku lakukan? kenapa malah belajar kelompok sih?.

kesalku dari dalam hati, seketika saja suasana kelas yang tadi ribut kini menjadi sunyi. Sudah lama aku tidak merasakan interaksi sosial dengan mereka. 'apa yang harus aku lakukan? bagaimana jika mereka malah menolak ku dalam kelompok? tamatlah riwayat mu, Erma..' batinku yang begitu gelisah.

"Mika..ini nama kelompoknya, catatlah. sebentar lagi Bu sun datang, jadi ku mohon untuk diam." instruksi Agam dengan tegas.

Aku hanya diam saja, sambil menatap ke arah papan tulis di mana, sudah ada seorang anak perempuan berdiri sambil mencatat semua nama kami.

....

Agam POV...

Dari jauh aku melihat wajah seorang anak perempuan yang kini sedang gelisah. Pasti di dalam pikirannya sedang bertanya siapa nama teman yang sekelompok dengannya. pikirku secara logika. Tanpa pikir panjang, aku pu menyiapkan satu buku cetak sejarah, satu buku tulis dan beberapa peralatan menulis.

"gam?" panggil anak laki-laki yang duduk di sebelah ku, anak itu bernama Nando. Tingkahnya sedikit mirip anak perempuan, karena ya.. gitu deh, kalau anak laki-laki gak pernah keluar rumah. Kulitnya lebih putih dari pada kulitku.

"hm.."

"kita sekolompok gak?"

"hm..."

"sekelompok lagi? tapi gak apa-apa sih, di kelompok nomor berapa?" tanyanya.

Dengan malas aku menjawab, "lima."

Setelah semua buku dan yang lain sudah ada di tanganku, langsung saja aku menghampiri meja seorang anak yang sedari tadi aku perhatikan tingkahnya.

"leganya..." gumam Nando.

Tiba-tiba saja anak perempuan itu melihatku, dan tatapan kami bertemu. Ia langsung membuang muka, entah kenapa tiba-tiba saja hatiku merasa kesal terhadap sikapnya. Aku pun kembali menghampiri Nando dan melampiaskan kekesalan ku padanya.

"tunggu apa lagi? ayo! lama banget sih, kayak perempuan." ketusku.

pupil mata Nando membesar, "kamu kenapa sih? gak ada angin gak ada hujan, tiba-tiba aja marah." balas Nando dengan suara yang sedikit besar.

Beberapa murid yang diam, langsung kaget dan menatap ke arah kami.

"kamu gak lihat apa, nama kelompok lima udah di tulis kan," tunjukku ke arah papan tulis. "jadi tunggu apa lagi? kenapa masih tetep di sini aja?"

Nando menghentak-hentakkan semua barang-barangnya, " tadikan belum di tulis sama Mika." balas Nando dengan nyolot.

"udah cepet..."

"kalian ini berantem terus, gak lihat apa Bu Suntari udah deket." Ucap Zeline melerai perdebatan kami.

Semua teman sekelas ku pun sudah bergegas membentuk posisi meja kelompok. "Kamu kan ketuanya gam, kenapa kita yang kesana?" bisik Nando dengan kesal menunjuk ke arah meja anak perempuan yang tadinya ku perhatikan.

Karena Nando bertanya hal yang membuat aku kembali mengingat di mana anak itu membuang muka padaku. Ku tatap wajah Nando dengan ekspresi datar, "ngikut aja. lagian kita itu di kelompok lima, di sini kan udah ada kelompok Zeline, pasti sempit kal duduk."

....

Erma POV...

'kenapa aku harus sekelompok dengan tu orang?' kesalku di hati.

Dengan cuek, aku pun mengalihkan pandangan saat Agam dan temannya datang. Agam meletakkan bukunya di dekat buku-ku. sedangkan Nando mengambil meja di samping kiri dari mejaku, lalu kemudian menyatukan meja itu dengan mejaku. Kedua meja di satukan, membentuk suatu bentuk yaitu persegi empat.

Bukan hanya Nando dan Agam saja yang melakukan hal itu, tapi juga semua orang di dalam kelasku. Suara deritan meja dan kursi memenuhi ruangan. Beberapa anak ada yang tetap diam, ada juga yang membantu teman yang lainnya.

Setelah selesai, mereka berdua mengambil kembali kursi dari meja yang Nando ambil tadi. Pada akhirnya tempatku lah menjadi sarang dari kelompok lima. Mika pun juga sudah selesai mencatat nama-nama kelompok. Ia mengambil perlengkapan belajarnya, dan duduk di kursi tetap di samping ku.

Suara Bu Suntari sudah samar-samar kami dengar, yang pertanda bahwa Bu Suntari langkah sudah dekat dengan kelas ku. Semua murid menjadi diam.

"sikap!" ucap Agam dengan lantang.

semua murid berdiri tegap, menghadap ke arah papan tulis. dari arah pintu sudah berdiri seorang guru paruh baya wanita berdiri dengan tegak seperti kami. Setelah masuk kedalam kelas, ia pun menutup kembali pintu yang sudah terbuka.

"beri salam!"

"assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh..." ucap kami bersama-sama.

"waalaikumussalam warahmatullaahi wabarakaatuh, duduk!" jawabannya dengan tegas sekali.

Aku dan yang lain duduk tanpa ada suara sedikitpun yang keluar dari mulut kami. Guru paruh baya wanita itu pun akhirnya duduk di kursinya. Ia menatap ke arah papan tulis, "ada yang ingin protes, atau ada yang ingin pindah kelompok?" tanyanya sambil menunjuk ke arah nama-nama yang sudah tertulis rapi di papan tulis.

"siap, tidak!" jawab kami serempak.

Guru wanita itu hanya mengangguk saja.

Lingkaran meja kelompok menjadi sunyi,  ada yang memilih untuk diam,  ada pula yang bersembunyi karna sibuk bermain handphone mereka di dalam laci. Rasa malu menjalar merasuki dalam hati saat melihat semua teman menggenggam handphone mahal nan canggih. Tidak denganku, yang hanya handphone biasa bermerek tak terkenal yang bisa ayah belikan untukku. Aku lebih memilih menyimpan handphone ku dari pada memakainya.

Aku berpura pura tak melihat apa yang mereka lakukan saat ini. Bagiku ini sudah makanan sehari hari di sekolah. Diam tanpa seorang teman berbicara. Mungkin hanya beberapa kata saja yang aku keluarkan.

Di depan sudah ada seorang guru wanita paruh baya. Wajahnya yang sangat tegas, kerutan di beberapa bagian mata serta pipi melambangkan bahwa dia seorang guru sejati. Ia membuka buka lembaran buku cetak. Tanpa di suruh lagi, Mika yang duduk di sebelah ku berdiri dan menghampiri guru wanita itu. Tanpa ada suara, Bu Suntari menyerahkan gulungan kertas kecil, dengan sigap Mika (sekertaris kelas) mencatatkan semua di papan tulis.

"Dalam kelompok ini kalian bagi bagi tugas. Satu kelompok 4 orang kan?" Kami mengangguk saat Bu Suntari bertanya. "Ketua kelompok sudah mendapatkan masing masing satu judul. Ibu mau kalian rangkum yang akan kalian jelaskan di depan. Bukan huruf yang ibu mau, tapi gambar yang kalian akan jabarkan. Kalian menjelaskan apa yang terjadi saat itu, dan gambar itulah sebagai objek pembahasan. Mengerti?" tanya dengan ekspresi wajah yang sangat datar.

Semua anak langsung berkeringat dingin, bagaimana tidak setiap melakukan persentasi hanya gambar saja yang di tampilkan untuk sebagai objek. Sedangkan penjelasan nya kita cari sendiri, dan harus di rangkum sesingkat singkatnya. Itu pun kalau Bu Suntari puas,  kalau tidak kami akan di suruh mengulang lagi sampai kapanpun yang Bu Suntari mau. Kejam bukan? Tapi ini lah hidup, kalau senang terus mungkin tak ada kata seru atau menantang bukan?...

"Mengerti Bu..." Sahut kami serempak.

"Besok masih ada pelajaran sejarah, ibu mau besok sudah ada kelompok yang maju. Ibu yang menentukan pilihan kelompok mana yang lebih dulu, jadi kalian persiapan diri." Bu Suntari mempertegas semua dengan nada bicara yang sangat membuat bulu kuduk merinding.

Bu Suntari berdiri lalu, "Erma ikut saya!" Pintanya sambil berjalan keluar.

Semua anak memandang ku, aku sedikit salah tingkah di pandang mereka. Terutama mataku dan Agam saling bertemu. Agam melihatku dengan sangat tajam. Kenapa aku harus masuk kedalam kelompok Agam sih? Tanyaku kesal dalam hati sambil mengikuti Bu Suntari.

Aku berdiri dengan kepala menunduk takut. Bu Suntari adalah guru yang paling di takuti di sekolah bahkan kepala sekolah saja takut padanya. Sikap yang berani membuat ku sedikit kagum pada Bu Suntari. Beliau juga guru yang paling berpikir jadul. Jadul di maksudkan kedalam kata tanpa meminta jasa pada anak murid. Dengan zaman yang terus berkembang dan berubah, guru pun terkadang berubah. Dengan sering tak mau ikut campur apa yang murid lakukan.

Yahh bisa di katakan guru sekarang lebih mementingkan uang di bandingkan kepedulian terhadap pekerjaan yang mereka pilih. Bagiku guru ya guru, orang tua kedua bagi pelajar. Apa yang di lakukan guru adalah pilihan terbaik bagi muridnya.

Suara buangan napas panjang terdengar di telinga ku. "Saya lihat kamu sekarang lebih diam. Apa kamu tak menyukai pelajaran kelompok ini?" Tanya Bu Suntari langsung pada intinya.

Tubuhku langsung tegap, jantung berdebar debat. Gugup ingin menjawab jujur atau tidak. Kakiku terasa kaku dan lemas bersamaan, ada apa denganku? Kenapa aku tak mengatakan saja dengan langsung apa yang aku inginkan dalam hati.

Aku menggeleng menjawab pertanyaan Bu Suntari. Gelengan kepala bukanlah jawaban yang sebenarnya tetapi untuk menghindari kegelisahan yang sekarang ini terasa membuncah.

"Kalau tidak suka bilang saja, tapi ada konsekuensi yang harus kamu tanggung sendiri." Lanjut Bu Suntari memilih duduk di kursi panjang.

Karena kelasku sedikit ujung ada saklar listrik tertempel di dinding, makanya ada kursi panjang yang sengaja di letakkan oleh petugas kebersihan sekolah. Agar bisa menghidupkan lampu dengan mudah.

"Konsekuensi nya apa?"  Tanyaku cepat tanpa berpikir lagi.

"Kamu dapet judul baru, dan menjelaskan semuanya sendirian tanpa berbagi tugas. Kamu mau?" Tanya Bu Suntari dengan santai. Sambil menatapku sangat dalam sekali.

Kenapa Bu Suntari menatapku begitu dalam? Apa penampilan ku ada yang salah?

Tanyaku dalam hati sedikit salah tingkah.

"Ehmm..." gumamku memikirkan pilihan kedepannya.

Semua orang tak ada yang mau berkelompok denganmu Erma. Semua orang membencimu tanpa kejelasan. Bahkan mereka dengan jelas menyindirku membuat hati begitu sakit sekali melihat dan mendengarnya.

Sebuah suara halus terdengar dalam pikiran ku. Aku memainkan jari jari tangan yang mulai mengeluarkan keringat dingin. Apa yang harus aku pilih? Walaupun mereka tak menyukaiku tapi dengan adanya kelompok tugasku sedikit tertolong.

Lebih baik tugas banyak dari pada hati sakit mendengar sindiran pedas mereka. Bukankah itu pilihan yang tepat?

Dengan gugup aku mengangguk pelan, Bu Suntari tersenyum melihat kearahku. Sesekali ia melirik di samping ku.

Apa ke samping?

Apa di belakang ku ada orang? Tapi tak mungkin ada orang. Lah aku kan berdua sama Bu Suntari di koridor. Apa mungkin Bu Suntari bisa melihat hantu?

Seketika bulu berdiri dengan malu malu.

"Datang ke kantor saat jam istirahat nanti!" Kata Bu Suntari lalu masuk kedalam kelas. Aku hanya bisa terdiam sambil mengikuti nya.

Dapat terlihat jelas bahwa semua pasang mata melirik ke arah ku. Terutama Agam, ada apa dengannya. Biasanya juga dia tak mau peduli padaku, kenapa sekarang dia sering melirik ke arah anak dari orang rendahan sepertiku.

Aku duduk dengan tenang, dan Agam masih saja melihat ku. Matanya yang tajam seolah berkata bahwa dia ingin melahapku hingga habis.

....

Bersambung...

....