Langit di luar masih sedikit remang. Mentari bahkan belum tampak namun gadis jangkung itu terlihat sangat sibuk berkutat di dapur. Pemandangan yang sangat asing karena Eugene bukan anak rajin yang selalu membantu. apalagi jika berhubungan dengan dapur. Terakhir kali memasak ia hampir saja membakar dapur dan mungkin seisi rumah.
Tangannya dengan terampil mengisi beberapa sayuran dan daging ke dalam hamparan nasi putih hangat. Tak lupa juga memberi alas sebuah rumput laut kering. menggulungnya dengan perlahan berdoa semoga bentuk yang ia hasilkan rapi.
"yoshha~" berseru gembira ketika berhasil membuat sebuah kimbab rumahan. Debut memasaknya walau tanpa bantuan kompor. Eugene sedikit trauma sebenarnya.
.
.
.
"Eugene ?" Sedikit bertanya-tanya kenapa gadis itu bisa ada di bus ini. Arah dari rumahnya jelas berlawanan. "kenapa kau bisa naik ke sini ?" Tanya Michelle setelah mendudukan diri di samping gadis tinggi itu.
Eugene tak langsung menjawab. Dirinya memilih memberikan kotak bekal pada Michelle.
"apa ini ?"
"buka saja" Dengan cengiran yang masih terpatri, Eugene menutupi debaran kegugupan dalam hatinya.
"kau tak memotongnya ?" Benar saja. Nasi gulung itu masih dengan lonjoran panjang tanpa di potong menjadi beberapa bagian. "kau ingin aku menelan bulat-bulat ?"
"Ayo cobalah" Eugene mempersilakan Michelle melahap masakannya. Awalnya gadis itu tak ingin memakan, Eugene adalah pembuatnya yang berarti tak ada jaminan kimbab ini bisa di makan. Namun karena ini juga buatan Eugene, ia tak enak hati menolak.
"bagaimana ?" Gadis tinggi itu harap-harap cemas. Ia sudah mengorbankan waktu tidurnya dan bangun lebih pagi untuk membuat sebuah kimbab. Ada beberapa percobaan lainnya yang tak layak untuk di berikan pada Michelle. Eugene sendiri yakin bahkan anjing tetangga tak akan mau makan satu gigitan percobaan pertamanya yang gagal.
Eugene, anjing mana yang makan kimbab.
"kau membelinya ?"
"apakah enak ?" Eugene tak bisa menyembunyikan binar bahagia dimata bulatnya. Bola mata hitam itu bahkan lebih cerah dari mentari pagi.
"Setidaknya ini dapat di makan" melahap kembali dengan gigitan besar. Entah karena Michelle belum sarapan atau kimbab buatan Eugene terasa lezat. "berhentilah tersenyum seperti orang bodoh"
Beruntung masih ada beberapa menit sebelum gerbang di tutup. Kedua gadis itu berjalan beriringan dengan Eugene yang terus mengoceh tentang betapa indahnya pagi ini dan Michelle yang menahan umpatannya.
"Langit berseri juga burung yang berkicau lembut—"
"diam atau bibirmu ku jahit" Michelle tak tahan lagi dengan ocehan konyol Eugene tentang langit.
"Bukankah setiap gadis suka dengan puisi ?"
"yang benar saja, siapa yang mendengarkan puisi tak beralasan di depan umum seperti ini"
Eugene menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia merasa tertipu ucapan Ana semalam. 'Jika ingin mendekati gadis, kau harus menjadi pujangga'. Memang tak pernah ada yang benar saran dari gadis itu.
.
.
.
"Berhenti di sini Mr. Andrew"
"Tapi nona, sekolah masih cukup jauh" Pria besar itu di buat kebingungan. Nona muda nya meminta di turunkan padahal belum sampai tujuan. Ini kejadian yang sangat langka namun sepertinya ia tahu alasan gadis ikal itu memintanya berhenti.
"Eugene ! Michelle !"
"Nona muda jangan berlarian~" Mr. Andrew menatap gadis remaja itu, sedikit berkaca-kaca. Ia melihat bagaimana gadis itu kecil dan sekarang telah tumbuh menjadi gadis remaja yang mandiri. "Astaga nona Casey telah dewasa~"
Drap langkah kaki diikuti nafas yang memburu, Casey menghampiri keduanya dengan terengah-engah. "Good morning~"
"GOOD MORNING !!"
"Morning"
Bisa di tebak siapa yang menjawab dengan semangat dan siapa yang hanya melontarkan satu kata dengan wajah datarnya.
Casey sedikit terkejut dan senang saat ucapan salamnya di balas oleh Michelle. Gadis berambut ikal itu langsung memeluk Michelle dengan erat. "Hey aku bisa mati~" Gerutu Michelle walau ia balik membalas pelukan itu.
"Kenapa kalian tak memeluk ku juga ?" Seru Eugene tak terima. Kedua gadis didepannya masih sibuk berpelukan layaknya Teletubbies. Merasa di abaikan Eugene berinisiatif mendekat seraya merentangkan kedua tangannya, hendak memeluk.
"Ayo ke kelas~"
Malang bagi Eugene yang hanya bisa memeluk udara kosong. Kedua gadis lainnya berjalan mendahului dirinya.
"Kau ingin kami tinggal" Michelle memanggil dengan suara datar. Gadis itu suka sekali memasang tampang tanpa ekspresi. Orang lain mungkin saja akan salah paham bahwa Michelle tengah marah.
"Tunggu aku !!"
.
.
.
Tuk.. tuk.. tuk
berkali-kali pena tak bersalah itu di benturkan pada meja kayu. Salah satu kakinya juga tak berhenti bergetar. Rasa bosan ini serasa membunuhnya perlahan.
Menghela nafas. Eugene kembali mencatat tulisan di papan. Terlintas sesuatu yang menganggu pikirannya. Bahwa ia tak bisa memiliki Michelle jika wujudnya masih seperti sekarang.
Menghela nafas lagi. Apakah debaran yang pernah ia rasakan hanya sementara ? ataukah ini cinta sejati ?
"Mana ada yang namanya cinta sejati" Eugene bergumam samar "Perasaan seseorang dapat berganti dengan mudah" Ia kembali memastikan. Eugene tak ingin terus menerus di perbudak perasaan bodohnya. Tak ada lagi mempermainkan perasaan, apalagi jika itu Michelle.
"Ayo makan siang bersama"
"hah ?"
Eugene terbengong. Pikirannya dan hatinya sedang tak singkron. Kegelisahan ini mungkinkah karena hormonnya yang tak stabil. Entah mengapa menjadi wanita lebih menguras perasaannya sedangkan pikirannya menjadi tak berfungsi.
"Jangan melamun terus, kau akan kerasukan" Casey memperingatkan. Masih teringat akan adegan seram yang ia tonton di film horor tadi malam. Dan tentu saja ia sedikit parno.
"kau sudah tahu akan menulis apa ?" Gadis ikal di sebelahnya membuka percakapan.
"ada apa ?" Tanya Eugene setengah linglung. Casey menatap Eugene jengah. Teman pintarnya ini tumben sekali terlihat dungu.
"Tugas Laporan kegiatan individu, pak guru tadi menyuruh agar kita menulis hal yang di lakukan pada club masing-masing"
Gadis berambut sebahu disebelahnya hanya manggut-manggut. Ia sedikit teringat kejadian tak mengenakan saat pertama kali menjadi wanita. Saat tak sengaja sudut matanya menangkap basah pria bertitle guru yang tengah menatapi pantatnya.
"Ughh~" memikirkannya saja sudah membuat bulu kuduknya meremang. Hanya sekelebat, namun Eugene yakin telah melihat seorang pria yang memakai baju pengajar olahraga tengah menggandeng atau menarik paksa seorang siswi.
"Eugene ada apa ?" Casey merasa aneh karena temannya tak menggubris perkataannya, lalu ikut menoleh pada arah yang di tatap Eugene. Namun ia tak melihat apa-apa. Jam istirahat membuat koridor sangat padat.
"Sial !" Gadis jangkung itu berlari menembus keramaian, mengabaikan teriakan Casey. Instingnya sebagai lelaki mengatakan hal yang ia lihat bukanlah hal baik.
Eugene tahu, karena ia sendiri juga laki-laki—walau hormon wanitanya sering kali membuatnya kebingungan— Pria tak mungkin mengajak wanita ke tempat sepi tanpa tujuan tertentu. Kaki panjangnya berlari mengikuti kedua orang yang telah menghilang di balik lorong yang menuju gudang lama.
Siapapun tahu tempat itu sudah sangat jarang di pakai. Beberapa peralatan bahkan sudah di pindahkan ke gudang baru yang jaraknya lebih dekat. Bangunan luas itu beralih fungsi menjadi gedung tak terpakai dan bahkan sering di gunakan untuk membolos.
"baiklah sekarang coba rol depan~" sayup-sayup terdengar suara berat yang familiar di telinganya. Sudah pasti itu adalah guru olahraga yang ia kenal.
"Ok, sekarang coba split~" nada suara nya terdengar aneh. Eugene merasakan firasat buruk. Kenapa pula seorang guru mengajak siswinya ke gudang lama hanya untuk menguji gerakan-gerakan senam.