Chereads / TOK TOK / Chapter 21 - Chapter 21

Chapter 21 - Chapter 21

▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬

Satu Minggu yang lalu...

"Biarkan aku menolongmu."

"K-ka-kau... Kau mau apa? Pergi! Pergi!!" Usir Si wanita tua sambil menggesek tubuhnya di lantai dapur rumahnya untuk menjauh. "Tenang. Aku kesini hanya untuk membantumu. Usia mu sudah tidak cocok untuk dunia yang kejam ini."

"Tidak! Tidak! Aku TIDAK MAU! Pergi!!! Atau aku akan menelpon polisi." Mendengar itu, Si orang bertopeng tertawa lalu menelengkan kepalanya ke samping. Meskipun tidak melihat langsung wajahnya si wanita tua tersebut tau betul semengerikan apa ekspresi orang itu saat ini. "Benarkah?"

"_Kalau begitu LAKUKAN!!!" Lanjut orang itu dengan nada menekan. Dengan cepat, Si wanita tua bangkit lalu berlari menghampiri telpon rumahnya di ruang tamu. Namun sebelum sampai, Orang bertopeng tersebut memukulkan tongkat bisbol ke kepalanya hingga terdengar seperti ada bunyi retakan. Si wanita tua jatuh terkapar di lantai dengan kepala yang mengeluarkan banyak darah. Ia menangis lalu berteriak dengan pilu. "Aghhhh... Hiks... Aghhh....To-to-Tolong" Dengan sekuat tenaga ia menyeret tubuhnya dengan tangan yang terus menggapai-gapai ke depan, berharap ia bisa menemukan sesuatu sebagai alat pertahanan. Lalu dengan kejam si orang bertopeng menggoresi kedua lengan wanita tua itu hingga berdarah. Lengannya yang memang sudah keriput dan kurus semakin mengerikan karna bekas-bekas goresan yang terus dibuat si orang bertopeng. "ARGHHHH....hiks...AGHHHH....hiks... hikss..."

Inilah yang ia suka saat memainkan pisaunya. Jika sang korban memiliki kulit yang sangat mudah untuk di goresi. Contohnya seperti kulit para lansia dan anak-anak. Semua itu membuatnya semakin menikmati apa yang ia lakukan dan tidak berniat menyudahinya.

"Jangan takut."

"_Sebaliknya, berterima kasihlah padaku. Karena aku sudah menolongmu dari semua beban yang kau derita." Ia mengayunkan pisaunya ke punggung si wanita tua dan dengan beberapa kali tusukan, Orang itu menghabisi nyawa sang wanita tua tanpa ampun. Ia mengangkat pisaunya yang meneteskan banyak darah lalu mengangkat kepala si wanita tua hingga bergerak lemas ke kanan dan ke kiri. "Hmm? Sudah mati?"

Tidak lupa untuk menghilangkan bukti, Ia menyembunyikan mayat wanita tua itu di tembok lalu menimbunnya dengan semen. Di balik topengnya itu, Ia kembali tersenyum. Rasanya seperti beban yang selama ini kau tanggung, Terangkat. Digantikan dengan rasa puas yang membludak dan keinginan untuk kembali merasakannya pun menjadi kerinduan yang tiada tara.

Manusia berdarah dingin yang tidak segan-segan menghabisi nyawa orang lain demi kebahagiaannya. Tanpa tujuan dan alasan yang jelas. Membunuh secara acak orang-orang yang di temuinya dan percaya bahwa yang dia lakukan adalah kebenaran dan keadilan untuk sang korban.

"Aku tau apa yang selama ini sudah kau alami karna ulah cucumu itu. Tunggu saja, Aku akan mengirimnya padamu." Kata orang bertopeng lalu beranjak pergi dari sana.

*****

"Ohh? Aku tidak mau. Jika dengan menontonnya aku bisa di beri hadiah, Baru akan aku lakukan." Kataku pada Aya.

Barusan ia mengajakku untuk menonton pertandingan basket di lapangan. Aku mau-mau saja sebenarnya. Tapi setelah ia memberitahu siapa yang akan bertanding, Aku dengan cepat menolaknya. "Kau ini sebenarnya kenapa? Tadi kau bilang iya, Sekarang Tidak. Apa kau tidak mau mendukung kelas kita?"

Aku bukannya tidak mau ikut, Apalagi yang bermain adalah kelasku sendiri. Tentu saja aku ingin melihatnya. Tapi yang jadi masalahnya adalah, Jika kelas kami yang bertanding, Sudah di pastikan bahwa Angga pasti ada di sana. Dan saat ini aku benar-benar tidak ingin bertemu dengan manusia menyebalkan itu. "Kalau kau mau, Pergilah. Kau tidak ingin melewatkan pertandingan Kak Fiko kan?" Aya menurunkan pundaknya dengan ragu. Lalu aku melanjutkan. "Ya sudah pergi sana. Aku akan di sini saja. Jika kau khawatir aku kenapa-napa, Tenang. Aku pasti baik-baik saja."

Setelah meyakinkan Aya, Aku mengambil posisi bersantai sambil memainkan ponselku. "Aishh kau sangat menyebalkan, Cia. Aku memang sangat ingin melihat Kak Fiko bermain tapi jika tidak ada kau, itu tidak akan seru. Kau mau aku harus cerita pada siapa nanti? Pada Lucia? Nayla? Tidak mungkin kan? Kumohon, Cia." Aku masih mengabaikannya dan tetap fokus pada kegiatanku.

Aya tampak berpikir keras dengan wajah yang di tekuk ke dalam. "Ahh begini saja. Apa kau tidak takut pria berjaket yang pernah kau ceritakan datang lalu melukaiku?"

Tak! Aku langsung memukul lengan Aya dan menatapnya tajam. Pikiranku di penuhi dengan kejadian mobilnya yang hampir menabrak pengendara motor dan aku mencurigai si pengirim surat yang sudah merencakan ini semua untuk membalasku atas suratnya yang rusak. Jika dugaanku memang benar, Itu berarti tidak ada jaminan bahwa orang itu tidak akan melukai orang-orang terdekatku. "Cia kau kenapa?"

Aku merasa genangan air sebentar lagi akan jatuh dan membasahi pipiku. Jadi aku mendongak ke atas untuk menghentikannya. "Hikss tidak. Aku tidak apa-apa. Kau benar-benar payah." Kemudian aku memarahi Aya. "Kau tidak boleh berkata seperti itu. Apa kau tau, Itu tidak baik. Jika itu sampai betul terjadi, Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri." Aku menunduk sedih yang semakin membuat Aya khawatir melihat ku. Andai gadis itu tau seberapa takutnya aku sekarang, Untuk berkata menyerah saja aku tidak sanggup dan tidak tau harus kemana. Dan dengan santainya dia berkata seperti itu.

Aya menepuk pundakku lalu mengusapnya untuk menenangkanku. "Emm Maaf, Cia. Aku tidak bermaksud mengatakan itu. Aku hanya_"

"CIA!!!"

Sontak aku menoleh ke arah pintu dengan cepat. Di sana ada Angga dengan senyum cerahnya sedang menatapku setelah meneriakkan namaku dengan tidak tau malunya. Ia masuk ke kelas dan menghampiriku dan Aya. Aku menatapnya dari atas ke bawah yang mengenakan seragam basket kebanggaannya. Ia lalu bertanya. "Kau di sini?"

Aku balik bertanya. "Pertandingannya belum dimulai?" Aya menjawab pelan di sebelahku. "Harusnya pertandingan sudah dimulai 10 menit yang lalu." Jadi kami berdua menatap menatap Angga penasaran. Masih dengan senyum anehnya, Angga menggenggamku dengan lengan kekarnya. "Tidak akan di mulai, Jika tidak ada kau di sana. Ayo!" Angga menarikku dengan kuat sehingga aku tidak bisa menolaknya. Aku mengikuti kemana ia membawaku dan ternyata itu menuju ke lapangan basket tempat semuanya berkumpul. Aku menatap punggung lebarnya dan berusaha mencegahnya. "E-Ehh aku tidak mau kesana. Hei.. lepaskan aku!!" Aku memukul lengannya setelah sadar semua penonton sudah menatap kami terkejut. Tapi tak disangka-sangka, di tengah jalan kami bertemu Fiko yang langsung mencegat Angga. "Ada apa ini?" Tanyanya. Aya yang ikut di belakangku pun maju untuk menjawab. "Em itu Kak Fiko_"

"Kenapa? Minggir! Kami ingin lewat." Kata Angga memotong. Mereka berdua saling menatap tajam seperti musuh lama yang dipertemukan kembali. Aku bisa merasakan genggaman tangan Angga semakin mengerat di lenganku yang mulai perih dan memerah. Jadi aku meringis kecil yang ternyata di sadari oleh Fiko. "Lepaskan dia. Kau melukainya."

"Hoh, Lalu? Kau mau apa?"

"Cih, Kau ini laki-laki macam apa yang hanya berani menyakiti wanita. Kalau kau mau lawan aku di lapangan, bukan di sini." Aku merinding digenggaman Angga yang semakin mengerat dari waktu ke waktu. Aku yakin, Lelaki itu tidak akan tinggal diam setelah dihina seperti itu. Angga memajukan tubuhnya. "Kau pikir kau siapa, Hah? Kau pikir aku takut? Orang sepertimu itu yang selalu memandang orang dari satu sisi tanpa tau yang sebenarnya. Jika memang kau ingin melawanku, Baik. Aku terima tantanganmu."

"_Ayo, Cia."

"Eh?." Aku kembali di seret oleh Angga. Tapi tanganku yang satunya di tarik oleh Fiko. Kami berdua kembali berhenti dan menoleh ke belakang. Aku memberi kode kepada Aya untuk membujuk Fiko melepaskanku tapi ku rasa gadis itu terlalu takut untuk melakukannya.

Fiko berkata dengan wajahnya yang tenang seperti biasa. "Aku belum selesai bicara, Kawan. Tidak usah terburu-buru."

"Lepas!" Perintah Angga yang langsung di turuti oleh Fiko. Ia melepas tanganku sembari berkata. "Aku akan membuat kesepakatan denganmu."

"Apa? Kau mau aku menuruti seluruh keinginanmu? Atau menjadi budakmu? Begitu?"

Fiko tertawa santai. "Hahaha tentu saja, Tidak."

"Aku hanya minta satu hal padamu. Dengar ini baik-baik. Jika tim ku berhasil menang dalam pertandingan ini, Kau sama sekali tidak boleh menyentuh ataupun mengganggu Cia lagi."

"Eohh? APA??!! TID_"

"Hei tenanglah dulu. Aku bahkan belum menyelesaikan kalimatku. Tapi, Jika tim mu yang menang, Kau boleh melakukan apapun padaku. Setuju?" Angga nampak memikirkannya dengan keras. Sedangkan aku di sebelahnya melongo merasa bodoh akan apa yang terjadi. Tunggu sebentar. Apa? Bukankah ini berarti mereka bertanding dan menjadikan aku sebagai taruhannya?

Sadar, Aku dengan cepat menginterupsi mereka berdua. "Ya!! Lepaskan!!!" Ku hempaskan tangan Angga dari lenganku. "Payah. Jika kalian ingin bertanding, Bertanding saja. Jangan bawa-bawa aku. Ayo, Aya. Kita pergi dari sini." Kataku sambil menggandeng lengan Aya kembali ke kelas. Gadis itu membisikkan sesuatu padaku. "Tapi Cia, Aku kan ingin menonton Kak Fiko bertanding."

"Ssshhh Kau diam dulu. Kita harus cari cara melarikan diri dulu dari pria-pria itu atau sampai kapanpun pertandingan tidak akan pernah di mulai." Dan tepat sesuai yang aku rencanakan. Seruan panggilan kepada kapten basket tim kelasku dan tim kelas Fiko sudah di tunggu di lapangan. Dengan begini, Aku dan Aya bisa terbebas dari kedua manusia menyebalkan itu.

"Ku rasa mereka sudah pergi." Aya mengintip di balik jendela koridor." Benarkah?"

"Ya. Lihat! Penonton sudah sangat ramai di lapangan." Itu benar, Aku bisa mendengar keramaian di lapangan dari sini. Pertandingan mungkin akan segera di mulai. Aku menghembuskan nafas lega lalu bersandar ke tembok. "Ngomong-ngomong soal Kak Fiko dan Angga, Apa kau punya masalah dengan mereka berdua? Maksudku, Apa-apaan itu tadi? Bukankah itu sangat aneh?"

"Aneh apanya? Aishh sudahlah. Ayo, kalau kau memang ingin menonton, Cepat. Jika tidak aku akan kembali ke kelas." Ancamku pada Aya.

"E-Ehh baiklah. Tapi beritahu aku dulu ada apa sebenarnya. Ku mohon, Cia. Ya?"

Aku memutar bola mata malas. "Lupakan itu. Ayolah Aya. Mereka mungkin hanya main-main. Lihat, Kalau mereka memang serius, tidak mungkinkan mereka membiarkan kita pergi?"

Aku memperhatikan Aya yang nampaknya masih memikirkan kejadian tadi. Aku melanjutkan. "Ya sudah, Kalau begitu aku kembali ke kelas saja sekarang."

"Eh tidak. Baiklah, aku tidak akan menanyakan itu lagi. Kau tidak marah padaku kan Cia?" Aya menatapku dengan pandangan memohon sembari menggandeng lenganku. Ku dorong kepalanya dengan telunjuk dan mengatainya. "Dasar bodoh! Tentu saja tidak."

"Sungguh?"

"Ya. Jika setelah ini kau mau mentraktirku es krim sepuasnya. Hahahaha." Aku berlari sambil tertawa meninggalkan Aya yang marah-marah tidak jelas di sudut lapangan.

Kami kemudian memilih tempat duduk sekiranya agak jauh dari tengah lapangan karna memang seluruh bangku terdepan sudah kosong sejak tadi. Setelah sempat membeli beberapa jajanan dan minuman, Aku dan Aya pun menikmati pertandingan yang berlangsung. Anehnya, Aya malah mendukung kelas Kak Fiko padahal yang mereka lawan adalah kelas kami sendiri. Aku memarahi gadis itu tapi dia bilang, Cintanya lebih penting dari pada kelas kami. Jadi aku hanya bisa geleng-geleng kepala mendengarnya. Mungkin ini yang orang-orang maksud budak cinta.

Dan kembali ke pertandingan. Beberapa kali Angga dan Fiko di pertemukan dan saling berebut bola. Dan pada saat itu jugalah pelanggaran sering terjadi. Hanya peluit wasit yang terdengar sejak awal pertandingan hingga sekarang. Sampai waktu break, Mereka berkumpul dengan kelompok masing-masing. Nampaknya keduanya sama-sama di tegur dan di beri peringatan oleh pelatih dan rekan setimnya. Mereka tidak serius bermain, Mereka malah bersaing satu sama lain tanpa mempedulikan rekan dan pertandingan.

"Hentikan ini, Angga. Jika kau memang ada masalah dengan Kakak Kelas itu, bisakah kau lupakan itu sejenak? Kita sedang bertanding, dan kau itu salah satu pemain basket terbaik di sekolah ini. Jangan rusak nama baikmu dengan masalah pribadi seperti ini. Mengerti?" Namun Angga tidak mendengarkan dan hanya mengalihkan perhatiannya pada penjuru penonton. Sampai dia menemukanku di tengah-tengah kerumunan bersama Aya yang kebingungan.

"Kenapa jadi seperti ini? Ini tidak seperti Kak Fiko yang biasanya. Dia biasanya tenang dan bermain sesuai aturan, tapi kenapa hari ini dia sangat berbeda?" Tanya Aya padaku.

"Kau benar. Entahlah, Mungkin ada yang salah dengannya." Jawabku. "Atau jangan-jangan ini karna masalah taruhan tadi ya? Karna itulah mereka jadi seperti ini?" Tidak! Tidak mungkin karna itu. Ku kira mereka hanya main-main tadi. Aku menyuarakan pikiranku. "Omong kosong. Aku yakin bukan karna itu. Pasti ada alasan yang la__"

"Berikan aku air!" Kata Angga dan Fiko bersamaan saat menghampiri bangkuku dan Aya. Kami berdua terkejut sembari menatap satu sama lain. Aku dan Aya masing-masing dari kami menggenggam sebotol air yang sudah setengah di minum. Tidak mungkin kan jika sisa air itu kami berikan pada mereka?

Aku menyenggol Aya untuk menjawab sebelum waktu break benar-benar berakhir. Dengan gugup gadis itu menjawab. "Ta-ta-tapi kami tidak punya air lagi. Hanya ada air sisa dan itu milik kami." Aku menambahkan. "Bukankah hal seperti itu sudah di sediakan oleh panitia?"

"Apa susahnya sih? Kau tinggal memberikan air itu padaku. Berikan!" Angga menarik paksa botol air yang sejak tadi aku genggam. Namun di tahan oleh Fiko. "Kau tidak boleh mengambilnya tanpa seijin Cia." Itu namanya Curang.' Lanjutnya dalam hati.

"Cia mengizinkanku. Iya kan?" Angga menatapku dengan alis yang terangkat sebelah. Eh? Aku harus jawab apa?

"Benar, Cia?"

"Ehh emm iya. Ehh tidak. Maksudku Tidak! Aku membutuhkan air itu untuk diriku sendiri. Kau tidak boleh mengambilnya Angga." Kataku dengan tegas.

"Lalu? Kau pikir aku peduli?" Dan tanpa menungguku kembali menolak, Angga langsung meminum habis air botol tersebut hingga tandas. WHATT??!!

"HEII APA-APAAN KAU INI?? ITU AIR CIA. KENAPA KAU MEMINUMNYA??!!" Marah Fiko lalu mendorong Angga ke belakang. Semua orang panik dan ikut bangkit bersamaku untuk melerai mereka berdua. Dadaku kembang kempis karna panik. Dan wajah smirk Angga adalah yang paling membuatku sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Hei, Apa maksudnya itu? . "APA??!! KAU INGIN MEMUKULKU?? PUKUL!!! PUKUL DIMANAPUN KAU MAU!! KARNA SAMPAI KAPANPUN, AKU AKAN TERUS MENGALAHKANMU." Setelah mengatakan itu, Angga turun kembali ke lapangan dengan senandung aneh lalu berbalik tersenyum padaku. Ya!! Kenapa semakin hari, Anak itu tambah aneh?

Jujur, Aku benar-benar takut. Seluruh penonton mulai membicarakan hal yang tidak jelas di sekitarku. Dan aku mulai tidak nyaman dengan hal itu. Dari kejauhan aku melihat Lucia bersama antek-anteknya menatapku tajam bak belati yang siap menusukku kapan saja. Sedangkan Aya masih dengan segala upanyanya menenangkan Fiko dan menawari kakak kelas itu air botol miliknya. Beruntung, Fiko mempunyai pemikiran yang lebih dewasa daripada Angga sehingga ia menerima air itu dengan senang hati meskipun aku sedikit kecewa pada pria itu karna bisa-bisanya hilang kendali seperti tadi.

Aya dengan senyum manisnya membalas rasa terima kasih Fiko lalu kembali mengambil tempat di sebelahku. Ia bertanya apakah aku baik-baik saja karna wajahku saat ini sangat pucat dan tidak bertenaga. Ku katakan padanya untuk tidak khawatir dan kembali menikmati pertandingan. Meskipun pertandingan yang saat ini berlangsung berbeda dari pertandingan sebelumnya.

"Aneh tidak, Cia?" Tanya Aya tiba-tiba. "Apa?" Jawabku malas. "Ini benar-benar sangat aneh. Coba kau ingat baik-baik. Angga dan Fiko sama-sama murid baru di sekolah ini. Tapi mereka masuk di waktu yang berbeda."

"Lalu? Apa kau pikir aku peduli?"

"Ya!! Jangan seperti itu. Cia, Aku belum selesai berbicara. Aku harus mengatakan ini sebelum kepalaku pecah karna memikirkannya terus."

"Kau ini sebenarnya mau bicara apa sih?"

"Apa kau tidak sadar, Cia?"

"Apa?"

"Sungguh? Apa kau benar-benar tidak menyadarinya?" Ku pejamkan mataku untuk tetap sabar menghadapi Cia yang tidak bisa berhenti bersuara di sebelahku. Tidakkah dia mengerti keadaanku saat ini?

"Ya, Aya. Aku tidak sadar jadi katakan saja cepat apa yang sebenarnya ingin kau katakan padaku."

"Wahhh ya ampun. Apa jangan-jangan memang hanya aku di sekolah ini yang menyadarinya. Apa kau tidak lihat Angga dan Fiko?"

"Kenapa lagi mereka berdua? Apa yang tadi saja tidak cukup? Aku tau kau menyukai Kak Fiko tapi kau harus sadar, Ia hampir menghajar seseorang tadi."

"Aishhh aku tau. Tapi bukan itu maksudku. Aku juga tidak membenarkan apa yang hampir ia lakukan tapi aku tidak sedang membahas hal itu."

Ku pasang wajah bertanya pada Aya yang dibalas gadis itu dengan pertanyaan pula. "Apa kau tidak sadar? Wajah Angga dan Fiko itu mirip loh."

HEHHH APA??!!!!

*****

"TIDAK MAU! AKU TIDAK MAU PULANG DENGANMU!! KENAPA KAU TERUS MEMAKSAKU??!!" Geramku pada Angga yang sudah siap dimotornya bersama tasku yang habis ia curi di kelas.

Ki rutuki dia sebanyak yang ku bisa namun sayang, Lelaki itu benar-benar keras kepala dan tidak mau menurutiku. Tidak ada cara lain, Aku memang harus melakukan ini.

"Angga...." Panggilku dengan nada memohon. "Ya? Apa marah-marahnya sudah selesai?"

Ku abaikan pertanyaannya. "Angga... Kumohon... Aku hanya ingin pulang ke rumah ku. Kau tau kan aku gadis yang mandiri dan tidak suka merepotkan orang lain. Ku mohon, biarkan aku pulang ke rumah sendiri. Ya?" Ku lembutkan suaraku selembut yang ku bisa sampai-sampai Angga harus membuka helm untuk memahami apa yang aku katakan.

"Apa? Kau bilang apa tadi?"

"_Hei Cia! Kau tau? Aku lebih suka kau yang sekarang daripada yang setiap hari selalu teriak-teriak di sebelahku. Jika untuk mendengarmu terus memohon Seperti ini padaku setiap hari, Aku rela mencuri tasmu setiap hari."

Sial! Bukannya berhasil ternyata cara terakhir ku malah memperburuk keadaan. Aku sudah melakukan cara kasar dan lembut, Namun tidak ada satupun yang berhasil membuat lelaki gila itu menjauh dariku. Lalu aku teringat dengan perdebatan kami malam itu. Benar, ku pikir dia sedang marah padaku, Kenapa sekarang dia jadi cepat sekali berubah?

"Kau! Bukankah semalam kau marah padaku? Kenapa sekarang kau jadi aneh begini. Sejak tadi pagi kau selalu saja menggangguku dan memaksakan kehendakmu, Apa bukan kau yang terlihat egois sekarang??"

"Siapa bilang aku marah?" Tanya Angga sambil mengibaskan rambutnya ke belakang. Tukang pamer!!!

"Kau-kau?? Tentu saja kau sedang marah. Kau mengataiku dan berkata kau tidak suka karna aku tidak mau mempercayaimu. Apa itu bukan marah namanya?"

Namun tanpa di sangka-sangka, Angga turun dari motornya masih sambil menyampirkan tasku di bahunya. Ia mulai berjalan mendekatiku perlahan tapi aku malah melangkah mundur karna ketakutan oleh tatapannya yang tajam. "Kau, Kau ini mau apa?"

Tin!!!

Tiba-tiba suara klakson berbunyi. Kami berdua kaget dan mucullah Fiko dengan motornya menghampiri kami. "Kenapa lagi dengannya?" Gumam Angga kesal. Ia berhenti kemudian membuka kaca helmnya. "Cia, Apa kau tidak apa-apa? Apa orang itu mengganggumu? Kalau memang iya, ikutlah denganku. Aku akan mengantarmu pulang."

"Eh tidak Kak Fiko. Ti-ti-Tidak ada apa-apa." Jawabku sambil terkekeh canggung. Aku masih ingat hubungan antara Angga dan Fiko sangatlah tidak bersahabat. Akan sangat beresiko jika aku harus terjebak di antara pertengkaran mereka berdua.

"Eohh? Kau?? Kenapa kau disini? Apa kau itu bodoh atau pelupa?"

"Ya!! bodoh, kenapa kau mengatakan itu. Dia itu kakak kelas kita. Bisakah kau menghormatinya sedikit saja?"

"Tidak apa-apa, Cia. Lagipula tidak ada gunanya menanggapi dendam orang yang pemarah." Kata Fiko dengan penuh penekanan. "Ngghahahaha iya Kak Fiko. Oh iya kakak tidak pulang? Bukankah kakak lelah setelah bermain basket tadi?"

Sepertinya aku lupa mengatakan siapa pemenang pertandingan tadi. Dan seperti dugaan kalian pemenangnya adalah kelasku yang tidak lain tim Angga.

Fiko tersenyum. "Hmm tentu saja. Aku rasa aku akan beristirahat sepanjang hari." Tangannya terulur untuk menepuk pelan kepalaku. Ia lanjut berkata. "Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Aku sangat senang." Dari ekor matanya ia bisa menangkap kemarahan Angga yang semakin yang sengaja ia sulut. Ia memberi senyum berbeda pada lelaki di belakangku. Seolah berkata, 'Mungkin kau yang memenangkan pertandingan, Tetapi pemenang sebenarnya adalah aku.'

"Cia! Ayo pulang!!"

"Ehh Apa? Tapi aku tidak bilang ingin pulang denganmu." Aku berbalik dan Fiko pun menarik lengannya. "Aku bilang pulang, Apa kau tidak dengar?" Ia menatapku tajam tanpa peduli seberapa takutnya aku pada dirinya sekarang. "Kau ini kenapa? Kenapa kau marah?"

"Cia. Aku akan pergi sekarang. Telpon aku jika kau dalam masalah, Oke?"

Aku mengangguk dan setelah kepergian Fiko, suasana mencekam tiba-tiba mengelilingi tubuhku. Ada apa ini? Apa karna sudah sore?

Kemudian aku berbalik. "Angga berikan tasku. Aku harus pulang." Tapi dia tetap menolak lalu berjalan menjauh dariku. "Ya!! Kau mau kemana? Kembalikan dulu tasku. Angga! Hari semakin sore, Aku tidak bisa pulang tanpa tasku." Aku pun berlari untuk mengejarnya. Dengan langkah lebar ia berlalu meninggalkan sekolah. Apa dia gila? Motornya bahkan masih ada di sana.

Kami melewati beberapa gedung dan saat aku mengikutinya berbelok di sebuah gang sempit, Ia menghilang. Tapi tidak mungkin. Ini jalan buntu, Bagaimana dia bisa menghilang secepat itu? Aku mencoba berteriak memanggil namanya tapi tidak ada tanggapan. Aku mendongak untuk menatap setiap gedung terbengkalai yang mengelilingiku. Tempat ini sangat kotor. Botol-botol berserakan dimana-mana bersama dengan puntung-puntung rokok yang sudah lama. Aku tau ini bukan tempat yang aman. "YA!! ANGGA! JANGAN BERCANDA!! INI SAMA SEKALI TIDAK LUCU. AKU MAU PULANG, APA KAU TIDAK MENGERTI JUGA??!!"

Kemudian suara pintu berdecit terdengar dari salah satu gedung tersebut. Apa Angga di sana?

"ANGGA! APA ITU KAU?" Cukup gila memikirkan bagaimana aku kembali terlibat dengan gedung tua yang kosong. Tapi jika bukan karena ponsel dan tasku, Aku tidak akan melakukan hal ini. Semakin banyak suara dari gedung yang sama. Jadi aku memilih untuk memasuki gedung itu untuk mencari Angga. Ruangannya sangat pengap dan gelap. Aku terbatuk sambil memanggil-manggil namanya. Tiba-tiba sekelebat bayangan lalu mengarah naik ke tangga. Aku mengikutinya dengan beranggapan kalau itu adalah Angga. Ku tulusuri setiap anak tangga dengan nafas pendek satu-satu berharap gedung ini masih memiliki lift yang bekerja. Tapi tentu saja, itu tidak akan pernah terjadi. Dan sampai pada anak tangga terakhir, kami tiba di rooftop gedung tersebut. Aku membuka pintu dan berjalan menghampiri Angga yang sedang duduk di tembok-tembok pembatas.

Awalnya aku berniat untuk mengerjainya tapi dia langsung tau aku sudah sampai. Ia menatap lamparan langit jingga yang semakin dekat di atas kami. "Bukankah itu indah?"

"Apa?"

"Langitnya. Itu selalu berubah-ubah tapi tidak pernah berpindah tempat." Aku menatapnya dari atas ke bawah. Apa dia kerasukan?

"Kau ini kenapa? Ya!! berikan tasku. Aku harus pulang sekarang. Sudah sore, dan kau tidak berhentinya menyusahkan ku seperti ini."

Lalu Angga menunduk menatapku. "Apa kau tau ini tempat apa, Cia?" Aku memperhatikan sekeliling. "Tidak! Memangnya tempat apa? dan kenapa kau membawaku kesini?"

"Ini adalah tempat pembunuhan."

"EH? APA??!!" Aku berteriak dengan panik sambil mencak-mencak ketakutan. "Apa kau gila? Kau tau ini tempat pembunuhan, untuk apa membawaku kesini? Ya!! Angga kumohon kembalikan tasku, oke? Aku janji, setelah ini aku akan menjauhimu, aku tidak akan mengganggumu, dan bertemu denganmu lagi. Aku mohon."

Ia tidak mendengar dan malah membersihkan butiran-butiran debu yang ada di dekatnya. "Cia, duduklah di sini." Ia menunjuk ke sebelahnya.

"Ti-ti-Tidak usah. Aku berdiri saja."

"Tidak. Kau harus naik kesini atau aku tidak akan mengembalikan tasmu."

"Kau?? Aishh bagaiman aku bisa naik kesana? Kalau aku jatuh bagaimana?"

"Tidak akan. Aku akan memegangmu. Ayo!"

Aku lebih suka Angga yang pemarah daripada misterius seperti ini. Sungguh, aku sudah tidak tau setakut apa diriku saat ini. Bagaimana jika Angga memang sangat membenciku dan berniat mengakhiri hidupku di sini?

"Kau tidak mau?" Tanya Angga membuyarkan lamunanku. "Eh Tidak. Aku akan naik sekarang." Aku mengambil sebuah ember cat lalu menggunakannya untuk memanjat tembok pembatas. Angga membantuku dengan mengulurkan tangannya dan dengan susah payah aku berhasil duduk di samping lelaki aneh itu. "Aku...Aku sudah di sini... Sekarang kembalikan tasku."

"Pertama-tama kau bisa membuka matamu dulu." Saat ini aku dengan posisi memeluk erat lengan Angga tanpa berniat membuka mata sedikit pun. Aku terlalu takut untuk itu. "Ahhh Angga kumohon. Aku...Aku tidak bisa....Aku takut." Aku membuat seragamnya berantakan karna terus menariknya tanpa henti. Aku bahkan bisa merasakan seluruh tubuhku bergetar entah karena memang takut atau gugup.

"Tidak apa-apa. Atau kau tidak akan bisa melihatnya lagi."

Aku mengerutkan keningku tak paham. "Lihat apa?"

"Itu." Aku memberanikan diri untuk melihat apa yang dia maksud. Dan kalian tau selanjutnya?

Selanjutnya aku hampir tidak sengaja membunuh diri sendiri karna berani terjun dari gedung setinggi ini. "Hati-hati."

Tapi apa yang aku lihat saat ini benar-benar akan membuat orang lain melakukan hal yang sama. Aku tidak tau bahwa tempat semenyeramkan ini memiliki sesuatu yang sangat indah dibaliknya.

Dihadapanku tersaji hamparan langit dan matahari terbenam yang sangat indah dan megah. Tidak pernah ku sadari ada tempat yang seindah ini. Langit jingga karna matahari yang hampir terbenam dicampur dengan goresan warna ungu yang menandai malam akan segera tiba.

"Kau suka?"

"Sangat! Aku sangat menyukainya." Aku menoleh dan tersenyum padanya. Ia balas tersenyum. "Karna itu aku mengajakmu kemari."

"Terima kasih ini benar-benar sangat indah. Tapi bagaimana kau bisa tau tempat seperti ini ada? Bahkan itu terletak di dekat sekolah kita?"

"Itu karna..." Angga menunduk dengan wajah sedih. Ia menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Itu karena disinilah ibuku mati..."

DEG.

Apa??

▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬