▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬
Beberapa hari setelah pemberitahuan kematian Shei, polisi sering datang ke sekolah kami dan menyelidiki sesuatu. Aku tidak tau pasti penyelidikan apa yang mereka kerjakan tapi aku yakin, semua ini pasti ada hubungannya dengan Angga.
Saat ini, polisi kembali datang untuk memeriksa sekolah dan seluruh siswa diminta untuk berkumpul di aula sekolah. Aku dan Aya pun berjalan bersama dan berbaris sesuai dengan urutan kelasnya. Sialnya, Di sebelahku adalah Angga dan di depanku ada Lucia yang tidak berhenti bergerak untuk menggangguku. Ku tekan emosiku dalam-dalam dan fokus ke arahan polisi yang berdiri di podium. Hari ini akan diadakan pengambilan sidik jari untuk semua orang yang ada di sekolah ini.
Aku menatap Angga tajam dan berbisik padanya. "Jika saja tuduhanmu terhadap Fiko itu tidak benar, Kau akan menjadi orang pertama yang akan ku curigai atas kematian Shei."
Angga balik menatapku. "Kita lihat saja nanti!"
Dan aku bersumpah atas kata-kata ku. Aku yakin bukan Fiko pelakunya seperti yang Angga tuduhkan. Aku masih tidak percaya dia bisa menuduh seseorang sampai seperti ini. Beberapa kelas sudah mulai berhamburan keluar dan kami tinggal menunggu giliran untuk pengecekan. Aku melihat kelas Fiko maju dan dia mulai di periksa duluan. Hasilnya adalah sidik jari tersangka dan sidik jari Fiko sama sekali tidak cocok lalu Angga langsung berkata. "I-itu tidak mungkin!!"
"Ya, memang tidak mungkin orang seperti Fiko pelakunya. Justru kaulah!! Kau yang harusnya di curigai di sini."
Mendengar itu, Lucia berbalik lalu menatapku angkuh. "Jangan mencoba menggoda pacar orang lain!! Dasar murahan!!!" Lalu kembali menghadap ke depan.
Aku mengepalkan kedua tanganku lalu mengalihkan pandangan menghindari tatapan Angga. Ia tau aku merasa sakit karna kata-kata Lucia tapi dia tidak pernah membela ataupun mencoba sedikit saja memberi pengertian pada gadis tidak waras itu agar berhenti menggangguku. Karna kenapa? Karna dia senang melihatku menderita. Dia senang melihat setiap aku meneteskan air mata. Semua kebaikannya selama ini itu palsu, Itu hanya akal-akalannya agar Lucia semakin membenciku.
Aku menyelesaikan pemeriksaan dengan cepat dan mengajak Aya kembali ke kelas secepatnya. Di jalan, kami bertemu Fiko. Dan Aya langsung bersikap malu-malu di hadapannya. Heii... apa aku melewatkan sesuatu?
"Apa kalian berdua akan kembali ke kelas?"
Aya menjawab. "Iya kak. Aku dan Cia akan kembali ke kelas sekarang. Ulangan semakin dekat dan kami ingin memberikan yang terbaik untuk ujian kali ini. Jadi... bisakah kak Fiko mengajariku beberapa trik asyik belajar lainnya?" Seketika aku terperangah tak percaya.
Aku benar-benar harus memperhatikan Aya lain kali. Dia menyembunyikan banyak hal dariku dan aku sama sekali tidak mengetahuinya.
"Tentu. Aku dengan senang hati akan melakukannya. Ohh iya, kau juga akan ikut kan, Cia??"
"Ahhh Ohhh iya aku ikut."
"Hmm baiklah. Aku akan menemui kalian nanti. Sampai jumpa." Fiko melambaikan tangannya yang dibalas oleh Aya. Aku masih membeku tak paham.
Dengan cepat, kutarik Aya hingga kami berdua tiba di kelas. "Apa-apaan ini?"
"Apa?" Jawab Aya pura-pura tidak tau.
"Itu tadi! Apa maksudmu belajar bersama? Sejak kapan kalian dekat? Dan kenapa kau tidak memberitahu aku?"
"Ohh Astaga Cia. Tenang dulu, oke?"
"Jadi, dengar! Hari itu saat kau menyiram Lucia dikantin, kau pergi dan tidak pernah kembali. Kau pikir apa yang bisa ku lakukan dengan Fiko tanpamu?" Aku mengangguk paham. "Jadi sejak itu?"
"Ya. Setelah kau pergi aku meminta Fiko untuk mengajariku beberapa pelajaran yang tidak ku mengerti dan dia dengan senang hati melakukannya. Kau tau aku sangat senang saat itu?" Jelas Aya dengan wajah sumringah.
"Kau sangat senang saat itu tapi aku malah kesakitan di UKS." Cibirku bercanda.
"Hehe maafkan aku. Salahmu juga tiba-tiba bertingkah sok pahlawan seperti itu. Jadinya kan kita tidak bisa makan bersama Fiko hari itu."
"Hmm dan jika kesalahan itu tidak terjadi, aku tidak akan pernah tau apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang dirasakan semua orang yang telah dibully oleh Lucia."
"Benarkah? Sepertinya kau juga mengalami banyak hal hari itu. Kapan-kapan ceritakan padaku ya?" Aya tersenyum dan membuatku ikut tersenyum.
Katakanlah hidup ini seperti puzzle yang terpecah. Kita yang memainkannya harus pintar-pintar menyusunnya dengan benar jika tidak mau merusak puzzle tersebut.
*****
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Senin ini, Ujian hari pertama akan dimulai dan aku tidak bisa menyontek pekerjaan Aya karna dia ternyata di pindahkan ke kelas yang berbeda. Aku merutuki diriku yang tidak pernah mau belajar dengan baik. Ibu, sekali lagi aku minta maaf. Tapi kalian harus tahu, Angga juga tidak berada di kelas yang sama denganku. Hanya ada Lucia dan beberapa teman sekelas yang tidak terlalu ku kenal.
Saat lembar soal mulai dibagikan, Kegugupanku meningkat dua kali lipat dan aku merasa suhu ruangan menjadi sedikit lebih panas dari biasanya. Aku duduk di tempat yang sama di hari biasanya dan menerima kertas ulanganku. Aku membaca soal satu persatu dan aku merasa bisa menjawabnya dengan mudah.
"Hah?? Aku tau jawabannya? Kenapa bisa?" Aku tersenyum puas dan berterima kasih kepada otakku yang tidak mengecewakanku kali ini. Dengan mudah aku melewati ujian di hari pertama tanpa kendala dan menemui Aya di ruangannya. Di sana juga ada Angga dan lihat wajahnya! Dia sama sekali tidak kesulitan untuk mengerjakan soal-soal itu. Dasar sombong!!!_ makiku kesal.
Minggu itu benar-benar menjadi Minggu terberat bagiku apalagi setelah ujian matematika. Aku mengaduh pada Aya bahwa matematika itu sangat kejam dan tidak punya perasaan. Ia seperti Angga yang sulit di mengerti dan membuat kepalaku sakit dan hampir pecah. Aya hanya bilang. "Itu karna kau yang kurang memahaminya."
Ishhh memangnya salahku kalau tidak paham matematika? Siapa suruh dia susah?
Dan dihari terakhir ujian, aku dipanggil ke ruang guru. Aku yang merasa tidak melakukan kesalahan apapun jadi takut dan khawatir terjadi sesuatu yang salah pada lembar jawabanku. Dan benar saja. Di ruang guru aku di tunjukkan lembar jawaban yang isinya adalah mengolok-olok para guru dengan bahasa yang tidak baik dan terpampang jelas namaku di atasnya. Sekuat mungkin aku menyangkal bahwa itu bukan lembar jawaban milikku. Seseorang menukarnya tapi aku tidak tau siapa.
Untuk membuktikannya, wali kelasku memintaku mengisi lembar jawaban itu lagi dan membandingkannya dengan yang tadi. Dan barulah aku bisa bernafas lega saat tuduhan itu ternyata tidak benar dan ada yang sengaja ingin aku dihukum oleh sekolah. Wali kelasku bilang akan mencari pelakunya secepat mungkin dan memberinya hukuman berat. Dia memuji karna pada ujian kali ini, aku bisa membuktikan kemampuanku dengan baik dari sebelum-sebelumnya.
Setelah semuanya selesai. Aku yang sejak tadi di temani Dirga_Si ketua kelas, berjalan kembali ke kelas. Ia tiba-tiba berkata padaku. "Aku tau pelakunya."
"Hah?" Aku bertanya tak paham. Dia berhenti lalu menatapku. Jujur, Dirga adalah sosok yang sedikit misterius di kelas karna itu tidak banyak orang yang berteman dengannya. Ia jarang berbicara dan hanya membuka mulutnya saat ada sesuatu yang penting.
"Aku tau siapa yang menukar lembar jawabanmu."
Dengan perasaan lega, aku kembali bertanya padanya. "Benarkah? Kau tau siapa? Tapi kenapa kau tidak mengatakan pada wali kelas kita tadi?"
"Aku tidak bisa."
"Kenapa?" Tanyaku melihatnya tertunduk takut.
"Ikut aku!!" Dirga langsung menyeretku bersamanya. Kami melewati beberapa kelas, kantin, dan terakhir ruang olahraga. Dan kami pun sampai di halaman belakang sekolah yang biasa aku lihat dari jendela tempat dudukku."
Aku mulai bertanya. "Kita mau apa disini?"
Aku mengamati sekeliling yang nampak sepi dengan angin yang sesekali berhembus kencang dan menerbangkan rambutku.
"Dirga! Kita mau apa disini? Kau bilang tau siapa pelaku yang menukar lembar jawabanku, tapi kenapa kau malah membawaku ke sini?"
Dirga masih menunduk takut. Aku menatapnya dan bertanya. "Apa kau menunggu seseorang?" Dia mengangguk sekali.
Beberapa menit kemudian antek-antek Lucia datang tanpa pemimpin mereka. "Apa-apaan ini, Dirga! Ada apa ini?"
Ia hanya menggeleng lalu meminta maaf dan lari meninggalkanku yang sudah di kepung oleh anak buah Lucia. Mereka mendorongku sampai terjatuh dan membuat rokku kotor karna menduduki rumput yang becek.
Salah satu dari mereka ikut berlutut dan berkata dengan nada sinis padaku. "Kami membiarkanmu seminggu ini, bukan berarti kami tidak tau apa semua yang telah kau lakukan."
"Apa maksud kalian? Aku tidak mengerti. Lepaskan aku, aku mau kembali ke kelas."
"Oh iya? Teman-teman apa kita akan melepaskannya?"
Dengan kompak mereka menjawab. "TIDAK AKAN!!"
Dan_ plak! Aku kembali di tampar oleh mereka. "Kau pikir kami bodoh hah?? Kau pikir kami tidak tau apa-apa?"
Mereka mulai menyiksaku dengan menyiramkan seember air ke sekujur tubuhku. Air mataku pun luruh tanpa bisa aku bendung.
"Kenapa?" Tanyaku dengan suara bergetar hebat.
"KENAPA KATAMU? HARUSNYA KAMI YANG MENGATAKAN ITU!! KENAPA KAU MEMBUNUH TEMAN KAMI??? KENAPA KAU MEMBUNUH SHEI??? KAU TIDAK TAU SEBERAPA PENTINGNYA DIA BAGI KAMI, KENAPA KAU MALAH MENGHABISINYA!!! DASAR PEMBUNUH!!!"
Brushhh!!!! Ember kedua pun kembali membasahi ku. Aku menggigil kedinginan sambil terus bergumam bahwa aku tidak tau apa-apa. Aku tidak tau apa yang mereka maksud, siapa, dan kenapa mereka malah menyalahkanku.
"KAU MASIH TIDAK MAU MENGAKU?? HAH???!!!" Bibirku kelu bahkan hanya untuk berkata tidak. Aku memeluk diriku sendiri untuk menghalau angin yang berhembus berharap itu bisa berhasil.
"Baik. Itu mau mu." Gadis yang sejak tadi meneriakiku menengadahkan telapak tangan kanannya ke atas. "Berikan cutter itu padaku!!"
Sontak aku membulatkan mataku terkejut. "Kh-Khau Mhau Aphpha??" Tanyaku panik.
Salah satu dari mereka bertanya. "Apa ini tidak terlalu berlebihan, Cel?"
"Hmm tentu saja tidak. Ini bahkan belum sebanding dengan apa yang dia lakukan pada Shei. Apa kau pernah dengar Cia? Mata dibalas dengan mata dan Nyawa dibalas dengan Nyawa jadi_." Dia mendorong pisau keluar dari cutter tersebut dan mengarahkannya padaku. Kurasa gadis ini sama gilanya dengan Shei tapi gadis ini sedikit lebih parah darinya. Aku yang ketakutan terus tersaruk mundur menjauh darinya. Hingga tibalah aku di jalan buntu dan hanya ada tembok di hadapanku. Aku harus apa? Kemana aku harus pergi??
Ini menyebalkan. Aku menangis dan memarahi otakku karna tidak bisa berpikir dengan baik saat nyawaku sedang terancam seperti ini. Dan aku juga menangis karna tidak lagi bisa mengharapakan Angga untuk terus menyelamatkanku seperti biasanya karna hubungan kami yang tidak akur. Aku merapatkan diri ke tembok lalu menangis di sela-sela lututku.
"Hiks...hiks... Jangan dekati aku!! Pergi kalian!!!" Mendengar itu, mereka semua tertawa dan menikmati setiap detik ketakutanku.
"AKU BILANG PERGI!!!!" Aku menjerit dan melempari mereka dengan batu-batu kecil yang berserakan di sekitarku. Karna takut, gadis yang membawa cutter tadi meminta teman-temannya untuk menahan tanganku.
Aku semakin menjerit. "TIDAK!!! TIDAK!!! LEPASKAN AKU!!!"
"Bekap mulutnya atau dia akan membuat kita semua ketahuan!" Dengan sebuah kain mereka menyumpal mulutku dan memegangi kedua tanganku dengan erat.
"MPHHHHH MMPHHH MPPHHH." Aku mencoba memberontak sebisaku yang membuat cutter yang berada di depan leherku tidak sengaja mengenai kulitku dan membuatnya mengeluarkan darah yang tidak terlalu banyak.
"MMPHHHH." Aku menatap ngeri ujung cutter itu yang masih terdapat sisa darahku disana.
"Haha sekarang kau tau kan apa yang dialami Shei saat kau melenyapkannya." Luka di leherku semakin berdenyut nyeri saat gadis tadi kembali menekannya dengan cutter dan membuat darah yang keluar semakin banyak.
Kepalaku berdenyut sakit tapi gadis itu tidak juga menyelesaikan aksinya. Aku menghentikan pemberontakan ku dan bersandar lemas ke tembok. Beberapa dari mereka mulai melepasku tapi aku sudah kehilangan tenaga untuk lari dari sini.
Teman dari gadis itu mulai khawatir. "Hentikan ini marchel!! Kau mau membunuhnya?"
"Biar saja dia mati!! Aku tidak peduli." Ia lanjut menyayat lenganku dan salah satu dari mereka akhirnya berani menyita cutter itu darinya. "Kenapa kalian menghentikanku?"
"Jika kau ingin membunuhnya? Jangan membawa kami dan jangan lakukan itu disini. Kami tidak ingin berada dalam masalah hanya karna kau menyukai kak Fiko dan ingin melenyapkan Cia!!"
"AKU TIDAK PEDULI. AKU_."
"Apa yang kalian lakukan disini?" Tiba-tiba sebuah suara laki-laki menginterupsi percakapan mereka. Mereka semua membeku dan langsung melarikan diri dari sana kecuali gadis yang menyiksaku tadi.
Angga kemudian menoleh dan mendapatiku sudah terjatuh lemas di tanah dengan luka yang masih mengeluarkan darah. Ia panik dan membawa kepalaku ke pangkuannya. "Cia, Cia sadarlah. Apa kau bisa mendengarku?" Melihatku tidak meresponnya sedikit pun. Ia berbalik memarahi orang itu. "APA KAU SUDAH GILA???HAH??!!! KAU BISA MEMBUNUHNYA KALAU SEPERTI INI!! TUNGGU SAJA! AKU TIDAK AKAN MEMBIARKANMU SETELAH INI!!" Dan setelah mengatakan itu, Angga langsung menggendongku dan membawaku ke parkiran sekolah menemui salah satu teman basketnya untuk meminjam mobil sebentar.
Awalnya temannya itu panik saat melihatku pingsan dengan darah yang terus keluar dari luka-luka ku tapi Angga kemudian meyakinkannya bahwa dia tidak akan dapat masalah apapun dan berjanji akan mengembalikan mobilnya seperti semula. Mungkin karna kasihan melihatku, akhirnya teman Angga setuju dan tanpa basa basi, Angga langsung membawa Cia meninggalkan sekolah.
Ia tidak ke rumah sakit melainkan membawa Cia untuk di obati di rumahnya. Bahkan Angga sudah tidak peduli lagi dengan aturan jalan dan menerobos semua lampu merah serta rambu lalu lintas yang ada. Di pikirannya hanya ada bagaimanapun caranya, Cia harus segera diobati.
Ia turun dari mobil dan membawa Cia tergesa-gesa ke dalam rumahnya. Rumah mewah yang di halamannya terparkir beberapa mobil mewah dan motor-motor yang harganya fantastis.
Angga mendobrak pintu rumahnya lalu membaringkan Aya di sofa. Dengan cepat, ia menyiapkan air hangat, antibiotik, dan beberapa obat lainnya untuk mengobati luka Aya. Jangan tanya kenapa ia bisa pulang dari sekolah dengan cepat. Itu karna ini hari terakhir ujian dan itu sudah berakhir setengah jam yang lalu jadi semua murid dibolehkan pulang setelah menyelesaikan lembar jawaban mereka.
Kembali ke Angga. Dia dengan telaten membersihkan darah yang membekas di leher Cia dan mengingat kejadian saat Rey pernah hampir melecehkan Cia dan memberikan bekas yang jelas di lehernya.
Angga berkata. "Cia... aku tidak tau apa setelah ini kau mau memaafkanku tapi ku mohon biarkan aku membersihkan luka hari itu dengan benar, dan berhenti menutupinya lagi." Dan dengan perlahan Angga mendekatkan wajahnya ke Cia dan langsung menggigit telinga dan menciumi beberapa bagian leher Cia yang pernah di sentuh oleh Rey. Beginilah cara Angga membersihkan apa yang sudah jadi miliknya, tidak boleh ada bekas siapapun ditubuh gadisnya. Hanya dia. Setelah menciuminya dengan lembut, Angga beralih menggigiti leher Cia dan meninggalkan bekas kepemilikan disana yang tidak akan pernah hilang.
Cia yang masih tidak sadarkan diri, tidak tau apa yang terjadi pada dirinya saat itu Namun dialam bawah sadarnya ia juga mengalami hal yang sama. Ia bertemu dengan Angga dan mereka banyak bercerita seperti dulu di sana. Ia merasa hangat dan nyaman seperti diterpa angin sore di tepi pantai. Itu yang dia rasakan tanpa tau bahwa kenyataannya saat ini Angga sudah menyentuh dan berbuat tidak sopan padanya.
Hingga saat Angga hampir kehilangan kewarasannya, Cia menyadarkannya dengan meringis yang disebabkan oleh gigitan Angga yang mulai 'liar' dilehernya yang masih terluka dan belum diobati. Angga menyudahi kegiatannya membersihkan Cia dari noda Rey dan lanjut mengobati lukanya. Dengan handuk dan air hangat ia membersihkan luka-luka yang ada di leher dan lengan Cia lalu memberinya antibiotik serta membalutnya dengan perban agar cepat sembuh.
Tapi Angga melupakan satu hal. Seluruh pakaian Cia basah dan jika tidak segera diganti, ia akan terkena demam dan sakit. Angga dilema antara ingin menggantinya sendiri tapi takut khilaf atau memanggil pembantu rumahnya untuk kesini? Karna takut Cia keburu sakit, Angga pun memanggil seorang wanita paruh baya yang melayani rumahnya untuk datang dan mengganti baju Cia dengan pakaian olahraga miliknya.
Sama dengan temannya tadi, Si pembantu juga kaget dan panik melihat majikannya membawa pulang seorang gadis yang tengah sekarat ke rumah. Si pembantu meminta penjelasan tapi Angga memintanya diam dan segera mengganti pakaian Cia agar ia tidak demam. Si pembantu pun akhirnya menurut dan membawa Cia ke kamar Angga untuk mengganti pakaiannya. Angga menunggu di luar dengan perasaan sesak yang tidak tertahankan. Kenapa ia harus terjebak di kondisi seperti ini? Di satu sisi orang yang sangat dekat dengannya sejak kecil dan di sisi lain orang yang saat ini mendiami hatinya. Apa yang harus ia lakukan? Siapa yang harus ia pilih?
Si pembantu keluar dan menghentikan Angga yang hampir menitikkan air mata. Angga bertanya. "Sudah?"
"Sudah, Tuan. Tapi dia siapa? Kenapa bisa terluka seperti itu?" Angga menghentikan Si pembantu yang banyak tanya dan memintanya untuk menyiapkan sup hangat untuk Cia dan si pembantu langsung melaksanakannya.
Angga pun masuk ke kamarnya dan melihat Cia yang terbaring lemah di tempat tidurnya dengan menggunakan seragam olahraga miliknya yang terlihat sangat besar di pakai Cia hingga hampir menenggelamkan tubuh kecilnya. Angga mendekat dengan senyum kecil di wajahnya. Ia kemudian memperbaiki posisi tidur Cia agar gadis itu bisa beristirahat dengan baik dan tidak akan merasa kesakitan saat bangun nanti.
Tidak sedetikpun Angga melepaskan pandangan dari wajah Cia yang dihiasi mata bulat yang besar, Hidung mungil yang lucu dan bibir tipis yang terlihat sangat manis saat tersenyum. Pipi Cia yang berisi membuatnya terlihat imut dengan tubuhnya yang pendek. Dan benar, Orang yang pendek memang nyaman di peluk karna itulah Angga saat ini dengan sekuat tenaganya mencoba menahan diri agar tidak memeluk dan langsung meremukkan seluruh tulang Cia yang mungil itu.
Dengan iseng, Angga mengambil sebagian rambut Cia dan menyingkirkannya agar ia bisa melihat bekas kepemilikan yang sudah ia buat dileher Cia. Dan benar saja, bekas itu sekarang terlihat jelas bahkan lebih baik dari bekas Rey dulu. Apalagi kulit Cia yang putih pucat membuatnya semakin jelas terlihat.
Tanpa sadar Angga tersenyum menyadari hal itu. Gadis ini sekarang miliknya, tidak boleh ada yang mendekati ataupun mencoba merebutnya darinya. Tiba-tiba ponsel Angga berdering menandakan sebuah panggilan masuk. Di situ tertera nama Lucia dengan banyak emoticon Love sedang memanggil tapi Angga mengabaikannya dan langsung menonaktifkan ponselnya. Ia lanjut menatap Cia tanpa henti dengan senyum gembira.
Ia berbisik lirih. "Jadilah milikku."
*****
▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬