Ulang tahun Erika yang digadang-gadang menjadi termewah di sepanjang tahun itu pun tiba. Para tamu dari berbagai kalangan bersosial tinggi mulai menapakan kaki di pesta mahal tersebut.
Anelis dengan balutan gaun putih yang panjangnya melewati lutut jenjang miliknya di padukan dengan renda serta dihiasi manik aktif menambah kesan mewah gaun tersebut.
Anelis menata rambutnya yang panjangnya sebahu dengan teliti. Hari ini bukan hari dia sebagai putri cantik milik Gurawa. Akan tetapi, hari ini adalah hari dimana pengorbanan dirinya akan dimulai. Tumbal untuk menutupi kekurangan keluarganya.
Bibi Titi masuk, ia pun mulai mempersiapkan diri untuk membantu merias wajah cantik Anelis. Dengan segala kehebatan yang tidak seberapa mampu membuat Anelis menjadi tuan putri yang benar-benar cantik. Karena ia memang sudah cantik tanpa polesan apapun.
"Ah! Cantiknya," ujar bi Titi sambil merapikan rambut Anelis bagian bawah.
"Berdandan untuk orang yang tidak kita kenal. Apa aku hidup akan berakhir seperti ini Bi?" tanya Anelis lirih.
"Sebenarnya Nona bisa saja menolak tapi Nona adalah tipe seorang putri yang benar-benar berhati mulia. Percayalah suatu hari nanti kebahagiaan akan berpihak pada Nona," jawab bi Titi sambil mengusap lembut kepala Anelis.
"Apakah aku masih bisa bahagia? Atau aku akan terus berakhir menjadi seorang putri yang membiarkan hatinya sendiri terpenjara. Katakan Bi! Apakah orang sepertiku masih diberi kesempatan untuk memilih. Sebagai seorang putri, apakah aku bisa untuk membangkang?" Anelis menodong beberapa pertanyaan pada bi Titi.
"Bibi mendukung apapun keputusan Nona. Akan tetapi, Nona bukanlah tipe putri yang pembangkang. Itu tergantung Nona sendiri," jawab bi Titi.
Setelah mengobrol cukup lama majikan dan pembantunya itu pun beranjak pergi menghadiri pesta mewah.
Dengan kecepatan normal, akhirnya mobil Alphard putih itu pun berhasil mengantar Anelis dan bi Titi di pesta tersebut.
Saat menapaki kakinya di tanah yang dilapisi karpet hijau, Anelis yang anggun mulai menghipnotis para tamu yang berlalu lalang masuk ke dalam gedung yang menyerupai istana tersebut. Gedung yang memiliki gaya Eropa serta ukiran bunga klasik yang berada di setiap pintunya.
Anelis berjalan anggun membelah kerumunan para tamu, mata mereka memelotot kaget melihat setiap inci wajah serta bentuk tubuh Anelis yang melebihi ideal.
"Oh putriku sayang, kau sudah datang." Santi memeluk Anelis, tampak pemandangan hangat bagi orang yang tidak tahu seperti apa hubungan mereka yang sebenarnya. Ibu dan anak tiri akur? Itu hal yang sudah sangat langka.
Erika menatap Anelis dengan tidak suka, matanya seolah ingin mencakar sosok kakak tirinya itu. Apalagi ketika ibunya menggiring Anelis untuk mendampinginya memotong kue ulang tahun. Mereka pun berdiri dengan jarak yang sangat dekat. Bagaimana ekspresi para tamu? Tentu saja membandingkan kecantikan yang dua saudara tiri itu miliki. Dan Anelis lah satu-satunya yang dipuji karena kecantikannya jauh dengan Erika.
***
Jeyhan menatap susunan berkas yang tersusun rapi di hadapannya. Pikirannya kali ini benar-benar tidak fokus. Berulang kali ia menyeruput kopi susu untuk menghilangkan denyut di kepalanya. Akan tetapi otaknya tidak berfungsi 100 persen.
"Apa anda sakit Tuan?" tanya Leo yang sedang berdiri di hadapannya.
Jeyhan menghembuskan napasnya yang mulai sesak, kali ini bahkan bulir air matanya jatuh sendiri.
"Aku akan memanggil dokter David kemari," ujar Leo sambil mengotak-atik ponselnya.
Jeyhan tetap diam sesekali ia memegang arah luar hatinya. Saat ia akan menghapus air matanya tiba-tiba...
Brak!
Jeyhan terperojok di atas mejanya, dengan cepat Leo menggendongnya ke kamar pribadi yang tersedia di ruangan pribadinya.
Selang beberapa menit kemudian, Jeyhan yang semula pingsan kini telah sadar. Samar ia lihat sosok Leo dan dokter David yang berdiri memandanginya di samping kirinya.
"Darahmu rendah, apa akhir-akhir ini kamu tidak mengkonsumsi buah?" tanya dokter David sambil membantu Jeyhan untuk duduk.
"Ah! Aku benci buah," jawab Jeyhan singkat.
"Kau benci buah tapi tubuhmu membutuhkannya. Apa kau tidak takut alat reproduksimu tidak berfungsi?" tanya dokter David lagi.
"Apa itu berpengaruh? Jangan mengada-ada aku ini normal David," jawab Jeyhan dengan kesal.
"Iya-iya kau normal tapi kalau kau menikah nanti, apa kau tidak takut kalau kau sanggup hanya 5 menit? Jeyhan sebagai teman aku sarankan kau untuk mengkonsumsi buah kalau tidak kau akan-
"Iya, baiklah aku akan mengkonsumsinya tiap kali aku makan siang," jawab Jeyhan dengan terpaksa agar dokter David berhenti berbicara.
Dokter David, pria yang memiliki dominan wajah bule. Ayahnya berkebangsaan Jerman sedangkan ibunya Indonesia asli. Ia adalah teman semasa kuliah Jeyhan hanya saja Jeyhan yang semula bercita-cita menjadi dokter terpaksa berhenti karena ayahnya menyuruhnya untuk melanjutkan bisnis keluarganya.
"Tadi aku ke rumahmu penyakit nenekmu kambuh tapi tidak terlalu parah. Beliau bilang dia merindukan suaminya, maksudku kakekmu. Melihat kondisi kesehatannya sekarang, bisakah kamu mengabulkan keinginanya?" tanya David.
"Bagaimana bisa aku menghidupkan orang yang sudah mati Vid. Kalau bicara ya pakai logika dong." Wajah Jeyhan berdecak kesal.
"Bukan yang itu, tapi menikah. Aku dengar dia ingin sekali melihatmu menikah dan punya anak," ujar David.
Jeyhan mengalihkan pandangannya, kali ini ia kehabisan kata. Terutama membahas tentang hal yang menyangkut pernikahan.
"Apa kau tidak bisa melupakan wanita itu?" tanya David lagi.
Jeyhan memelotot kaget, darimana David tahu tentang wanita yang pernah mengisi hari-hari indahnya dulu?
"Nenek Marinka yang bercerita padaku," jawab David mengerti apa yang tengah dipikirkan oleh Jeyhan.
"Leo bagaimana keadaan perusahaan?" tanya Jeyhan mengalihkan pembicaraan.
"Baiklah aku permisi dulu. Ingatlah jika kau masih sayang pada nenekmu jangan membuatnya merasa sedih. Atau kau akan menyesalinya. permisi!" Dokter David pun beranjak keluar.
"Baru saja saya mendapat informasi yang menyatakan bahwa Tora Aruan dari grup Aruan menggelapkan dana dari saham kerjasama perusahaan. Dan juga, bukan hanya itu saja ia bahkan diam-diam memotong gaji para pekerja sebanyak 200 ribu per orang dari 3000 pekerja," jelas Leo sambil menatap tablet berukuran sedang di tangannya.
"Oh si cupu itu punya nyali juga untuk melawanku. Baiklah permainan akan dimulai. Tiga hari lagi kita hancurkan mereka dari balik kacamata yang ada mata iblis itu." Jeyhan tersenyum sinis.
***
Anelis memandangi gelang yang melingkar di tangannya gelang yang berukiran huruf nama yang dibuat langsung oleh Jeyhan untuknya.
Aku hanya berharap orang itu adalah kak Han. Batin Anelis sambil menatap pria yang duduk di hadapannya tampak memakai kacamata dan terlihat gugup. Dialah Tora Aruan.
"Anelis, namamu indah aku menyukainya. Orang tuaku sangat tahu tipe wanita idamanku. Pesta seperti apa yang kamu inginkan? Dan negara mana yang akan menjadi tempat bulan madu kita?" tanya Tora Aruan sambil terus melemparkan senyuman kepada Anelis.
"Aku hanya ingin pesta sederhana dan urusan bulan madu..., aku tidak pernah berpikir untuk ke luar negeri karena hanya akan menghabiskan uang saja," jawab Anelis.
"Selain cantik pikiranmu juga cerdas. Kamu cocok menjadi istriku," tutur Tora sambil menyunggingkan senyumannya.
Anelis terdiam batinnya begitu sakit melihat pria lain yang tersenyum padanya karena ia masih berharap penuh pada keajaiban membawa Jeyhan padanya.
"Maaf aku tidak terlalu bisa memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah. Karena dari kecil aku sudah dimanjakan oleh bibi yang bekerja dengan kami," ujar Anelis berharap Tora mundur.
"Itu tidak penting, tugasmu hanya melayaniku. Kamu tahu lah maksudku. Para bibi di rumahku yang akan memanjakanmu tuan putri. Aku juga tidak mau memperlakukan istri cantikku dengan buruk," jawab Tora dengan senyum nakalnya.
Tiba-tiba kedua orang tua Tora Aruan beserta Santi dan Erika menghampiri mereka.
"Sepertinya mereka sedang membahas tentang pernikahan Jeng," ujar Arin ibu Tora.
"Bagaimana dengan Jeng sendiri, setuju enggak punya menantu seperti putri saya?" tanya Santi.
"Ya setujulah Jeng, cantik begini siapa yang enggak mau. Saya dengar Anelis ini sosok yang cerdas juga ya sangat cocok dengan anak saya," jawab Arin membuat Tora ikut tersenyum malu.
"Baiklah, jadi kapan tanggal pernikahan akan dimulai?" tanya Erika.
"Hmmm bagusnya sih bulan ini," jawab Arin.
"Bagaimana kalau lusa saja? Bertepatan hari ulang tahun kak Anelis, Ma," ujar Erika.
"Benarkah? Wah kalau itu saya setuju. Baiklah kalian berdua bersiap-siaplah pernikahan kalian akan berlangsung dua hari lagi." Arin mengelus kepala Tora dan Anelis.
Dan lagi-lagi hari ulang tahunnya itu membuatnya pada kesialan lagi menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Sekejam itukah hari kelahiran Anelis?