▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬
Di jalan sangat panas namun angin sedikit berhasil menyejukkan tubuhku. Dan angin pula yang hampir menerbangkan rokku beberapa kali. "Buka tasmu dan pakai itu untuk menutupi rok mu." Saran Angga yang menatapku dari kaca spion motor.
Aku mengikuti sarannya dan kemudian tersadar akan satu hal. Ku genggam tasku erat seperti akan ada yang merebutnya jika aku melepaskannya sedetik saja. Semua yang terjadi, ledakan, teriakan, dan kebakaran yang menewaskan seseorang itu. Semua itu terjadi hanya karna aku yang tidak menuruti kemauan pengirim pesan itu. Hanya karna sebuah surat dan sifatku yang egois dan tidak peduli membuat semua musibah ini terjadi.
Aku termenung dengan mata berkaca-kaca. Secara tidak langsung, Aku adalah pelakunya. Dan surat sialan yang ada di tasku ini, entah apa isinya. Siapa orang itu? Kenapa dia melakukan semua ini? Lalu kenapa harus aku?
Angga terus memanggilku tapi aku mengabaikannya. Aku menatap langit biru yang terhampar luas di atas agar air mataku tidak jadi terjatuh.
"Hei kau kenapa? Apa yang tadi belum cukup?"
Aku menggeleng lemah sebagai jawaban. Ku hembuskan nafas berat seperti yang biasa kulakukan saat sedang ingin menyembunyikan sesuatu dari seseorang.
Karna tidak enak sudah mengabaikannya, Aku mencoba menanyakan pada Angga tentang hubungannya dan Lucia. Anehnya jawabannya selalu saja berbeda dengan apa yang kutanyakan. Misalnya hari ini, dia menjawabnya dengan berdehem sekali lalu membahas festival sekolah.
"Ouh? Aku tidak pandai dalam hal apapun di kelas maupun luar kelas. Mungkin aku hanya akan datang beberapa kali lalu bermalas-malasan di rumah esoknya."
"Tidak. Kau harus datang setiap hari." Kata Angga tegas. "Kenapa?"
Angga tidak menjawab dan memberhentikan motornya di depan rumahku. Aku turun dan dia juga. "Kenapa kau turun?"
"Mana rumah Fiko?" Tanya Angga sambil membuka helmnya. "K-kau, Kau mau apa? Jangan lakukan yang aneh-aneh padanya."
"Tentu saja tidak. Kau lihat saja saat festival nanti. Aku dan orang itu akan bertanding dan kau harus datang untuk mendukungku."
Aku menatapnya heran. "Apa-apaan kau ini? Aishh sudahlah pulang sana."
"Beritahu aku dulu dimana rumahnya?"
"Lalu apa? Kau mau bertamu dan mengajaknya bertengkar?"
"Mungkin."
"Ya_Kau!!"
"Sudahlah. Beritahu saja aku dimana rumahnya. Aku janji tidak akan membuat masalah dengannya."
Aku memutar bola mata malas. "Dia tinggal kurang dari 1 blok dari rumahku. Jadi, kau tidak bisa melihatnya dari sini."
"Oh ya? Baguslah kalau begitu."
"Terserah. Sekarang giliranku bertanya."
"Eh? Kau mau tanya apa? Jika tentang Lucia, Lupakan saja." Aku berdecak kesal. "Bukan itu tapi sebenarnya aku juga penasaran tentang itu."
Aku melanjutkan dan Angga mulai mengenakan helmnya kembali. "Saat pertama kali mengantarku pulang hari itu, Kenapa kau bisa langsung tahu dimana rumahku? Padahal aku belum memberitahumu apa-apa."
Angga diam setelah helmnya terpasang. Aku masih menatapnya penasaran sampai akhirnya dia mulai menaiki motornya tanpa menjawab pertanyaanku. "Ya! Kau belum menjawabk_"
"Sebaiknya... Kau tidak usah tau tentang itu." Kata Angga lalu dengan cepat melesat dari hadapanku.
****
Aku meremas surat tersebut dengan tubuh gemetaran seperti habis dipaksa lari mengelilingi satu kompleks. Aku tidak tau harus berkata apa setelah membuka surat itu yang di dalamnya hanya ada huruf F yang di tulis dengan tinta merah dengan ukuran yang besar.
F? Siapa F? Apa itu F? Bagaimana bisa semua kejadian ini terjadi hanya karna sebuah huruf F??
Ku masukkan surat itu ke laci nakas lalu mengutak atik ponselku berharap bisa menemukan petunjuk sekecil apapun. Mulai dari Pesan singkat itu, beralih ke seluruh nomor yang ada di grup percakapan kelasku, dan seluruh panggilan telpon yang belakangan masuk. Dan hasilnya nihil. Aku sama sekali tidak bisa menemukan apapun.
Aku hanya yakin akan satu hal. Orang yang mengirim pesan ini ada di kelas Kak Fiko bersama yang lain. Ia berbaur di keramaian atau bisa juga bagian dari sekolah sendiri.
Pemikiranku pun sampai pada satu orang. Orang yang bisa melakukan apapun untuk mencapai tujuannya, bebas berkeliaran di penjuru sekolah, dan punya banyak alasan untuk melakukan ini semua padaku.
Jawabannya hanya satu.
Lucia.
****
Pria berjaket, Anak buah Lucia, dan sekarang? Biar ku namai pengirim surat itu dengan Mr. F.
Terlepas dari ia lelaki atau perempuan, akan aku pikirkan nanti. Yang menjadi permasalahannya adalah aku bahkan tidak tau apapun tentang ini semua. Mulai dari si pria berjaket yang ternyata sering mengikutiku hingga ke sekolah belakangan ini, Dan bagaimana anak buah Lucia bisa sampai tau tentang hal itu sedangkan aku sendiri tidak menyadarinya. DAN siapa lagi orang gila pengirim surat ini???
Ahh sudahlah. Aku memikirkan ini selama dua hari berturut-turut dan lihat sekarang, Mataku seperti panda yang belum makan seminggu. Aku bahkan sudah tidak pernah memakan es krim coklat kesukaanku.
Aku hanya ingin ini semua segera berakhir. Aku ingin kehidupan normalku kembali, Aku ingin jadi tak terlihat di mata orang-orang seperti Lucia. Dan aku ingin... Angga pergi dari hidupku.
"Cia." Panggil Aya. "Enghh?" Aku bertanya tak bertenaga. "Apa kau tidak ingin ikut berlatih bersama yang lain?"
"Huft... tidak. Aku tidak pandai dengan itu semua. Pergilah, Aku akan tetap berada di sini." Ku mainkan sebuah lagu ballad di ponselku yang berjudul "Don't forget" oleh iKON.
"Hei Cia. Kau ini masih muda, Kenapa kau bertingkah seperti nenek-nenek berusia 70an seperti itu? Kemana jiwa mudamu?"
"Ssstt diam. Ini bagian kesukaanku." Aku menyanyikan sepenggal lirik yang membuat Aya geleng-geleng kepala.
~Don't forget us~
~Don't forget me~
~Everything about me~
"Sudahlah. Kau memang tidak bisa di harapkan." Ku abaikan Aya dan kembali bersenandung. "Aku akan pergi dan jika kau membutuhkanku, Aku ada di lapangan."
"Baik." Aya pergi dan aku hanya sendirian di kelas. Tidak akan ku tinggalkan tempatku ini dengan harapan Mr. F hanya orang iseng dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan kejadian dua hari yang lalu. Aku masih tidak menyangka, Semua orang bisa melupakannya semudah itu dan sekolah masih ingin mengadakan festival ini.
"Mr. F! Kau ini sebenarnya siapa? Apa benar kau pelakunya?"
Aku mencoba merangkai kembali kejadian-kejadian tidak biasa yang sering terjadi belakangan ini. Seperti berita di TV, tiba-tiba pembunuhan sering terjadi di sekitarku. Oleh orang-orang yang ku kenal ataupun pernah dekat denganku. Aku tidak terlalu yakin dengan opiniku tentang pria berjaket itu yang bisa saja Mr. F yang sebenarnya. Karna setauku, Pria itu tidak pernah mencoba mendekatiku di luar apalagi sampai masuk ke lingkungan sekolah. Dan lagi, Dia belakangan lebih sering muncul di jam-jam yang berbeda setiap harinya.
Aku memijat kepalaku karna terlalu berpikir keras. Hingga tiba-tiba seseorang mengetuk pintu dari luar dan membuatku terkejut. Aku berlari untuk membuka pintu dan melihat seorang gadis berkacamata dengan tubuh tinggi di depan kelas. "Kau butuh sesuatu?"
Ia tidak menjawab melainkan menyodorkan sebuah surat padaku. "Untukku?" Ia menganggukkan dan aku langsung menerimanya. Tapi gadis itu langsung kabur dengan cepat. "Ya!! tunggu!"
Aku mengejarnya hingga tiba di lantai pertama gedung sekolah. Aku mengikutinya ke lapangan tapi dengan cepat gadis itu menghilang berbaur dengan murid lainnya. Bagus, Karna tubuh mungilku ini, aku jadi tidak bisa liat apa-apa.
Aku kembali menatap surat tersebut dan tanpa menunggu lama seperti kejadian sebelumnya, Aku membuka surat tersebut yang ternyata seperti dugaanku. Ini surat yang di kirim oleh Mr. F. Dan kurasa, surat ini adalah kelanjutan dari surat yang sebelumnya. Kali ini ia menulis huruf I di suratnya dengan tinta merah yang sama.
F dan I. Itu apa? Jika memang sebuah nama, Aku hanya perlu menunggu surat berikutnya dan menyusunnya perkata. Tapi bisa saja ini sebuah alamat, toko, ataupun negara. Aku sama sekali tidak tau. Di surat itu benar-benar hanya ada satu huruf tanpa petunjuk sedikitpun. Karna malas kembali ke kelas yang berujung aku akan memikirkan semua ini lagi dan lagi, Aku pun memutuskan untuk melihat geladi resik di kursi penonton. Semuanya ada disana. Aya, Fiko, Angga, Nayla, bahkan Lucia sekalipun.
Sekolah akan mempersembahkan beberapa acara hiburan untuk pembukaan lusa nanti dan semuanya tampak bersemangat menantikan hal itu. Aya menyapaku dari kejauhan dan aku hanya tersenyum menanggapinya.
Dan sontak saja, Lucia yang juga menyadari kehadiranku langsung mendekat ke Angga lalu menggandeng erat tangannya. "Tidak waras."
****
Dan tibalah hari dimana semua orang sudah sangat menantikannya termasuk aku karna tau tidak akan ada pembelajaran apapun selama festival.
Aku sampai di sekolah 5 menit sebelum pembukaan festival di mulai. Yang aku tau, nantinya aku harus ikut berbaris bersama yang lainnya lalu mengadakan pawai keliling sekolah. Dan tahukah kalian? jaraknya itu tidak sedikit, Butuh 2 jam untuk mengelilingi sekolah yang besar ini.
Di kelas, semua orang mempersiapkan diri dengan pakaian favorit mereka. Sedangkan aku, Aku memilih menggunakan pakaian olahragaku untuk pawai nanti. Hanya orang bodoh, yang menggunakan pakaian mahal hanya untuk pawai keliling sekolah selama 2 jam. Dan aku bukan orang bodoh.
Aya yang sudah siap dengan kostum Mayoretnya bersama Angga dan Lucia menghampiriku. "Kau ini kenapa pakai pakaian olahraga sih? Apa tidak ada pakaian yang lain?" Omel Aya.
"Aku tidak ingin mengotori pakaian bagusku dengan debu hanya untuk bermandi keringat dan matahari di jalanan."
"Tapi kan ini festival sekolah, Cia."
"Biarkan saja. Aku lebih nyaman mengenakan ini."
"_Oh iya, Kau tau? Kau nampak hebat dengan pakaian itu. Kak Fiko harus melihat ini, Dia pasti sangat suka saat melihatmu nanti."
"Hei berhentilah menggodaku atau konsentrasiku akan kacau nanti."
"Hahaha itu masalahmu Wleee."
Angga lalu ikut menghampiriku, tidak lupa dengan Lucia yang menempel padanya seperti perangko. "Kau datang?"
"Tentu. Aku harus mendukung seseorang."
Ia tertawa kecil agar Lucia tidak curiga dan kembali memberiku masalah.
Setelah itu, semua orang diminta berkumpul di lapangan berbaris sesuai kelas dan di pimpin beberapa mayoret serta drumben yang mengikuti di belakang. Setiap kelas X, XI, dan XII memiliki perwakilan mereka masing-masing. Dan saat inilah kita semua bisa melihat seluruh murid populer berkumpul bersama. Aura mereka benar-benar berbeda dan punya ciri khas masing-masing. Aku senang melihat Aya bisa ada di sana apalagi bersama dengan orang yang dia sukai.
Pawai pun dimulai dan karna sekolah kami termasuk sekolah terbesar di kota ini, Polisi ikut memantau dan mengatur lalu lintas jalan agar tidak terjadi kemacetan. Barisan panjang pun terbentuk mulai dari kelas XII hingga X dan untung saja, barisan kelasku tidak harus menjadi yang terakhir dan tertinggal jauh di belakang.
Setengah jam kemudian, Nafasku sesak dan sulit di atur. Aku sedang tidak terkena asma, melainkan cuaca yang panas dan padatnya jalanan membuatku pusing dan sedikit mual. Saking panjangnya barisan ini, Aku sampai tidak bisa lagi melihat Aya dan yang lainnya beraksi. Ku perkecil langkahku karna kelelahan dan aku pun tertinggal jauh di belakang. Ku rasa tidak ada yang memperhatikan karna mengira aku hanya pejalan kaki yang lewat dengan pakaian olahragaku ini. Aku pun terduduk di pinggiran trotoar. Aku bawa air tapi melupakannya di tas ku jadi dengan nafas pendek seperti keledai aku mencoba mengatur nafas. Aku menatap ke depan dan pria berjaket itu ternyata ada di sana.
Ia mungkin menatapku. Entahlah, aku tidak tau. Dia selalu memakai tudung jaketnya hingga menutupi seluruh wajahnya. Tiba-tiba seorang anak kecil menepuk bahuku. Ia menyodorkan sebotol air dan berkata bahwa orang yang didepan sana yang memberikannya padaku. Sontak, aku kembali menghadap ke depan dan pria berjaket itu sudah tidak ada di sana. Saat aku ingin menanyai anak tadi, ibunya datang lalu menariknya pergi.
Aku harus apa sekarang?
Tidak ingin tertinggal jauh dengan gerombolan sekolah, Aku berlari mengejar mereka setelah meminum air yang diberikan anak tadi atau lebih tepatnya si pria berjaket. Aku akan pikirkan ini nanti. Beberapa kelas nampak meneriakkan yel-yel mereka sendiri untuk meramaikan suasana. Bendera berkibar dimana-mana dan asap warna warni memenuhi seluruh pandangan.
****
Ku sembunyikan wajahku dalam-dalam di punggung Angga saat kami mulai memasuki pekarangan sekolah. Singkat cerita, Ternyata aku mengikuti gerombolan yang salah. Mereka akan melakukan demo kepada pemerintah dan bukan pawai yang di lakukan sekolahku. Aku baru menyadarinya setelah ban-ban mulai di bakar di jalanan dan spanduk yang bertuliskan beberapa keluhan masyarakat terpasang dimana-mana. Aku panik dan tidak tau harus apa. Awalnya aku ingin putar balik tapi takut karna beberapa orang di belakangku memegang batu dan senjata tajam. Namun jika aku mengikuti mereka, Aku harus apa? Aku masih di bawah umur untuk melakukan demo atau pun tawuran seperti ini. Saat itu, aku hampir menangis karna ketakutan.
Namun disinilah aku sekarang, Dengan luka segar di kening setelah di selamatkan lagi oleh Angga. Entah datang darimana, Ia langsung muncul masih dengan kostum Mayoretnya dan membawaku lari dari sana. Dan luka ini, Aku dapatkan sebelum ia datang saat aku berlari mencari perlindungan.
"Turunkan aku sekarang! Aku bisa jalan sendiri." Perintahku ke Angga.
"Baik." Aku turun dan berniat pergi dari hadapannya. "Obati lukamu, atau akan bertambah parah nanti."
"Ya." Aku berjalan ke UKS sesuai perintah Angga. Ini baru hari pertama, dan aku sudah terluka. Bagaimana jika sudah hari terakhir nanti?
Beberapa jam itu, Aku hanya sibuk termenung dengan segala masalahku. Semua orang sibuk dan aku juga tidak ingin mengacaukan hari bahagia ini. Aku mencoba berbaur dengan penonton seolah-olah menikmati festival ini. Mulai dari mendatangi setiap kelas, dan menonton pertunjukan hiburan yang sudah di persiapkan.
Aya benar. Ia memang membutuhkan banyak pakaian untuk acara ini. Aku sudah melihatnya berganti pakaian sebanyak 3 kali dalam beberapa jam ini. Ku rasa akan sulit untuk bicara dengannya beberapa hari ke depan.
*****
▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬