Chereads / Kembalinya Sang Mantan / Chapter 8 - Bab 8

Chapter 8 - Bab 8

Kini Anelis dan Santi duduk berhadapan dengan 2 minuman teh hangat masing-masing di depan mereka.

Anelis tidak mengalihkan pandangannya dari Santi yang tengah menyeruput teh miliknya.

"Aku tahu yang kamu pikirkan. Pasti kamu sedang bertanya-tanya untuk apa aku menemuimu bukan," ujar Santi sambil tersenyum hangat. Senyuman yang belum pernah dilihat oleh Anelis sebelumnya. Tampak tulus tapi tampak kaku.

"Ini mengenai keluarga Pradipta. Erika yang aku harapkan untuk menerimanya justru menolak," lanjut Santi.

Anelis tersenyum. Tak butuh waktu lama membuat gadis itu mengerti akan perlakuan Santi hari ini padanya.

"Anda memintaku untuk menggantikannya bukan?"

"Kamu tahu kan perusahaan grup Gurawa sudah diambang kehancuran. Aku harap kamu memikirkan hal ini," ujar Santi.

"Apa papa yang memintanya. Kalau iya Anda tidak perlu bersikap formal seperti ini. Hubungi grup Pradipta, katakan aku bersedia," jawab Anelis sambil beranjak dari duduknya lalu berjalan keluar.

"Kalau kamu mau menolaknya, enggak akan ada konsekuensinya," ujar Santi.

"Perintah papa! Bukankah harus dilakukan iya, kan Mama," jawab Anelis sambil tersenyum lalu berjalan keluar.

Santi menatap kosong ke arah langit yang sudah mulai gelap.

Memiliki putri seperti Anelis, adalah anugerah. Akan tetapi, biar bagaimanapun darah daging berbeda dan takdir tidak bisa dihindari. Aku hidup untuk Erika dan berjuang untuk Erika.

***

Leo memperhatikan monitor laptopnya yang menunjukkan biodata tentang Anelis yang hanya sedikit terpublikasi. Ia benar-benar jatuh hati kepada gadis tersebut.

"Bagaimana hari ini?" tanya Jeyhan yang tiba-tiba datang. Leo langsung menutup laptopnya lalu bangkit dan langsung memberi hormat.

"Saya sedang menunggu kabar Tuan," jawab Leo.

"Hmmm, duduklah. Jangan terlalu formal kita sudah di luar waktu pekerjaan. Biar bagaimanapun kau temanku," ujar Jeyhan sambil duduk di sudut sofa.

Kring! Kring!

Leo segera bangkit lalu mengangkat telepon yang berdering. Benar saja itu dari keluarga Gurawa yang menyatakan mereka menerima lamaran dari Pradipta. Leo senang bukan kepalang. Akan tetapi, raut wajahnya langsung berubah begitu tahu Anelis lah yang wanita tersebut.

"Ada apa?" tanya Jeyhan.

"Keluarga Gurawa menerima pinangan Anda, Tuan," jawab Leo sambil berjalan pelan ke arah Jeyhan.

"Benarkah? Segitu parahnya ya perusahaan mereka?" tanya Jeyhan sambil menyunggingkan senyuman sinisnya.

Leo terdiam, aura wajahnya benar-benar menyedihkan.

"Ada apa dengan raut wajahmu? Apa ada hal yang mengganggumu? Aku sudah serius menikah. Bukankah seharusnya kau senang?" Berbagai pertanyaan ditodongkan Jeyhan kepada asisten sekaligus sahabatnya itu.

"Saya hanya berpikir, wanita itu baru saja gagal menikah. Bukankah aneh kalau dia berencana menikah lagi. Jelas-jelas ini sebuah pemaksaan," jawab Leo.

Jeyhan tersenyum, ia tidak perlu menanyakan siapa yang menerima lamarannya. Karena dari gelagat Leo, Jeyhan tahu, Anelis lah orang itu.

Akan tetapi, melihat tingkah Leo yang biasanya cuek membuat Jeyhan merasa aneh dan berpikir keras.

"Apa kau menyukainya?" tanya Jeyhan dengan tatapan tajamnya.

"Tidak Tuan! Saya tidak bermaksud seperti itu, saya-

"Jangan menyukainya. Apapun yang berhubungan dengannya jangan menyukainya. Ini peringatan!" ujar Jeyhan bangkit lalu berjalan menjauh.

Malam itu pun berakhir dengan patah hatinya Leo yang baru saja jatuh cinta. Akan tetapi, posisinya membuatnya merelakan wanita itu dengan tuan yang telah ia dampingi selama bertahun-tahun lamanya.

****

Anelis memperhatikan pantulan wajahnya yang sudah dirias dengan memakai gaun putih yang berdesain sederhana namun terlihat indah. Ya, hari ini gadis itu sedang bersiap-siap mengunjungi kediaman Pradipta yang telah menyiapkan acara pernikahan sederhana untuk siang hari.

Hanya Anelis seorang yang dikirim baik keluarga atau sahabat pun dilarang keras untuk ikut. Bisa dikatakan hari ini adalah hari terakhirnya melihat rumah yang selama 25 tahun ia tempati. Rumah yang memiliki kenangan manis dan pahit.

Bahkan hingga hari ini papa tak kunjung menampakkan diri. Batin Anelis sambil berjalan ke arah mobil. Bi Titi yang mengiring kepergiannya itu, tak bisa membendung kesedihan.

Santi berjalan mendekati Anelis, ia mengecup dahi gadis tersebut. Membuat orang yang melihat terkejut dengan adegan tersebut termasuk Anelis.

"Kamu sudah mengorbankan segalanya untuk keluarga ini. Sebelumnya, aku memang tidak pernah memberikan apapun untukmu. Akan tetapi, ini ketulusanku," ujar Santi sambil merapikan poni Anelis yang sedikit acak.

"Kakak, semoga kebahagiaan menyertaimu," sahut Erika yang Anelis ketahui bahwa itu sangatlah palsu.

Mobil pun berjalan meninggalkan orang-orang yang menyaksikan kehidupan dan perkembangan Anelis. Para bibi melambaikan tangan merasa sedih ditinggalkan oleh nona mereka yang cantik dan lembut hatinya itu.

Setelah perjalanan cukup panjang, Anelis pun tiba. Tepatnya di pusat Kota. Di sebuah KUA yang hanya beberapa orang saja di dalamnya. Lebih tepatnya seluruh para pembantu dan pengawal Jeyhan.

Mereka begitu terpana begitu Anelis turun dari mobil. Kecantikannya seakan menghipnotis mereka. Berbeda dengan mereka, Anelis justru sibuk mencari sosok Jeyhan yang akan menjadi suaminya.

"Pakailah ini Nona, agar terlihat sopan," ujar salah satu ART sambil memasangkan selendang ke kepala Anelis.

"Dan ini Nona. Maaf bukannya berlaku tidak sopan. Akan tetapi, sebagai acara pernikahan sebagai muslimah ada baiknya memakai jubah untuk menutupi lekuk kaki Nona," ujar ART lainnya sambil membantu memakaikan jubah panjang ke tubuh Anelis.

"Wah! Cantik sekali!" puji mereka kagum dengan penampilan sederhana namun elegan Anelis.

"Maaf acara akan segera dimulai, bisakah para Bibi menuntun nona untuk masuk," ujar salah seorang pengawal.

Mereka pun berbondong-bondong menuntun Anelis untuk masuk ke dalam ruangan pengubah status tersebut.

Anelis dibuat kaget, sosok calon suaminya tetap tidak ia jumpai. Pandangannya teralihkan pada sebuah tirai hitam sebagai pemisah antara pihak laki-laki maupun perempuan.

"Baiklah! Karena pihak wanita telah disini. Acara akan segera kita mulai," ujar pak penghulu.

"Tunggu sebentar! Bagaimana dengan wali saya Pak? Bukankah pihak wanita butuh wali?" tanya Anelis memastikan.

"Kalau masalah itu, tuan Jeyhan sudah menjelaskannya. Saya mengerti, posisi Nona. Jadi, nak Leo yang akan menjadi wali Nona sendiri," jawab pak penghulu.

Anelis menatap Leo yang tertunduk pasrah. Mau bagaimana lagi, Jeyhan menghukum Leo karena menyukai calon istrinya. Bukannya menjadi pendamping justru menjadi wali. Nasib Leo sangat tragis.

Acara ijab kabul pun dimulai. Senyum riang mereka terpancar begitu ucapan kata 'SAH' terdengar. Jeyhan dan Anelis kini berstatus suami istri.

"Baiklah buka tirainya. Mereka harus saling menyematkan cincin di jari pasangan halal mereka.

Begitu tirai dibuka betapa terkejutnya Anelis melihat sosok yang sudah menjadi suaminya itu. Napasnya mulai sesak dan, Anelis pun tidak sadarkan diri.

***

Di sebuah ruangan yang penuh dengan kaca, tampak Anelis berlari mencari jalan keluar dari ruangan tersebut. Akan tetapi, usahanya sia-sia. Ia pun terkulai lemas, tiba-tiba sebuah cahaya muncul. Tepat di depan matanya, terlihat seorang wanita yang rambut gelombangnya terurai indah. Wanita itu sangat mirip dengannya.

Dia adalah Misil Agatha, ibu kandung Anelis. Wanita yang sangat ia rindukan. Misil menyentuh pipi putrinya itu, terasa hawa dingin namun menenangkan.

"Anelis, putriku. Bahagialah! Ingatlah mama selalu mendukungmu," ujar Misil dengan tatapan hangat.

"Ma, Mama! Ini benaran Mama 'kan. Bawa Anelis Ma. Anelis enggak punya siapa-siapa disini. Tolong Ma! Anelis-

"Anelis jangan! Jangan pergi!" Tiba-tiba terdengar teriakan Jeyhan yang membuat Anelis menoleh ke belakang.

Suasana ruangan kaca tersebut menghilang seiringan dengan Misil Agatha.

"Ma! Mama dimana? Ma! Jangan pergi Ma. Anelis ikut Ma!" teriak Anelis mencari sosok Misil yang sudah tiada.

"Mama!" teriak Anelis yang sudah berada di atas tempat tidur. Anelis pun tersadar dari mimpi indahnya.

Matanya terbelalak melihat ruangan yang baginya terlihat sangat asing. Kamar yang berdesain mewah, sangat jauh bila dibandingkan dengan kamar sebelumnya.

"Ah! Nona sudah sadar. Syukurlah, tuan muda sangat mengkhawatirkan Nona," ujar bik Narti.

Anelis menatap bik Narti kebingungan. Dia bahkan melupakan statusnya yang kini sudah menjadi seorang istri.

"Aw, kepalaku sangat pusing!" teriak Anelis.

"Ini, Nona minumlah. Kata dokter Nona kelelahan. Jadi, perlu untuk istirahat. Tuan muda juga sedang ada pertemuan penting ke luar kota. Jadi, pulangnya kemungkinan lusa," jelas bik Narti.

"Bibik benar menikah. Ya, aku sudah menikah. Maaf aku hampir lupa, kepalaku sangat pusing." Anelis terus memijat kepalanya.

"Kata dokter itu adalah efek sampingnya. Nanti juga akan hilang sendiri. Tadi saya buatkan bubur hangat, makanlah Nona ini akan mencegah perut kembung," ujar bik Narti sambil menyodorkan Anelis sesendok bubur.

"Saya bisa sendiri Bik. Bibik 'kan sedang ada pekerjaan lain, saya tidak ingin membuat Bibik repot," jawab Anelis.

"Enggak apa-apa Non. Ini tugas yang diberikan tuan muda kepada saya." Bik Narti bersikukuh menyuapi Anelis. Anelis yang tidak tegaan pun membuka mulutnya lalu menelan bubur tersebut dengan pelan.

Bik Narti tersenyum, terlihat jelas dari wajahnya bahwa ia mengagumi Anelis.

"Nona sangat cantik. Tidak salah tuan muda memilih Nona sebagai istrinya," tutur bik Narti.

"Saya hanya tumbal Bik," jawab Anelis sambil menyenderkan tubuhnya sambil mengerutkan dahinya.

"Nona istirahatlah, saya permisi dulu. Jangan berpikir yang tidak-tidak, tuan muda kami sangatlah baik," ujar bik Narti sambil merapikan selimut Anelis yang acak. Setelah memastikan Anelis menutup matanya, ia pun keluar dari kamar gadis tersebut.

Wajah dan sorot mata itu sama persis dengan kak Han. Akan tetapi, bagaimana dengan nama serta status keluarganya? Aku tidak tahu banyak yentang keluarga kak Han, yang aku tahu sampai sekarang aku mencintainya. Batin Anelis.

BERSAMBUNG...