Langit yang cerah tak selaras dengan perasaan dua gadis bermarga sama. Gadis berambut lurus coklat masih dengan posisi awal, menatap tajam bak belati. Sedang gadis lainnya berusaha menelan makanannya.
"maaf aku—"
"berhenti mencari alasan, aku tak ingin mendengar nya" Michelle langsung memotong kalimat yang hendak Casey lontarkan. Gadis itu selangkah menjauh, terlihat jelas jika Michelle tampak tak terlalu menyukai Casey. Ditambah kejadian tempo hari.
"apa yang harus aku lakukan agar kau mau menerima ku ?"
"tak ada, percuma saja kita tak berada pada level yang sama" Michelle menjawab tanpa menatap wajah Casey. Entah karena pemandangan langit lebih menarik atau emosinya akan bercampur aduk saat menatap gadis di sebelahnya.
"apa kau baik-baik saja ?" harusnya ini yang di tanyakan Casey, tapi kenapa Michelle mencuri pertanyaan ini darinya "kenapa Tuan Putri seperti mu kabur dari rumah?" Michelle tak terlalu dekat, namun ia juga tak bisa menutup mata atas tindakan tak biasa dari gadis konglomerat yang terus mengekori eugene dan dirinya.
"Aku ingin jalan jalan saja~" jelas sekali Casey hanya mencari alasan. Bahkan dari caranya menyelipkan rambut pada daun telinga, caranya mengelus bibir bawahnya. Gadis ini tak bisa berbohong.
"kau tak pandai berbohong, akui saja jika kau pengecut yang sedang mencoba melarikan diri"
Casey tersentak. Mungkin bagi orang lain yang mendengarnya terasa sangat kasar. Namun ada rasa nyaman saat perkataan itu keluar dari bibir Michelle. Seseorang yang mungkin terasa sangat jauh darinya bahkan lebih memahami apa yang ia rasakan tanpa harus Casey bicara.
.
.
.
Earphone di telinganya memutar suara dari video yang tengah ia tonton. Seperti kebiasaan buruk remaja di masa kini selalu fokus pada ponselnya bahkan saat makan. Eugene terlalu asik menonton film berjudul 'The Fault is Not Your's' dari idolanya—Minju Kim.
Hingga tangan tak beradab menggebrak mejanya. Eugene sontak mendongak dan menemukan pemuda jelek —dalam kamus eugene karena hanya dirinya lah yang tampan— Wajah mengesalkan itu terus menatapi eugene dari kepala hingga bawah.
"ckckck.. gadis jalang seperti mu mau merusak rencana ku ?"
Gadis berambut sebahu itu melepas earphone nya ke saku baju seragam. kedatangan pria ini membuatnya tak lagi nafsu makan. Ia berdiri menatap lurus tanpa ada ketakutan.
"ckck.. harusnya kau malu pada tinggi badanmu yah bahkan tak sampai telingaku" tangannya mengukur seberapa jarak tinggi pemuda itu dengan tubuhnya.
Rahang Jeffrey mengeras. Ia tengah di permalukan oleh seorang gadis di tengah kantin yang padat. matanya melirik ke seluruh ruangan dan benar saja semua pasang mata menatap ke arahnya. "sial kau—"
Seeet—
Seseorang lebih dulu menahan tangan Jeffrey sebelum pemuda itu meraih kerah eugene. "Lihatlah betapa menyedihkannya dirimu yang melawan perempuan" ujar Aiden yang datang bak pahlawan kesiangan.
Tak ingin lebih di permalukan, Jeffrey memilih mundur setelah memberikan 'death glare' guna mengancam keduanya. Aiden tersenyum lebar pada gadis yang menurutnya telah ia selamatkan.
Padahal jika boleh jujur, bertemu dengan Aiden tak kalah sial. Eugene bahkan sudah bergidik saat kata pertama keluar dari mulut pemuda sok tampan itu—sekali lagi ini menurut eugene.
"lagi lagi kau yah.." bagai mendengar suara malaikat yang hendak membantunya. Eugene sudah sangat berbinar di tambah Michelle tak datang sendiri, gadis ikal ikut bersamanya. "cepat singkirkan wajah memuakkan mu"
Eugene menahan tawanya saat melihat bagaimana wajah ketakutan aiden perlahan berjalan menjauh. Tak salah juga sebenarnya, jika ia ada di posisi pemuda Lee itu sudah pasti dirinya akan kabur dari pada menghadapi Michelle. Gadis itu mengingatkannya pada ibunya saat sedang marah.
Gadis dengan perangai paling datar menyilangkan tangan didepan dada. firasat eugene menjadi buruk, apakah kali ini gilirannya ?
"Casey~ gelitiki dia"
Entah apa yang mereka perbincangkan saat berada di atap sekolah. Tapi melihat bagaimana keduanya menjadi lebih dekat, sepertinya cara eugene sedikit berhasil.
"HAHAHAHAHAHA ASTAGAAA AKU BISA TERKENCING INI !!"
Tetap saja, Michelle belum puas bahkan jika eugene berlutut sekalipun. Gadis itu sungguh menyeramkan, di tambah Casey yang berada di pihaknya. Eugene benar-benar akan pipis jika mereka tak berhenti.
.
.
.
.
Kaki kurus berjalan mengendap masuk ke dalam ruangan apartemen kecil. Kegelapan langsung menelannya begitu ia masuk ke dalam. Tak ada niat sedikitpun menyalakan saklar walau ia jelas tahu dimana letaknya hanya dengan mengingat. Setidaknya dalam kegelapan kehadirannya tak mencolok.
Michelle berjinjit setengah berlari dan sukses masuk ke dalam kamarnya. Ia rasa tak ada pergerakan lain yang berarti hanya ia sendiri di dalam rumah. Segera gadis itu mengunci dan menggembok dengan rantai agar pintu kayu itu tak terdobrak.
Mengganti bajunya dengan baju biasa yang hanya ada beberapa pasang. Kamar dengan jendela minimalis yang tak dapat di buka menjadi tempat ia tidur, walau tempat ternyaman jatuh pada lemari.
Hawa pengap ini sudah biasa ia rasakan. Paru-parunya seakan kuat terus-menerus menghirup debu tanpa ventilasi yang memadai.
Tubuhnya telentang pada karpet tipis dan tas yang ia gunakan sebagai bantal. Tubuhnya cukup lelah, bisa di bilang pikirannya menguras terlalu banyak energi dari tubuhnya.
Menghadap ke samping tepat dimana dinding kamarnya menunjukkan goresan-goresan teratur. Bisa di bilang sebagai alat ia menghitung sudah berapa lama berada di penjara ini.
"apa yang sedang eugene lakukan yah?" gumaman tipis kala dirinya tak sengaja memikirkan gadis tinggi dengan sifat luar biasa nyentrik.
Sejujurnya, ia sangat iri. Menjulurkan tangannya tepat di wajah. Michelle mengelus goresan di telapak tangannya. bekal luka itu telah mengering, namun lubang besar di hatinya belum juga pulih.
Seperti malam-malam dingin yang biasa ia lalui sendiri, Michelle hanya berharap ia akan mendapat kebahagiaan lainnya. Entah di kehidupan sekarang, atau kehidupan yang akan datang.
Kesadarannya kian menghilang seiring energi tubuhnya yang terkuras. Di atas ruang sempit yang gelap, gadis itu terlelap tak bersuara.
.
.
"tak ada kerjaan lain atau ini memang yang kau kerjakan?" suara lembut datang dari arah belakang. Ana tak perlu membalikkan wajah hanya untuk melihat siapa gerangan yang mengganggu waktu sibuknya—memberi makan ikan adalah hal yang menguras waktu bagi Ana.
"lalu kau apa ? hanya bisa meledek" cemooh Ana tak terima jika seseorang mengritik nya. Ini memang sifat dasarnya, siapapun tahu bahwa gadis mungil itu tak suka di protes apa lagi di bandingkan.
Gabriel terkekeh karena baginya Ana sangat menggemaskan saat sedang kesal. "Kau mau aku yang turun tangan mengurusi masalah mu ? sedangkan kau hanya bermain dengan ikan saja ?"
"Aku tak bisa berharap pada makhluk tak berperasaan seperti mu" cerca Ana. Tentu saja Gabriel tak sakit hati, ia tak pernah merasa marah dan sedih. Malaikat tak punya perasaan, dan itu yang membedakannya dari Ana.
"setidaknya aku tak akan melakukan sesuatu berlandaskan dendam masa lalu"
Ana berhenti memberi makan ikan, gadis itu termenung menatapi gelembung yang muncul ke permukaan. kejadian terdahulu yang ia sebabkan dari rasa kesal dan iseng semata kini malah meluber lebih rumit.
Dari dadu yang ia lempar untuk pertama kalinya memperoleh kemenangan. Ana mungkin terlalu bersemangat untuk mewujudkan keinginannya, namun ia lupa bahwa yang ia lalukan serta merta merubah takdir seseorang menjauhi apa yang kuasa tuliskan.