Ermawaty POV..
Aku menghela napas lega, setelah mengumpulkan buku pr di meja guru. Dalam beberapa menit buku latihan pun di kembalikan lagi pada pemiliknya masing-masing. Seketika aku langsung membuka untuk memeriksa berapa nilai yang aku dapat dari hasil kerja keras tanpa mencontek pr Zeline.
Delapan puluh lima terpampang jelas dengan tinta berwarna merah menimpa tulisanku. Mengelus dada dengan perasaan senang. Aku melirik Zeline sekilas, ia hanya diam saja tanpa memeriksa nilai di buku latihannya itu.
"Kamu kenapa, gak biasanya diem kayak gini?" Heranku melihat tingkah Zeline yang hanya diam.
Aku melihat Zeline hanya menggedik bahu saja. Lalu Zeline pun pergi memilih duduk di belakang yang saat ini sedang heboh.
Kenapa dengan Zeline?
Keheranan terus menghantui hingga aku tak sadar bahwa bel sudah berbunyi. Bu Melly yang tadi mengajar pun sudah beranjak pergi dari kelas. Aku langsung membereskan barang-barang yang masih berserakan di atas meja. Memasukan dengan hati hati kedalam tas, agar buku tak ada yang terlipat.
Bayangan seseorang menutupi sinar dari jendela kaca. Aku melihat Zeline merapikan buku bukunya, tanpa berkata apapun Zeline langsung pergi dengan tas yang sudah tergendong di punggungnya.
Aku bertanya pada teman perempuan yang biasanya duduk di belakang ku.
"Kenapa dengan Zeline?" Tanyaku saat dia lewat.
"Aku tak tahu, bukannya kamu teman sebangku Zeline. Seharusnya kamu yang lebih tahu Zeline kenapa." Jawab anak itu dengan wajah penuh sinis. Lalu pergi begitu saja.
Aku terdiam, ada benarnya juga apa yang dia katakan. Seharusnya aku yang lebih tahu, bukan mereka. Ya kalau di pikir pikir sikap Zeline selalu berubah, tapi yang kali ini jauh lebih dingin dari hari biasanya. Aku pun memilih bergegas, menggendong tas punggung ku. Seketika beban dalam tas terasa berat sekali.
Beberapa anak ada yang langsung melaksanakan tugas piketnya. Beberapa juga ada yang langsung pergi tanpa membawa tas mereka. Dan itu hanya anak laki laki saja. Karena hari ini adalah hari Jum'at, banyak anak laki-laki yang muslim memilih bersiap untuk menjalankan sholat Jum'at. Sedangkan yang perempuan langsung pulang. Itu adalah kegiatan terus menerus kami lakukan setiap hari.
Saat berada di depan gerbang, aku melihat Zeline berdiri diam. Mungkin dia menunggu seseorang, pikirku. Aku pun terus berjalan ke arah jalan besar agar bisa naik angkutan umum. Belum sampai di jalan besar, aku melihat Zeline berboncengan dengan Agam teman sekelas ku.
Rasa kecewa langsung menghambat dalam hati, aku tahu aku bukan siapa siapa bagi mereka. Agam merupakan anak laki laki yang sangat terkenal di sekolah, di kelas juga sama. Agam di kenal anak yang romantis pada siapapun, tapi tidak denganku. Agam selalu bersikap dingin seolah menganggapku tak pernah ada.
Agam dan Zeline anak orang kaya, bahkan orang tua mereka sering menyumbang setiap ada acara di sekolah. Sedangkan aku hanya anak orang biasa, ibuku seorang penjual makanan seperti gorengan yang biasanya di konsumsi saat sarapan pagi. Dan ayahku, seorang buru bangunan yang memiliki penyakit bawa'an dari lahir.
Aku tak pernah kecewa saat di lahirkan dari rahim wanita sederhana. Aku malah merasa bangga, dengan begitu aku bisa giat belajar membangun cita-cita setinggi langit. Agar bisa membanggakan kedua orang tua ku.
Senyumku pudar di gantikan rasa kecewa, di tambah lagi motor yang Agam Kendarai masuk kedalam lubang yang berisi gebang air kotor. Aku tak bisa menghindar lagi di saat cipratan air berhasil mengenai seragam sekolah ku.
Bukannya berhenti, Agam terus berjalan tanpa meminta maaf padaku. Aku pun melihat Zeline hanya diam saja, sama seperti Agam.
Akh mungkin mereka terburu buru sekarang ini.
Pikiran positif selalu aku yakinin dalam hati. Tapi semua itu salah, aku melihat dari kaca spion motor Agam, mereka berdua tertawa lepas dari kejauhan. Satu tetes air mata jatuh begitu saja, bahu ku bergetar pelan. Sebisa mungkin aku menahan air mata agar tak jatuh begitu deras. Kesakitan hati tercetak jelas dalam jiwa saat ini.
Apa mereka sengaja? Atau malah...
....
Esoknya...
Saat aku masuk kedalam kelas, aku tak melihat tas Zeline di kursinya. Padahal aku melihat Zeline sudah datang tadi di bawah ia bicara pada temannya. Aku duduk dengan tenang, bel berbunyi kencang pertanda waktu masuk telah tiba. Aku membuka al'quran kecilku, bersiap siap untuk membaca tilawah pagi ini.
Baru beberapa halaman aku membuka, suara Zeline tertawa mendekat ke arahku. Aku kira Zeline membawa tasnya tapi ternyata tidak. Zeline terus berjalan melewati kursi tempat dudukku. Aku melihat Zeline duduk di kursi barisan ke 4 yang di mana kursi itu dekat dengan Agam. Di kursi itu juga sudah ada tas Zeline.
Sekarang aku paham, kenapa tasnya tak ada.
Aku berdiri, lalu berjalan menghampiri Zeline. "Kamu duduk di sini?" Tanyaku baik baik.
Zeline tak menjawab, dia hanya diam.
"Ya, Zeline akan duduk disini. Lebih baik kau kembali duduk. Kita akan mengaji, kami tak mau kena denda hanya karna dirimu." Sinis Agam.
Kata kata itu begitu menohok di hati, langsung menusuk begitu dalam. Apa salahku, kenapa dia begitu sinis?
Tanya ku dalam hati sambil menatap Agam yang malah pokus pada kegiatan nya mengeluarkan Al-Qur'an bersampul hijau dengan motif yang khas.
"Erma duduklah." Suruh ketua kelas dengan pelan.
Karena aku tak ingin menerima kata kata pedas dari mereka, akhirnya aku pun duduk sendirian. Sesekali air mata jatuh, dan langsung aku aku hapus agar mereka tak mengetahuinya. Aku menutup separuh wajahku dengan bagian jilbab.
Suara mengaji menjadi penghapus Isak tangis yang lirih ini. Di dalam hati, aku terus bertanya dan berdoa pada Tuhan. Sebenarnya apa salahku, kenapa sikap mereka tiba tiba berubah drastis. Tanpa angin tanpa hujan, hubungan pertemanan putus seketika.
Alasan yang jelas belum aku dengar dari mulut mulut mereka. Aku kira ini akan berakhir, sayangnya kesakitan hati terus berlanjut sampai aku naik kelas tiga SMA.
....
3 tahun berlalu...
Aku menyusuri koridor sekolah yang sangat ramai siswa dan siswi ingin pulang. Dengan pelan tapi pasti akhirnya aku sampai di anak tangga terakhir. Diriku tak sadar bahwa di belakang ku saat ini ada Zeline, ia tersenyum sinis. Dan...
hap...aku langsung memegang pegangan pada anak tangga. "siapa sih yang nginjek rok aku?" batinku kesal menatap ke arah belakang.
"heii apa yang kau lakukan? cepatlah! kami ingin pulang ke rumah dengan cepat, bukan malah menunggu mu duduk di sana." Bentak anak murid laki-laki bernama Rey, ia menatapku dengan mata yang marah dari atas tangga. Kedua bola mataku seketika panas, dan akhirnya aku kembali menetes air mata.
"cepatlah.." Teriak Zeline membuang muka.
Aku hanya bisa diam, sambil berusaha berdiri. Ku rasakan kaki kananku mengeluarkan rasa sakit. sekarang aku malah berjalan sedikit pincang menepi, memberi jalan pada semua orang. Helaan napas panjang ku keluarkan. semua musuh-musuhku hanya diam tanpa mau peduli atas kesalahan orang lain. Tak ada satu siswa yang membantu ku.
"akhhh..." desisku kesakitan saat ingin berusaha kembali untuk berjalan.
Dengan sedikit memaksa, akhirnya aku berjalan pelan sambil menahan sakit di pergelangan kaki. Tetesan-demi tetesan air mata, berjatuhan. Setelah berhasil sampai gerbang, ku lihat rombongan Agam, Zeline, Mika, dan semua murid di kelasku berkumpul di dekat warung luar sekolah. Mereka tertawa-tawa lepas, entah apa yang mereka tertawa kan.
Kaki yang berjalan pincang, terus melewati gerombolan geng itu. Halte bus yang biasa aku singgahi pun sudah terlihat. Aku langsung saja memacu langkah agar bisa cepat sampai di rumah dengan tenang.
30 menit kemudian...
Sekarang aku sudah sampai di dalam rumah, suasana sepi langsung menyambutku. "Untung saja ibu gak ada!" Gumamku penuh kelegaan.
Tanpa pikir panjang, ku ganti semua seragam sekolah dengan pakaian tidur. Hanya tidur yang bisa membuat ku bisa tenang.
Bayangkan saja, dalam tiga tahun kami terus sekelas tanpa ada perubahan penempatan murid. Permusuhan sudah tergumpal seperti kristal darah yang beku. Tanpa bisa di kembalikan lagi menjadi cair.
Dalam tiga tahun juga aku duduk sendiri, tanpa teman yang mau mengajak bicara. Bagaimana jika di tugaskan kelompok?
Jawabannya adalah, sekarang hati, perasaan, dan semua memilih untuk menyendiri. Membuat ku sekarang menjadi sadar, bahwa semua orang di dalam kelas ini adalah patung. Sakitnya hati yang terpendam ternyata membawaku pada satu fakta yang mengejutkan, yaitu setiap aku tertidur, tanpa aku sadari aku bisa melakukan Lucid Dream. Dari Lucid Dream jugalah aku bisa merasakan bagaimana rasanya persahabatan, pacaran, menikah, bahkan aku bisa menjadi orang yang terkenal. Walaupun hanya dalam mimpi, rasanya itu sangat nyata bagiku.
Berhari-hari aku menunjukan sikap yang sangat malas ketika ada waktu libur sekolah. Biasanya saat hujan mengguyur bumi, aku selalu saja menyempatkan diri untuk merasakan nikmatnya rasa sejuknya air hujan. Tapi kini semua tertindas, ketika hujan aku selalu tertidur dan kembali belajar Lucid Dream, udara yang sejuk membuat alam sadar ku semakin terhanyut, dan tanpa aku sadari waktu tidurku sudah melebihi batas normal.
....
Bersambung...
....
jangan lupa kasih vote yah, biar tambah semangat author nulisnya.
kalau mau kasih masukan author terima kok, tapi dengan kata yang sopan yah. Selagi kalian ngehargai author, kalian juga pasti author hargai. sampai jumpa di episode selanjutnya...
Semoga hari-hari kalian selalu bahagia...
bye...