▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬
Terserah, aku sudah tidak peduli tentang Lucia atau pun Angga lagi. Aku hanya ingin kehidupan normalku kembali. Itu saja.
Di depan gerbang sekolah, aku bertemu dengan Aya yang baru turun dari mobilnya. Kami saling menyapa dan berjalan beriringan ke kelas.
"Hei! apa kau tidak takut?" Tanya Aya kemudian. "Takut apa?"
"Tunggu dulu. Jangan bilang kau sudah lupa kalau kau dan Lucia masih punya masalah yang belum di selesaikan?"
Aku menghela nafas lalu berhenti berjalan. "Aku tidak peduli. Terserah apa yang akan dia lakukan, Aku memang akan mengusir Angga pergi dari bangku di sebelahku." Kataku kembali berjalan.
"Apa? Kau serius? jika aku jadi kau, aku lebih memilih melawan nenek lampir itu dari pada membiarkan seorang pangeran lepas dari hadapanku."
"Itu kau. Bukan aku."
"Huhhh dasar! Entah kenapa juga Angga mau duduk bersama orang yang menyebalkan sepertimu?"
"Benarkah? Lalu kenapa kau ingin berteman dengan orang yang menyebalkan sepertiku?" Tanyaku balik.
"Eohhh ya... itu karna kau bodoh. Sudahlah, ayo cepat. Aku ingin melihat wajah Lucia saat melihatmu kembali ke sekolah." Aya menarikku berlari ke kelas.
"Hei apa??kau memanggilku bodoh? Aya berhenti! Kau mau aku jatuh?" Teriakku di sepanjang koridor.
Tapi Aya tidak peduli dan membawaku berlari ke depan kelas. "Berhenti! Jika kau melakukan itu lagi, aku benar-benar tidak akan memaafkanmu!!"
"Haha baiklah-baiklah. Sekarang ayo masuk."
Aku masuk dan berjalan ke tempat dudukku seperti biasa. Ku akui bahwa Lucia memang murid yang badung tapi dia tidak pernah terlambat ke sekolah. Aku heran, sebenarnya jika bukan untuk belajar, untuk apa dia datang lebih awal ke sekolah?
Dari pengalamanku satu kelas dengannya hampir setahun ini, dia biasanya datang dan merencanakan sesuatu di pagi hari bersama antek-anteknya untuk membuat kehebohan di sekolah tapi aku tidak pernah peduli.
Dan ketidakpedulianku itulah yang hampir membuatku dalam masalah hari ini. Beberapa menit sebelum aku sampai ke tempat dudukku, seseorang melemparkan segumpal kertas dan mengenai kepalaku. Aku berbalik dan mengambil gumpalan kertas itu. Ku lihat Lucia dan antek-anteknya tertawa dan melirik sinis padaku. Aku diam seperti tidak terjadi apa-apa. Aku menunggu Aya masuk di kursi tapi ia tak kunjung datang, entah kemana lagi ia pergi pagi-pagi begini. Aku mencoba mencari kesibukan seperti berpura-pura membaca buku atau bermain permainan di ponselku tapi aku tau Lucia sedang merencanakan sesuatu bersama gengnya.
Satu-persatu dari mereka mulai mendekat. Dan mengerubungi mejaku. Aku masih fokus pada buku yang ku genggam. Apa aku akan di bully?
Salah satu dari mereka memukul mejaku hingga membuat semua orang menghentikan aktivitasnya sejenak. Aku mencoba setenang mungkin dan balik menatap tepat di bola mata siswi yang ku tau berasal dari kelas IPA tersebut.
"Apa kalian butuh sesuatu?" tanyaku tenang. Ia sedikit berdecih kemudian memandang temannya satu persatu. Mereka berempat dan Lucia hanya menonton mereka dari bangkunya.
"Haha kau sangat pandai bersandiwara, kenapa tidak masuk kelas teater saja?"
"Aku tidak membutuhkannya." mereka mulai muak melihatku tidak bergetar sama sekali di bawah tekanan mereka berempat.
Siswi lain maju lalu mendorong kepalaku dengan jari telunjuknya ke belakang. "Kau tidak usah berpura-pura kuat, aku tau betul bahwa saat ini kau sedang sangat ketakutan."
Dan perlahan, pertahananku mulai runtuh. Aku benci suara siswi tadi. Itu mengingatkanku pada pria berjaket kemarin.
Aku tergagap. "A-Aku tidak tau apa yang kau maksud."
"Oh ya? bagaimana jika aku menjatuhkanmu dari jendela ini? Apa kau akan mati? Atau kau hanya akan sekarat di rumah sakit?"
Dalam hati, aku bergumam. 'Dasar gila. Gadis gila.'
Siswi pertama maju dan berkata. "Hei Shei! berhenti membuatnya takut, kau tidak lihat keringat di dahinya itu?"
Nafasku mulai tidak teratur karna tertekan. Dengan cepat aku berdiri dan ingin beranjak dari sana tapi mereka menghalangiku. "Aku harus ke toilet. Ku mohon."
"Kenapa harus repot-repot? Di sini saja. Kami akan membantu menutupimu. Tapi kurasa itu tidak perlu karna sepertinya kau sudah terbiasa tidak memakai busana di depan banyak orang."
Setelah mengatakan itu, satu kelas menertawaiku dan aku merasakan beban terangat berat di pundakku. Kepalaku tertunduk otomatis dan bibirku terus menyebut nama ibuku. "Hei kenapa? Apa kau menangis? Apa sekarang kau sudah menyesali kesalahanmu? Entah apa yang dirasakan ibu mu di--."
"DIAM!!!" Teriakku. Aku mengangkat wajahku yang sudah di penuhi air mata. Dan_plak!!
Satu tamparan ringan berhasil aku daratkan di pipi siswi yang berani menyebut ibuku tadi.
"KAU BERANI?HAH????KAU BERANI MENAMPARKU!!!DASAR WANITA SIALAN!!!!!" Siswi itu murka dan terjadilah aksi jambak-jambakan antara aku dan siswi tadi. Aku merasa kepalaku akan botak sebentar lagi dan orang-orang hanya bersorak menambah kericuhan di kelas. Aku menangis sekeras-kerasnya saat kuku panjang siswi tadi berhasil menggores lenganku. Aku tidak punya alat perlawanan dan hanya memukulnya di bagian-bagian yang ku anggap akan membuatnya kesakitan.
Tapi itu tidak berguna. Aku hampir kehilangan kesadaranku saat ku dengar Aya dan Angga datang dan melerai mereka semua. Siswi tadi langsung di bawa keluar dan Aya memarahi semua orang yang menonton karna tidak ada satu pun dari mereka yang melapor ke guru.
Aku menatap Angga sekilas dengan wajah yang entah sudah seburuk apa di matanya. Aya memelukku dan aku kembali menangis. Aku tidak berhenti memarahinya karna meninggalkanku sendiri di kelas dan dia hanya menjawab. "Itu salahmu karna datang ke sekolah hari ini."
Dasar monyet. Tidak bisakah dia sedikit menghiburku dan mengatakan jika ini memang salahnya?
Aya melepas pelukannya dan sampai saat ini, aku masih belum berani menatap Lucia dan antek-anteknya di seberang.
Angga menawari. "Apa kau tidak mau di antar ke UKS?"
Aku hanya mengangguk singkat sambil mengelap ingus ke lengan bajuku. Aku sudah tidak harus repot-repot menjaga citraku di matanya sekarang. Ini saja sudah cukup mempermalukanku hingga titik dimana aku sudah memutus saraf maluku.
Angga beralih menggenggam bahuku dan aku sedikit terkesan karna dia sama sekali tidak jijik setelah melihat kelakuanku tadi.
"Aku akan ikut dengan kalian."
"Tidak. Kau di sini saja." Jawab Angga.
Aya menatapnya curiga. "Kenapa?" Sejenak Angga melirik ke kertas yang dibawa Aya. "Bukankah kau harus menyampaikan sesuatu pada semua orang?" Dan Aya tampak menyadari sesuatu. "Oh iya kau benar. Aku hampir lupa harus membagikan kertas ujian ini pada semua orang."
"Kertas apa?" tanya ku dengan sedikit harapan Aya akan tetap menemaniku sampai ke UKS dan tidak membiarkan Angga dan aku berdua.
"Ini adalah beberapa contoh soal yang akan di prediksi akan masuk dalam ujian penaikan kelas nanti jadi guru meminta kita mempelajarinya sampai materi selanjutnya."
"Apa tidak bisa nanti saja. Kau bisa menemann---." Belum selesai aku bicara, Angga kembali memotong.
"Ayo Cia! Kau harus ke UKS sekarang kalau tidak lukamu akan infeksi nanti dan Aya! kau sebaiknya membagikan soal itu sekarang jika tidak semua orang akan memarahimu nanti. Sampai Jumpa." Dan ia langsung menyeretku keluar kelas.
Saat melewati bagian bangku Lucia dan antek-anteknya, aku semakin merapatkan tubuhku pada Angga berharap itu bisa melindungiku dari tatapan tajam Lucia.
Sampai di luar, aku memintanya untuk melepasku tapi dia tidak mau dengan anggapan ia takut aku terjatuh nanti. Lalu ku beritahu padanya bahwa itu tidak akan terjadi karna aku bukan gadis yang lemah. Tanpa ku sangka, ia malah berkata. "Lalu kenapa kau tidak melawan tadi?"
"Apa?"
"Kau bilang kau tidak lemah tapi di pukuli seperti itu saja kau sudah menangis."
Dengan sedikit malu aku menjawab. " Itu terserah padaku dan kau tidak tau apa-apa jadi diam saja."
"Baiklah jika itu maumu." Dan di sepanjang jalan ke UKS yang berada di lantai Pertama, kami berdua hanya diam dengan pikiran masing-masing.
Aku harusnya berterima kasih pada Angga dan Aya karna jika bukan karna mereka, aku bisa berada dalam keadaan yang lebih buruk dari ini. Tapi tak dapat di pungkiri, Angga jugalah yang menjadi penyebab keadaanku saat ini. Jadi aku dihadapkan dilema entah harus berterima kasih atau memarahi dirinya.
Kami masuk dan ada seorang anak PMR yang berjaga di sana. "Halo!" Sapanya saat kami masuk tapi hanya kepada Angga.
Dia menggiring Angga dan membawaku ke sebuah kasur kecil di salah satu bilik UKS. "Dia kenapa?" tanyanya pada Angga.
Dan aku mulai kesal. Aku yang sakit, tapi kenapa dia yang mendapatkan perhatian. Saat Angga mulai menjelaskan kondisiku pada gadis PMR tadi, aku mulai terlupakan dan berlagak seperti obat nyamuk. Jika dari awal dia bilang ingin mencari mangsa dengan alasan mengantarku ke UKS, aku akan menolaknya tanpa berpikir dua kali.
Dengan dongkol, aku berinisiatif mencari kotak P3K untuk mengobati lukaku. Biarkan saja mereka berdua berbicara aku tidak peduli. Tapi, ternyata aku salah. Aku bahkan belum menyentuh lantai, Angga sudah menyadari pergerakanku. Dia bertanya. "Apa aku butuh sesuatu?"
Dan dengan sarkas, aku balik bertanya. "Aku butuh UKS." Dia mengangguk seolah mengerti maksudku. Aku berbaring dan membiarkan Angga kembali berbincang dengan gadis tadi.
Aku merasa lukaku dan kepalaku kembali berdenyut sakit saat mengingat kejadian tadi. Dan saat aku membuka mata, aku sudah melihat gadis tadi sedang mengolesi sebuah cairan antibiotik dengan kapas ke lenganku yang tercakar tadi. Jelas-jelas dia tidak melakukannya dengan benar. Bahkan terkadang sengaja menekan lukaku dengan tatapan yang aneh. Seolah mengisyaratkan 'kau seperti hama pengganggu' padaku.
Aku menghentikannya. "Sudah. Sudah cukup. Aku bisa melakukannya sendiri." Ia tersenyum palsu. "Baguslah."
"Ada apa?" tanya Angga mendekati kasurku.
"Tidak apa-apa. Aku rasa aku bisa melakukan ini sendiri dan mungkin kau harus kembali ke kelas sekarang." Untuk mencegah musuhku bertambah lagi, aku meminta Angga untuk pergi dari UKS.
"Tidak. Aku disini saja. Jika aku pergi, kau akan bersama siapa disini?"
Aku melirik si gadis PMR sejenak. Ku rasa ia sekarang tau bagaimana rasanya menjadi obat nyamuk.
"Dia ada disini. Dia akan menemaniku." lirikku pada gadis itu. Ia tampak memelototkan matanya padaku. "Lagi pula kau belum izin kepada guru untuk menemaniku di UKS kan?"
"Itu tidak perlu. Aya akan memberitahu guru nanti. Kau istirahat saja. Dan kau!" tunjuknya pada gadis itu.
"Iya?"
"Kau bisa kembali ke kelasmu sekarang." Entah karna kepalaku yang masih sakit atau penglihatanku sedang membayangkan sebuah film, Aku bisa merasakan sebuah kode yang coba di sampaikan Angga pada gadis itu. Dan gadis itu langsung pergi tanpa pamit. Aku pun marah.
"Kenapa kau menyuruhnya pergi?"
"Kau sangat egois ya? Kau tidak liat semua orang sibuk untuk ujian penaikan kelas dan dia juga. Tidak sepertimu yang masih sempat mencari masalah dalam keadaan seperti ini."
Egois? Barusan dia bilang aku egois? Tau apa dia soal aku???
Aku menatap Angga tak terima. "Kau siapa?hah???kau siapa mengatakan aku ini egois? Kau tau apa soal aku? Apa kau tau kenapa mereka menghajar ku? Apa kau tau kenapa aku harus berada disini? Apa kau tau apa yang mereka katakan tentang ibuku? TIDAKKAN??? BERHENTI BERTINGKAH SEOLAH-OLAH KAU TAU SEGALANYA." Aku meluapkan segala sesak yang kurasakan sejak tadi. Pertama kalinya aku menangis di depan orang asing yang baru ku kenal beberapa hari yang lalu.
Aku menghapus air mataku dengan sadis. "Jika saja kau tau penyebab semua ini adalah kau, mungkin kau tidak akan mengatakan itu semua padaku."
Aku berbaring dan membelakangi Angga serta menggunakan selimut UKS untuk membungkus seluruh tubuhku. Aku tidak tau bagaimana ekspresi Angga saat ini. Aku juga tidak tau apa setelah ini bisa berbicara dengannya lagi. Aku hanya ingin sendiri.
Tapi Angga bukan orang yang semudah itu menuruti permohonan orang lain. Ia maju lalu menyibak selimut yang ku gunakan lalu menarik lenganku agar bangkit dari tempat tidur. Dalam keadaan yang tidak siap, aku berdiri dan menumpukan seluruh tubuhku padanya. Sekarang kami terlihat seperti sepasang kekasih yang bertengkar. Aku menarik tanganku tapi dia tidak melepaskannya. Ia hanya melonggarkannya sedikit agar aku bisa kembali duduk di kasur.
Tadinya, aku mau berteriak tapi aku lupa bagaimana caranya. Jadi aku hanya diam menunggu apa yang ingin ia lakukan. Ia melepas cengkeraman eratnya di tanganku dan bertanya. " Apa itu sakit?" Aku tidak langsung menjawab tapi aku mengecek bekas cengkeramannya yang ternyata disitu adalah bekas cakaran siswi gila tadi.
Aku menatapnya horor dan baru menyadari bahwa luka itu semakin berdenyut nyeri hingga membuat seluruh lututku lemas. Aku mengumpatinya dalam tatapan itu agar ia sadar bahwa ia sudah menambah penderitaan yang aku miliki. Dan ia tampaknya mengerti dan pergi lalu kembali lagi dengan kotak P3K bersamanya. Ia mengeluarkan kapas dan alkohol dari sana. Barulah aku berani bertanya dengan sedikit isakan. "Kau mau apa?"
"Tunjukkan tanganmu!" Aku diam tak menanggapi.
Ia jengah dan mulai mencengkeramnya lagi tapi di tempat yang berbeda. Aku mulai panik. "KAU MAU APA??!"
"Biarkan aku mengobati lukamu. Itu belum selesai di obati tadi dan jika di biarkan terus luka itu akan membengkak."
Aku terharu tapi tidak jadi karna mengingat perkataannya yang sebelumnya. "Tapi kau--kah mengataiku egois??!!"
"Itu__aku minta maaf. Tidak seharusnya aku berkata seperti itu padamu. Apalagi setelah mengetahui jika ternyata penyebab semua ini ternyata adalah aku." Barulah aku kembali tenang.
"Aku tau yang disini egois adalah aku karna terburu-buru mengklaim sesuatu tanpa tahu yang sebenarnya. Dan ku mohon biarkan aku mengobatimu karna secara tidak langsung akulah penyebab kau terluka seperti ini."
Aku tidak tau harus menjawab apa dan hanya membiarkan Angga mengolesi alkohol itu di tanganku. Sesekali aku mendesis perih dan dia akan terus bertanya. "Apa aku menyakitimu? Apa aku menekannya terlalu keras? Atau apa aku harus membawamu ke rumah sakit?"
Dan tanpa ku sadari aku tertawa menikmati kekhawatirannya. Aku rasa ini waktu yang tepat. "Angga!" aku memanggilnya dan ia langsung menyelesaikan tugasnya membungkus lukaku dengan perban.
"Ya?"
"Hmm aku ingin mengatakan sesuatu padamu tapi ku harap kau tidak akan tersinggung dengan apa yang akan aku katakan."
"Katakan."
"Baiklah. Emm jadi aku memikirkan bagaimana jika kau pindah tempat duduk lain saja tapi tidak di sebelahku?"
Dia bertanya. "Kenapa? Apa aku membuat kesalahan?"
Aku mulai tidak enak padanya. "Bukan. Bukan maksudku seperti itu. Kau orang yang baik, semua orang akan senang duduk di sebelahmu tapi ku rasa kau harus memilih tempat lain." Ia baru akan bicara tapi aku kembali memotongnya. "Dengarkan aku! Kau ingat Lucia kan? Teman sekelas kita dan orang yang pernah kau laporkan ke BK?"
Ia mengangguk dengan alis berkerut. "Aku merasa dia menyukaimu dan mungkin sedikit tidak suka jika aku berada dekat denganmu."
Ia terdiam sejenak dan aku menunggu etikat baiknya untuk mengatakan setuju dan membebaskanku dari nenek lampir itu. Tapi ia malah bertanya. "Hanya itu?"
"Ya."
"Hahaha kau sangat lucu." Dia menertawaiku seolah ini semua bukan salahnya.
"Apa ada sesuatu yang lucu?" Ia berhenti tertawa. "Tentu saja. Apa tadi kau sedang bercanda?"
Dengan tegas aku menjawab. "Tidak!"
"Kau tahu, aku juga pernah mengalami hal ini sebelumnya di sekolah lamaku tapi ini sedikit berbeda karna yang duduk di sebelahku adalah laki-laki. Ia mempunyai masalah yang sama denganmu karna sering di ganggu oleh beberapa siswi di sekolahku. Ia risih para siswi bergantian datang padanya untuk sekedar tau apa makanan kesukaanku, warna kesukaanku? bahkan sampai ada yang bertanya apa dia tau apa warna pakaian dalam yang kukenakan hari ini? Benar-benar konyol. Tapi lambat laun, ia mulai terbiasa dan tau bagaimana harus menyikapi para siswi itu. Dan aku tau kau juga sama, bukankah kau bilang kau bukan gadis yang lemah? Kalau begitu hadapi saja mereka, aku yakin kau bisa." jelasnya panjang lebarnya.
Dan aku menarik kesimpulan, ia ingin aku mengorbankan nyawa untuk nenek lampir itu. Heiii disini dia yang bercanda. Ini jelas-jelas berbeda dengan apa yang ia jelaskan. Pertama, aku anak perempuan bukan laki-laki. Dan yang ia ceritakan anak laki-laki. Kedua, mereka cemburu karna aku dekat dengan Angga bukan ingin memanfaatkan ku untuk dekat dengan Angga. Dan yang ketiga, mereka itu gila!!!
Setelah memikirkan semua itu, aku menjatuhkan tubuhku ke tempat tidur lalu berguling dan menenggelamkan kepalaku di bawah bantal.
Angga bertanya. "Hei kau kenapa? Apa kepalamu terasa sakit?" Aku meneriakinya. "Bodoh! Bodoh! Bodoh! Dasar manusia bodoh!!"
▬▬▬▬▬▬ஜ۩۩ஜ▬▬▬▬▬▬