'BUUAGHH!!'
"menjauh kau menjijikan" mendorong dengan tatapan datar. Suara Michelle dingin menusuk meninggalkan pemuda itu tersungkur menabrak loker.
Hari nya makin buruk dengan kedatangan pemuda antah berantah itu. Melampiaskan emosinya pada pemuda tadi juga tak sepenuhnya salah. Lagian kenapa pula orang-orang suka sekali mengagetkan orang lain saat bertemu.
"Jeffrey jung.. kau bisa memanggilku jeff" kembali pemuda itu menghentikan langkah Michelle. Tak pantang menyerah walah rasa sakit masih menerpa punggungnya. Jangan meremehkan tenaga seorang gadis yang sedang kesal.
Menghela nafas sebelum menyentak dengan keras lengan Jeffrey. "Kau bertaruh berapa ?" Michelle menatapnya datar, pemuda itu hanya tersenyum canggung menutupi salah tingkahnya.
"Apa maksudmu ?"
"Cih" gadis itu berdecih menunjukkan seberapa muaknya ia pada tingkah laku pria didepannya "Kau bertaruh berapa jika berhasil mengajak ku kencan ?" Tatapnya menantang.
"Aku tidak—"
"Trik murahan mu tak akan mempan padaku" sarkas Michelle dan berlalu begitu saja tanpa menghiraukan jeffrey.
Seringaian tercetak jelas di bibir pemuda tampan itu. Ia mendial beberapa digit nomor pada layar smartphone nya, menghubungi seseorang.
"Aku akan bertaruh 3 kali lipat, dia benar-benar gadis yang menarik"
.
.
.
Sudah jam makan siang dan waktunya hanya di isi dengan tiduran di UKS.
'sial kenapa ranjang ini terasa sangat nyaman' eugene membatin antara kesal juga senang.
Langit di luar saja juga terlihat cukup cerah untuk bermain bola. Eugene merindukan saat saat itu. Memang harusnya waktu yang ia habiskan di sekolah bukan hanya untuk menggoda para gadis. Ada berbagai hal yang cukup menyenangkan untuk di lakukan.
Fakta lain yang ia lupakan adalah sudah cukup lama ia hanya ingin menyaingi kepopuleran Aiden Lee, rival sekaligus temannya.
"ASTAGA PERMAISURI KU.. KAU KENAPA ?!"
Panjang umur sekali. Pemuda yang baru saja ia pikirkan tiba-tiba sudah menyelonong masuk tanpa mengetuk pintu dulu. Memang di lihat dari segi manapun Aiden cukup mengesalkan. Entah saat eugene masih menjadi pria pun Pemuda Lee itu tak pernah berhenti mengejeknya karena ia tak pernah cukup banyak menggoda wanita. Dan saat ini, ia malah yang menjadi target wanitanya.
Tanpa menjawab, eugene hanya menatap risih pemuda itu.
"Apa yang sakit katakan !" Ujar Aiden panik. Tangannya langsung di tepis dengan kasar oleh Eugene sebelum sempat menyentuhnya.
"Mataku sakit.." jawab gadis itu datar.
"Matamu sakit ?!"
"Karena melihatmu.. astaga cepat menyingkirlah" tangan eugene terulur dengan gestur mengusir.
"Ya cepat pergilah.." Tatapan menghakimi dari seorang gadis yang baru masuk membuat bulu kuduk Aiden meremang. Seperti melihat sosok hantu. Nyatanya hawa hitam hampir menyelimuti seluruh ruangan.
Aiden berlalu tanpa protes. Setidaknya ia tak ingin kena amuk dari gadis yang tengah emosi.
"Michelle !" Begitu senang. Bahkan eugene tak dapat menyembunyikan binar bahagia di matanya.
"Ck" Michelle berdecak, dan berusaha menutupi senyuman yang mungkin akan keluar tiba-tiba. "Lemah sekali.. jika tak ada aku apa yang akan dilakukan si brengsek itu padamu ?" Mendekati sisi ranjang eugene sembari mengeluarkan dua roti isi coklat dari kantong plastik.
"Jika tak ada kau, sudah pasti aku akan menghabisi dia dalam sekejap"
Michelle memutar bola matanya jengah. "Bagaimana mungkin dengan kondisimu yang begitu.. tetaplah bermimpi"
"Lalu kau.. apa masih pusing?" Kini eugene terduduk dan bersandar pada kepala ranjang. Posisi itu memudahkannya menatap langsung pahatan wajah Michelle. 'indahnya~' batin eugene.
"Kondisimu saat ini tak cocok jika harus mengkhawatirkan orang lain" Michelle membuka satu roti yang kemudian di serahkan pada eugene "makanlah.. walau masih sakit perutmu tidak boleh kosong"
"Lalu bagaimana denganmu ? Kau juga kemarin membuatku sangat cemas saat tiba tiba pingsan" mulut eugene hampir penuh saat melahap roti ditanganya dengan potongan besar.
Telinga Michelle memerah mendengar penuturan dari eugene. "Ya.. ya kau bisa mengabaikan ku saja.. anggap aku tak ada"
"Pfffttt.." berusaha menahan tawanya. Ekspresi wajah Michelle saat ini sangat menggemaskan. Di tambah telinga gadis itu yang memerah sungguh sangat imut. "Bagaimana aku bisa mengabaikan anak kucing yang terkapar di jalan"
"Kau bilang apa ?!"
"Hahahahaha" eugene tak bisa menahan tawanya yang langsung meledak. Menggoda Michelle salah satu kebiasaannya, dan eugene tahu ia akan mendapatkan hadiah jika berhasil membuat gadis itu malu.
"Aduuh sakit..." Yap, sebuah cubitan sayang mendarat di pinggangnya.
Keduanya kembali tertawa. Menertawakan kekonyolan satu sama lain seperti melupakan kejadian pagi tadi. Baik eugene yang seakan tak merasakan sakit lagi, juga Michelle yang tak lagi teringat pemuda mengesalkan di koridor.
Entah mulai dari mana. Tapi perasaan nyaman itu sudah jelas tertanam pada hati eugene. Wajah Michelle begitu bersinar, entah karena cahaya mentari menyiraminya dari balik jendela, atau karena bibir pink itu tertarik kedua sisinya membentuk senyuman hangat. Hati eugene ikut menghangat. Ia suka sensasinya, dan ia akan berusaha sekeras mungkin menjaga senyum itu tercipta.
"Ayo pulang bersama.." ajak eugene. Michelle menghentikan kunyahannya. "Kali ini aku serius ingin mengantarmu pulang" karamel Michelle berkedip beberapa saat memproses ucapan eugene. Gadis jangkung itu masih saja bersikeras datang kerumahnya.
"Tapi aku harus part time lagi" itu sebuah penolakan halus. Michelle hanya mencari alasan agar eugene menyerah saja.
"Aku akan menemanimu" ujar eugene santai. Tampak tak ada beban.
"Kau—"
"Atau aku akan mengadukanmu yang bekerja" ucapan eugene memotong dengan telak. Eugene bukan orang yang sudi di tolak. Ia menjadi anak semata wayang yang tampan dan mampu mendapatkan apapun yang ia inginkan. Menjadikannya egois, tapi kali ini ia hanya ingin selangkah lebih dekat lagi dengan Michelle.
Memainkan jemarinya acak, Michelle nampak berpikir untuk mengiyakan atau menolak ucapan eugene. Sebenernya tak masalah juga jika mengajak gadis tinggi itu bersamanya. Hanya saja, ia tak ingin kembali merepotkan. Namun raut wajah eugene terlihat tak sedang main main. Michelle tentu saja tak mau bertaruh akan apa yang akan terjadi jika ia masih keras kepala menolak tawaran eugene.
"Hah~ baiklah baiklah.. cerewet".
.
.
.
Di sisa akhir jam istirahat berakhir Casey hanya menghabiskan waktunya dengan membaca buku sejarah Korea. Cukup membuat otaknya kembali terbangun. Ia sadar bukan tipe anak yang mudah bergaul. Bahkan sudah cukup lama ia berusaha menjadi lebih dekat dengan Michelle tapi sepertinya usahanya terasa sia-sia. Apa yang membuat gadis itu selalu menjauhinya ? Jika ingin ia bahkan sungguh akan membeli minimarket tempat Michelle bekerja agar temannya tak perlu lelah bekerja.
Pintu kelas terbuka, langkah kaki familiar menyapa telinganya diantara hiruk-pikuk keramaian yang tercipta didalam kelas. Mendongak dan hazelnya tepat mendapati sosok eugene masuk ke dalam kelas. Gadis itu tersenyum tampak baik-baik saja. Senyuman itu bukan untuknya, tapi untuk seseorang yang melambai di depan kelas.
Itu Michelle, gadis yang selalu menatap dingin atau bahkan menjaga jarak dengannya. Casey cukup terheran karena ia melihat dengan langsung gadis dingin itu tampak tersenyum hangat.
Tangannya meremas ujung rok. Perasaannya bercampur aduk. Kenangan beberapa tahun silam kadang kerap muncul di kepalanya. Seakan berbisik, mengoloknya yang hanya pecundang. Jika bukan karena harta orang tuanya, orang-orang itu tak akan sudi berteman dengan dirinya.
"Hey Casey.. terimakasih sudah menolong ku tadi. Hot pack mu sangat membantu"
Suara eugene menyandarkan casey kembali. Seperti tersihir, suara itu mampu melenyapkan segala hal negatif yang terus berputar di kepalanya. "Tentu saja" senyuman anggun kembali casey layangkan. Siapapun disana bersumpah seperti melihat sosok malaikat yang turun. Bahkan eugene sekalipun di buat terpesona.
"Kita kan teman~"
Sudah lama ia tak mendengar kalimat itu. Dan eugene melontarkannya dengan senyum tulus.