Sepasang mata menatap tajam pada layar proyektor yang tengah menampilkan diagram dan persentase keberhasilan suatu proyek.
"ehem.."
berdehem sekali dan seluruh manusia yang mengikuti rapat disana terdiam membeku. Beberapa bahkan sudah berkeringat, seperti tak terpengaruh oleh Air Conditioner yang berjejer di seluruh ruangan. Pengaruh pria di ujung meja sangat amat penting.
Dalam satu kalimat saja ia bisa mengeluarkan seseorang dalam rapat, ataupun perusahaan. Miller Kim— Pemegang saham utama Kim's Corp—yang berarti dialah pemilik sah perusahaan yang memiliki cabang di seluruh Korea dan Jepang.
Menjadi ahli waris satu satunya—karena ia anak tunggal tentu saja— menjadikannya sangat berkuasa dan di segani. Bahkan orang-orang rela menjilati kakinya hanya untuk sebuah suntikan dana yang tak seberapa.
"Apa hanya ini yang kalian bisa ?" suaranya tak meninggi hanya datar nyaris tak ada emosi didalamnya. walau begitu seluruh orang di ruangan bersumpah merasakan hawa membunuh yang sangat kuat. Karir mereka, pekerjaan mereka, hidup mereka bisa saja berakhir sebentar lagi.
"kalian bertaruh untuk semua reputasi karir dan pekerjaan kalian untuk ini, dan hasilnya ?" Miller tak pernah main main pada ucapannya. Ini peringatan keras dan mereka semua sadar, hidup mereka ada di ujung tanduk.
"beri aku berkasnya tuan Jo" seseorang dengan rambut ikal coklat sigap memberikan sebuah iPad berisi file yang menjadi bahan rapat mereka.
"untuk Tim A silakan jual 80% aset kita sekarang"
"tapi tuan.. itu berarti kita akan bangkrut"
"ikuti perintah saya"
Nadanya terdengar dingin. Yang artinya mereka harus melakukan perintahnya tanpa ada protes "Ba—baik pak.."
"Tim B , amati pergerakan saham kita"
"Semakin menurun pak.. " terdengar nada kecemasan dari perwakilan tim B. Pria muda yang tengah menatap jalannya diagram penjualan tampak sangat syok memikirkan mungkin saja sang bos telah kalap menjual seluruh aset dan berakhir dirinya terkena PHK.
"para pemegang saham silakan lihat layar kalian.." sangat tenang, Lelaki di ujung meja memimpin bagian akhir dari rapat mereka mengikuti instruksinya.
"Tunggu sebentar.. "
Keringat dingin sukses membasahi kemeja dan setelan jas formal seluruh orang disana, kecuali Miller tentunya. Lelaki itu masih setia dengan wajah stoick nya tanpa memikirkan bagaimana perasaan campur aduk dari karyawan dan pemegang saham disana.
"Sekarang Beli lah !"
Detik itu juga para pemegang saham membeli lagi saham yang barusan terjual. Bertepatan dengan itu garis hijau melintang mengikuti arus penjualan saham. Seluruh orang disana menangis bahagia, mereka tak jadi di PHK. Mereka berhasil berkat otak jenius Miller dan juga keputusan nekatnya.
Miller memang gila.
Wajah rupawan yang di elu-elukan oleh para wanita dan otaknya yang sangat jenius mengelola banyak perusahaan dan anak perusahaan. Bayangkan betapa sempurnanya lelaki itu. Tapi tentu saja Tuhan tak akan pernah menciptakan makhluk yang menyamai dirinya.
Miller tak pernah bisa jatuh cinta dalam waktu yang lama. Ia cacat. Jelas saja setiap orang tampan memiliki alasan mereka melajang dalam waktu yang lama.
"jangan bilang kau gay" ejek Marcus Jo, sahabat yang merangkap sekretaris perusahaan.
Seseorang tolong ingatkan Tuan Jo untuk melompat dari lantai 20 sekarang. Berbicara informal dengan atasan adalah hal sakral, apalagi jika atasannya adalah Miller Kim. Seseorang yang bisa membuatmu jatuh miskin dalam sekejap.
"Berhentilah bergosip, itu tak sehat.." Miller kim sangat jenius sampai ia bisa menghubungkan hal medis dengan pendekatan sosial.
"Kau akan jadi buncit seperti pria pada serial telenovela yang sering kau tonton" lihat betapa pedulinya seorang Miller. Ia bahkan tahu serial tv kesukaan sekretaris nya ini. Dia adalah teman ideal jika nada bicaranya tak pernah datar.
"ayo ikut"
"kemana ?"
"makan siang tentu saja, perutku sudah sangat kosong bahkan sebelum rapat di mulai"
Miller menghela nafas. Rasanya ia harus menghentikan sejenak kebiasaan temannya menonton serial telenovela yang berlebihan. "Baik tapi tempatnya biar aku yang memilih—"
"tidak bisa !" Marcus tegas melarang. Ia tahu pilihan makan Miller sudah pasti hanya berputar pada restoran Prancis atau italia. Sekali-kali pria itu harus ia cekoki dengan makanan simple yang sangat lezat.
.
.
.
"Aku pulang—"
"Eiittss ! tidak bisa" Marcus menahan tubuh Miller yang hendak bangun. Dengan tegas memaksa Miller untuk tetap berdiam di kursinya.
Pemuda itu langsung memasang wajah muram ketika tahu tempat mereka makan hanyalah kios ayam goreng biasa. Tak memiliki bintang atau table manner. Tak tinggal diam, Marcus langsung memanggil pelayan untuk memesan.
"Ada yang bisa di bantu ?"
Suara manis begitu saja menyapa indera pendengarannya. Miller sontak menoleh pada pelayan yang baru saja datang. Dia gadis manis berwajah oriental yang mampu membuatnya terpana. Pandangannya tertawan pada senyum simpul di bibir pulm tipis itu. Dan aroma vanilla menguar saat gadis itu berjalan. Terpatri di seragam gadis itu semua nama, Sally Chou. Bahkan namanya terdengar sangat manis.
Semuanya indah. Segala hal tentang gadis itu indah. Bahkan caranya mencatat pesanan. Miller telah kehilangan kewarasannya, sampai ia tak sadar mengangguk ketika di tanyai rasa ekstra pedas untuk ayam nya.
Dan berakhir ia harus bolak-balik kamar mandi setelahnya.
.
.
.
.
Dua sosok berbeda warna pakaian tengah asik bermain lempar dadu.Yang di dunia manusia di kenal dengan Hazard / craps. Permainan yang populer pada abad 19.
Gadis mungil mengerutkan keningnya. Ia tak mengeluh, tak menghela nafas, tak ingin pemuda di depannya malah mengolok dirinya yang tengah dilema.
Aturan permainan yang cukup mudah sebenarnya. Ia harus menebak dua angka dadu yang akan keluar pilihan angkanya antara lima sampai sembilan. Dan jika dadu yang keluar tak lebih dari sembilan artinya ia menang. Namun jika lebih, ia kalah.
Ia sudah kalah. Ana tahu tak akan pernah menang melawan pemuda berpakaian putih yang selalu menunjukan cengiran bodoh di hadapannya. "berhenti tersenyum seperti itu, kau membuatku kalah"
Gabriel tak menggubris protes Ana dan tetap melayangkan cengiran bodoh—menurut Ana. Menarik nafas dalam-dalam, gadis itu mengangguk yakin sebelum mengutarakan tebakannya "3 dan 6"
Dua buah dadu bergulir sesaat setelah di kocok. Ana was was menanti angka mana yang keluar. Ini kesempatan akhirnya, ia selalu kalah bahkan pada giliran terakhirnya. "Kali ini... saja" gumam gadis itu.
"3 dan 6" ujar Gabriel santai. sedangkan Gadis mungil itu sudah melakukan selebrasi kemenangannya yang pertama kali. "kau bebas melakukan yang kau inginkan.."
"YOSSHHAA !!"
"tapi—"
Terlambat. Ana sudah lebih dulu menghilang dari tempatnya. Gabriel tak habis pikir kelakuan gadis itu masih kekanak-kanakan saja. Yah.. setidaknya untuk pertama kali dan terakhir kali membiarkan gadis malang itu melakukan apa yang ia inginkan.
Mungkin Gabriel lupa. Gadis yang ia kasihani tak lain adalah Iblis dengan segala emosi berbeda dengan dirinya yang hanya makhluk penurut.