▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬
"Astaga Aya. Kau ini mau ikut festival sekolah atau mau membuat butik jualan?" Kataku terkejut melihat seluruh belanjaan yang dibawa oleh supir Aya. Saat ini aku sedang berada di kamar Aya setelah menemaninya berbelanja besar-besaran. "Apa kau tidak tau? Semua pakaian ini akan aku gunakan di semua lomba yang berbeda."
"--Misalnya baju kaos warna merah ini." Aya menarik salah satu kantong belanjaan dan mengeluarkan baju berwarna merah cerah dari sana. Ia lanjut berkata. "Aku akan gunakan ini saat permainan olahraga basket."
"Dan baju lainnya kau mau apakan?" Tanyaku sambil berkacak pinggang. "Aku akan gunakan warna abu-abu untuk lomba futsal, kuning untuk badminton, Hijau untuk voli, dan gaun hitam yang satu ini akan aku gunakan saat perlombaan pemilihan duta sekolah. Astaga Cia. Aku benar-benar sudah tidak sabar, rasanya aku ingin meledak saat ini juga." Jelas Aya dan berakhir menjatuhkan dirinya ke tempat tidur. Aku ikut berbaring di sebelahnya.
"Apa festival ini sangat istimewa? Kenapa kau bahagia sekali? Entahlah, Aku bahkan tidak tau apa yang harus di rayakan dari festival ini."
"Apa maksudmu? Tentu saja sangat istimewa. Cia, festival ini sangat istimewa karna hanya terjadi sekali dalam setahun karna festival ini juga sekaligus merayakan ulang tahun sekolah kita. Harusnya kau senang. Bisa saja kan, Kau menemukan seseorang yang kau sukai di sana. Dan di kesempatan itu, dia akan mengajakmu berdansa dan menjadikanmu kekasihnya." Kata Aya dengan imajinasi fantasinya. Aku memukul jidat gadis itu untuk membuatnya tersadar. "Bangun! Tidak ada yang seperti itu. Itu hanya ada di novel-novel romance yang sering kau baca."
"Aww kau membuyarkan lamunanku. Padahal aku dan Kak Fiko hampir berciuman tadi."
"Haha untung aku menyadarkan mu sebelum Kak Fiko benar-benar mencium_"
"EHH APA??! KAK FIKO MENCIUM_ MPHHHHHHH..." Aya membekapku erat dan kami berdua berguling jatuh ke lantai.
"Aww punggungku." Keluhku kesakitan. "Astaga, Cia. Jangan berteriak! Kau mau aku di bantai habis-habisan sama Mamaku?"
"Ya Maaf. Itu karna kau mengagetkanku. Kenapa kau melamun bahwa Kak Fiko menciummu. Apa kau...?"
Aya mengangguk dengan senyum malu-malu. Ia berdiri lalu naik ke tempat tidur sambil memeluk bantal kesayangannya. Aku ikut duduk di sebelahnya. "Sejak kapan? Bagaimana bisa kau menyembunyikan hal sebesar ini dariku?"
"Hmm tidak terlalu lama. Mungkin saat hari dimana ia pertama kali muncul dan mengajariku seluruh pelajaran yang tidak aku mengerti. Dan kau tau? Aku sudah pernah ingin menceritakan ini padamu. Tapi kau! Kau terus mencegahku. Kau bilang ingin menyalin PR dan tidak ingin di ganggu olehku jadi aku tidak jadi memberitahumu."
"Apa? Hmm.. maaf kurasa itu semua memang salahku. Tapi, Apa kalian sudah berpacaran?"
Beberapa detik Aya hanya diam memikirkan sesuatu. "Belum tapi aku yakin, Dia juga merasakan yang sama seperti apa yang aku rasakan padanya." Katanya dengan tekad yang berapi-api. Aku ikut tersenyum dan mendukung usahanya untuk bisa memiliki hubungan lebih dari sekadar kakak dan adik kelas dengan Fiko. Karna aku pun yakin, Fiko lebih baik jika dibandingkan dengan Angga yang berengsek.
****
Di sekolah, seluruh murid sibuk mendekorasi kelas mereka masing-masing. Dan ada juga yang sedang berlatih untuk beberapa lomba nanti. Aku yang tidak tau harus apa, Hanya berjalan-jalan mengelilingi sekolah dan melihat kelas-kelas yang sudah di hiasi banyak pernak pernik. Kata Aya, Festival ini terbuka untuk umum karna itulah seluruh murid harus menghias kelas mereka sebaik mungkin untuk menarik pengunjung yang datang. Dan sekarang, Sekolah ini lebih mirip pasar malam daripada tempat belajar.
Namun sialnya, Di tengah jalan aku malah bertemu dengan beberapa antek-antek Lucia. Awalnya aku takut dan berniat untuk balik arah. Tapi karna mereka keburu melihatku, Aku pun memilih berjalan terus ke depan dan mengabaikan mereka.
Lalu_Dug!! Salah satu dari mereka mendorong bahuku.
Aku memegang tembok koridor agar tidak terjatuh. Mereka maju lalu menatapku tajam. "Halo bitches. Kau pikir aku tidak tau apa yang sudah kau lakukan?"
Apa lagi sekarang?
Kau kan yang sudah membunuh Dirga?" Tanyanya dengan tekanan di setiap kata.
Aku berdehem sekali. "Tentu saja tidak. Minggir! Aku mau lewat."
"Oh ya? Jadi bukan kau?" Mereka berlima maju selangkah demi selangkah dan berniat mengintimidasi ku. "Lalu siapa kalau bukan kau? Aku? Teman-temanku? Atau orang berjaket suruhanmu?"
"Orang berjaket? Apa? TIDAK!! Aku tidak pernah menyuruh apapun padanya." Tanpa sadar aku berteriak untuk membela diri. "Jadi kau mengaku bahwa kau sendiri yang membunuh Dirga dan dibantu oleh pria berjaket yang sering mengikuti mu itu?"
Mereka tau soal pria itu? Tapi kenapa bisa?
"A-Aku tidak tau apa yang kalian bicarakan. Sekolah sudah bilang kalau Dirga di bunuh oleh seorang rentenir dan kalian tidak berhak menuduhku seperti ini."
"_Bukankah kalian yang sudah menyuruh Dirga untuk menipuku? Berarti jika ada yang harus di tuduh di sini, Itu adalah kalian sendiri." Setelah berkata seperti itu, Aku langsung pergi dari sana. Namun tentu saja mereka tidak tinggal diam. Orang terakhir yang ku lewati sengaja menaruh kakinya di hadapan ku dan membuatku berakhir mencium lantai koridor sekolah. Mereka semua tertawa dan melanjutkan hinaannya.
Aku bangkit lalu berlari menjauh dari sana. Terserah, Mereka memang tidak waras.
Di kelas, Aku melihat Angga yang sedang duduk di sebelah Lucia sambil menyuapinya se-cup es krim. Entah kenapa, Aku yang memang maniak es krim apalagi coklat jadi tidak berselera setelah melihat Lucia memakannya dengan modelan seperti itu. Menjijikkan. Aku berjalan ke tempat Aya yang sedang sibuk berbincang-bincang dengan Fiko. Dalam hati aku berkata. 'Gadis ini memang pintar memanfaatkan kondisi'. Ternyata, Angga terus menatapku hingga aku tiba di samping Aya dan tidak sengaja menumpahkan es krim tersebut di rok Lucia.
Aku yang tadinya ingin mengagetkan Aya, Tidak jadi karna kaget duluan. Lucia berteriak kesal dan memarahi Angga dengan cara yang teramat aneh menurutku. Ia marah tapi dengan nada mendesah jadi aku tidak tau, gadis itu benar-benar niat marah atau tidak?
Di sampingku, Aya menyuarakan pendapatnya yang ternyata sama denganku. "Dia itu marah atau apa?" Aku mengedikkan bahu tak tau.
Ku tatap Angga sekali yang juga balik menatapku. "Oh iya? Apa kau mencariku?" Tanya Aya dan aku langsung mengalihkan pandanganku dari Angga. "Ahh itu Tidak. Aku hanya bosan. Ku kira kau sedang tidak ada pekerjaan jadi aku mau mengajakmu keliling sekolah."
Aya tampak sumringah dan hampir berkata iya. Tapi ia ingat masih ada Fiko dan tidak mungkin jika ia meninggalkannya sendiri di sini. "Umm tidak apa-apa, Kalian pergi saja. Sepertinya aku juga harus kembali ke kelas sekarang."
"Benarkah? Bagaimana Aya?"
Aya berpikir sejenak. "Ya sudah makasih buat pelajarannya hari ini ya, Kak. Berkat kak Fiko, aku jadi bisa terbiasa sama soal-soal teka teki kayak gini."
Fiko tersenyum lalu mengusap rambut Aya. Ya ampun... Aku tidak bisa menahan tawa melihat Aya yang sudah semerah tomat. Gadis itu mencoba menutupi wajahnya dengan buku lalu menyenggol bahuku agar mengalihkan perhatian Fiko. "Haha Oh iya kak, Kak Fiko kan mau balik ke kelas. Boleh kami ikut untuk melihat-lihat kelas Kakak?"
"Tentu. Kapanpun kalian mau."
"Ayo." Aku menyilahkan Aya dan Fiko untuk jalan duluan dengan alasan ingin mengambil ponselku. Namun sebenarnya aku tidak membutuhkannya, Aku hanya tidak ingin mengganggu Aya dan Fiko nanti.
Ku geledah laci mejaku dan menemukan ponsel beserta sebuah surat di sana. Aku memperhatikan isi kelas tapi tidak seorang pun yang ku rasa pemilik dari surat itu. Saat ku balik juga tidak tertera nama ataupun alamat sang pengirim. Heh? Apa ini?
Aku menyimpannya di tas lalu menyusul Aya dan Fiko yang sudah menungguku di luar. "Kenapa kau lama sekali?" Tanya Aya.
"Tidak apa-apa. Ayo kita pergi."
Dari belakang, Aku memperhatikan Aya dan Fiko yang berjalan beriringan. Mereka sangat serasi dengan semua kelebihan yang mereka miliki. Tidak salah, jika Aya bahkan sampai jatuh cinta pada lelaki baik hati seperti Fiko. Ku harap, Fiko juga menyukai Aya dan mereka akan menjadi pasangan terhebat di sekolah.
Aya terus bercerita tentang betapa serunya festival sekolah yang akan berlangsung nanti. Dia mendengar, Akan ada tamu undangan dari kalangan artis dan seleb, Serta setiap murid akan memamerkan bakat dan keahliannya. Tidak usah bertanya kenapa Aya bisa tau banyak soal ini. Dia itu bagian dari pengurus sekolah serta orang tuanya jugalah yang menjadi salah satu donatur penyelenggara festival ini.
Fiko berhenti di salah satu kelas yang tidak jauh dari kelasnya. Itu kelas XI IPA 1. Di dalamnya di hiasi tanaman hijau segar dan bunga-bungaan yang mengeluarkan bau semerbak. Hebat sekali mereka. Dan keluarlah seorang gadis dari sana menyapa Fiko. Ia tinggi, putih, dan harus ku akui sangat cantik bahkan dengan rambutnya yang sedikit lepek karna keringat. Atmosfer di sekitarku seketika berubah saat gadis itu mulai bercengkrama panjang lebar dengan Fiko dan menjelaskan tema kelasnya yang ternyata musim semi. Aku melirik Aya yang hanya menunduk dan diam tanpa sepatah kata pun.
Aku menepuk bahunya. "Kau tidak apa-apa?"
Aya menjawab lesu. "Kurasa begitu." Lalu menatap Fiko dan gadis cantik itu yang masih asyik bercengkrama. Baik, Aku mengerti. Kurasa Aya takut bahwa kakak kelas itu bisa saja menjadi saingannya. Beberapa detik kemudian, Fiko mengenalkan kami padanya.
"Oh iya Nayla, Kenalin dia Cia dan Aya. Mereka adik kelas kita dan mereka datang untuk melihat-lihat."
Gadis yang ternyata bernama Nayla itu menyala kami ramah dengan suaranya yang lembut. Parah... aku yakin gadis ini adalah idaman seluruh lelaki yang ada di sekolah. Aku memperhatikan Nayla yang sibuk membersihkan keringat di dahinya dengan tangan tapi di cegah oleh Fiko. Lalu Fiko mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya dan mengusap keringat Nayla. Mampus... Aku menoleh dan mendapati Aya yang tersenyum kecut menyaksikan itu semua.
"Ouhh Kau tidak harus melakukan itu. "Kata Nayla. "Tidak apa-apa, Kurasa kau benar-benar kelelahan mengerjakan ini semua."
"Haha tidak apa-apa. Oh iya, apa mereka mau masuk untuk melihat-lihat kelasku dulu? Mungkin mereka akan_"
Aya memotongnya. "Kak Fiko. Kita langsung ke kelas kakak saja. Emm maksudku, Kami memang tidak seharusnya di sini jadi kami tidak mau membuat masalah dengan terlalu lama berada di area kakak kelas." Aku mengangguk menyetujui.
"Benarkah? Padahal aku mau menunjukkan sesuatu pada kalian."Kata Nayla sedih. "Tidak apa-apa, Nayla. Mungkin lain kali."
Dan kami pun melanjutkan langkah ke kelas Fiko. Aya berjalan sendiri mendahului kami. Mungkin dia ingin menenangkan diri sejenak. Lalu Fiko bertanya padaku. "Apa kau tidak apa-apa?"
"Eh? Tidak. Aku baik-baik saja."
"Syukurlah."
"Kenapa?" Tanyaku balik. Fiko menggeleng sambil tersenyum malu-malu. Dia ini kenapa?
Kemudian, Kami berhenti di depan kelas Fiko yang sudah setengah jadi. Dan tidak kalah hebatnya dari kelas yang tadi, kelas Fiko sendiri mengambil tema ruangan 3D dengan mengandalkan teknologi-teknologi yang sudah berkembang di masa kini. Aku tertegun saat mereka mulai menguji cobakan karya mereka itu pada beberapa teman sekelasnya. Ruangan aslinya memang hanya dilapisi wallpaper hitam namun seluruh dekorasi lampu dan ornamen-ornamennya membuatku terpanah. Mereka menggunakan kacamata VR sebagai alat untuk mengekspresikan hasil karya mereka. Aku dan Aya saling tatap dengan takjub saat layar mulai memunculkan efek-efek seperti yang diinginkan sang pengguna. Mulai dari melawan zombie, mengendarai rollercoaster, dan loncat dari ketinggian.
"Yah... Kurasa tidak ada yang harus ku lakukan sekarang." Kata Fiko memperhatikan seluruh kelasnya sudah siap kecuali meja guru yang masih di tempatnya dan beberapa kabel yang masih terlilit di sudut ruangan.
Aya memujinya. "Wow ini adalah dekorasi terbaik yang pernah aku lihat. Bagaimana kelas kakak bisa dapat ide seperti ini? Ini benar-benar sangat seru dan orang-orang pasti akan ramai datang ke kelas kakak."
"Kau benar, Aya. Aku bahkan tidak menduga akan ada yang mengambil tema seperti ini." Kataku menambahkan.
Drttt drrrttt....
Ponselku bergetar dan aku langsung ijin keluar untuk memeriksanya. Itu sebuah pesan singkat yang memintaku untuk segera membuka surat tadi. Aku memeriksa nomor sang pengirim yang ternyata tidak dikenal. Siapa?
Lalu pesan berikutnya datang lagi. Kali ini ia masih memintaku untuk segera membuka surat tersebut dengan ancaman akan melakukan sesuatu jika aku tidak segera melakukannya. Tidak, Ini mungkin hanya pesan dari orang iseng. Tapi, bagaimana dia tau tentang surat itu? Aku berkeringat dan gemetaran antara ragu dan takut. Ragu, jika ini hanya ulah dari anak buah Lucia lagi dan takut kalau ancaman ini memang nyata.
Dan pesan kembali muncul. Berisi sebuah foto yang menampilkan ruangan dengan nuansa hitam tapi di isi lampu berwarna-warni. Namun, yang paling membuatku terkejut adalah, gambar itu menunjukkan sebuah kabel yang terlilit dan sebuah gunting di sebelahnya.
Apa ini? Aku mencoba menerka-nerka dimana sekiranya aku pernah melihat semua tumpukan kabel itu. Dan bagai tersambar petir, Aku menatap kelas Fiko dengan dahi mengkerut serta foto itu bergantian.
"Di dalam sana_"
BOOMMMM!!!! Sebuah ledakan kecil tiba-tiba terdengar dari kelas Fiko yang ramai akan murid-murid yang tadi ikut menonton denganku. Semua orang berteriak dan berlari menjauh dari sana.
Deg.
"AYA!!" Aku memanggil nama gadis itu dengan kesetanan dan menerobos arus murid yang berlawanan arah itu. Sesekali aku terdorong kembali keluar dan hampir terjatuh ke lantai. "Aya! Aya!!!" Aku berlari masuk ke dalam kelas dan mendapati kobaran api sudah membakar setengah dari wallpaper yang terpasang di dinding. Aku menatap setumpukan kabel tadi yang sudah terbakar dan putus di beberapa bagiannya. Di sini penuh dengan asap dan aku dengan bodoh menghirupnya karna kelelahan. Aku terbatuk dengan mata menyipit mencoba mencari Aya. Beberapa teman sekelas Fiko mencoba memadamkan api dengan karung basah dan gorden jendela.
Batukku semakin parah tapi aku tak kunjung menemukan Aya. Hingga saat aku semakin mendekat ke layar tadi. Ternyata disana sudah tergeletak seseorang dengan kacamata VR yang sudah terbakar bersama dengan kepalanya. Sudah di pastikan murid itu sudah mati. Kakiku berubah lemas dan pandanganku pun kian mengabur.
Lalu aku merasa sebuah tangan menutupi mataku. Seseorang berbisik padaku. "Sudah. Jangan dilihat lagi." Orang itu menuntunku untuk keluar dari kelas dan akhirnya aku bertemu dengan Nayla dan Fiko yang mencoba menenangkan Aya.
"Aya." Panggilku lemah. Seketika gadis itu langsung bangkit dan berlari lalu memelukku erat. "Cia... Kau darimana saja? Kau tau aku sangat takut? Aku takut kau kenapa-napa, Aku takut kau juga terluka." Aya menangis dengan keras hingga membasahi mantel seragamku.
Barulah beberapa guru dan pemadam kebakaran datang dan membantu membersihkan mayat tersebut serta memadamkan api yang masih tersisa. Aku ikut menangis dalam diam di pelukan Aya. Guru BK nampak mewawancarai Fiko dan Nayla. Dan Angga, orang yang tadi membawaku keluar dari kelas hanya diam sambil bersandar ke pembatas koridor.
"Aku takut, Cia. Tiba-tiba ada suara ledakan dan orang itu meledak seperti kembang api." Aku balik memeluk Aya sama eratnya. "Ti-ti-Tidak apa-apa. Kau baik-baik saja Aya."
Kami menangis hampir setengah jam di sana. Angga bahkan harus membujuk kami beberapa kali agar kami tenang dan melupakan kejadian tadi. Semua murid di pulangkan kecuali beberapa orang yang harus dimintai keterangan seperti aku dan Aya serta beberapa anak yang penasaran.
Aku bertanya kepada Angga yang sejak tadi ngotot meminta kami berhenti menangis. "Kenapa kau tidak pulang? Kau bahkan tidak di sini saat kejadian tadi."
"Ya! Kenapa kau tidak pulang saja?" Aya ikut bertanya.
"Kau pikir, Siapa yang akan mengantarmu pulang?" Tunjuknya padaku.
"Kau kira aku tidak bisa pulang sendiri? Kita sudah berada di era globalisasi sekarang dan tidak sulit menemukan kendaraan umum di sini."
"Lalu apa? Kau pikir ada yang mau menerimamu, Setelah melihat wajahmu yang menakutkan seperti itu?" Aku menatap Aya meminta pendapat. Dan gadis itu, tentu saja mengangguk.
"Tapi aku tidak mau pulang bersamamu."
"Memangnya kau mau pulang sama siapa?"
Aku tidak tau harus menjawab apa jadi aku bergumam sampai Fiko tiba-tiba datang dan berkata bahwa dialah yang akan mengantarku pulang. Dan aku kembali merasakan atmosfer di sekelilingku berubah drastis. Ini sama saja rasanya seperti dipaksa masuk kembali ke kelas tadi. Angga menoleh hanya untuk sekedar menatap Fiko tajam dengan rahang yang dikatupkan erat-erat. Aku duduk dengan bulu kuduk yang meremang di sebelah Aya yang kembali diam bak patung relief.
"Kau mau mengantarnya pulang?" Tanya Angga tajam. Aku tidak tau kemana hilangnya Nayla tapi di saat-saat seperti ini, harusnya ia muncul lalu memperbaiki suasana dengan senyumnya yang dewasa. "Tentu. Rumahku dekat dengan rumah Cia. Aku yang akan mengantarnya pulang."
Lalu aku memikirkan semua kemungkinan jika aku pulang bersama Angga ataupun Fiko. Apa-apaan situasi ini?
Angga berbalik kemudian bertanya dengan penuh penekanan padaku. "Cia, Kau mau pulang dengan siapa? DeNGANKU atau DeNGAN ORANG INI?"
"Aku pamit dulu." Kata Aya tiba-tiba. Ia berjalan sambil menunduk namun aku langsung menahannya. "Aku pulang denganmu saja, karna kurasa harus juga ada yang mengantar Aya pulang di kondisinya seperti ini."
"_Kak Fiko bisa antar Aya pulangkan?"
"Cia, Tidak usah. Sopirku akan datang menjemputku nanti." Bisik Aya pelan.
"Bukan itu, Aya. Ini bukan tentang siapa yang mengantarmu pulang, Tapi siapa yang bisa meyakinkan mama kamu kalau kau itu baik-baik saja. Dan aku tidak yakin, teman sebangkuku ini bisa melakukannya dengan baik." Angga mendengus lalu menarikku ke arahnya.
"Yah.. baiklah. Aku akan pulang dengan gadis tidak tau malu ini, Dan kau bisa mengantar Aya pulang." Angga merangkulku seolah kami memang sedekat itu. Aku memukul tangannya namun dia tidak kunjung melepasku.
Aku beralih bertanya pada Fiko. "Bisakan Kak Fiko?" Ia tertawa kecil lalu menggandeng tangan Aya. "Tentu saja bisa, Haha." Aya menunduk malu hingga harus menahan jeritannya saat menatapku beberapa kali.
Suasana canggung itupun akhirnya membuatku memberanikan diri meminta para pria ini melepas kami untuk mengambil tas di kelas. Hingga tiba di parkiran, Aya tak kunjung ingin mengangkat kepalanya karna kelewat senang. Dan di sanalah kami berpisah.
Aya berkata pada Fiko saat akan menaiki motornya. "Maaf karna merepotkanmu kak."
Fiko menjawab dengan senyum ramahnya seperti biasa. "Tidak. Kau sama sekali tidak merepotkanku. Ayo naik!"
"Baik." Aya membalas senyumannya dan mereka pun meninggalkan Aku dan Angga di parkiran sekolah yang sepi.
"Cepat naik!" Suruh Angga dengan sikpanya yang kembali menyebalkan. "Bersabarlah. Aku harus mengikat tali sepatuku dulu kalau tidak mau jatuh."
"Percuma. Karna aku akan tetap menjatuhkanmu di tengah jalan nanti."
Aku menggelepak helmnya. "Enak saja. Kalau kau sampai melakukan itu, Aku tidak akan segan-segan menghantuimu seumur hidup."
Ia tertawa lalu membantuku naik ke boncengan motornya. "Sudah?"
"Ya." Motor Angga pun membawa kami pergi dari sekolah itu.
*****
▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬