▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬
Sekolah di tiadakan selama 3 hari selama masa penyelidikan pembunuhan yang dialami oleh Dirga. Beberapa orang tua bahkan masih tidak rela anaknya berangkat sekolah hari ini. Tapi mau bagaimana lagi, Mau tidak mau seluruh murid tetap harus ke sekolah untuk melihat hasil ujian mereka maupun memperbaikinya bagi yang nilainya tidak tuntas.
Dan selama 3 hari itu, Aku seperti pengangguran yang tidak punya kesibukan apapun. Sebenarnya, Di hari pertama libur, kami semua selaku teman sekelas Dirga dan wali kelas, mengunjungi makamnya yang masih baru. Ada yang menangis, seperti keluarga dan orang-orang yang merasa dekat dengannya, Serta ada pula yang hanya diam tidak tau harus berbuat apa Seperti aku.
Namun pada akhirnya, Guru memanggilku berdiri di sebelahnya lalu mengirim doa pada mendiang Dirga yang sudah tiada. Wali kelas bilang, Karna akulah orang terakhir yang ia temui di kelas jadi aku mungkin memiliki kesan tersendiri di saat-saat terakhirnya. Hah? Apa itu penting?
Aku bingung namun tetap menuruti kemauan wali kelas kami. Hingga beberapa menit kemudian, Hujan turun. Aya menarikku berlari mencari tempat untuk berlindung dan kami pun masuk ke sebuah cafe yang tidak terlalu jauh dari makam tersebut.
Aku tidak tau kemana yang lainnya pergi namun cafe ini sangat aneh, terlalu sepi, dan sedikit horor. Ku rasa ini hanya efek karna aku baru saja melihat makam seseorang.
Aku dan Aya pun memilih tempat duduk dan mengeringkan rambut kami yang basah. "Huft.. Ini dingin sekali. Aku akan memesan sesuatu untuk menghangatkan diri."
Ia pun mengambil daftar menu dan seorang pria paruh baya tiba-tiba muncul dari sebuah ruangan dan menghampiri mejaku dan Aya. Pakaiannya seperti preman yang tidak pernah terurus dan mempunyai tato bergambar pisau di lengannya. Apa kami salah masuk tempat?
Aku menendang kaki Aya dan ia pun langsung mengerang lalu memarahiku. 'Heii lihat itu! Apa kau yakin tempat ini memang cafe?' Bisikku pelan ke Aya.
"Kau ini kenapa? Dia hanya pelayan, kenapa kau takut?"
Pria itu berkata. "Wah wahhh sudah lama sekali aku tidak kedatangan pelanggan. Ayo pesan! Pesan apapun yang kalian mau, Aku yakin kalian akan menyukai seluruh menu yang ada di tempat ini. Hahahaha."
Mendengar pria tadi tertawa, Aku langsung melongo tak percaya. Ehh? Lihat caranya bicara, Itu sama sekali tidak cocok dengan perawakannya yang seram.
Aya menatapku seolah-olah mengatakan. 'Lihat! Apa kau mati? Apa orang itu memakanmu?'
Aya menyebutkan pesanannya dan aku hanya memesan secangkir coklat panas. "Hahaha Baiklah. Pesanan akan segera sampai."
"Kau lihat? Berhentilah berpikiran negatif terhadap orang lain seperti itu."
"Aku tidak sedang berpikiran negatif, Ini hanya bentuk kewaspadaanku terhadap sekitar." Belaku.
"Wleee bilang saja kau takut!"
"Baik-baik terserah kau saja."
Tidak lama kemudian, Pria tadi muncul dengan membawa pesanan kami. Ia lalu bertanya. "Ngomong-ngomong kalian ini darimana? Aku baru melihat kalian di sekitar sini?" Aku membiarkan Aya menjawabnya dan menikmati minuman coklat hangatku yang benar-benar sangat enak.
"Emm itu. Sebenarnya, beberapa hari yang lalu salah satu teman sekelas kami meninggal dan ia di makamkan di pemakaman dekat sini. Lalu, Saat sedang mengirim doa, tiba-tiba hujan turun dan Aku dan temanku pun terpisah dari wali kelas dan teman sekelas kami yang lain untuk mencari tempat berlindung." Aku mengangguk menambahkan.
"Oh benarkah? Kalau begitu, Bapak turut berduka cita untuk teman kalian itu." Dan singkat cerita, Pria tadi lanjut bertanya penyebab kematian teman kami itu di usianya yang masih muda. Awalnya kami bingung harus menceritakannya seperti apa. Namun pada akhirnya, Kami hanya mengatakan bahwa kami tidak tau.
Lalu, Si pria tua tadi sepertinya paham apa yang kami maksud dan mulai menceritakan suatu kisah tentang cafenya yang sepi ini. Ternyata, Cafe ini dulunya adalah tempat bagi anak-anak muda seperti kami saat bersenang-senang ataupun berkumpul sekedar bercengkrama. Tetapi suatu ketika terjadi peristiwa pembunuhan yang membantai hampir seluruh pengunjung di cafe tersebut. Yang membuat si Pria paruh baya tadi harus kehilangan istri dan anaknya, Serta menutup cafenya hingga 2 tahun lamanya. Dan baru ia buka kembali 1 bulan yang lalu.
Barulah aku berani bicara. "Hmm Maaf ya pak jika kami membuat bapak mengenang kejadian buruk itu lagi."
"Ohh hahhaha tidak apa-apa, Nak. Lagipula, Bapak senang bisa cerita ini sama orang lain. Jadi, beban bapak sekarang sudah sedikit berkurang."
"Emm ngomong-ngomong, Pak. Apa pembunuh itu sudah di tangkap? Maksudku... Kenapa dia melakukan semua ini pada keluarga, Bapak? Apa alasannya?" Tanya Aya penasaran.
"Huft... Bapak juga tidak tau siapa dan kenapa pembunuh itu melakukan ini semua. Yang jelasnya, Bapak hanya tau saat kejadian itu, Pembunuh itu menggunakan pisau daging untuk membantai istri, Anak, dan pelanggan-pelanggan bapak."
"Karna itu lah_." Kataku sambil melirik tato berbentuk pisau yang ada di lengannya. "Ya, itu benar. Pisau ini sama persis dengan yang digunakan si pembunuh. Dan sepertinya, Polisi sudah menangkapnya tapi bapak tidak pernah bertemu dengan orang itu."
"Bapak yang sabar ya? Saya yakin cafe bapak ini akan terkenal lagi seperti dulu. Mungkin hanya butuh waktu sedikit lebih lama." Kata Aya menambahkan.
Si bapak tersenyum, Namun kali ini aku sudah tidak terlalu takut melihatnya. "Hmm ya."
Setelah menghabiskan minuman kami dan diluar hujan mulai reda, Aku dan Aya pun pamit pada pria tua itu lalu ikut pulang dengan supir Aya. "Aku kasihan pada bapak tua tadi. Dia hanya seorang suami dan ayah yang pekerja keras tapi segalanya tiba-tiba di renggut dan membuatnya hancur seperti ini." Kata Aya prihatin. "Hmm aku juga. Tapi.. Apa kau tidak merasa ada yang janggal dari cerita bapak tadi?"
"Eohh Apa?"
"Aneh-tidak, Jika ada seorang pembunuh yang tiba-tiba membunuh orang secara acak seperti itu? Mungkinkah pembunuh itu punya alasan dan ia membunuh seluruh pelanggan di cafe itu agar tidak ada yang melaporkannya?"
"Aishh Cia. Kau ini bicara apa? Siapa yang tau apa yang ada di kepala seorang psikopat seperti itu. Mereka itu gila, Tidak waras. Aku bahkan tidak yakin mereka masih punya hati."
Aku menoleh ke Aya. "Benarkah?"
"Iya. Tentu saja."
*****
Setelah melalui hari-hari suram itu, Aku kembali ke kelas. Dengan gugup menanti namaku di panggil ke depan. Selanjutnya Aya, dan ia tampak sangat tidak sabaran menerima hasil ujiannya. Mungkin aku juga akan seperti itu jika otakku berfungsi dengan baik.
Malangnya nasibku. Aku memperhatikan Aya yang maju menerima lembar jawabannya dan mendapat pujian sebagai peringkat 1 di kelas. Seluruh kelas bertepuk tangan lalu mengucapkan selamat padanya. Guru kembali melanjutkan, Ia memanggil nama Angga yang ternyata mendapat peringkat 3 setelah Dirga. Ya!! Lihat wajah sombong itu!
Ia kembali duduk di sebelahku lalu berbisik. "Aku jamin kau tidak akan dapat bahkan setengah dari nilaiku."
"Diam! Aku tidak butuh pendapatmu!!"
Dan saat itulah namaku di panggil. Aku sepertinya terlalu cepat berdiri hingga hampir membanting kursiku ke belakang. Seluruh mata di ruangan tersebut menatapku dan dengan langkah pelan tapi pasti, Aku berjalan melewati bangku Aya yang menyemangatiku lalu berdiri di depan meja guru. Guru tersebut nampak menghembuskan nafas berat. "Bagus, Cia. Kali ini nilaimu lebih baik dari sebelumnya."
Eh? Aku menerima kertasku dengan tangan gemetaran dan melihat nilai 80/100 di sana. "Selamat ya." Lanjut guru itu.
"Ahh iya Bu. Terima kasih." Aku berbalik dan memamerkan kertas ujianku pada Aya. Kami berteriak tanpa suara dan aku melanjutkan langkah ke tempat dudukku. Aku langsung membukanya lebar-lebar di meja agar Angga bisa melihatnya dengan jelas. "Kau bilang apa tadi? Nilaiku tidak bisa mencapai bahkan setengah dari nilaimu? But look at that!! Aku bisa! Dan berhenti meremehkan ku."
"Hanya kebetulan. Mungkin saja kau curang saat ujian berlangsung."
"APA KAU_!!"
"Cia! Apa ada masalah?" Tegur guru di depan. Ohh Astaga.. Kenapa aku berteriak?
"Ti-ti-Tidak, Bu. Tidak ada apa-apa."
"Apa ibu bisa melanjutkannya sekarang?"
"Ya, Bu. Maaf mengganggu." Kataku sambil menunduk malu. Sial... Aku tidak akan mengampunimu Angga.
*****
Dan tibalah hari yang di tunggu-tunggu seluruh warga sekolah, Khususnya para murid dari semua kalangan. Itu karna hari ini, Ujian sudah berakhir kecuali bagi mereka yang mengulang. Tidak hanya itu, beberapa menit yang lalu, Sekolah sudah mengumumkan bahwa festival akhir tahunan akan dilaksanakan Minggu depan. Dan kalian tau? Saat pengumuman di radio itu, Aku dan Aya sedang berada di kantin untuk makan.
Lalu_BOOM!!! Saat pengumuman berakhir, seluruh penghuni kantin bersorak gembira dan saling melempar makanan mereka. What??!!! Apa yang kalian lakukan pada semua makanan lezat itu??!!
Aku yang panik meratapi semua makanan yang berjatuhan, Di tarik oleh Aya untuk berlindung di bawah meja. "Aya! Aku belum menghabiskan makananku, Jika ada yang melemparnya nanti bagaimana?"
"Payah! Dalam situasi seperti ini pun kau masih sibuk memikirkan makananmu."
"Lalu aku harus apa? Mereka semua kenapa?"
"Huft.. Kita sembunyi saja dulu. Mereka semua itu sedang senang. Karna di festival ini, Semua larangan akan di cabut. Jadi mereka bebas melakukan apapun kecuali larangan tentang Kriminalitas."
"Aishh tapi tidak harus saling melemparkan makanan seperti itu juga kan?" Aya mengedikkan bahu tak tau.
Tuk- Tuk. Tiba-tiba ada yang mengetuk meja kami. Dan ternyata adalah Fiko. "Ayo! Aku bantu kalian keluar." Awalnya aku ragu, tapi Aya tidak memberikan aku waktu untuk berpikir lalu menarikku berlari mengikuti Fiko ke pintu keluar kantin. Kami jadi mirip seperti kereta api yang di hujani makanan.
Kami sampai di pintu dan aku langsung memarahi Aya tanpa ampun. "Aya! Kenapa kau langsung menarikku? Kalau tadi kita sampai terkena makanan-makanan itu bagaimana? Kalau sampai salah satu dari mereka menangkap ku bagaimana? (ini ku ucapkan karna tadi aku sempat melihat beberapa anak buah Lucia mengejarku) Dan mereka semua itu gila atau apa? Bagaimana bisa mereka melemparkan semua makanan itu tanpa berpikir seberapa berharganya makanan itu bagi orang lain?" Lalu aku pun kesulitan bernafas. Aku menyentuh leherku yang masih sedikit perih tapi sudah tidak di perban.
Aya menjawab ku. "Hei tenanglah. Ini hanya kantin, bukan hutan amazon. Kau tidak perlu takut seperti itu." Aneh, mendengar Aya malah menceramahi ku bukannya meledekku seperti biasanya. "Tapi semua makanan itu?"
"Cia!" Panggil Fiko sambil menepuk pundak ku. "Aya benar. Tidak ada gunanya marah-marah seperti ini."
Aku mendengus kecewa dengan perasaan tidak enak memikirkan semua makanan yang terbuang. Aku memang sesayang itu pada makanan. Perlu kalian ketahui, prinsipku adalah Food is my life. Dan tidak akan ada yang bisa menggantikannya. Aku mengekori Aya dan Fiko yang berjalan duluan menjauhi kantin tanpa tau mereka akan membawaku kemana. Kami berhenti di depan perpustakaan dan aku langsung bertanya pada kedua orang itu. "Kenapa kita kemari?"
Aya menjawab. "Aku meminta kak Fiko untuk mengajariku beberapa soal yang masih belum aku mengerti dan sebagai persiapan untuk kelas selanjutnya."
Ehh Apa? "Lalu kenapa kau mengajakku?"
"Memangnya kenapa, Cia? Apa kau tidak mau ikut belajar bersama kami?" Tanya Fiko. "E-Ehh bukan begitu. Maksudku, Aku hanya sedang tidak ingin belajar saat ini. Mungkin aku akan kembali saja ke kelas."
"--Kalian berdua, Lanjutkan saja tanpaku." Aku pergi dan meninggalkan Aya dan Fiko di perpustakaan. Apa mereka itu robot? Bahkan setelah ujian saja, Mereka masih mau belajar? Tidak heran, Mengapa nilaiku hanya mentok di situ-situ saja. Aku berjalan di koridor yang tidak terlalu ramai untuk kembali ke kelas.
Ditengah jalan, perutku berbunyi. Astaga.. aku masih lapar. Tapi jika aku kembali kesana, sama saja cari mati. Aku membanting pintu kelas dan masuk dengan langkah lemas. Di belakang, Nampak beberapa teman sekelas ku sedang bermain permainan di ponsel dan sebagiannya lagi menonton film di laptop salah satu dari mereka. Aku menghempaskan tubuhku ke kursi dan perutku kembali berbunyi. Bersyukur karena hanya aku yang bisa mendengarnya. Jika tidak, Mau di taruh dimana lagi wajah ku ini??
Ku baringkan kepalaku di meja, menjadikan lengan kiri ku sebagi bantal dan tangan kananku memegangi perutku yang kelaparan. Sebaiknya aku tidur, Mungkin saat bangun nanti rasa laparnya sudah hilang.
*****
Bunuh-Mati-Mayat....
Bunuh-Mati-Mayat....
Bunuh-Mati-Mayat....
Bunuh-Mati---
"Cia!!"
"Ya??" Kataku setelah bersusah payah mengumpulkan nyawa untuk melihat orang yang baru membangunkanku tadi. "Kau ini tidur atau kesurupan?" Kata Angga. Ia lalu duduk di sebelahku. "Pergilah! Aku mau tidur!!"
"Siapa kau menyuruhku pergi dari sini? Ini juga tempatku, dan aku berhak duduk di sini kapan saja."
"Ya baiklah. Tapi bisakah kau duduk dan diam saja? Aku hanya ingin tidur, sebentar saja." Bujukku dengan suara yang parau. Rasa laparku belum hilang, dan makhluk sialan yang ada di sebelahku ini sudah membangunkanku. "Kalau aku tidak mau. Apa yang akan kau lakukan?"
Aku berdiri lalu menatapnya jengkel. "Terserah kau!! Duduk saja di sini, Kalau perlu tinggal saja di sini sekalian." Ku langkahkan kakiku menjauh dari sana. Tapi Angga menahan tanganku dan berkata kalau dia hanya bercanda. Lalu ia berjanji tidak akan ribut jika aku kembali ke tempat dudukku. Aku ragu harus mempercayainya atau tidak tapi jika tidak segera ku turuti, bisa-bisa ia akan menatapku terus sepanjang hari. Dan itu tidak baik untuk kesehatan hati dan jantungku.
"Baik! Ingat, Jangan berisik." Ia mengangguk.
Lima menit berlalu, Aku sudah tidak bisa tidur karna aroma Angga yang menyeruak di sekitarku. Sudah ku bilang kan? Aroma Angga itu punya ciri khas tersendiri, Bukan bau keringat karna ku yakin tidak ada yang bermain basket di lapangan karna semua sibuk mempersiapkan festival. Lalu tiba-tiba...Kruuuuk..._Perutku kembali berbunyi. Aku semakin menekannya karna takut Angga bisa saja mendengarnya.
Ku mohon.. Apa tidak bisa lebih buruk lagi? Dan benar saja, Angga mendengarnya dan bertanya. "Apa kau la_"
"Tidak!" Potongku cepat.
"Apa kau belum maka_"
"Tidak!" Potongku lagi. Lalu ia berhenti bertanya dan aku tidak sedikitpun berani mengangkat kepalaku dari meja bahkan hanya untuk sedetik.
Kemudian aku mendengar sepertinya Angga sedang membuka tasnya dan mencari-cari sesuatu. Aku mengabaikannya dan mencoba untuk kembali tidur.
Dugh! Aku merasakan sesuatu menyentuh lenganku yang kujadikan bantal dan barulah aku berani mengangkat kepala untuk memeriksanya. "Ini...?" Tanyaku sambil menatap sekotak roti lapis yang baru saja di sodorkan Angga padaku. Aku mengalihkan pandanganku padanya. Angga tersenyum manis dan berkata. "Makanlah! Pembantu di rumahku yang membuatnya."
"Ti-ti-Tidak! Aku tidak mau." Baik. Aku hanya tidak ingin sememalukan itu dimatanya. "Kau yakin? Padahal isinya ada keju, sosis, selada, tomat, mayonaise, dan_"
"Ahh baiklah kalau kau memaksa." Dengan cepat, Aku mencomot seiris roti lapis dari kotak bekal itu. Dan Oh Astaga... benar kata orang, Makanan akan berkali-kali lipat lebih enak jika kau memakannya dalam keadaan lapar. "Tidak ada yang memaksa. Tapi ya.. aku tau kau lapar." Ekspresinya pun berubah menjadi senyum jahil. Sial... Lebih baik menahan lapar daripada di permainkan makhluk sialan ini.
"Aku- Aku tadi tidak sempat menghabiskan makananku di kantin dan semua orang sudah saling melemparkan makanan jadi jika aku lapar ini semua bukan salahku." Belaku sambil berusaha lari dari tatapannya. "Hmm benarkah? Lalu dimana Aya? Biasanya kau selalu pergi bersama." Aku terkejut, dan langsung menghabiskan roti tadi.
"Emm dia ada di perpustakaan bersama Kak Fiko untuk belajar. Katanya dia masih belum paham beberapa soal."
"--Kenapa?" Aku bertanya mengeluarkan rasa penasaran ku. "Tidak. Aku hanya bertanya." Lalu hening sejenak sebelum aku kembali berkata. "Dimana Lucia? Kenapa kau tidak bersamanya?"
Angga diam tak menjawab dan membiarkan aku menunggu seperti orang bodoh. Anak ini!!
"Huft... Kenapa? Apa kau sekarang sudah peduli pada hubunganku?"
"Ck omong kosong. Aku hanya bertanya." Kujejalkan sepotong roti ke mulut Angga dan lanjut berkata. "Aku hanya memastikan gadis gila itu tidak akan memergoki pacarnya yang berengsek ini berada dekat dengan sampah seperti ku." Kataku tajam.
"Uhhuk Ya!! Apa yang kau lakukan? Aku memberimu makan tapi kau malah mengataiku berengsek."
"--Bagus. Cara berterima kasih yang unik sekali."
"Kau memang berengsek! Laki-laki apa yang berani menyentuh seorang gadis yang tidak berdaya dengan luka segar di lehernya? Itu kau! Dan hanya kau!!"
"Eohh kau masih mengingatnya? Aku bahkan tidak ingat kenapa aku bisa melakukan hal seperti itu, Tapi aku memaklumi jika kau tidak bisa melakukan kejadian itu. Mungkin karna itu aku! Dan hanya aku!!" Kata Angga santai membalikkan semua kata-kataku. Ingin ku tempat dan lemparkan laki-laki sialan ini dari jendela tapi tidak bisa.
"KAU INI MEMANG BERENGSEK!! MEMANGNYA KENAPA JIKA AKU TIDAK BISA MELUPAKANNYA? MEMANGNYA KENAPA JIKA AKU SAAT ITU TIDAK BISA APA-APA? APA KAU BERHAK MELAKUKAN SEMUA ITU PADAKU??!!! AKU TAU MUNGKIN SUDAH BANYAK WANITA YANG KAU PERLAKUKAN SEPERTI ITU DAN MEREKA HANYA DIAM DAN LANGSUNG MELUPAKANNYA TAPI TIDAK UNTUKKU!!!" Aku berteriak lalu menangis sekencang-kencangnya dan membuat semu yang berada di kelas terkejut dan menghakimi Angga dengan tatapannya.
"Apa lihat-lihat? Aku tidak melakukan apapun, Dia hanya salah bicara."
"Hiks...Dia bohong..hiks. Dia sudah_" Angga membekap mulutku dan mencegahku untuk melanjutkan kata-kataku. "Berhenti menatapku seperti itu, Atau aku akan melaporkan kalian ke BK." Semudah itu. Dan mereka yang tadinya ingin menolongku, kembali ke aktivitas mereka masing-masing.
Angga berbisik. "Baik-baik aku minta maaf. Ku mohon jangan teriak lagi. Kau mau satu sekolah dan Lucia tau apa yang sudah ku lakukan padamu?" Emosiku kian berapi-api, dan dengan berani ku cakar tangan Angga hingga ia mau menarik tangannya dari mulutku. "BERENGSEK!! Biarkan saja! Biarkan saja semua orang tau sebenarnya kau ini murid yang seperti apa. Saat di sekolah, kau menjadi murid teladan tapi di luar sekolah. Kau sangat berengsek!! Hiks.. kenapa kau melakukan semua ini? Apa aku serendah itu? Apa setelah melihatku di perlakukan buruk oleh Rey, Kau menganggapku seperti sampah?"
"Ti-ti-Tidak, Cia. Aku tidak pernah berpikir seperti itu. Kurasa kau masih lapar. Ayo! Kau bisa habiskan sisanya, Aku tidak akan memintamu untuk mengembalikannya."
"Aku tidak lapar dan kau belum menjawab ku sama sekali. Apa kau benar-benar sejahat itu?"
"Ohh Astaga... Baik akan ku jawab." Aku menarik ingus untuk mendengarkan Angga. "Baik! Aku melakukan itu, Karna kau terlihat lucu."
Ehh Apa? Maksudnya, Aku terlihat lucu saat tidur dengan luka menganga di leher, begitu?
"Ya. Kau itu lucu. Bukankah aku sudah pernah mengatakannya?"
Kapan?
"Kau tidak ingat?" Aku menggeleng. "Kurasa tidak."
"Ya sudahlah lupakan saja. Itu sudah lama sekali."
Jadi, dia membuatku kepikiran tentang arti bekas di leher itu berhari-hari hanya karna dia merasa aku itu lucu? Aishh kenapa rasanya tidak mungkin ya? Ohh apa jangan-jangan dugaanku dulu itu benar? Angga memang menyukaiku dan karna itulah dia selalu datang saat aku mengalami kesulitan. Tapi.. itu lebih tidak mungkin lagi kan? Karena Angga adalah kekasih Lucia yang berarti Angga dan Lucia saling menyukai satu sama lain.
Angga menepuk bahuku. "Eh?"
"Kau baik-baik saja kan? Apa kau masih marah?" Aku berkedip sekali lalu memperbaiki posisi dudukku menghadap ke jendela yang menampakkan hamparan langit biru cerah di depan mata.
Aku akan mencari tahu sendiri.
*****
▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬