▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬
Minggu berikutnya, aku berencana untuk membeli persediaan makanan di dapur. Aku bangun saat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi dan belum sempat sarapan apa-apa. Aya tiba-tiba menelpon mengajakku belanja bersamanya dan aku langsung setuju karna punya tujuan yang sama dengannya. Aku bersiap untuk pergi dengan pakaian kasual ala kadarnya. kaos putih bergambar berlian hitam dan celana jeans panjang sebetis. Rambut sebahuku ku biarkan tergerai seperti biasa tak lupa dengan sepatu putih polos yang melengkapi penampilanku.
Ibu selalu bilang bahwa aku harus memperhatikan pakaian yang ku gunakan saat akan keluar rumah tapi sekali lagi maaf ibu, jika ada yang anakmu ini pedulikan di hidupnya itu adalah makanan.
Selesai bersiap, aku memberitahu Aya untuk menentukan lokasi kami bertemu. Aku mengambil sebuah tas kecil yang praktis ku bawa kemana saja dan meletakkan ponsel dan dompetku ke sana.
Aku memesan taksi di depan kompleks yang akan mengantarku ke taman kota. Pusat dimana seluruh kehidupan kota berjalan. Aya datang dan kami langsung memasuki pusat perbelanjaan yang ada di dekat sana.
"Kau ingin belanja apa?" Tanyaku pada Aya.
"Aku ingin membeli beberapa baju baru hari ini. Apa kau mau ikut?"
"Apa kau bercanda? Kau punya puluhan baju baru yang belum pernah kau gunakan di lemarimu dan kau bilang masih ingin beli lagi?"
"Ayolah Cia. Kau tau semua baju-baju itu sudah ketinggalan jaman dan aku tidak mungkin menggunakan itu malam ini di pesta."
Aku yang tidak paham apa yang dia maksud bertanya. "Apa? Pesta? Pesta apa??"
"Kau sedang bercanda atau memang tidak tau?"
"Menurutmu?" Tanyaku datar.
"Hmm... sepertinya kau memang tidak tau. Kalau begitu kita tidak jadi beli baju. Ayo aku akan mengantarmu berbelanja keperluanmu."
Aku menahan Aya yang baru ingin berjalan. "Tidak! Pesta apa yang kau maksud? Kenapa aku tidak tau apa-apa?"
"Huftt... begini. Kemarin malam Lucia menghubungiku dan mengatakan akan mengadakan pesta dirumahnya untuk merayakan keberhasilannya berpacaran dengan Angga. Dan kau tau? aku bertanya padanya dia sudah mengundangmu atau tidak dan dia bilang Angga yang akan melakukan itu jadi ku pikir kau tau tentang ini tapi sepertinya Angga tidak memberitahumu apa-apa."
Aku terdiam sejenak kemudian berkata. "Ohh ku kira itu sesuatu yang penting ternyata tidak. Ayo! Aku mau membeli beberapa keperluan dapur." Aku tersenyum melupakan rasa sesak di dadaku lalu mengajak Aya menemaniku berbelanja.
Kami menghabiskan waktu bersama dan saat aku menyuruhnya untuk kembali memilih baju baru yang akan dia gunakan ke pesta nanti, dia menolak. "Aku tidak mau pergi ke tempat dimana temanku tidak dibolehkan ke sana."
Aku cukup terharu bisa memiliki teman semenyebalkan dan sebaik Aya tapi aku memaksanya dan berkata jika semua ini tidak ada hubungannya denganku dan sekalipun aku diundang ke sana, aku tetap tidak akan pergi. Dan dengan sekuat tenaga akhirnya Aya menurut dan aku pun membantunya memilih pakaian.
Selesai berbelanja, kami pergi ke tempat makan di pusat perbelanjaan tersebut. "Aku bodoh karna tidak langsung menolak ajakan nenek lampir itu ke pestanya tapi kau tau kan? Aku jarang diizinkan keluar rumah namun pesta ini adalah pesta yang diselenggarakan oleh teman ayahku sekaligus ayah nenek lampir itu sulit bagiku untuk membatalkannya dan sekali lagi aku menyesal tidak bisa mengajakmu kesana."
Aku meminum minumanku beberapa kali teguk lalu membalas. "Tenang saja. Aku bahkan tidak pernah berpikir untuk datang ke pesta itu."
"Ya, kau benar. Kau hanya tau tidur, makan, dan musik. Harusnya aku tau itu."
"Tuh kan." Dan makanan yang kami pesan datang. "Wah lihat. Makanannya sudah sampai. Sebagai gantinya, kau harus mentraktirku sepuasnya hari ini?"
"Benarkah? Jadi ini maksudmu? Kau ingin memanfaatkanku?"
"Kalau bisa kenapa tidak? Hahaha." Kami berdua tertawa dan Aya mulai bercerita tentang soal-soal baru yang ia dapat dari guru dan cara menyelesaikannya. Aku hanya mengangguk sesekali dan kembali melanjutkan makanku. Kami mengambil beberapa selfie dan Aya bilang ingin mengunggahnya ke akun SNS miliknya tapi kularang. "Tidak! Tidak boleh!! Wajahku itu termasuk dalam wajah-wajah termahal di dunia. Kau tidak boleh mempostingnya sembarangan."
"Oh ya? Kau pikir aku peduli? Wleeee." Ejek Aya dan kami berdua tertawa.
Kami berdua berpisah di depan pusat perbelanjaan. "Baiklah. Aku akan pulang sekarang. Selamat bersenang-senang nanti malam." Aku melambai pada Aya yang sudah pergi bersama supirnya.
Aku pun menghentikan sebuah taksi dan pulang ke rumah. Supir taksi tiba-tiba berbicara. "Mbak, sepertinya ada yang mengikuti kita dari belakang." Aku berbalik dan betul saja sebuah motor hitam dengan pengendara berjaket mengejar kami dari belakang. Ketakutan merayapiku seketika.
"Pak! Bisa lebih cepat lagi." Si supir menurut dan kami pun memotong perjalanan dengan melewati lorong sempit yang mengarah ke kompleks perumahanku. Aku berbalik dan orang itu sudah tidak ada. Kami kembali ke jalan raya dan berhenti di depan kompleks. Setelah membayar taksi tadi, aku melanjutkan langkah ke rumah. Jalanan masih ramai dengan anak-anak tetangga yang bermain di sore hari. Beberapa menyapaku dan ingin membongkar seluruh belajaanku tapi orang tua mereka datang dan menyuruh anak mereka pulang.
Aku memaklumi itu. Beberapa penghuni perumahan mungkin tidak mengenaliku karna aku memang jarang berinteraksi dengan mereka. Aku berbelok ke blok dimana aku tinggal dan__Brugh!!!
Seluruh belajaanku jatuh karna menabrak seseorang. Orang itu meminta maaf dan membantu memunguti belajaanku. "Maafkan aku. Aku tidak melihatmu tadi."
Dia menyerahkan belajaanku yang sudah ia pungut lalu mengangkat kepalanya sehingga aku bisa melihat wajahnya. Ia tampak asing dan familiar di mataku. Apa aku pernah melihatnya?_tanyaku dalam hati.
Tapi otakku buntu dan tidak menemukan titik terang. Aku berinisiatif bertanya. "Apa kau baru disini?" Ia sedikit terkekeh dan menjawab. "Ya. beberapa hari yang lalu aku pindah kesini bersama ibuku."
"Ohh benarkah? Kalau begitu aku berharap kau nyaman dan merasa aman tinggal disini. Aku akan pulang sekarang."
"Tunggu sebentar. Kau tinggal dimana?"
Aku pun mengarahkan orang itu ke sebuah rumah bertingkat berwarna ungu di ujung blok yang ku lalui. Ia pun paham dan aku langsung pergi dari sana. Dalam beberapa hari ini aku bertemu banyak orang baru, sifat baru, dan pelajaran baru yang dapat menuntunku di masa depan.
Aku menghela nafas dan langsung masuk ke rumah. Rumahku sepi seperti biasa dan hanya ada aku disini. Setelah menyusun seluruh bahan masakan di tempatnya, aku kembali ke kamar dan membersihkan diri. Aku merendam diriku di bathtub dan menyelesaikannya 15 menit kemudian.
Sekali lagi, Aya benar. Aku harusnya fokus saja ke ujian kali ini mungkin ini akan membantuku merelakan Angga sedikit demi sedikit. Aku memasang baju tidurku dan mulai mempelajari lembaran kertas yang pernah Aya bagikan pada kami.
Kutekuni lembar per lembar dan sesekali harus berhenti karna otakku yang lelah menentukan jawaban. Tiba-tiba pesan masuk ke ponselku tapi aku mengabaikannya. Dan ponsel itu kembali berbunyi beberapa kali dan membuatku mau tidak mau harus mengambilnya. Aku membuka lockscreen dan mendapat pesan dari nomor tak di kenal. Ia mengirimiku sebuah foto yang didalamnya terdapat Aya yang pingsan dan beberapa orang sedang mengerubunginya. Aku panik dan kembali melihat pesan yang tertulis di bawahnya. 'Datang kesini atau temanku akan ada dalam bahaya'. Lalu pesan itu berlanjut mengatakan jika aku tidak boleh memberitahu ini pada siapapun. Dan dalam keadaan kalang kabut aku langsung mengambil jaket besar milik ayahku yang ada di lemari dan bergegas pergi ke alamat yang nomor tak dikenal itu krimkan padaku.
Pikiranku dipenuhi bayang-bayang sesuatu yang buruk akan menimpa Aya. Aku takut dan gemetaran. Aku bahkan tidak sempat memikirkan siapa gerangan yang mengirim pesan aneh itu padaku. Aku sampai di alamat tersebut dan ternyata itu adalah sebuah klub malam yang beroperasi di pinggir kota. Aku kembali mempertimbangkan apa harus masuk atau tidak dan aku sadar penjaga akan langsung mengusirku jika tau aku masih dibawah umur. Jadi ku putuskan untuk mengelilingi klub itu sampai di bagian belakangnya. Disitu ada bangunan lama yang terbengkalai dan aku coba masuk ke sana mencari petunjuk.
Sontak aku langsung bersembunyi saat mendengar suara derap kaki dan orang berbicara. Aku mengintip di sela dinding dan melihat beberapa orang di bawah cahaya sedang bermain kartu. Aku baru akan pergi dari sana tapi aku tidak sengaja menginjak seng aluminium yang tergelak disana dan menyebabkan orang-orang yang ada disana mengetahui keberadaanku. Aku berlari secepat yang kubisa masih dengan pakaian tidur yang kukenakan. Aku sudah menangis saat salah satu dari merek mulai mendekat dan hampir meraihku tapi sekelebat bayangan tiba-tiba muncul dan mendorong orang yang tadi mengejarku hingga jatuh tengkurap ke lantai. Sekelebat bayangan yang ternyata orang itu langsung menarikku berlari.
Aku berontak dan menyuruhnya melepaskanku tapi dia hanya bilang. "Diam jika kau tidak mau ditangkap jadi aku menurut karna takut."
Ia menarikku bersembunyi di salah satu ruangan di dalam bangunan itu. Ia merapatkan dirinya ke tembok bersama diriku yang terjepit antara dia dan tembok. Mungkin jika keadaannya tidak segenting ini, aku sudah akan menendang selangkangan orang ini.
Aku memberanikan diri bertanya. "Apa mereka sudah pergi?"
"Ya. Kurasa begitu." Setelah mendengarnya aku lega dan langsung mendorong orang tadi agar berhenti menindihku ke tembok.
Kami keluar dari gedung itu setelah melihat wajah orang yang menyelamatkanku tadi lututku langsung lemas seketika. Lidahku langsung kelu bahkan hanya untuk memanggil namanya. Dia memulai percakapan dan aku masih mencoba mengumpulkan nyawa sebanyak yang ku bisa.
Dia memarahiku. "Kau!! Apa yang kau lakukan di tempat seperti ini? Apa kau sudah gila? Apa kau mati? Hah??!!" Lebih baik mati daripada mengetahui kenyataan bahwa kau yang menyelamatkanku._kataku dalam hati.
Karna tidak tau harus bilang apa. Aku hanya menyebut nama Aya sebagai alasan keberadaanku disini. Aku mendapatkan kesadaranku kembali dan mulai berlari mencari Aya. Angga bertanya ada apa dengan Aya? Kenapa aku mencarinya sampai seperti ini? Tapi tidak ku tanggapi. Aku melihat ke jendela klub yang berkelap kelip dan menduga mungkin Aya ada disana.
Sebelum aku membuka pintu tersebut, Angga menghentikanku. "Kau kenapa?"
"Aku- aku - aku menCARI AYA!! SESEORANG MENYEKAPNYA DAN MEMBUATNYA PINGSAN DI SEBUAH RUANGAN DAN SEKARANG AKU TIDAK KAU KEADAANNYA ATAU PUN DIMANA DIA BERADA!!!" Teriakku frustasi dengan air mata yang terus membanjiri pipiku.
Angga langsung menangkup pipiku. "Dengar! Jika kau mencari Aya, dia tidak disini. Dia sekarang sedang ada di rumah bersama keluarganya jadi kau tidak perlu khawatir."
Aku bertanya padanya. "Darimana kau tau?"
Lalu ia langsung memutarkan sebuah rekaman telfon padaku. Di rekaman itu menjelaskan bahwa Lucia yang merencanakan ini semua. Ia sengaja menjebakku dengan foto Aya yang sengaja dia ambil saat Aya tidak sengaja terjatuh di pesta yang ia gelar. Di foto itu memang terlihat persis Aya yang seperti kehilangan keseimbangan dan menutup matanya karna terkejut dengan cahaya kamera yang menyorotnya. Ini semua dilakukan Lucia untuk menyingkirkanku dari sekitar Angga dan sekolah.
Angga pun menambahkan. "Kalau kau masuk, kau tidak akan bisa membayangkan apa yang menunggumu di dalam."
Aku mulai menangis kembali dan terduduk di aspal jalan. Ini semua membuat kepalaku pusing dan semakin hari daya tahan tubuhku berkurang karena sering panik tidak jelas. Angga pun membawaku pulang dan sedikit berbasa basi bahwa jaket yang aku kenakan benar-benar tidak cocok dengan tubuhku yang kecil. Lalu aku memarahi dan memukul helmnya dari belakang. "Ini jaket Ayahku. Kau tidak boleh mengatakan itu padanya."
Dia berhasil membuatku sedikit tenang kembali menikmati angin yang menerpa wajahku karna aku tidak menggunakan helm. Angga bilang ia lupa membawanya dan biasanya polisi tidak akan berjaga pada malam hari dan benar saja aku sampai di rumah dengan selamat. Sekali lagi aku menawarinya masuk dan minum di rumahku. Kali ini dia tidak menolak dan membuatku sedikit terkejut. Ia turun dan melepas helmnya dan aku langsung saja menuntunnya untuk masuk kedalam. Saat membuka pintu, Angga bertanya. "Apa kau pergi dari rumah tanpa menguncinya?"
"Ehh?" Aku tersadar dan langsung melihat kunci rumah yang masih ada di sofa ruang tamu yang berarti aku memang tidak mengunci pintu saat keluar tadi.
"Huft... kau benar-benar gadis bodoh." Lalu dia langsung menerobos masuk dan duduk di sofa. Aku menyuruhnya untuk menganggap rumahku seperti rumahnya sendiri dan tanpa basa basi ia langsung mengambil remot dan menyalakan TV. Baik Cia! Kau hanya harus mengingat bahwa bagaimanapun keadaannya tamu adalah raja dan tamu itu juga yang sudah menyelamatkan nyawa mu berkali-kali.
Aku membuka jaket Ayahku dan menyampaikannya ke meja makan. Di dapur aku berteriak Angga mau minum apa dan dia bilang ia ingin kopi dan beberapa cemilan dan untung saja aku sudah berbelanja tadi siang. Memanaskan air, aku mengambil ponsel yang ada di sakuku dan menelpon Aya.
Ia mengangkatnya dan aku langsung membombardir percakapan dengan pertanyaan yang sejak tadi membebaniku. Aya hanya menjawabnya singkat bahwa ia terpeleset saat dipesta dan beberapa orang memotretnya tapi dia tidak tau bahwa itu disengaja untuk menjebakku. Aku menutup telpon setelah memastikan dia baik-baik saja.
Singkat cerita, aku kembali ke ruang tamu dengan kopi dan beberapa cemilan. Aku duduk di sofa tunggal di sebelahnya. "Kau menonton apa?" Dia tidak menjawab dan hanya menunjuk layar TV.
"Apa?"
'Di ruangan tersebut di temukan mayat yang sudah kehilangan kedua kakinya. Dan tampak bahwa mayat tersebut sengaja disiksa terbukti dari bekas jahitan lidahnya. Pembunuhan ini tidak bisa dianggap biasa sebab ditemukan luka serius pada telinga korban yang menghancurkan sebagian kepalanya. Dan__'
Aku langsung mematikan TV dengan mencabutnya dari saklar. "Kenapa kau menonton berita seperti itu pada malam hari?" Geramku pada Angga yang dengan santai menghabiskan setoples Chiki yang baru ku beli tadi.
Setelah ia selesai mengunyah, ia menjawab. "Aku tidak tau harus nonton apa jadi aku pergi ke saluran berita dan berita itu langsung muncul jadi bukan salahku. Kalau kau ingin menyalahkan seseorang, Salahkan saja reporternya kenapa menayangkan berita seperti itu."
Aku memikirkan perkataannya baik-baik dan tidak menjawab. Ku pijat keningku berharap rasa panik yang sering melandaku bisa hilang sejenak.
"Hmm kau benar. Maafkan aku dan Terima kasih."
Angga beralih ke toples selanjutnya. "Untuk apa?"
"Maaf untuk selalu menyalahkanku dan dari awal aku harusnya sudah berterima kasih padamu karna sering menolongku saat aku dalam bahaya."
Karna menunduk aku tidak bisa melihat ekspresi Angga yang ternyata tersenyum penuh arti di hadapanku.
"Sudahlah. Kau tidak perlu mengingatnya lagi dan Ku kira aku sudah mengatakan bahwa kau sudah seperti adikku sendiri jadi aku akan menjagamu sebaik mungkin."
Aku bergumam pelan sambil cekikikan. "Adik apanya?"
"Jadi, apa aku harus memanggilmu kakak? Misalnya Kak Angga aku mau makan, Kak Angga antar aku pulang. Seperti itu?" Tanyaku dengan nada mengejek.
"Aishh gadis ini benar-benar. Ya!! Hentikan itu! Aku menganggapmu adik karna kau itu pendek. Haha saking pendeknya aku bisa memasukkanmu ke bagasi motorku."
Aku mendengus kesal. "Dasar! Kau tidak tau saja kalau orang pendek itu nyaman dipeluk." Kataku lebih terdengar seperti gumaman.
"Apa kau bilang?"
"Owhh tidak ada." Aku mengambil alih toples yang dipangku Angga lalu melanjutkan. "Oh iya berarti sekarang kau dan Lucia sudah??" Angga tampak murung dan diam sejenak. "Hmm ya begitulah."
Suasana menjadi sedikit canggung dan aku langsung mencairkannya dengan memberi ucapan selamat dan doa agar hubungan mereka bisa terjalin lama tanpa masalah. Tapi jauh dilubuk hatiku, mereka menjerit kenapa aku terus menyiksa mereka dengan perasaan aneh ini. Aku baru akan bertanya alasan dia menerima Lucia sebagai kekasihnya tapi dia memotong dan bilang kalau ia harus pergi sekarang atau Lucia akan menggila menyadari ia pergi dari pesta itu. Dan aku baru sadar, ternyata sejak tadi Angga menggunakan setelan jas hitam dengan kemeja putih serta dasi berwarna hitam bak pengantin pria yang siap mempersunting kekasihnya. Tidak bisa ku bayangkan jika harus melihat Lucia berdiri di samping Angga dengan gaya ala tante-tantenya itu. Ia pamit namun sebelum pergi ia berkata. "Piyama yang bagus."
Aku seperti. "Hah?? Eohh???" Sambil memandangi piyama abu-abu bergambar koala yang ku gunakan. Pipiku bersemu panas namun Angga tidak bisa melihatnya karena langit yang gelap.
Angga hanya tertawa kecil lalu pergi menjauh dari rumahku. Satu lagi kejadian aneh yang tidak ku sangka-sangka akan terjadi.
*****
▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬