▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬
Pagi ini sekolah di hebohkan dengan penemuan mayat murid sekolah yang di duga di bunuh di halaman belakang sekolah. Polisi langsung mengamankan lokasi dan menyelidiki identitas korban. Yang pastinya, ia termasuk murid di sekolah ini tapi sulit untuk mengidentifikasi wajahnya karena kepalanya yang sudah hancur sebelah hingga memperlihatkan isi kepalanya yang sudah berceceran keluar.
Aku tidak tau kabar itu benar atau tidak karna saat aku sampai di sekolah, Mayat tersebut sudah berada dalam ambulance untuk di bawa ke rumah sakit. Tapi menurut Satpam yang menemukan mayat tersebut, kabar itu memang benar dan beberapa siswa yang melihatnya tadi pagi juga menceritakan hal yang sama. Beberapa orang nampak panik ketakutan. Menurut mereka, Apa pembunuh yang selalu muncul di TV itu sudah sampai ke sekolah? Atau salah satu dari merekalah yang bisa saja menjadi pelakunya. Tapi beberapa orang juga menjadikan berita ini sebagai bahan lelucon dengan berpura-pura mendapat teror dari sang pembunuh berantai untuk menambah kepanikan semua orang.
Di koridor, Aku bertemu seseorang dan memintaku untuk ke ruang guru menemui wali kelas. Aku mengangguk dan berbalik arah menjauhi tangga. Dan sekali lagi karna kecerobohanku, Aku kembali menabrak seseorang dan segera meminta maaf padanya.
Orang itu yang ternyata Angga lalu berkata. "Ya minta maaflah. Teruslah meminta maaf padaku. Kau memang harus melakukan itu."
"Kau? Menyingkir! Aku mau lewat."
"Ya sudah, lewat saja." Aku pun bergeser ke kanan tapi dia juga ikut bergeser ke arah yang sama, begitupun saat aku bergeser ke arah yang sebaliknya, ia juga ikut bergeser dan terus menghalangiku. "Menyingkirlah!! Apa kau tidak punya kerjaan lain?"
Dan_tak! Ia kembali mengurungku dengan kedua lengannya ke tembok dan terus mempersempit jarak antara kami berdua. Aku berkata dengan penuh penekanan. "Aku akan membunuhmu jika kau tidak melepaskanku saat ini juga."
"Oh ya? Kalau begitu lakukan!!"
"Kau_?"
"Apa? Ada apa denganku?" Angga semakin memajukan tubuhnya dan aku menggunakan kedua tanganku untuk menghalanginya. "Bukan aku, tapi kau!" Katanya tiba-tiba.
"Apa? Ya!! Mundurlah! Kau membuatku tidak bisa bernafas."
"Kenapa kau pergi kemarin? Kenapa kau pergi tanpa menungguku pulang? Kenapa kau selalu saja menentang keputusanku? Tidak bisakah kau menurut padaku sekali saja? Aku hanya pergi sebentar dan Kau_?"
"Kau?" Aku memotong perkataannya. "Kau!! Apa yang kau inginkan dariku? Apa kau pikir aku sebodoh itu untuk kau bodohi? Nilaiku mungkin tidak baik dalam pelajaran tapi kau tahu? Untuk apa aku harus menunggumu? Apa aku harus menunggumu pulang setelah bermesraan dengan kekasih gilamu itu? Lalu setelah itu apa?"
"--Tidak ada kan? Jadi kau sama sekali tidak berhak memintaku menunggumu atau menuruti perkataanmu."
"Cia! Aku_."
"Angga? Apa yang kau lakukan disini Sayang?" Spontan, Angga memperbaiki posisi berdirinya. "Lihat! Kekasihmu sudah datang, Dan kurasa kita sudah tidak punya apa-apa lagi untuk di bicarakan." Kataku dengan tegas lalu berjalan melewati geng Lucia yang menatapku tajam bak laser yang dapat membuat punggungku bolong karna panas.
Aku masuk ke ruang guru dan segera menemui wali kelas yang sejak tadi sudah menungguku. Meninggalkan Lucia yang menyerbu Angga dengan rentetan pertanyaan mengenai sosokku yang berada dekat dengannya. "Apa yang kau lakukan di dekat gadis itu? Aku kan sudah bilang, Jauhi dia!! Dan aku tidak suka jika kau menentangku seperti ini."
Menghadapi itu, Angga dengan santai menjawab. "Terserah! Aku tidak peduli!!" Lalu pergi meninggalkan Lucia yang menjak-menjak kesal dan berusaha di tenangkan oleh anak buahnya.
Dan di ruang guru, Aku langsung di kejutkan dengan foto korban pembunuhan tadi pagi yang berada di meja wali kelasku. Wali kelasku bertanya apa aku mengenalnya dan kujawab dengan gelengan kuat dan ekspresi panik ketakutan yang tidak bisa disembunyikan lagi. "Bu. I-itu siapa? Kenapa dia? Kenapa kepalanya?"
"Ssstt kamu tenang dulu, Cia. Duduklah!" Dan aku pun baru berani duduk saat wali kelasku kembali menarik foto tersebut dan menyimpannya di laci mejanya.
"Bu, Itu tadi?"
"Maaf ibu membuatmu kaget pagi-pagi begini. Tapi karna ini penting, mau tidak mau saya harus melakukan ini."
"Tidak apa-apa Bu. Apa ada yang bisa saya bantu?"
"Begini, Cia. Kau ingat kan Minggu kemarin, ibu memintamu kemari bersama Dirga untuk mengklarifikasi soal lembar jawabanmu?"
Aku mulai bingung. "Ya, Tapi ada apa Bu?"
"Huft... Sebelumnya, Saya minta maaf karna menanyakan ini padamu tapi apa kau tau setelah kalian kembali dari sini, Kemana Dirga pergi?"
Ahh... Aku harus jawab apa? Tidak mungkinkan, Aku harus menceritakan soal apa yang dilakukan Dirga yang hampir menghilangkan nyawaku itu? Tidak mungki aku bilang jika Dirga di paksa anak buah Lucia untuk membawaku ke belakang sekolah dan hampir di lenyapkan? Aku memang berharap hari itu, Dirga akan mendapatkan balasan dari apa yang dia perbuat. Entah itu di tabrak becak, Atau diare sekalipun. Tapi aku sungguh tidak tau apa yang terjadi pada Dirga setelah meninggalkanku hari itu.
Jadi kujawab pertanyaan wali kelasku seadanya. "Tidak Bu. Setelah sampai di kelas, Saya buru-buru berkemas dan pulang kembali ke rumah jadi saya tidak sempat untuk bertemu Dirga lagi."
Tampak, Wali kelasku menghembuskan nafas lega setelah mendengar jawabanku. "Ahh Syukurlah. Memang bukan kau."
Aku yang tidak paham, kembali bertanya. "Apa ada masalah Bu? Ada apa dengan Dirga? Sejak pagi aku belum melihatnya sama sekali."
Entah kenapa, raut wajah lega tadi berubah menjadi sedih dan penuh duka. "Maafkan Ibu, Cia! Ayo, ikut ibu ke kelas. Ibu akan jelaskan semuanya di sana."
Menurut, aku pun mengikuti wali kelasku hingga sampai ke depan kelas dan kami masuk bersama. Aya menyapaku seperti biasa dan aku yang mencoba sesantai mungkin saat dihujani tatapan penasaran Angga yang terang-terangan itu.
Ku keluarkan ponsel dan headset dari tas lalu menyembunyikannya di laci mejaku. Sambil menunggu apa yang akan di sampaikan wali kelas, Aku membuka artikel di SNS dan melihat bahwa kabar pembunuhan yang terjadi di sekolah, sudah menyebar ke masyarakat. "Tidak ku sangka akan separah itu." Gumamku pelan. Angga yang masih bisa mendengarnya lalu bertanya. "Apa?" Tapi aku masih mengabaikannya dan mulai memperhatikan apa yang di sampaikan wali kelas di depan.
"Anak-anak, Seperti yang kita semua ketahui. Hari ini ada berita besar yang kurang mengenakkan baru saja terjadi di sekolah kita ini. Yaitu penemuan mayat seorang murid sekolah yang belum di ketahui identitasnya. Tapi beberapa menit yang lalu, Polisi sudah mengadakan penyelidikan dan menguji sidik jari mayat tersebut dengan semua sidik jari kalian yang pernah di rekap di aula dulu. Dan itu berarti... Polisi sudah tau identitas korban dan memberitahu kepala sekolah dan para guru."
Suasana mulai ricuh karna semua orang yang penasaran dengan siapakah gerangan mayat berkepala hancur tersebut. Dan saat itulah aku menyadarinya. Ehh Tidak ada Dirga? Semua hadir kecuali anak itu. Apa jangan-jangan?? Tidak! Tidak mungkin Dirga! Tapi sejak tadi wali kelas terus menanyakannya padaku? Tapi, bisa saja murid dari kelas lain?
"Maafkan ibu karna tidak bisa menjaga kalian dengan baik." Wali kelas mulai meneteskan air mata. "Maafkan ibu karna tidak bisa menjaga ketua dari kelas ini. Maafkan ibu karna sudah ceroboh dan membiarkan Dirga_ketua kelas kita menjadi korban dalam pembunuhan itu."
"APA????!!!" Teriak seluruh kepala di kelas terkecuali aku yang hanya bisa menunduk dan menyembunyikan wajah di lipatan tangan.
"Tapi Bu kenapa bisa? Kenapa ada yang tega membunuh Dirga sekejam itu?"
"Iya? Apa ini Bu? Apa sekolah kita sudah tidak aman? Apa mungkin setelah Dirga, kita semua akan menjadi korban selanjutnya?"
Setelah bersusah payah mengendalikan dirinya sendiri, Wali kelas kembali menenangkan kelas. Ia berkata semua itu tidak benar. Kasus kematian Dirga ini di curigai karna kondisi ekonomi. Karna keluarganya tidak bisa membayar utang mereka, Dirga dan keluarganya mulai di buru rentenir dan mungkin itu yang menyebabkan ia sampai harus meninggalkan kita seperti ini. Kami semua pun mengirimkan doa serta ucapan selamat tinggal padanya untuk selama-lamanya. Sebelum keluar, Wali kelas kembali mengingatkan. "Jangan ada yang membuat gosip atau menyebarkan berita palsu tentang ini. Biarkan sekolah yang menyelesaikannya dan jangan ada di antara kalian yang mencoba menambah masalah lagi, Mengerti?"
"Iya, Bu." Serentak kami semua menjawab. Kepalaku rasanya berat dan tidak bisa bergerak lagi. Luka di leherku masih belum sembuh dan aku masih harus menggunakan perban untuk beberapa hari lagi. Dan kebetulan sekali Angga khawatir dan bertanya keadaanku dan luka di leherku ini. Masih dengan kepala di meja, Aku menjawab. "Mungkin akan lebih baik jika saja serangga raksasa tidak menggigitku dan membuatnya semakin parah."
Angga berdecih tapi aku tidak peduli. Kemudian Aya datang dan memaksaku untuk mengangkat kepalaku dan menatapnya. "Ya? Kau kenapa?"
"Kau masih tanya aku kenapa? Kau yang kenapa bodoh!!" Aku mengeluh sakit saat Aya malah memukul lenganku dengan ganasnya.
"Berhenti menyakitiku. Kau mau liat aku mati juga?"
"Heii kendalikan bicaramu itu. Apa maksudmu dengan perban di leher seperti itu? Apa kau di gigit semut lagi?"
"Apa? Semut?" Ucapku dan Angga bersamaan. Kami saling tatap kemudian berdehem canggung untuk mengembalikan suasana. "Ya, semut. Bukankah kau bilang beberapa minggu yang lalu kau juga digigit semut sampai harus memberinya plaster di lehermu. Tapi sekarang, Perban? Apa semutnya sebanyak itu? Semut apa yang bisa menggigit orang hingga menciptakan bekas luka sebesar itu?" Aku tau Aya itu pintar dalam pelajaran, tapi mengapa jika masalah seperti ini otaknya malah tidak bisa di gunakan?
Aku menepuk jidat frustasi dan membiarkan Angga yang menjawabnya. "Ya, Aya. Kau benar. Itu memang semut. Semut yang sangat besar. Mungkin itu ratunya, Karna itulah semua prajurit semut ikut menggigitnya."
"Ahh kau benar." Aya kembali memukulku. "Ya!! Berhenti memukulku!!"
"Aku melakukan ini untuk kau. Berapa kali harus ku katakan untuk tidak membawa makanan ke kamarmu dan membiarkan semut berkerumun di sana. Lihat sekarang apa akibatnya? Untung saja bukan wajah atau bibirmu yang dia gigit, Atau wajah dan bibirmu yang gendut itu akan bertambah bengkak nanti. Hahahaha." Aya tertawa mengejekku tapi bagiku dan Angga, itu sama sekali tidak lucu. Semut menggigit bibirku? Kau mau Angga menggigit bibirku??
Aku menepuk pipiku sekali. Ohh Astaga... apa yang aku pikirkan? Dasar bodoh!
"Aishh terserah kau! Aku mau pergi dari sini."
"Hei Cia, kau mau kemana? Aku hanya bercanda."
"Hmm iya aku tau." Rencananya aku mau ke toilet untuk memeriksa luka di leherku. Aku harus terus mengeceknya dan mengganti perbannya rutin. Di depan kelas, Ada Fiko dan beberapa temannya. Kami saling menyapa kemudian dia bertanya apa Aya ada di dalam atau tidak? Aku mengangguk lalu memanggil Aya keluar. Ada apa ini? Apa mereka sudah sedekat itu?
Saat Aya keluar, aku mengancamnya agar menceritakan segalanya nanti atau aku tidak akan memaafkannya. Setelah itu aku pergi ke toilet. Ku basuh kedua tanganku lalu memeriksa perbanku di setiap sisi. "Ini baik? Aku akan menggantinya sejam lagi."
Aku lanjut membasuh seluruh wajahku dan menatap pantulan diriku sendiri di cermin. Aku....kenapa???
*****
▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬