▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬
Hari terus berlanjut dan Minggu depan sudah Ulangan kenaikan kelas. Aku dan Aya sedang berada di kantin membahas sesuatu.
Aya mulai bicara setelah menghabiskan setengah makanannya. "Kau tahu?"
"Tidak."
"Aku belum mengatakannya! Kau ini." Gerutu Aya yang membuatku terkekeh. "Ya katakan, kau mau bilang apa."
"Hmm kau tau? Awalnya aku pikir orang yang disukai Angga adalah kau atau salah satu duta sekolah yang saat ini menjabat tapi tidak kusangka seleranya bisa seburuk itu." Kata Aya sambil melirik Angga yang dikerubungi Lucia dan antek-anteknya di seberang meja kami.
Aku ikut melirik dan meletakkan sendokku ke meja. "Buang jauh-jauh pemikiran itu. Kau tahu betul dia hanya menganggapku teman sebangkunya, Tidak lebih dari itu."
"Aku tau tapi melihat perlakuannya yang istimewa padamu, Siapapun tidak akan menyangkal bahwa ada sesuatu di antara kalian. Aku yakin ada kesalahan ya--."
Aku menggebrak meja. "Sudahlah Aya." Semua yang berada di kantin saat itu terkejut termasuk Angga yang sejak tadi mencoba lari dari Lucia.
"Kau kenapa?" Tanya Aya.
"Aku sudah selesai. Aku mau kembali kekelas." Selera makanku sudah hilang sejak kedatangan Angga yang merangkul Lucia sejak tadi tapi aku menahannya semampuku. Namun kenapa Aya harus terus membahas mereka?
Aku menghempaskan diriku ke kursi dengan gusar. "Arghhhh menyebalkan. Semua orang menyebalkan. Bahkan Aya juga. Kenapa semua orang terus membicarakan mereka berdua? Apa tidak ada orang lain??" Aku mengacak-acak rambutku lalu menyembunyikannya di lipatan tangan.
"Menyebalkan." lirihku.
"Siapa?"
"WAHHHH??!!!" Aku terkejut dan langsung bangkit dari kursiku.
Aku menatap seorang murid laki-laki dihadapanku panik. Aku yakin betul tadi tidak ada orang di kelas dan aku tidak mendengar suara derap langkah kaki apapun. Apa dia penunggu kelas ini?
Aku menatapnya horor dari atas ke bawah dan menengok sepatunya. "Tapi dia punya kaki."
"Kau bilang apa?" Dia mendekat selangkah dan aku tidak bisa mundur karna ada tembok di belakangku. "Jangan mendekat atau aku akan teriak." Kutodongkan sebuah buku tebal padanya.
"Hei tenanglah. Aku bukan orang jahat. Aku hanya ingin membantu."
Aku bertanya tak paham. "Hah? A-Apa?? Kau mau bantu siapa? Aku tidak butuh bantuanmu. Pergilah!!"
"Sungguh? Kau yakin tidak apa-apa kan?"
"Tentu saja. Aku baik-baik saja."
Dia mengulurkan tangannya. "Baik aku tidak akan membantumu. Tapi bisakah kau meletakkan buku itu dulu? Aku ingin bicara denganmu?"
Aku tersadar dan mulai menurunkan buku yang kutodongkan padanya sejak tadi. "Kau yakin bukan berasal dari dunia lain?"
"Hahaha apa maksudmu dari dunia lain? Apa kau pikir aku hantu?." Ia tertawa dengan nada rendah yang menenangkan.
"Ak- Aku pikir seperti itu. Ini salahmu karna mengagetkanku."
"Haha oke aku mengaku salah. Ayo duduk dulu. Aku belum memperkenalkan diri." Aku menurut dengan posisi siaga.
"Apa kau tidak mengenalku?" Tanyanya.
"Hah?? Tidak. Apa kita pernah bertemu?" Jawabku semakin merapatkan diri ke tembok.
"Kau tidak ingat? Kita bahkan baru bertemu kemarin." Sontak aku menoleh terkejut.
"Kemarin? Dimana? Kenapa aku tidak ingat apa-apa?" Aku menelisik setiap jengkal wajahnya. Wajah familiar namun asing di waktu yang sama. Siapa? Siapa? Siapa?
Aku mencoba mengingat-ingat dan menekuni wajahnya yang sedang tertawa. Dan_brakk!!!
Aku menggebrak meja sekali. "KAU???"
"Ya ampun kau membuatku terkejut. Apa kau sudah ingat?"
Sekali lagi aku menatapnya dalam dan dia juga sama. Kami saling menatap untuk beberapa menit sampai akhirnya aku tersadar. "Tidak! Aku tidak ingat apa-apa."
"Huft.. Sudah kuduga. Hmm baiklah kita mulai saja dari awal."
Ia mulai bercerita tentang dirinya dan bagaimana kami pertama kali bertemu. "Apa?? Kau orang yang kemarin? Orang baru yang tinggal di kompleks perumahan itu kan?"
"Yap! Itu aku. Aku pikir kau akan mudah mengenaliku ternyata tidak. Sayang sekali."
"Wahh itu benar kau. Maafkan aku tidak bisa mengenalimu. Aku memang payah mengingat seseorang." Aku mengutuk diriku sendiri.
"Oh iya kau sekolah disini juga? Sejak kapan?"
"Hmm aku baru masuk ke sekolah ini tadi pagi. Karna hanya sekolah ini yang paling dekat dengan rumahku. Dan tidak kusangka bisa bertemu denganmu disini."
"Haha aku juga. Senang melihatmu bersekolah disini."
"Hmm terima kasih." Ia kemudian melanjutkan. "Oh iya bisa kau mengantarku berkeliling sekolah? Karna aku murid baru di sekolah ini."
Tiba-tiba sebuah kilasan peristiwa terlintas di kepalaku. Peristiwa yang sama saat Angga memintaku untuk menemaninya berkeliling sekolah tapi kutolak.
"Tentu saja tapi aku belum tau namamu. Aku tidak tau harus memanggilmu apa."
"Ohh haha aku lupa mengatakannya. Kau bisa memanggilku Fiko dan kau??"
"Aku Cia. Ayo, aku akan mengajakmu berkeliling."
Dan aku pun memulai tur singkat itu. Dimulai dari ruang para guru dan kepala sekolah sampai ke gedung olahraga. Di sepanjang jalan orang-orang tidak berhenti mengagumi ketampanan Fiko yang aku sendiri juga tidak bisa menyangkalnya. Beberapa bahkan ada yang nekat meminta nomor ponselnya langsung tapi Fiko menolaknya karna katanya dia jarang menggunakan ponsel.
Oke tidak buruk. Setidaknya dia lebih baik daripada Angga yang langsung melayani semua gadis yang menghubunginya. Dasar buaya.
"Apa kau tidak apa-apa?" Tanya Fiko yang menyadarkan ku dari lamunan tentang Angga.
"Ya. Ayo kita lanjut jalan."
Di pertengahan jalan kembali ke kelasku, kami berdua berhenti dan aku langsung bertanya pada Fiko. "Ngomong-ngomong kau kelas berapa? Aku akan mengantarmu kesana."
"Benarkah? Hmm itu agak jauh dari sini. Kita harus naik kelantai berikutnya."
Aku hampir memekik terkejut. "Apa?? lantai atas? Tapi itukan untuk Kakak kelas. Jangan bilang kau??"
"Ya. Itu benar, Kelasku di lantai atas dan aku lebih tua darimu jadi sejak tadi harusnya kau memanggilku dengan sebutan kak. Dasar anak kecil!!"
"HEHH? MANA AKU TAU KAU SUDAH SETUA ITU. Ahh aku minta maaf tidak menyebutmu dengan embel-embel kak tadi. Aku bersumpah tidak tau apa-apa." Aku mengangkat kedua jari telunjuk dan tengahku membentuk huruf V.
"Haha kau ini sangat mudah dibodohi. Aku hanya bercanda. Hahaha."
"Apa?? Jadi kau bukan Kakak kelas??"
"Tidak, aku memang Kakak kelasmu." Jangan bertanya kenapa aku sangat takut. Alasannya karna di sekolahku ini sistem senioritas sangat kental dan kuat. Kami harus menunduk dan bersikap sesopan mungkin dihadapan kakak kelas dan aku tidak mau berurusan dengan mereka.
"Jadi_??"
"Jadi apa kau tidak jadi mengantarku ke kelas?" Tanya Fiko.
"Ahh?? ba-baik aku akan mengantarmu." Dengan nada terpaksa, Aku mengikuti Fiko naik kelantai atas. Bisa kurasakan suhu yang berbeda saat aku mulai memijakkan kakiku. Aku yang menunduk takut di hadapan mereka tidak berhenti meminta maaf saat melewati beberapa kerumunan kakak kelas yang berdiri di koridor. Punggungku panas karena tatapan tajam mereka dan oksigen yang kuhirup semakin menipis saja. Kami berhenti di depan sebuah kelas yang bertuliskan XI IPA 3 dan aku buru-buru pamit dari Fiko atau harus kusebut dia Kak Fiko.
Dia langsung menangkap lengan kiriku dan aku otomatis berhenti. "Jangan takut. Beritahu aku jika ada yang mengganggumu. Ayo kembalilah ke kelasmu, kurasa bel akan segera berbunyi."
"Ba-baik." Aku mengangguk lalu bergegas pergi dari sana. Saat menuruni tangga aku malah bertemu dengan Angga dan hampir menabraknya.
Ia menggenggam kedua pundakku. "Kau tidak apa-apa?"
Belum aku menjawab, Lucia langsung datang dan melepas genggaman Angga. "Ayo Angga kita kembali ke kelas. Di sini ada bau yang aneh. Aku tidak ingin mood ku hilang karna bau ini."
Aku yang masih panik hanya diam dan membiarkan Angga di bawa pergi oleh Lucia. Beberapa antek-anteknya lewat dan dengan sengaja menabrak bahuku hingga aku terjatuh. Aku tau aku tidak bisa berbuat apa-apa, Tapi setidaknya yang mereka sakiti hanya aku, bukan orang-orang terdekatku.
****
"Kau darimana saja?" Tanya Aya saat aku melewati bangkunya. Aku kira dia marah karna sudah kubentak tadi tapi ternyata dia masih mengkhawatirkanku. Aku mencoba tersenyum menenangkannya. "Aku hanya berkeliling sebentar."
"Hmm benarkah?"
"Ya."
"Ap-a k-au masih marah soal tadi?" Aku memperlebar senyumku. "Ya!! Tentu aku masih marah."
"Heii maafkan aku. Aku tau aku salah. Aku berjanji tidak akan membicarakan orang itu lagi. Kumohon Maafkan aku."
Aku masih memainkan peranku berpura-pura marah pada Aya. "Hmm begini saja. Aku akan melakukan apapun yang kau mau tapi aku mohon maafkan aku. Ya? ya?"
Mendengar itu, otakku langsung bekerja memikirkan sesuatu. Aku tersenyum kemenangan. "Apapun?"
"Apapun." Kata Aya yakin.
"Oke! Aku minta belikan aku es krim jumbo coklat waffle yang diatasnya ada taburan messes dengan sedikit bubuk vanila dan beberapa potongan coklat yang besar sebagai hiasannya. Bisa??"
Aya tertegun dan menatapku tak percaya. "Ya!! Apa kau maniak coklat. Kau mau gendut makan manisan sebanyak itu?"
"Baiklah. Permintaan maaf tidak terima." Aku berjalan meninggalkan Aya yang langsung panik.
Aku sampai di bangkuku dan mendapati Angga yang sudah fokus ke buku yang dibacanya. Aku duduk di tempatku dan Aya datang.
Ia kembali membujukku. "Baik! Aku akan melakukannya. Tapi bisakah kau kurangi saja coklatnya? Itu tidak baik Cia."
"Tidak! Tidak bisa. Aku mau es krim seperti yang disebutkan tadi."
"Huftt... Astaga. Baiklah aku akan melakukannya tapi tunggu sampai akhir pekan. Sulit menemukan es krim sesuai yang kau mau."
"Kalau begitu, Aku akan memaafkanmu saat akhir pekan."
"APA-APA??!!"
Aku tertawa kemudian membekap ocehan Aya dengan menyumbat telingaku dengan headset lalu memutar lagu sekeras mungkin.
"KAU??" Aya pergi dan aku hanya memeletkan lidah padanya.
Aku tau sejak tadi fokus Angga sudah pecah saat aku mulai bertengkar dengan Aya. Karna itu aku memakai headset agar dia mengerti bahwa aku sedang tidak niat berbicara dengan siapa-siapa.
Aku membolak-balikkan buku tanpa membacanya. Berharap guru segera masuk dan menghilangkan kecanggungan antara aku dan Angga. Tidak kusangka dia tiba-tiba menepuk bahuku. Aku bertanya. "Apa ada yang salah?"
"Tidak! Tapi kenapa kau mengabaikanku?"
"Apa? Apa yang kau katakan? Aku tidak mengerti maksudmu." Aku baru mau memakai headset ku lagi tapi dia keburu menarik dan memasukkannya ke tasku. Ku lirik Lucia yang masih sibuk bersama teman-temannya.
"Apa yang kau lakukan?" Bisikku. Dan Angga kembali bertanya. "Kenapa kau mengecilkan suaramu?" Dengan nada yang ikut dikecilkan.
Aku yang mulai jengkel mencoba memberitahunya. "Pergilah!! Aku tidak mau dimakan oleh pacar tersayangmu itu!"
"Ohh kau mengabaikanku karna Lucia? Oke oke Aku mengerti."
"Kau?? Dasar buaya!! Diam!!! Aku tidak mengabaikanmu karna Lucia, Bahkan aku tidak merasa mengabaikan siapa-siapa. Itu hanya pendapatmu, fokus saja kepacarmu. Tidak usah mengurusiku."
"Benarkah? bukan itu?" Aku mengangguk dengan mata yang melotot. Menyadari jarak kami yang mulai menipis, aku menarik diri.
Aku berdehem dan menormalkan suaraku. "Geser sana!! Aku tidak mau kau terlalu dekat denganku. Nanti baumu bisa sama sepertiku dan Kekasihmu tidak akan menyukainya."
"Hentikan ini!! Aku tidak suka dengan sikapmu yang seperti ini." Angga masih berbisik. Dan aku dengan lantang membalas. "Memangnya kau mau aku seperti apa?"
Seluruh kelas mendengarnya tapi aku tidak peduli. Lucia baru akan bangkit menghampiriku tapi guru langsung masuk dan meminta kami memulai pelajaran. Aku bersyukur sebanyak-banyaknya didalam hati. Hampir saja.
****
Aku turun dari bis dan berjalan pulang. Hari ini panas sekali karna itu aku meminta Aya membelikanku es krim tapi sayangnya baru bisa terlaksana akhir pekan nanti. Kalau seperti ini, aku bisa keburu mati kepanasan nanti. "ARGHHH aku mau mati!! Kenapa hari ini panas sekali??"
Saat sampai di rumah, aku langsung menghempaskan tubuhku ke sofa. Kulempar sepatuku ke sembarang tempat dan melihat kakiku yang memerah karna ikut kepanasan. "Seram sekali. Panasnya bahkan bisa menembus sepatuku."
Aku berjalan lemas memunguti sepatuku lalu menyimpannya di dekat pintu. Berjalan ke dapur, Aku membuka kulkas dan membiarkan dinginnya menyelimuti diriku. Ku harap tagihan tidak akan naik karna ini.
Di waktu yang sama namun di tempat yang berbeda. Dua murid laki-laki tampak saling berseteru di dalam sebuah rumah. Murid yang berdiri dengan wajah murkanya bertanya. "Kenapa kau disini?"
Dan murid yang satunya lagi hanya duduk santai dan menjawab. "Karna ini rumahku. Kau yang kenapa disini?"
Dia mengunyah sebuah apel lalu menatap balik murid yang berdiri tadi. "Apa kau takut jika aku akan membongkar segalanya?"
"DIAM KAU!! Kau tidak tau apa-apa. Berhenti ikut campur!"
"Baik. Jika kau bilang begitu TAPI akan ku katakan sekali lagi. Apapun yang saat ini sedang kau rencanakan. Hentikan!! Itu tidak akan ada gunanya dan berakhir sia-sia."
Murid yang memang sejak tadi sudah murka mulai menaikkan nada suaranya. Ia mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya terlihat. "KAU TAU APA?? HAH??? KAU TAU APA SOAL RENCANAKU? JIKA MEMANG INI AKAN BERAKHIR SIA-SIA, BIARKAN SAJA!! SETIDAKNYA AKU SUDAH BERUSAHA. TIDAK SEPERTIMU YANG MERELAKAN SEMUA INI BEGITU SAJA."
"Cobalah untuk mengerti. Ini tidak semudah permainan bola basket yang sering kau maini. Tidak semua yang terjadi akan sesuai dengan yang kau inginkan. Sekali-kali kau boleh menye--."
"TIDAK!! ITU TIDAK AKAN PERNAH TERJADI!!"
"Tapi_."
"Sudahlah!! Jika kau memang tidak mau mendukungku, Tidak usah. Tapi jangan mencegahku untuk melakukan ini, karna jika kau melakukannya?
"Aku juga akan menyingkirkanmu." Ia pergi setelah berkata seperti itu dengan nada mengancam.
"Aku tidak tau harus berbuat apalagi untuk menghentikanmu, Angga."
*****
▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬