....
Bel istirahat berbunyi dengan sangat nyaring, semua anak segera bergegas memilih untuk makan di kantin bersama-sama. Kini hanya tinggal 6 orang saja di dalam kelas, yaitu Agam, Nando, Rey, Mika dan Rati dan tak lupa aku orang yang terakhir. Entah kenapa saat ini perasaan ku mulai gugup, dengan cepat aku membereskan buku yang berantakan di atas meja. Saat ingin bergegas keluar dari kelas, seketika saja jalanku di hadang oleh Agam. anggota seluruh tubuh terasa lemas, ingin sekali rasanya aku mencabik-cabik wajah yang dingin itu.
Tapi aku tak bisa, tanganku sekarang ini malah lemas tak berdaya. Secara cepat pandanganku menunduk takut melihat tajamnya mata elang Agam. Ia menyuruh teman temannya segera keluar kelas. Satu persatu dari mulai, Mika, Rati dan di susul oleh Rey serta Nando. Dan sekarang hanya kami berdua. Agam menutup pintu di dekatnya. Ruang kelas ber-AC semakin membuat suasana menjadi dingin tak menentu. Aku meremas kedua telapak tangan untuk menutupi bahwa sekarang ini hatiku menjadi gelisah.
"Bu sun bilang padamu?" Tanya Agam dengan dingin sekali.
"T-tidak bilang apa apa." Jawabku dengan gugup.
"Aku mendengar semuanya, jadi jangan bohong." Kata Agam kemudian menarik lengan kananku dengan kuat.
Ingin sekali aku menangis sekarang ini, mataku mulai berkaca-kaca saat merasakan kesakitan dari tarikan Agam. Dia bilang, dia mendengar semuanya. Kenapa masih nanya sih?
'Tunggu! dia bilang dengar semua bukan? berarti yang di lihat Bu Suntari tadi adalah Agam, yahh berarti di belakang ku tadi ada Agam yang berdiri. Tapi, kenapa Bu Suntari tidak mengatakan apa-apa kalau ada Agam di belakang ku?' batin ku.
Dengan kesal, akhirnya aku memberanikan diri untuk menatap wajah Agam. Terlihat dengan jelas wajah Agam hanya berjarak beberapa centi saja dari wajahku. Kedua bola matanya membesar seolah ingin keluar. Beberapa kali ia mengedutan kedua alis dan tubuh bagian dada yang mencondong ke depan. Posisi kami sekarang tidaklah lazim lagi.
"Ka-kau mendengarnya, kenapa masih bertanya? ...Aku harus ke kantor sekarang." Ucapku gugup sambil berusaha melepaskan genggaman tangan Agam.
Sebisa dan sekuat apapun diriku, masih saja sama. Tenaga Agam sangat kuat. Ia tak mau melepaskan genggaman tangannya, dan sekarang malah lebih dekat dan tatapan lebih tajam. Apa yang harus aku lakukan.
"Kau pikir bisa begitu saja keluar dari kelompok." Sinis Agam. "Kau ingin kekantor bukan?" Tanya Agam semakin dekat dengan wajahku.
"Y-ya." Jawabku menjauh dari wajahnya, tapi semakin menjauh Agam malah semakin dekat sekali.
"Kau bilang sama Bu Suntari, bahwa kau berubah pikiran. Jika Bu Suntari bertanya kenapa. Jawab saja kau tak mau mendapatkan tugas banyak."
"Lebih baik tugasku banyak dari pa-"
"Kalau membantah ucapanku, ku buat semua orang di kelas ini semakin membenci mu. Kau mau?" Ancam Agam.
Kenapa dia bersikap seperti ini padaku, dasar laki laki biadab. Ingin sekali aku mengucapkan kalimat itu di depan wajahnya.
"Kau dengar tidak?" Tanya Agam yang sudah menghapus jarak antara kami. Aku dapat mendengar jelas suara hembusan napasnya. Bahkan aroma parfum Agam pun dapat tercium di hidungku.
"Ya... aku akan mengatakan itu pada Bu Suntari. Lepaskan!, sebentar lagi bel masuk." Pintaku memohon padanya.
"Aku akan melepaskan mu." Agam melepaskan cengkraman tangannya.
lengan dan punggung tanganku pasti sekarang merah sekali, aku langsung menyembunyikan cap merah yang di punggung tanganku menggunakan lengan baju yang panjang. Dengan cepat aku pun bergegas keluar dari kelas. Ketika pintu ku buka, teman-temannya masih berdiri di luar kelas, mereka menatapku dengan wajah yang datar. Sekarang ini aku sudah tak peduli pada mereka, aku kembali berjalan cepat menyusuri koridor. Sepanjang koridor sekolah aku hanya bisa berjalan cepat sambil menunduk takut. Banyaknya jumlah murid yang berlalu lalang membuat air mata tetap menetes keluar. Padahal sudah sebisa mungkin aku menahannya.
Aku sudah tak sanggup lagi.
Kau harus bisa menahan semua ini Erma. Tinggal beberapa bulan lagi saja, kau akan tamat sekolah dan kebebasan langsung menyambut mu.
Terus ku lontarkan kalimat kalimat itu dalam hati, sebisa mungkin aku bertahan tetap saja aku lemah tak berdaya. Tuhan tolong aku...
Pintu ruang guru sudah terlihat, aku pun melangkah masuk dengan cepat tanpa aku sadar ada seseorang mengikuti ku. Setelah masuk kedalam, ku cari ke sepenjuruh ruangan itu. Saat mataku bertemu dengan wajah Bu Suntari, aku hanya bisa menghampirinya dengan wajah yang penuh tekanan.
Aku mengatakan semuanya pada Bu Suntari, ia melihatkj sekilas lalu mengangguk. Saat aku berbalik badan, bugh...
Wajah dingin Agam terlihat jelas saat ini. Bagaimana bisa?
Apa Agam mengikuti ku?
Kenapa aku tak sadar?
Akhh dasar bodoh kau Erma. Ternyata Agam tak melepaskan ku begitu saja. Hidupmu sudah di ambang hancur, tinggal satu jentikan jari saja dapat di pastikan aku tumbang seketika.
"Kau tak punya mata?" Tanya Agam.
Aku hanya diam saja tak tau menjawab apa.
"Ada apa Agam? Apa kau ingin bertanya?" Ujar Bu Suntari sedikit heran menoleh ke arah kami berdua.
Agam menggeleng, "sebenarnya aku mau memanggil Erma Bu, kalau begitu kami permisi." Agam menarik tanganku dengan kencang. Bu Suntari hanya mengangguk saja.
Sebisa mungkin aku memasang wajah tersenyum, sedangkan Agam memasang wajah yang dinginnya itu.
Setelah keluar dari ruang guru, aku langsung saja mengentakkan tangan Agam lalu berjalan menjauh darinya.
....
Bersambung...
....