▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬
Aku menguap lebar dengan posisi hampir mematahkan leherku dan menjerit sekeras-kerasnya karena rasa perih yang kuat. Aku mencoba menoleh ke samping tapi tidak bisa karna leherku sedang di perban. Lalu aku memeriksa tangan kananku yang juga tampak di perban dengan rapi tersebut. Huft... Oh iya aku ingat di bully habis-habisan kemarin. Kepalaku kembali sakit saat mencoba mengingat apa yang terjadi setelah itu. Aku disiksa, leherku berdarah, dan lenganku juga tapi apa yang terjadi sesudah itu?
Apa aku berjalan sendiri ke rumah? Tapi tidak mungkin dengan kondisi ku yang seperti ini. Lalu, kenapa aku di rumah_. "EHHH??? INI RUMAH SIAPA??" Aku berteriak menyadari kejanggalan itu. Pantas aku tidak mendengar alarm setanku itu karna ini memang bukan rumahku. Lalu rumah siapa???? Kenapa aku bisa berada di sini?
Karna tidak ada orang, aku mencoba keluar kamar dan melihat lorong panjang dengan tangga di ujungnya. Apa aku turun ke bawah saja?
Tanpa sadar, aku berjalan mengendap-endap seperti pencuri. Padahal disini harusnya bukan aku penjahatnya tapi pemilik rumah ini yang seenak jidat membawaku ke rumahnya dan menidurkanku di sebuah kamar yang tidak dikenal. Aku berjalan dengan harapan bisa melarikan diri dari sini tanpa masalah apapun dan orang yang membawaku kemari tidak melakukan hal yang aneh-aneh padaku.
"Ahhh semoga saja." Aku tersenyum saat sampai di depan tangga. Aku harus cepat sebelum pemilik rumah sadar aku sudah tidak ada di kamarku. Aku turun dengan perlahan dan mengintip ke bawah takut-takut. Aku mengawasi setiap sudut rumah dan tidak menemukan tanda-tanda kehadiran orang lain di rumah besar ini.
"Ehh apa pemilik rumahnya sedang pergi?"
Tidak ingin membuang kesempatan, aku mempercepat langkahku turun dari tangga dan berlari ke arah pintu keluar. Namun sialnya pintu tersebut terkunci seolah pemilik rumah tau bahwa aku akan keluar dari tempat ini. Aku kembali menjelajahi rumah tersebut mencari jalan keluar lain tapi tidak kunjung ketemu. "Aishh rumah apa yang tidak punya pintu belakang?"
Aku kemudian memikirkan ide lain, Aku akan coba keluar lewat jendela tapi seluruh jendela juga sudah terkunci dengan rapat. "Ya!!! biarkan aku keluar dari sini!!!"
Aku hampir menangis karna takut tapi tidak jadi saat mataku beralih ke sebuah pot tanah liat berukuran sedang yang tersusun di sebelah lemari besar di rumah itu. Aku mengambilnya dan berniat memecahkan kaca jendela untuk keluar dari sini. "Tidak apa-apa Cia!! Kau hanya melakukan semua ini untuk menyelamatkan nyawamu. Oke tenang dan santai."
Aku agak ragu memecahkannya tapi aku mengambil ancang-ancang dan menghitung sampai 3. Belum saja kulempar pot itu, perhatianku malah tertuju pada sebuah bingkai foto dengan beberapa wajah didalamnya. Bayangan bingkai foto itu terpantul ke jendela yang hampir ku pecahkan sehingga aku pun harus berbalik untuk melihatnya dengan jelas. Aku membelakangi jendela tadi dan melihat Foto sebuah keluarga lengkap yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan kedua anak mereka. Foto itu diberi bingkai yang besar dan cantik dengan ukiran-ukiran unik di setiap bagiannya. Aku terpana pada desain serta kehangatan yang di pancar orang-orang dalam foto tersebut.
Aku baru akan menyentuhnya tapi tiba-tiba sebuah suara terdengar sangat dekat di belakangku. "Kau sudah bangun?" Kata orang itu dengan nada rendahnya.
Tanpa ba-bi-bu lagi, meloncat ke depan dan berteriak terkejut. "OHH ASTAGA!!!!" Pot yang sejak tadi ku genggam pun akhirnya jatuh dan pecah berhamburan di lantai. Itu menambah ketakutanku berkali-kali lipat dan aku langsung berjongkok meminta maaf kepada sang pemilik rumah.
"MAAF MAAFKAN AKU. AKU TIDAK SENGAJA MEMECAHKAN POTMU. TOLONG AMPUNI AKU, AKU JANJI AKAN MELAKUKAN APAPUN YANG KAU MAU. AKU MOHONNN AMPUNI AKU DAN BEBASKAN AKU DARI SINI." Aku hampir menangis saat orang itu hanya diam dan tiba-tiba tertawa puas.
Angga tanpa rasa bersalah menyemburkan tawanya mengisi seluruh sudut rumah dan membuatku hampir menangis karna mengira dia adalah orang jahat yang mencoba berbuat aneh-aneh padaku. Sampai akhirnya aku berani mengangkat kepalaku dan mendapati kekasih Lucia itu sedang menertawakanku dengan puas. Aku berdiri dan menatapnya datar. "Cukup! Aku keluar dari sini."
Aku berjalan ke pintu dengan perasaan ingin memakan seseorang hidup-hidup tapi hanya ada Angga dihadapanku tapi aku tidak mau memakan orang yang menyebalkan seperi dirinya dan mencari mangsa lain di luar.
"HAHAHA HEI CIA!! CIA!!! Dengarkan aku dulu. Oke? Kau tidak harus memasukkannya dalam hati." Angga menghalangi langkahku untuk membuka pintu dengan menjadikan tubuhnya yang tinggi itu sebagai perisai.
"Ya!!! Biarkan aku lewat! Aku mau pergi dari sini."
"Dengan pakaian seperti itu?"
"Ya, dengan pakaian seperti_EHHH???" Aku terkejut melihat pakaian yang awalnya seragam sekolah berubah menjadi seragam olahraga kebesaran. Kemudian aku menatap Angga tak percaya, Apa dia benar-benar melakukan ini padaku? Apa aku sudah tidak suci lagi? Apa dia sudah melihat semuanya?
Otakku yang tidak tahan dengan semua pertanyaan itu pun akhirnya memberikan tanda kalau waktunya diriku untuk menangis sekarang. Aku kemudian menjatuhkan diriku ke lantai dan mulai menangis sekeras-kerasnya. Kucoba melindungi tubuhku dengan kedua tangan berharap itu akan mengembalikan segalanya. Aku mulai memarahi Angga. "DASAR KAU JAHAT!!! KEPARAT!!! BERENGSEK!!! PENJAHAT!!! BIADAB!!! TIDAK TAU MALU!!!!??"
Mendengarku memakinya dengan kata-kata kasar, Angga terkejut dan mencoba mendekatiku. "Cia? Kau kenapa?"
"PERGI!!! HIKS... JANGAN MENDEKAT!!! HIKSS AKU TAU KAU SANGAT MEMBENCIKU TAPI KENAPA KAU MELAKUKAN SEMUA INI PADAKU?? HIKSSS KENAPA??? SEKARANG BAGAIMANA AKU HARUS MELANJUTKAN HIDUPKU? KATAKAN BAGAIMANA HIKSS...!!!???" Aku menjerit seperti orang gila di rumah Angga tidak peduli apa tetangganya akan mendengarku atau tidak. Aku sudah tidak peduli apa-apa lagi. Kebanggaan dan kehormatan yang selama ini aku jaga sekarang sudah hilang karna pria kurang ajar bernama Angga.
"Kenapa kau melakukan ini? KENAPA???!!! HIKS..."
"Cia? Apa yang aku lakukan?? Apa aku menyakitimu? Apa kau kesakitan saat tidur tadi? Kalau begitu maafkan aku. Kumohon... aku tidak suka melihatmu menangis seperti ini."
"KAU TIDAK SUKA MELIHATKU MENANGIS TAPI KAU MEREBUT SEGALANYA DARIKU DAN MEMBUATKU HARUS MENANGISI HIDUPKU SELAMANYA HIKS..."
"ARGHHH AKU MEMBENCIMU ANGGA. AKU SANGAT MEMBENCIMU."
Tidak tahan melihatku terus histeris tanpa henti. Angga nekat maju lalu memelukku agar aku bisa tenang tapi malah justru sebaliknya. Aku semakin histeris dan memukuli dirinya agar melepaskanku tapi nampaknya dia sama keras kepalanya denganku. Happ!!! Angga tiba-tiba menggendongku seperti karung beras di pundaknya dan membawaku kembali ke kamarnya. Ia mengunci kamar tersebut dan menyembunyikan kuncinya di atas lemari besar yang ada di kamar tersebut. Aku memberi jarak 3 meter darinya dan mengambil sebuah vas bunga sebagai alat pertahanan.
Angga menghela nafas kemudian berkata. "Huft... sepertinya ada sedikit kesalahpahaman disini."
Aku tidak peduli apa yang dia katakan dan mengancam akan melempar vas bunga itu jika dia berani mendekat. Namun sepertinya Angga tidak gentar dengan ancaman ku dan kembali mendekatiku.
"KUBILANG JANGAN MENDEKAT!!! APA KAU DENGAR??!!"
"Cia! Berhentilah berteriak!! Aku tidak kemana-mana, aku ada dihadapanmu berjarak kurang dari 2 meter darimu. Untuk apa kau berteriak?" Aku tidak menjawab dan hanya memerhatikannya membuka lemari lalu mengeluarkan seragam sekolahku dari sana. "Itu kan?" Aku berlari kearahnya untuk mengambil seragam itu tapi dia langsung menyembunyikannya kembali. "KEMBALIKAN ITU PADAKU!!"
"Baik tapi bisakah kau berhenti berteriak dan duduk dulu. Apa kau tidak takut lehermu bisa tambah robek nanti?"
Aku menurutinya dan duduk di bagian lain tempat tidur tersebut. "Dengar! Aku tau saat ini kau pasti salah paham padaku. Dengar! Kemarin, saat kau terluka, aku membawamu pulang ke rumahku untuk mengobati lukamu sekaligus mengganti pakaianmu yang sudah basah kuyup karna kau bisa demam karnanya."
"Kenapa tidak bawa aku ke rumahku saja? Atau ke rumah sakit lebih baik?"
"Dasar bodoh!! Jika aku membawamu ke rumahmu, apa yang akan tetanggamu katakan saat melihat ada seorang anak laki-laki di rumahmu sedangkan kau hanya tinggal sendiri di rumah. Dan rumah sakit? Kau pikir aku harus jawab apa saat perawat disana bertanya kenapa kau bisa terluka? Apa kau mau aku menjawab, temanku terluka karna diserang beberapa orang tak di kenal di sekolah. Mungkin, aku bisa lolos dari itu. Tapi jika dokter bertanya keluargamu, aku harus bilang apa? Apa aku harus mengatakan, iya dok, saya suaminya. Begitu, tidak kan?"
"Dan satu hal lagi. Buang jauh-jauh pikiran kotormu itu tentangku. Karna bahkan jika aku punya banyak kesempatan untuk menyentuhmu, aku tidak akan pernah melakukannya, karna kau bukan seleraku." Hatiku terasa lebih remuk setelah mendengar kata-kata terakhirnya.
Sampai akhirnya, aku berani bersuara. "Ya. Terima kasih karna sudah menolongku dan maaf untuk menuduhmu yang tidak-tidak."
Aku berjalan ke lemari Angga untuk mengambil seragamku yang tampaknya sudah ia cuci dan keringkan dengan baik. "Tapi kau tau Angga? Tidak baik mengatakan kepada seorang gadis bahwa mereka bukan seleramu. Itu bisa melukai hati mereka untuk beberapa waktu yang lama. Aku harap kau mempelajari ini dengan baik."
Dan_ tak!!! Setelah mengatakan itu, aku masuk ke kamar mandi miliknya dan berganti pakaian di sana. Aku tidak tau Angga paham dengan apa yang aku katakan atau tidak tapi ia jelas-jelas sudah menggores luka yang cukup dalam di hatiku. Apa salahnya jika aku punya tubuh seperti ini? Aku menatap diriku di pantulan cermin lalu menghela nafas. Aku tau tubuhku tidak sebagus milik Lucia atau kebanyakan gadis pada umumnya. Tapi aku juga salah satu dari mereka, tidak seharusnya Angga menyinggung soal itu padaku. Sekarang, aku bingung harus mengatakannya manusia berhati atau tidak. Di satu sisi ia sudah menyelamatkanku beberapa kali tapi di sisi lain, ia juga sering membuatku terluka entah itu di sengaja atau pun tidak.
Aku merapikan rambutku di depan cermin dan tidak sengaja melihat sebuah bekas seperti gigitan Rey hari itu kembali lagi di leherku. Apa?? Tapi aku ingat betul, bekas itu sudah hilang beberapa minggu yang lalu. Tidak mungkin kan bisa muncul lagi. Aku yang tadinya ingin mengikat rambutku jadi ekor kuda tidak jadi dan berusaha menutupi bekas tersebut sebaik mungkin. Tidak mungkin serangga kan? Tapi siapa yang bisa membuat bekas seperti itu tanpa aku sadari??
Aku menyentuh gagang pintu dan hampir membukanya sebelum aku teringat sesuatu. Sesuatu yang dikatakan Angga soal tidak akan menyentuhku meskipun dia punya banyak kesempatan. Dan_ ASTAGA!!! Dia memang melakukannya, dia mengambil kesempatan saat aku pingsan dan membuat tanda ini? Berarti, mimpiku yang kemarin itu benar-benar??
Di luar kamar mandi, Angga pusing sendiri saat melihat reaksi Cia yang histeris saat tau pakaiannya sudah diganti tanpa sepengetahuan dirinya. Padahal bukan dia yang menggantinya tapi Cia sudah memakinya habis-habisan. Lalu bagaimana jika Cia tau bahwa, dia memang memanfaatkan kesempatan saat Cia tidak sadar kemarin? Bisa-bisa kali ini Cia tidak hanya akan menendang selangkangannya tapi dengan pusatnya sekalian.
Dan_klik! Pintu kamar mandi terbuka pelan dan aku keluar dengan aura yang menakutkan dari sana. Aku memanggil Angga pelan dan mendekatinya.
"Ap- Apa lagi sekarang? Kau masih mau menyalahkanku?" Tanya Angga gugup.
Jika ini di anime, mungkin di sekelilingku akan tergambar aura - aura gelap dan menyeramkan yang siap membunuh siapapun yang ada di hadapanku. Aku kembali memanggil Angga dengan tekanan. "Angga~."
"APA??"
Aku terkekeh sambil menunduk. "Hihihihihi apa aku benar-benar bukan seleramu?"
"Ka-kau ke-ke-kenapa?"
Dan_BUGH!!!! Aku menendang Angga tepat dipusat rasa sakitnya dan menyuruhnya bertanggung jawab untuk bekas yang sudah ia buat di leherku yang sangat sulit untuk dihilangkan.
*****
Seharian itu, setelah memanggil Pembantu Angga ke rumahnya, aku langsung pulang bersama seluruh barang-barangku ke rumah. Aku mandi, makan, dan membersihkan rumahku dan kembali ke rumah Angga. Di sana ia masih berbaring tidak berdaya di kasurnya dan mengeluh masih sakit.
Aku tertawa melihatnya sambil membawa makanan dan meletakkannya dinakas samping tempat tidurnya. "Pergilah! Aku tidak mau makan!"
"Sungguh? Apa aku harus menendang bagian yang lain juga?"
"CEPAT MAKAN!! Kau membuatku harus menggerai rambutku setiap saat untuk menutupi bekas kekhilafanmu tapi sekarang kau malah tidak mau makan hanya karna aku menendangmu?"
"Ya!!! Jika kau menendangnya di tempat yang berbeda, mungkin aku akan baik-baik saja saat ini tapi kau_kau mengenainya dan aku bahkan mati rasa selama setengah jam karna kau!"
"Jangan salahkan aku! Kau yang tidak bisa mengendalikan diri dan membuat leherku jadi aneh seperti ini."
Angga menatapku jengkel. "Apa kau tidak tau seberapa panasnya ini?"
"Kalau kau panas, Ya sudah.. ikat saja rambutmu, kenapa sangat sulit?"
"Lalu bagaimana dengan bekas perbuatanmu itu? Apa kau mau aku memamerkannya ke semua orang? begitu?"
"Ya tentu saja. Untuk apa kau menutupinya, itu kan aku yang buat. Dan aku tidak memberikan tanda seperti itu kepada semua orang. Itu khusus untukmu, teman sebangkuku."
"Ohh benarkah? Jadi apa aku wajib merasa senang? bahagia? Karna ini hasil perbuatanmu?? Jangan mimpi!!! Itu tidak akan pernah terjadi."
Burgh!!! Tiba-tiba Angga bangun dari tempat tidur dan mengukungku di kursi yang sejak tadi aku duduki. "Kau mau apa?"
Ia semakin memajukan wajahnya dan mempersempit jarak antara aku dan dia. Bohong jika aku tidak gugup dan takut padanya saat ini. "Mu-mu- mundur! Atau aku akan menendangmu lagi." Ancamku karna berpikir cara ini akan berhasil.
Tapi dia menjawab. "Terserah, tendang saja! Aku sudah tidak peduli. Lagi pula itu sudah tidak akan mempan lagi terhadapku." Ia mengulurkan tangannya dan menyelipkan anak rambutku ke belakang telinga. Aku merasakan getaran-getaran aneh di sekujur tubuhku saat Angga mulai menyentuhku.
Aneh. Apa aku sakit? Aku membuka mataku dan bertemu dengan samudra gelap yang hanya dimiliki oleh Angga dimatanya. Ia mengelus pipiku pelan tapi seluruh perhatianku hanya bisa terpaku pada dua buah kelereng hitam itu. Lalu aku mengakui sesuatu padanya. "Angga."
"Ya?"
"Aku sangat suka matamu. Itu selalu berhasil membuatku tenang. Maukah kau menatapku lagi saat aku sedang dalam masalah?"
Angga tersenyum dan semakin menenggelamkan ku kedalam matanya yang berkilauan. "Ya, apapun yang kau inginkan."
Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri dan terjebak di dalam tatapan Angga sampai tidak sadar dia sudah menggerakkan tanganku untuk mengacak-acak rambutnya. Rambutnya yang teracak tapi hatiku yang berantakan. Aku tidak ingin mengakhiri ini disini. Seluruh tatapannya menghisap jiwa maupun ragaku sekaligus, aku tidak tau aku kenapa, bagaimana, dan akan sepeti apa setelah ini tapi ku mohon biarkan aku terus menyelami kedua bola matanya lebih lama lagi. Aku mendapatkan kembali kesadaranku saat Angga menjerit minta dilepaskan karna aku yang menarik rambutnya terlalu keras.
"Akhh leherku. Leherku rasanya perih." Aku merintih kesakitan dan mulai menangis. Luka dileherku kembali terbuka dan mengeluarkan banyak darah. Angga yang melihat itu langsung membaringkanku ke kasurnya dan mengambil kotak P3K dari laci lemarinya.
"Akhh sakit. Hiks.. ini sangat sakit, Angga. Tolong aku!"
"Iya iya Cia. Aku akan menolongmu ku mohon, tahan sedikit ya.. aku akan mengganti perbannya."
"Hikss sakit!!!"
"Akhhh..." Aku berteriak saat Angga mengoleskan alkohol ke luka tersebut. Aku sampai harus meremas kasur Angga untuk menyalurkan rasa sakit yang kualami. "Cia, Cia. Dengarkan aku! Kau bilang kau suka mataku kan?" Aku mengangguk dengan sekuat tenaga. "Kalau begitu sekarang tatap aku, rasakan ketenangan yang sama saat kau menatapku tadi." Tidak mudah, tapi aku mencoba mengikuti saran Angga. Aku membiarkannya mengobati lukaku dan aku menatapi bola matanya yang bergerak ke sana kemari untuk memeriksa lukaku?"
"Kau bisa menahannya?" Aku mengangguk dan mencoba melupakan rasa sakit selama Angga menyembuhkanku dan selesai membalutnya dengan Perban. Setelah itu, aku kembali tertidur karna kelelahan.
Angga membisikkan sesuatu di sela-sela tidurku. "Tetaplah disini, aku akan segera kembali." Ia kemudian pergi tak lupa memberitahu si pembantu agar tidak membiarkan aku keluar dari tempat ini sebelum Angga datang dan si pembantu hanya menurut dan Angga pun pergi dengan motornya entah kemana.
*****
▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬