▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬
Angga mengambil tempat di sebelah Lucia dan mulai memainkan ponselnya. Tanpa menunggu lama, Lucia langsung merapatkan tubuhnya ke Angga. Ia menggelayut manja di lengan Angga dan mengeluh soal betapa kejamnya pria itu karna tidak menungguinya setelah ujian berakhir kemarin.
"Sayang~ Kenapa kau meninggalkanku kemarin? Aku menunggumu lama tapi kau tidak pernah datang, sebenarnya kau kemana saja?"
"Lepas!!" Kata Angga lalu menarik tangannya dari Lucia. "Kau ini kenapa? Aku ini kekasihmu tapi kau terus saja mengabaikanku."
Tanpa menanggapi Lucia, Angga masih sibuk memperhatikan ponselnya dan sukses membuat Lucia marah dan berniat merampas benda persegi itu dari Angga.
Dan ia berhasil. "Ya!!! Apa yang kau lakukan? Berikan itu!!" Angga mencoba meraih ponselnya.
"Tidak!! Aku ingin lihat apa yang lebih penting dariku di ponsel ini."
"Ku bilang berikan!!!" Tapi Lucia menyembunyikan ponsel tersebut di belakangnya hingga sulit dijangkau oleh Angga. "Sttt Diam dulu ya Sayang. Aku hanya ingin memeriksa sesuatu."
"Apa?? Tidak ada apapun dalam ponsel itu?"
"Ya jika memang tidak ada, lalu kenapa? Kenapa kau tidak ingin aku melihatnya? Jika kau memang tidak menyembunyikan apapun dariku, Kenapa kau tidak membiarkanku memeriksa ponselmu?"
Merasa posisinya yang sudah tidak bisa apa-apa lagi, Angga pun mengumpat dalam hati. 'Sial!'
"Baik, Mari kita lihat apa yang membuatmu sangat sibuk sampai mengabaikanku seperti ini." Lucia mulai mengobrak-abrik isi ponsel Angga dan menemukan sebuah artikel pencarian tentang sebuah pembunuhan yang beberapa minggu ini terjadi di kota.
"Apa ini Angga? Kau membaca artikel semacam ini?" Lucia pun menunjukkan layar ponsel Angga ke wajahnya. "Ya. Apa kau ada masalah?" Sebaik mungkin Angga tetap mencoba bersikap tenang dan mengendalikan situasi.
"Ayolah... Kau mengabaikanku karna kasus-kasus pembunuhan aneh itu?"
Lucia mendekat perlahan dan mengaitkan kedua tangannya di leher Angga. Gadis itu berbisik tajam tepat di telinga Angga. "Kau sangat berkeringat? Apa kau menyembunyikan sesuatu?"
Deg. Jantung Angga berdetak dua kali lipat namun bukan karna jatuh cinta. Ia melepas kaitan tangan Lucia di lehernya dan langsung merampas kembali ponsel miliknya. "Aku sudah bilang tidak ada! Berhentilah mengada-ada."
Mereka berdua kembali duduk bersama. "Hahaha Aku hanya bercanda sayang. Tadinya ku pikir kau berselingkuh di belakangku. Jadi aku khawatir, Aku tidak mau kehilanganmu. Aku sangat mencintaimu."Lucia memeluk pinggang Angga erat.
"Selingkuh? Cihh...dengan siapa? Mungkin jika aku melakukannya, gadis itu bisa saja sudah lenyap saat ini? Betulkan??" Jawab Angga sarkas. "Haha i-itu.."
"Halo Lucia!!!" Tiba-tiba datanglah segerombolan pasukan Lucia yang baru pulang dari berbelanja untuk gadis itu. "Lihat apa yang kami bawa!"
"Wah teman-teman kalian sudah datang?" Ia mengambil paper bag dan mengeluarkan sebuah gaun yang lumayan ketat dari sana. "OMG ini sangat cantik. Huhuu Aku mencintai kalian semua."
"Kami juga mencintaimu, Lucia." Jawab pasukannya kompak. Angga yang jengah, mulai bertanya untuk apa semua belanjaan sebanyak itu.
"Hei Lucia? Kau belum memberitahu kekasihmu?? Aishh kejam sekali kau ini?"
Angga diam, menunggu jawaban Lucia. Mereka saat ini sedang berada di sebuah cafe milik paman Lucia dekat sekolah mereka.
"Hmm kau tahu kan festival yang sering diadakan sekolah saat ujian telah usai?" Angga mengangguk sekali.
"Nah dalam festival itu akan diadakan beberapa lomba seperti olahraga, kesenian, termasuk pemilihan duta populer di sekolah. Dan kau tau? Semua ini, akan aku gunakan saat festival nanti dan semua orang hanya akan menatapku saat mereka melihatku dipanggung menggunakan gaun ini. Benarkan teman-teman?"
"Tentu saja, Lucia. Kau yang terbaik!!"
Dan disitulah Angga kembali mendapatkan ide untuk melanjutkan ke rencana selanjutnya. Apapun resikonya, Ia harus melakukan ini semua, tidak peduli apa akhirnya akan sia-sia atau tidak berguna. Setidaknya ia sudah berjuang dan tidak membiarkan ketidakadilan ini terus terjadi.
****
Angga turun dari tangga dengan nafas yang terengah-engah setelah memeriksa Cia sudah tidak ada lagi di kamarnya. "Bi, Mana Cia? Kenapa dia tidak dikamar?"
"Ouhh itu tadi tuan muda. Non Cia pamit pulang tadi sore, alasannya katanya dia takut di cariin sama orang tuanya jadi saya biarin pergi, Tuan."
"Apa? Bibi ini bagaimana? Aku sudah bilang agar tidak membiarkan Cia pergi dari tempat ini apapun alasannya. Apa bibi tau? Cia itu tidak tinggal bersama orang tuanya. Ia hidup sendiri dan bibi dengan mudahnya di bohongi olehnya. Oh Astaga...!" Angga menyisir rambutnya ke belakang dengan gusar.
Si pembantu yang nampak ketakutan, Akhirnya meminta maaf. "Ma-ma-Maaf, Tuan Muda. Saya tidak tau. Saya mohon jangan pecat saya dari tempat ini. Saya mohon.."
Melihat pembantu tersebut berlutut di kakinya, tanpa mengucapkan sepatah katapun, Angga kembali keluar dari rumah dan mengendarai motornya entah kemana. Ia tidak punya alasan untuk menemui gadis pembangkang bernama Cia itu. Tapi dia juga tidak bisa melepaskannya begitu saja setelah berhasil sedekat itu dengannya. "Aku akan mendapatkanmu kembali. Aku berjanji."
Dan di sisi lain, Aku yang tadi siang baru terbangun di kamar Angga karna ponselku yang terus berdering, Akhirnya kembali ke rumah setelah membohongi si pembantu rumah Angga. Aku berharap ia tidak harus mendapatkan masalah yang besar karna aku. Mungkin Angga hanya akan menegurnya sedikit, mengingat sifat ramah orang itu saat bertemu orang-orang kecuali denganku.
"Arghh dasar bodoh!! Jika aku tidak mendapat telpon dari Aya, Mungkin aku akan tetap berada di rumah itu menungguinya kembali seperti hewan peliharaan." Ocehku sambil memotong beberapa wortel untuk dijadikan sup makan malam. "Manusia macam apa yang meninggalkan pasien dengan luka robek di lehernya begitu saja di sebuah kamar lalu pergi bermesraan dengan kekasihnya di sebuah cafe." Ku acungkan pisauku ke depan seolah-olah berbicara langsung dengan orang yang kumaksud. "Hanya Kau, Angga. Hanya kau yang bisa melakukan ini semua padaku!"
Aku lanjut merebus air dan menyelesaikan memotong sayuran yang lain sambil mengingat percakapanku di telpon bersama Aya tadi siang. Ia berkata bahwa ia baru saja melihat Angga dan Lucia sedang bermesraan di sebuah cafe dekat sekolah. Dan aku hanya menjawab. "Itu bukan urusanku! Lagi pula mereka memang sepasang kekasih, Siapa yang bisa mencegah mereka berdua melakukan itu, meski di tempat umum?"
Aya kembali bertanya apa aku sedang marah atau tidak. "Haha alasannya? Jika kau bisa memberiku satu alasan untuk marah karna hal seperti itu, aku akan membantumu dan mengikuti setiap lomba saat festival sekolah nanti."
"Wahh itu bagus, mengingat kau yang selama ini tidak pernah sekalipun mau berpartisipasi dalam festival seperti itu. Dan aku punya sebuah alasan bagus untuk itu."
"Oh ya? Apa?" Tanyaku malas. "Kau...CEMBURU. Hahahahaha." Aya menyemburkan tawanya tanpa berniat menyembunyikannya sedikitpun.
"Oh shit!! Apa kau bercanda? Ya!! Aya, Berhenti membual atau aku akan memburumu saat di sekolah nanti."
"Coba saja. Wlee." Sebuah suara pria tiba-tiba menginterupsi percakapan kami berdua dan memanggil Aya untuk bergegas. Langsung kutanyakan pada teman satu-satuku itu. "Ehh itu suara siapa?"
Aya menjawabnya tergagap. "I-itu kau tidak perlu tau. Kau urusi saja rasa cemburumu itu. Haha." Dan Aya langsung mematikan sambungan telpon sebelum aku selesai membalasnya. Benar-benar melatih kesabaran dan keikhlasan saat mempunyai teman semenyebalkan itu.
Beberapa menit kemudian, Aku kembali fokus pada masakanku dan selesai. Tapi aku tidak menyangka bahwa porsi yang aku buat sangat banyak dan tidak akan bisa untuk ku habiskan sendiri. Ya... ini pasti karna aku terlalu sering menghayal saat memasak tadi. Lalu akan ku apakan sisa makanannya nanti? Ku buang? Ahh tidak! Aku punya banyak dosa dan jika aku membuang makanan ini, Tuhan akan benar-benar marah padaku. Berikan pada tetangga? Tapi aku hanya punya satu tetangga. Nenek tua yang pernah aku ceritakan lebih baik dibandingkan dengan Lucia.
Apa dia ada di rumah? Atau mungkin dia sudah tidur?
"Aishh kau tidak akan tau hanya dengan memikirkannya, Cia." Kataku pada diriku sendiri dan memutuskan membungkus makanan tersebut untuk si Nenek tua. Aku keluar dan bersyukur tidak ada pria berjaket itu yang muncul di depan rumah. Meski masih sedikit takut keluar saat malam-malam seperti ini meski dalam jarak yang dekat, Aku tetap memberanikan diri dengan niat baik berharap niat baikku ini di dengar oleh pria berjaket itu dan tidak muncul di depan rumahku untuk hari ini saja dan jika perlu, Untuk selamanya.
Aku berjalan sekitar 20 meter ke arah rumahnya. Rumah sederhana dengan beberapa hiasan yang akan mengingatkan kita pada masa penjajahan dulu. Aku menaiki undakan tangga kecil lalu mengetuk pintu rumahnya yang langsung mengeluarkan bunyi kayu reyot yang cukup memekakkan telinga. "Permisi... Apa ada orang di rumah?" Aku kembali mengetuk pintu masih dengan kantung berisi makanan yang ku bawa. "Nek.. Apa kau di dalam? Ini aku! Tetangga yang tinggal di sebelah rumahmu. Aku membawa sedikit makanan untuk kau makan. Nek..." Namun tidak ada respon dari dalam. Aku bahkan tidak bisa merasakan tanda-tanda kehidupan dalam rumah tua itu. "Aneh sekali. Apa dia tidak di rumah ya?"
Setelah menunggu selama 10 menit dan udara malam kian membuatku merasa tidak nyaman, Aku pun memutuskan untuk kembali ke rumah. "Mungkin dia memang tidak di rumah." Aku berbalik sambil meniup tanganku yang kedinginan. "Aku akan kembali saja."
"Hei??"
"AKHHHH ASTAGA!!! KAU SIAPA???" Teriakku panik melihat seseorang berdiri di hadapanku tanpa memperlihatkan wajahnya. Ia maju selangkah dan aku mengambil dua langkah mundur ke belakang. "YA!! MUNDUR ATAU AKU AKAN TERIAK." Orang itu mengabaikanku dan sepertinya tertawa di balik tudung jaketnya itu. Ehh kenapa?
Saat dia akan mengambil langkah maju lagi, aku langsung jatuh ke tanah lalu menyatukan kedua tangan untuk memohon padanya. "Siapapun kau, Ku mohon maafkan aku. Aku tidak tau apa masalahmu denganku dan jika memang ada, Aku akan meminta maaf. Ku mohon, Aku tidak tau alasanmu belakangan ini yang sering mengikutiku secara diam-diam. Tapi kumohon, Ampuni aku..."
Orang itu membuka tudung jaketnya dan tertawa. "Hahaha kau ini kenapa, Cia? Apa kau setakut itu?"
Aku yang masih bingung, Hanya melongo menatapi sosok Fiko yang tanpa dosanya menertawaiku dengan puas. Aku berkata tak percaya bahwa jadi sebenarnya orang yang selama ini mengikutiku dengan jaket adalah dirinya. Tapi dia menjawab tidak tau apa maksudku dan hanya kebetulan lewat sini karna ingin mencari udara segar. "Hah.. Tunggu! Kak Fiko lewat sini karna mau cari udara segar tapi karna gak sengaja liat aku ketuk-ketuk pintu rumah orang jadi kakak nekat nakut-nakutin aku kayak tadi?"
"Ya, singkatnya mungkin seperti itu." Jawabnya santai. Dan aku pun langsung murka padanya. "Ihh Kak Fiko gak takut apa kalau benaran jantung aku copot tadi? Sumpah tadi itu gak lucu kak. Aku beneran takut dan hampir pingsan tadi. Sekarang aja kaki aku masih lemas dan gak bisa gerak."
"Hei Cia? Apa kau tidak apa-apa?"
"Kurasa, Mungkin karna aku belum makan sejak tadi pagi." Fiko pun mulai khawatir mendengar nada suaraku yang sudah tak seperti biasanya. "Apa maksudmu belum makan sejak pagi? Kau benar-benar sangat ceroboh ya?"
"Eohh?? Tadinya aku baru saja mau makan tapi karna masakan yang aku buat terlalu banyak, Aku berniat membagikannya pada seorang nenek tua yang tinggal di rumah ini. Tapi kurasa dia sedang tidak di rumah."
"Ahh baiklah kalau begitu, Aku akan mengantarmu pulang." Baru aku mau menolak, Fiko keburu melanjutkan. "Jangan menolak! Aku harus memastikan kau sampai dengan selamat tanpa mengalami cedera apapun. Meskipun itu hanya berjarak 20 meter sekalipun." Aku hanya mengangguk sebagai balasan.
Ia membopongku pulang. Dan sebagai balas budi, Aku memintanya untuk makan malam bersamaku agar masakan yang ku buat tidak berakhir di tempat sampah. Dia bersedia dan sesekali memuji masakanku yang meskipun ku buat sendiri, cukup memberikan sensasi khas masakan rumahan yang sudah jarang ia konsumsi. Aku berterima kasih atas pujiannya dan kami pun menyelesaikan makan malam itu dengan santai.
"Hmm Terima kasih untuk makanannya. Dan jujur, kau sangat hebat memasak." Katanya saat ku antar ke depan pintu. Aku terkekeh kecil. "Haha tidak perlu sungkan seperti itu, Kak. Kalau kau mau, Aku bisa memasakkan makanan lain juga untukmu."
"Wahh benarkah?" Dan tanpa ku sangka, Ia mengusap kepalaku pelan sembari melanjutkan. "Hati-hati saat kau hanya sendiri di rumah. Banyak bahaya di luar sana yang bisa datang kapan saja."
"Ba-baik." Jawabku gugup. Heh apa-apaan ini?
"Kalau begitu, Aku pergi dulu. Sampai Jumpa di sekolah, Cia." Akhirnya Fiko pergi menyisakan nuansa hangat di dada maupun rambutku yang sudah ia sentuh.
"Aishh ada-ada saja." Kemudian aku menutup pintu, tak lupa menguncinya rapat. Baguslah, Pria berjaket itu tidak muncul hari ini. Tapi aneh juga, Kenapa jaket yang selalu digunakan pria itu, sama dengan yang digunakan Fiko tadi ya??
*****
▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬