Chereads / TOK TOK / Chapter 20 - Chapter 20

Chapter 20 - Chapter 20

▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬

"Halo Polisi."

"Ya, Ada yang bisa kami bantu." Kata Polisi tersebut lalu mempersilahkan pria tadi duduk. "Saya ingin melaporkan orang hilang."

"Ouh Astaga. Sebentar, Kami akan menyiapkan datanya. Nah baik, Anda siapa korban?"

"Saya cucunya, Pak. Nenek saya menghilang setelah beberapa hari tidak pernah memberi kabar pada kami."

"Bisa anda sebutkan bagaimana ciri-cirinya?"

"Ya, Dia berusia sekitar awal 70an, rambutnya putih dengan tubuh kecil yang sedikit berisi. Dia sering mencepol rambutnya ke belakang dan memakai syal abu-abu saat keluar rumah."

"Yang lain?"

"Emm Oh iya, Dia juga punya bekas luka bakar di kakinya."

Polisi mulai mengumpulkan data soal nenek sang pria yang menghilang dan mencatat alamat korban. "Dia hanya tinggal sendirian di rumahnya karna suaminya sudah meninggal dan dia menolak tinggal bersama kami karna nenek saya sangat menyayangi rumah itu."

"Baik. Kami akan menyimpan laporan Anda dan akan melaksanakan penyelidikan segera. Anda jangan khawatir, selalu beritahu kami jika anda menemukan sesuatu sebagai petunjuk."

"Apa nenek saya bisa di temukan pak polisi?"

"Tentu saja. Selama anda percaya dan ingin bekerja sama dengan kami." Malam itu pun berakhir dengan kasus baru yang harus di tangani oleh sang polisi yang terbilang cukup muda itu.

Namanya Erik. Kita panggil saja dia Pak Erik. Pak Erik masuk ke dalam mobilnya lalu memasang sabuk pengaman dengan erat. Ia kemudian mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang.

Telpon diangkat dan Pak Erik langsung berkata. "Kasus baru, Kurasa dari orang yang sama. Tapi aku masih tidak yakin sebelum melakukan penyelidikan besok."

"Oh benarkah? dimana?" Jawab seseorang di seberang telepon tersebut.

"Kau tidak akan percaya saat ku beritahu lokasinya. Temui saja aku besok di kantorku, Aku harus memberitahu hal yang penting padamu."

"Baik." Telpon terputus dan Pak Erik pun melajukan mobilnya pulang ke rumah.

*****

"Ya! Aya, Aku tidak mau. Aku tidak suka menyaksikan orang-orang saling merebut bola seperti orang tidak waras seperti itu. Kenapa mereka tidak beli bola saja untuk masing-masing orang?" Aya menyeretku dari kelas ke lapangan dengan alasan ingin ditemani menonton pertandingan bola basket.

Aku memberitahunya bahwa dia bisa saja di cari-cari oleh para panitia karna kembali menghilang di tengah acara. Dan Aya bilang bahwa ia sengaja tidak mengikuti lomba apapun hari ini karna ingin melihat dan mendukung Fiko yang akan bertanding basket untuk kelasnya.

"Tapi aku tidak mau. Di sana sangat panas dan sangat berisik."

"Tidak! Kau tidak boleh menolak. Ayolah, Cia. Ini untuk Kak Fiko, Apa kau tidak ingin mendukung dan memberinya semangat saat bertanding nanti?" Kata Aya dengan ekspresi penuh harap padaku. "Hentikan itu. Kau pikir itu bekerja padaku?"

"Cia, Ku mohon. Lakukan ini demi aku. Ya?ya?"

"Tapi ak_"

"Hai! Kalian di sini?" Tanya Fiko menginterupsi kami berdua. Aya dengan tingkah malu-malunya menjawab. "Tentu. Sejak tadi Cia sudah bersemangat dan berkata bahwa kita harus segera ke lapangan untuk mendukung Kak Fiko."

"Eh AKU???" Aku terkejut karna Aya berani menjual namaku di depan Fiko. Gadis ini benar-benar....

"Ya, Tentu saja kau. Hahaha Kak Fiko sangat keren dengan seragam basket itu."

"Benarkah? Terima kasih. Kau juga sangat manis dengan baju itu Aya." Aku merasakan nyeri pada tanganku yang digenggam Aya hingga memerah. Aku menahan diri untuk berteriak kesakitan dengan membalas menginjak kaki gadis itu. Aya terpekik kecil.

"Kenapa?" Tanya Fiko.

"Ti-ti-Tidak! Kurasa semut menggigit kakiku tadi." Kata Aya beralibi. Terus saja kaitkan aku dengan semut. Lama-lama aku bisa satu spesies dengan mereka.

"Ouh? Apa sakit? Biar aku lihat dulu jangan-jangan nanti bisa bengkak." Aku hampir tertawa menghadapi kepolosan Kak Fiko yang percaya dengan alibi Aya. Sungguh, Perutku sangat sakit karna menahan tawa. Hingga saat pengumuman pertandingan akan segera dimulai, Barulah Fiko berhenti memaksa untuk melihat kaki Aya dan gadis itu bisa bernafas dengan lega.

"Baiklah. Kurasa memang tidak apa-apa. Oh iya, Pastikan kalian menonton dan mendukungku di bangku depan, Ya?"

Fiko menyerahkan tas yang berisi peralatan-peralatannya padaku lalu berlari menghampiri teman-temannya yang sudah siap di lapangan. Aya mengambil alih tas itu. "Biar aku yang pegang." Aku mengangguk dan dengan tas Fiko yang kami bawa, Kami dengan mudah dapat memilih tempat duduk paling depan dekat dengan lapangan.

"Kau tau apa yang paling aku syukuri sekarang, Cia?" Tanya Aya tiba-tiba. "Apa?"

"Aku bersyukur karna kakak kelas bernama Nayla kemarin itu tidak terlihat sama sekali dan dari banyaknya orang yang menyukai Fiko, Dia sendiri yang memilih dan mempercayakan barang-barangnya padaku."

"Apa kau bilang Nayla?"

"Ya, Ada apa?"

"Bukankah itu dia, Di sebelah sana yang mengenakan kostum pemandu sorak dengan spanduk di tangannya?" Tunjukku ke bagian lain lapangan tepatnya di sebrang kiri tempatku dan Aya duduk.

"Ya!!! Kenapa gadis itu ada di sini? Untuk apa dia memakai pemandu sorak aneh seperti itu." Nampaknya Aya kesal dan tidak senang dengan keberadaan Nayla. "Apa kau cemburu?"

"Cemburu? Haha tentu saja tidak. Sudah di pastikan Fiko lebih memilih aku dari pada dia. Tidak ada alasan bagiku untuk cemburu."

"Eh eh lihat itu!"

"Dia mau apa?"

"Itukan?"

"UWAHHHHHHHHHHH WAHHHHHH UWWWAAAHHHH." Semua orang bersorak dan bertepuk tangan setelah regu pemandu sorak yang dipimpin Nayla membentuk Piramida manusia lalu Nayla yang berdiri paling atas mulai membuka spanduk yang di bawanya. Spanduk itu bertuliskan "KELAS XI IPA 3 SEMANGAT!!! FIKO SEMANGAT!!!"

Aku tertegun saat menoleh ke Aya yang tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Hingga saat wasit akan meniup peluitnya, Aya menyerahkan tas Fiko padaku lalu berdiri di kursinya. Seketika aku membeku dan menariknya untuk duduk kembali. Semua orang menatap kami tapi Aya tidak juga mau menurutiku. Aya menunduk untuk melihatku yang bersembunyi di balik tas Fiko lalu tersenyum. Di lapangan luas dan padat itu, Aya berteriak dengan lantang. "KAK FIKO SEMANGAT!!! KELAS XI IPA 3 SEMANGAT!!! KAMI SEMUA MENDUKUNGMU!!!"

Sepertinya bukan aku saja yang terkejut di sini. Sontak semuanya diam selama beberapa detik sebelum satu tepuk tangan lalu di susul tepuk tangan lainnya mulai bersahutan dari belakang. Semua orang ikut berteriak dan mendukung kelas Fiko dan menganggap Aya hanya sedang membangkitkan semangat tadi, Bukan melampiaskan kemarahannya.

"WOAHHHHH!! YEAHH YEAHHHHH!!!" Lapangan di penuhi teriakan penuh semangat dari para penonton yang membuat pertandingan semakin ramai dan seru.

Aku mendongak melihat Aya dengan penuh senyuman memandu para penonton untuk memberikan semangat. Jika sudah begini, tidak ada gunanya lagi ada pemandu sorak di pinggir lapangan. Benar-benar ide yang brilian, Aya.

Pertandingan di mulai dan semua orang mulai fokus dan Aya pun kembali duduk di sebelahku. "Apa-apaan itu?"

"Hah? Apanya?"

"Ya!! Barusan kau berteriak seperti orang kesurupan. Kau pikir aku tidak malu melihatmu melakukan itu?"

"Kenapa? Aku hanya sedang memberi semangat untuk Kak Fiko dan teman-temannya."

"Oh iya? Kau tau? Karna ulahmu itu, Nayla dan pemandu sorak lainnya pergi. Mereka mana bisa menyamai teriakanmu yang nyaring itu."

Aya dengan santai menjawab. "Itu sih urusan mereka."

"Tapi sekaligus rencanamu kan?" Aya diam lalu meneguk air botolnya. "Ssstt diam. Jangan sampai ada yang mengetahuinya." Katanya dengan senyum jahil. "Hahahaha." Kami berdua pun tertawa dan menikmati kembali pertandingan hari itu.

Selama pertandingan, Aku dan Aya bersorak seperti orang gila yang sudah lepas kendali. Aku tidak masalah dengan hal itu karna aku tau di lapangan ramai seperti ini, tidak akan ada yang menyadari apa yang aku dan Aya lakukan. Yang paling menghebohkan adalah ketika break time. Aku beberapa kali harus menahan jeritan karna Aya yang terus saja mencubit lenganku. Itu karna Fiko yang dengan santainya malah mengguyur kepalanya dengan air di hadapan gadis itu. Bayangkan saja jika kalian berada di posisi Aya saat ini. Kau menyiapkan air untuk orang yang kau sukai minum saat menyelesaikan pertandingannya dan dengan posisi angle, orang itu menyirami air itu dari rambut turun ke wajahnya.

Aku bersumpah, Bahkan aku sendiripun hampir jatuh cinta saat Fiko melakukan hal itu. Bak di slowmo, Seluruh perhatian, Alam, dan ketenangan berpusat padanya. Aku menganga tak percaya sedangkan Aya sepertinya sudah pingsan karna tidak kuat.

Lalu aku menyadari sesuatu. Kenapa dia mirip_ Mirip seseorang? Tapi siapa? Lagi-lagi aku mengalami hal ini. Aku menatap Fiko dengan alis berkerut. Tunggu, Aku mengingat sesuatu. Sebuah foto? Tidak! Seseorang. Dimana ya?

"Cia." Panggil Fiko menyadarkan ku. "Kalian ini kenapa? Apa kalian sakit?"

"Eh? Oh? Tidak. Aku-Aku..."

"Tunggu! Aya kenapa? Apa dia tidur?" Aku menoleh untuk memeriksa kondisi gadis itu. Ku rasa dia sekarat karna pesona Fiko. Ku tepuk pipinya berkali-kali agar ia tersadar. "Tidak apa-apa, Kak. Dia cuma tidak sengaja menelan lalat tadi."

"Lalat?"

"Ya, Hahaha tidak apa-apa. Ku rasa Kak Fiko harus kembali bertanding sekarang."

"Hmm baiklah. Pegang ini!" Fiko menyerahkan botol airnya padaku yang langsung ku masukkan ke tasnya. Ia kemudian melanjutkan. "Terima kasih sudah datang, Ya." Lalu pergi untuk menyusun rencana.

Aku berkedip beberapa kali lalu membangunkan Aya. "BANGUN ATAU KU PANGGIL KAK NAYLA KEMARI!!!"

"E EHH AYAM! Jangan lakukan itu!" Kata Aya terkejut dan memperbaiki posisinya.

Pertandingan melawan kakak kelas itu benar-benar sangat menegangkan. Namun, sesuai perkiraan kelas Kak Fiko berhasil lolos ke babak selanjutnya. Aku, Aya, dan para pendukung kelas Kak Fiko bersorak dan berteriak senang. Aku tidak tau ternyata semenyenangkan ini saat menyaksikan secara langsung sebuah pertandingan.

"Wow Kak Fiko benar-benar luar biasa tadi." Puji Aya saat Fiko menghampiri kami untuk mengambil handuk dalam tasnya. "Haha terima kasih. Ini berkat kalian semua yang sudah mendukung kami."

"Oh iya, Kak. Apa aku boleh mengambil foto dengan Kak Fiko?" Tanya Aya tanpa rasa canggung sedikitpun. Ku rasa cinta sudah mengalahkan segalanya. "Cia! Kau ikut juga." Ajak Fiko.

"Aku? Tidak. Itu tidak perlu, kalian saja."

"Ayolah, Cia." Aya kembali menyeretku dan memposisikan dirinya berada di tengah-tengah aku dan Fiko. Dia meminta seseorang yang lewat untuk memotret kami bertiga. Dan aku yang memang jarang mengambil foto hanya bisa tersenyum kaku dengan posisi yang canggung. Tidak seharusnya aku disini.

Dan tepat waktu, Ponsel di saku ku tiba-tiba berdering dan aku menjadikan itu alasan untuk melarikan dari kedua sejoli tersebut. Mereka masih sibuk mengambil gambar saat aku membaca pesan yang masuk ke ponselku ternyata berasal dari Mr. F. Seketika aku merinding dan dengan cepat membuka pesan itu. Hanya satu kata yang bertuliskan "Loker".

Loker? Maksudnya lokerku? Aku dengan sigap berlari di koridor melalui tangga lalu mendobrak pintu kelas yang tidak seramai biasanya. Aku membongkar kotak pensil ku dan mencari kunci lokerku di sana. Ketemu! Aku bergegas membuka loker nomor 13 yang ada di kelas. Itu adalah lokerku dan di dalamnya sudah ada sebuah surat sesuai instruksi pengirim pesan. Aku mengambil surat itu lalu kembali mengunci lokerku. Jangan heran kenapa sikapku biasa saja saat ada yang membuka lokerku seenaknya. Itu karena aku memang tidak pernah menyimpan apapun milikku yang berharga di sana. Itu hanya mirip seperti pajangan di kelas. Tapi cukup mencurigakan juga orang itu bisa memasukkan surat ke lokerku dengan mudah.

Sulit menebak dia orang dalam atau luar sekolah di saat seperti ini. Aku memejamkan mataku sejenak untuk menenangkan diri. Tidak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja.

Aku berdiri lalu berbalik untuk meletakkan surat itu di tas. Tapi_Hap!

"Ya! Kembalikan itu." Lucia kembali muncul lalu merebut suratku. Tidak! Apa kau mau mati? Kau tidak tau seberapa berbahaya surat itu bagi orang lain.

"Hei apa ini? Apa kau menulis surat cinta? Ahahaha. Untuk siapa ini?"

"Hentikan ini. Kembalikan surat itu!!" Aku mengejar Lucia yang berlari mendekati papan tulis sedangkan anak buahnya menahanku agar tidak mengganggunya. "Apa ini? Tidak ada namanya? Apa aku harus membukanya?"

Aku panik dan berteriak. "Tidak!! Jangan lakukan itu, Aku mohon kembalikan!!"

"Teman-teman." Panggil Lucia pada seisi kelas. "Lihat! Cia menulis sebuah surat cinta. Apakah aku harus membacakannya untuk kalian?"

"Tidak! Kertas itu tidak ada isinya. Itu bukan apa-apa." Kataku sambil mencoba membebaskan diri dari tahanan anak buah Lucia. "Oh iya? Lalu kenapa kau bersikeras mendapatkannya kembali?"

"Itu-itu karena_" Aku mati kutu dan tidak tau harus jawab apa. "Baik. Aku akan membukanya. Lucia membuka surat itu dan menemukan kertas kumuh entah berisi apa. Tapi di lihat dari wajahnya, sepertinya ia tidak mengerti dan bingung dengan isi suratnya.

"Hei Apa ini? Apa kau gila?"

Aku ikut bingung dengan rasa penasaran dari kelanjutan huruf teka teki Mr. F. "Untuk apa kau menggambar emoticon tersenyum pada sebuah surat lalu menyimpannya di lokermu?"

"Apa? emoticon tersenyum?" Tapi kenapa? Ku kira itu susunan huruf-huruf. Kenapa jadi berantakan seperti ini? Ini lebih rumit dari apa yang aku bayangkan.

"Ku rasa kau benar-benar sudah tidak waras setelah gagal merebut Angga dariku. Ck, Ck, Ck, Kalau seperti ini, Aku kan jadi kasihan padamu."

Aku mencoba untuk kembali membujuk Lucia agar mengembalikan kertas itu tapi dia menolak dan dengan sengaja merobeknya hingga menjadi potongan-potongan kecil kemudian melemparnya ke udara. Jantungku mencelus dan perasaanku jadi kacau. "YA!! APA YANG KAU LAKUKAN??!" Dengan sekali hentakan aku terbebas dari anak buah Lucia lalu memunguti semua potongan kertas yang masih bisa ku temui.

Gadis gila! Apa dia tidak tau seberapa penting kertas itu bagi nyawa seseorang?

"Ahahaha kau ini bagaimana, Cia? Aku ini hanya mencoba untuk menolongmu. Kau itu tidak waras dan tidak seharusnya kau berada di sini." Ia berjalan mendekati teman-temannya sembari menginjaki kertas yang masih ku punguti. "Terserah kau saja! Jika kau memang merasa aku tidak waras, Maka sebaiknya jauhi saja aku!!"

Aku hampir menangis saat membayangkan apa saja yang bisa di lakukan pengirim surat itu pada orang lain jika tau kertasnya rusak. Aku membiarkan Lucia dan teman-temannya terus mengejekku dan berniat pulang lebih awal ke rumah.

*****

"Ohh Astaga... Ternyata ini tidak semudah yang ku bayangkan." Keluhku sambil meratapi potongan-potongan kertas yang masih tersisa.

Setelah membersihkan diri tadi, Aku langsung menyusun kertas-kertas itu semampuku dengan mengingat kembali apa yang dikatakan Lucia. Jika memang kertas tersebut hanya berisi emoticon tersenyum, berarti aku hanya perlu menyusun kertas yang berisi mata, dan mulut gambar. Itu dugaan awalku sebelum mencoba melakukannya. "Aaahhh Bagaimana cara menyusunnya??"

Aku menyadari beberapa potongan kertas ternyata tidak ada dan tertinggal di kelas. "Ohh Ayolah, Aku sudah menyusunmu selama tiga jam (sambil makan) tapi kertas sisanya malah tidak ada? Huhuu bagaimana aku akan menyelesaikan ini semua?"

Aku frustasi dan memilih membiarkan kertas itu begitu saja di meja belajar. Aku lelah dan tidak tau harus apa. Semua ini membuatku bingung dan ragu untuk melakukan apapun. Semakin hari aku semakin aneh karna selalu terjebak dalam pikiranku sendiri. Pantas saja tidak ada yang ingin berteman denganku. Lucia mungkin benar, Aku memang tidak waras. Tidak waras karenanya, karena surat itu, dan masih ada pria berjaket. Lalu siapa lagi selanjutnya?

Ku baringkan tubuhku ke kasur dengan posisi menghadap langit-langit kamar. Aku hanya bisa mendengar detak jantung dan hembusan nafasku yang kadang sulit ku kendalikan. Sebelum dering ponsel mengejutkanku dan hampir membuatku melemparnya ke jendela.

"Aishhh siapa yang menghubungiku malam-malam begini?" Saat ku lihat nama sang penelepon, Aku semakin terkejut. TIDAK MUNGKIN!

Aku dilanda keraguan untuk menerimanya atau tidak. Aku ini kenapa? Ini hanya panggilan telpon, bukan ajakan pacaran. Kenapa aku gugup sekali?

Aku berdehem lalu mengatur nafas. Tenang, aku hanya perlu tenang dan angkat telponnya. "Ya. Halo Angga? Kenapa kau menghubungiku?" Kataku tenang.

Dan lelaki itu menjawab dengan geram. "Payah. Kau ini darimana saja? Kenapa lama sekali mengangkat telpon?"

"Ke-ke-kenapa? Memangnya ada apa?"

"Ya!! Kau itu yang kenapa. Kenapa kau menghubungi orang malam-malam begini lalu berteriak tidak jelas?" Aku yang memang sedang tidak ingin diganggu pun balik marah padanya. "Tidak usah terlalu percaya diri. Aku hanya menghubungimu karna ada sesuatu yang penting bukan untuk hal lain."

"HEII KAPAN AKU BILANG SEPERTI ITU? DASAR BODOH! APA HARUS KU INGATKAN BAHWA YANG MENGHUBUNGIKU DULUAN ADALAH KAU DAN JIKA ITU MEMANG PENTING KENAPA TIDAK KAU KATAKAN SAJA DARI TADI??!!"

Aku yakin di seberang sana pasti Angga sedang kesulitan dengan teriakanku yang tadi. Biar saja, Aku tidak peduli. Dia memang menyebalkan, Sangat-sangat menyebalkan.

"Oh Astaga...Tuhan, tolong selamatkan telingaku yang malang ini." Aku mendengar Angga berkata sekilas. "KAU_"

"Dengar! Bisakah kita menunda ini dulu sejenak? Aku perlu memberitahumu sesuatu. Dan ini tentang Aya."

DEG.. Tiba-tiba aku merasa seluruh tubuhku membeku dan perasaan cemas dan khawatir seketika menggerayapiku dari atas ke bawah.

"A-Apa maksudmu tentang Aya? Di-di--dia kenapa? Apa dia baik-baik saja?"

"Emm ya kurasa." Jawab Angga ambigu. "Ya! Apa-apaan kau ini!! Apa yang sebenarnya ingin kau katakan??" Aku meremas selimutku karna takut. Aku merasa seperti ada yang memperhatikanku dan saat ku jelajahi kamarku, Aku melihat potongan-potongan kertas tadi berterbangan ke lantai karna angin dari jendela kamarku yang terbuka.

Tidak! Apa ini ada hubungannya dengan surat itu?

Aku mendengar Angga menghembuskan nafas berat di seberang. "Pertama-tama aku ingin mengatakan ini tidak seperti yang kau pikirkan. Hanya kejadian kecil dan sepertinya akan segera berakhir."

"_Begini, Saat ini aku sedang di kantor polisi bersama Aya dan supirnya. Tadinya aku ingin menemui pamanku tapi tidak sengaja melihat mereka berdua di interogasi oleh polisi. Saat ku cari tau, Ternyata mereka mengalami kecelakaan dengan seorang pengendara motor. Tapi, Kau tenang saja. Aya baik-baik saja dan supirnya sedang mencoba berkomunikasi kepada pengendara motor yang di tabraknya. Sepertinya ini hanya kesalahpahaman tapi Supir Aya bersikeras berkata bahwa ia tidak bersalah melainkan pengendara motor itu yang memotong jalannya duluan."

Mendengar itu, Aku semakin takut dan dengan lirih berkata. "Tolong hentikan ini, Angga. Jika kau memang ingin membuatku takut, Ya!! kau memang berhasil. Aku sudah ketakutan sekarang. Dan ku mohon, Jangan membuatku tambah bingung lagi...."

Aku tidak menduga setelah apa yang aku katakan, Angga langsung marah dan meneriakiku. Ia mengatakan bahwa ia tidak bohong dan Aya memang sedang di kantor polisi. Tapi aku menolak untuk percaya atau lebih tepatnya tidak bisa menerima jika sesuatu yang buruk terjadi pada temanku. "Angga.. Ini tidak lucu. Aku tau kau berboh_"

"Kenapa kau tidak mau mempercayaiku? Aku tau saat ini kau marah padaku, Tapi aku tidak mungkin membohongimu apalagi jika itu tentang sesuatu yang tidak baik. Kau membenciku, Tapi aku tidak sejahat itu untuk mengarang soal musibah orang lain. Kenapa kau tidak pernah mengerti?"

"Aku-Aku.."

"Ku rasa aku memang benar saat mengatakan kau itu memang manusia yang egois. Kau tidak layak memiliki teman atau siapapun di sisimu. Kau hanya memikirkan dirimu sendiri, Tidak mau mempercayai orang lain, Dan bertindak seenaknya.

Terserah jika kau memang tidak ingin mempercayaiku setidaknya aku sudah memberitahumu."

Aku merasa pundakku semakin di bebani rasa bersalah. Apa aku memang orang seperti itu?

Aku mencoba memperbaiki keadaan dengan menanyakan alamat kantor polisinya dan berniat pergi ke sana. "Tidak usah. Aku tidak ingin kau kembali bertindak bodoh dengan memakai pakaian tidur serta jaket kebesaran keluar rumah malam-malam begini.

Semuanya sudah di urus oleh pamanku dan Aya serta supirnya akan segera pulang sekarang. Jangan khawatir, Semuanya baik-baik saja." Kata Angga dingin lalu memutuskan sambungan telepon. Ku hembuskan nafas sesak berkali-kali setelah menyadari kesalahanku padanya. Aku memang berniat menjauhinya tapi aku tidak tau bahwa itu akan menyakitinya separah ini.

Bahkan setelah semua yang dia lakukan padaku, Aku belum benar-benar pernah mengucapkan terima kasih dan membalas kebaikannya. Aku tau aku salah, Tapi tidak ada cara lain. Aku sendiri tidak yakin bisa melewati semua masalah ini dengan baik tapi setidaknya hanya aku yang akan dirugikan nanti. Bukan orang lain.

*****

▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬