Chereads / Kembalinya Sang Mantan / Chapter 12 - Bab 12

Chapter 12 - Bab 12

Jeyhan yang mengenakan jas mandi bermotif garis-garis tampak sibuk mengamati kalimat berupa pesan di ponselnya. Itu, pesan dari Marinka yang sejak tadi malam berusaha ia abaikan. Jeyhan mulai menggerutu menanggapi pesan dari nenek tersayangnya itu.

Dari sekian banyaknya pesan dari Marinka hanya satu pesan yang membuat Jeyhan terbebani dan mulai berpikir keras.

-) Jika kau tak segera membawa cucu menantuku kemari, ketahuilah tubuh keriputku yang kau abaikan ini akan segera masuk ke dalam tanah!

"Bagaimana bisa dia membuat pernyataan gamblang seperti ini?" gumam Jeyhan mulai frustasi. Ia terus mengusap kepalanya dengan kasar. Rasa kesal namun juga takut menyerang batinnya. Kali ini, ia sangat khawatir dengan ancaman Marinka yang tidak pernah main-main.

Tiba-tiba bayangan Anelis seolah muncul di hadapannya. Bayangan yang dahulu selalu menebar senyuman bahagia dan itulah yang selalu ia rindukan.

Segera ia lempar bayangan tersebut dengan bantalnya. "Kau kejam, aku benci padamu! Aku membencimu!" teriak Jeyhan lalu jatuh tersungkur di lantai.

***

Anelis menatap hamparan dari luar jendela, pikirannya sangat kosong. Matanya yang sembab tidak ia pedulikan lagi. Air mata seolah bosan membasuh pipi mulusnya. Ia terduduk lelah, sinar matahari menembus jendela kaca hingga menyilaukan gadis cantik tersebut. Namun, ia enggan untuk berpindah.

'Wajah itu, apakah jawaban dari doa dan harapanku selama ini? Aku bahagia melihatnya, tetapi batinnya tersiksa melihatku. Jika dengan menyiksaku bisa membuat dendamnya terhapus, aku terima. Bahkan jika itu membuatku harus mati sekalipun aku terima.' Batin Anelis sambil terus memandang kosong pemandangan luar jendela.

Tok! Tok!

Tampak bik Suri dengan semangkuk sup dan segelas susu di atas nampannya. Tatapannya begitu sendu memahami situasi yang dirasakan istri tuannya itu.

"Nona, sarapanlah dulu. Nanti perut Nona kembung," ujar Suri sambil meletakkan makanan tersebut di atas nakas.

Anelis menoleh, ia tersenyum simpul. "Katakan padaku Bik, apakah makan bisa mengubah takdirku?" tanya Anelis.

Mata Suri membulat, ia berlari mendekati Anelis. "Nona, walau apapun terjadi kami para bibi di sini tidak akan pernah meninggalkan Nona. Kami selalu menyematkan nama Nona di dalam doa-doa baik kami. Jadi, tolong Nona berhentilah mengeluh karena akan ada terang sehabis gelap," jawabnya sambil mengelus lembut rambut Anelis.

Anelis tersenyum, ia melepaskan pelukan Suri. "Di sepanjang aku menjalani hidup. Hanya mama Bik, hanya mama yang mengajakku dalam bahagianya. Sejak kepergiannya semua sirna hingga aku bertemu dengannya. "Ucapan Anelis terjeda, gadis itu tersenyum tipis. Mengisyaratkan senyum malu mengulik masa SMA-nya sendiri. "Ya, kekasih di masa SMA hitam putih, hidup tak pernah kupikirkan Bik. Tetapi, semuanya kembali terenggut bahkan satu-satunya yang aku miliki pun hilang. Sekarang apa lagi Bik, apa lagi alasanku untuk hidup. Ketahuilah Bik! Terpenjara di dalam sini hanya membuat penderitaanku semakin bertambah. Jadi, bukankah sebaiknya aku seharusnya mati saja? Aku tidak butuh apapun Bik, aku rindu mama Bik!" teriak Anelis sambil menghempaskan mangkuk bubur ke sembarang tempat. Bahkan gadis itu melampiaskan amukannya pada benda-benda yang berada di dalam kamar.

Bik Suri panik, segera ia berlari keluar memanggil para pengawal untuk membantunya menenangkan Anelis. Anelis segera mengunci pintu kamarnya lalu memakai sepatu dan segera turun melewati jendela. Para pengawal yang tadinya menjaga di luar, masuk ke dalam rumah memenuhi panggilan Suri. Mereka kini sibuk menggedor-gedor pintu kamar yang sudah ditinggali oleh Anelis. Ya, di pagi buta Anelis berhasil kabur. Rambut acak-acakan serta memakai setelan baju tidur.

Hanya satu yang ia sesali, lukisan ibunya tertinggal di dalam kamar. Kini, gadis itu terlunta-lunta tanpa uang sepersen pun. Di kota yang begitu asing tanpa siapa pun yang ia kenal dan tak satupun orang mengenalnya. Ia sudah berada jauh dari area villa, hingga keluar dari daerah Selatan.

'Kemana lagi? Langkahku, haruskah berakhir di sini?" Tepat di depan sebuah rumah makan kecil tubuh mungilnya tersungkur lemah.

***

Leo memandang sendu wajah Jeyhan yang terbaring di atas ranjang pasien. Ya, ia dirawat setelah Leo menemukannya tersungkur di dalam kamar.

Jeyhan membuka nasal kanul oksigen yang menutupi hidungnya. "Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Jeyhan masih dengan suara lantangnya.

Leo menghela napasnya. "Sejak kapan Tuan mengalami hal seperti ini?" tanya Leo lembut.

Jeyhan berdecih. "Apa itu penting sekarang? Bantu aku, kita harus ke perusahaan sekarang! Para klien itu sedang menunggu pertempuran jangan membuang-"

"Cukup! Apa perusahaan itu begitu berharga bagimu?" Dengan tatapan gusar Leo memotong perkataan Jeyhan yang gila kerja itu.

Jeyhan tidak bergerak. Ia memandang wajah asisten yang sudah lama menemaninya tanpa kenal lelah. Tubuh Jeyhan memang lemah, ia sering pingsan dan sering mengalami pusing yang menyerangnya dengan tiba-tiba.

Leo menghembus napas kasarnya, ia tak habis pikir bagaimana bisa Jeyhan membahas perusahaan di tengah-tengah keadaannya yang terbilang sangat serius.

"Bisakah kau sehari dua hari tidak memikirkan apapun tentang perusahaan? Pernakah kau berpikir mencoba menikmati hidup seperti kebanyakan orang?" Leo menodong Jeyhan dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya merasa bosan.

Jeyhan tak bergeming, ia hanya menatap mata sendu sahabatnya itu. "Menikmati hidup? Aku sudah menikmatinya. Aku masih muda dan di usia inilah aku berjuang untuk tetap nomor satu. Lengah sedikit maka aku akan tergeser, kau tahu jelas aku tidak suka itu," jawab Jeyhan membuat Leo menggeleng heran dengan jalan pikiran Jeyhan.

"Kau rakus!" Perkataan singkat Leo membuat mata Jeyhan membulat marah.

Segera ia bangkit dicabutnya jarum yang menusuk pergelangan tangannya. Mencengkeram jas hitam yang dikenakan Leo membuat pria tersebut tersender ke dinding.

"Kau tahu apa tentangku? Kau tidak tahu apapun yang telah aku alami. Jaga ucapanmu sebelum-"

"Sebelum apa? Kau ingin menghajarku! Hajar aku, ayo! Kau tidak berani! Kau pengecut!" teriak Leo membuat amarah Jeyhan semakin memuncak.

"Akh!" Jeyhan memegangi kepalanya, lagi-lagi rasa pusing itu kembali menyerangnya. Leo panik segera ia memencet tombol guna memanggil para dokter maupun suster.

***

Anelis membuka matanya perlahan. Sorot mata khawatir menyambutnya. Tiga orang yang begitu asing baginya 2 perempuan dan 1 lelaki.

Mereka serempak menghembuskan napas lega. Sementara itu, Anelis masih bungkam dan segera bangkit dari tidurnya.

"Tenang, jangan takut kami di sini," ujar laki-laki tersebut.

"Iya, kakakku benar. Orang-orang itu sudah kami usir," timpal salah satu perempuan tersebut sedangkan yang satunya lagi tampak enggan untuk berbicara.

"Perkenalkan namaku Indra ini adikku Indah dan Ismi. Kalau Nona sendiri?" Lelaki itu memperkenalkan dirinya serta kedua perempuan yang ternyata adik-adiknya.

"Saya...saya siapa?" Wajah Anelis tampak bingung, membuat ketiga saudara itu memelotot kaget.

Indra menatap serius. "Kamu tidak ingat siapa dirimu?" tanyanya menyelidik, segera Anelis menggelengkan kepalanya.

"Kakak, dia pasti berbohong. Dia bukan orang baik Kak," ujar Ismi adik ketiga.

Indah langsung membungkam mulut Ismi dengan tangannya. "Jangan dengarkan dia, dia memang sensitif dengan orang asing," ujar Indah.

"Kamu tidak ingat apapun bahkan keluarga atau..., apakah kamu memiliki kartu identitas?" Indra yang masih ragu dengan Anelis berusaha membuat gadis itu untuk memberi jawaban jujur.

Lagi-lagi Anelis menggelengkan kepalanya. Indra dan Indah saling menatap satu sama lain. Mereka tampak memikirkan sesuatu.

"Maaf, tunggulah di sini sebentar. Kami butuh diskusi," ujar Indra sambil mengajak kedua adiknya keluar dari ruangan tersebut.

Anelis memandangi suasana rumah yang terbilang sangat sederhana. Jauh dari rumah yang ia tempati sebelumnya. Tak lama kemudian, Indra dan Indah masuk kembali. Indra dengan tatapan sendu, Indah dengan senyum simpulnya serta Ismi dengan tatapan sinis sekaligus curiga.

"Maaf sudah membuatmu menunggu lama. Kami sepakat memperbolehkanmu untuk tinggal di sini hingga ingatanmu pulih," ujar Indra, Anelis hanya terdiam. Tak ada jawaban yang keluar dari bibirnya.

"Maafkan kami tidak bisa membawamu pergi ke rumah sakit, kami tidak punya biaya," jelas Indah. Anelis mengangguk pelan 'mengiyakan' perkataan Indah.

"Dan untuk nama, kami bertiga sepakat memberimu nama Intan." Indra tersenyum namun lagi-lagi Anelis tidak menjawab.

"Ye..., bukannya Kakak yang ngotot memberikan nama itu," goda Indah yang langsung ditepis oleh Indra.

Kruk!

Tiba-tiba suara gemuruh muncul dari perut Anelis membuat ketiga saudara itu kaget lalu tertawa sedangkan Anelis tampak menunduk malu.

"Sepertinya Intan sudah lapar, ayo kita ke dapur kita makan siang," ajak Indra, kedua saudaranya mengekor sedangkan Anelis bangkit lalu mengikuti mereka berjalan menuju dapur yang kecil. Tanpa ada meja makan dan kursi mewah seperti yang biasa ia temukan di rumahnya.

Ismi terus menyoroti Anelis dengan mata tidak suka. Sementara itu, Anelis tampak bingung dengan menu yang tersaji di depannya, begitu asing penampilannya pun tak begitu menarik.

"Ayo Intan, ambil apapun yang kamu mau," ujar Indah sambil menyodorkan lauk-lauk tersebut ke hadapan Anelis.

Dengan sedikit ragu, Anelis mengambil satu perkedel lalu memakannya. Awalnya ia mengunyahnya pelan namun lama-lama ia mengunyah dengan tempo cepat.

"Apa itu enak?" tanya Indra, yang langsung diangguki oleh Anelis.

Indah tersenyum. "Kalau enak, kamu boleh mengambilnya lagi dan coba yang lain juga tak kalah enak kok," ujar Indah.

Anelis mengambil satu perkedel lagi membuat mata Ismi membulat gusar. "Itu kan punya Kakak, kenapa diberikan padanya? Kak Indra kan suka perkedel?" Ismi yang kesal mengambil kembali perkedel yang sudah berada di piring Anelis.

"Ismi, kamu enggak boleh begitu? Dia tamu kita, tidak sopan berperilaku seperti ini," ujar Indra sambil mengembalikan perkedel tersebut ke piring Anelis.

Indah menaruh ikan teri sambal serta sayur bening sawi ke piring Anelis dan segera Anelis mencobanya. Ia sangat menyukai rasa ikan teri sambal namun setelah ia mengunyah sawi raut wajahnya berubah. Ia mengerutkan dahinya lalu terbatuk karena tersedak.

"Hahaha..., belum pernah makan sawi ini ya? Ini memang pahit cobalah sedikit lagi campur sama sambalnya pasti enak kok," ujar Indah sambil memberikan segelas air putih, Anelis menggeleng seakan trauma dengan sayuran yang rasanya masih asing baginya.

"Maaf, kami tidak tahu bagaimana kehidupanmu sebelumnya. Beginilah keluarga kami, rumah sederhana serta kedua orang tua yang telah tiada. Kami harap kamu bisa bertahan tinggal di sini," tutur Indra lembut.

"Ini lebih dari cukup, terima kasih," ucap Anelis membuat mata ketiga saudara itu membola.

"Akhirnya kamu bicara juga, tadinya kami sempat khawatir kalau kamu bisu. Kami takut tidak mengerti apa yang kamu mau, karena kami tidak bisa bahasa isyarat," ujar Indah membuat Anelis tersenyum simpul.

'Ya Tuhan, begitu sederhananya mereka. Aku tidak tahu apakah mereka akan memaafkan kebohonganku. Tolong, berpihaklah padaku. Kak Han, maafkan aku, aku hanya tidak ingin kamu tersulut dendam yang akan menyiksamu sendiri. Biar bagaimanapun dendam tetap tidaklah berakhir baik.' Batin Anelis sambil menatap sendu ketiga saudara yang sedang memakan makanannya dengan lahap.

BERSAMBUNG....