Pagi itu, Anelis memaksa membuka matanya. Kepalanya terasa pusing yang luar biasa dan tak hanya itu, bahkan seluruh tubuhnya terasa remuk.
"Dilihat dari kulitnya yang mulus, bisa ditebak kalau dia itu orang kaya, Kak." Langkah Anelis terhenti, ketika suara Ismi terdengar olehnya.
"Hush! Memangnya kenapa kalau dia kaya? Ismi, dia sekarang lagi kesusahan, hilang ingatan juga. Kalau kita tidak membantunya terus siapa lagi. Kamu ingat nggak almarhum ayah bilang apa dulu?" Indah yang memang dikenal baik hati itu dengan sabar menanggapi pernyataan adiknya.
"Iya-iya...itu sayurnya sudah mulai gosong," jawab Ismi pasrah.
"Hahaha...kamu ini ada-ada saja. Mana ada sayur bisa kosong," jawab Indah terpingkal-pingkal.
Anelis menyunggingkan senyumannya. Ia terlihat begitu iri pada hubungan antara adik dan kakak itu. Berbanding terbalik dengan hubungannya dan Erika yang bahkan tak pernah saling sapa.
Anelis melangkahkan kaki nya menghampiri kedua kakak beradik itu. "Masih pagi, sudah sibuk di dapur ya?"
"Ya, namanya juga perempuan," sindir Ismi.
Anelis menunduk, ia tahu maksud dari jawaban Ismi. Indah memelototi Ismi membuat gadis itu mendesah kesal.
"Oh ya, Intan apa kamu mau mandi?" tanya Indah.
"Iya...tapi-"
"Tunggu sebentar, kutimba dulu air nya," potong Indah seraya berlalu ke kamar mandi.
Ismi menatap tidak suka pada Anelis. Ia bahkan terang-terangan memanyunkan bibirnya.
Anelis hanya bisa tersenyum menanggapi ekspresi Ismi. "Aku tahu kamu tidak menyukaiku. Aku akan segera pergi begitu ingatanku pulih," ujar Anelis.
"Kuharap secepatnya, jangan terlalu berlama-lama menyusahkan orang lain," jawab Ismi sembari mengaduk masakannya.
Anelis tersenyum lagi, tapi tidak dalam hatinya. yang terus menggerutu kenapa Ismi tidak seperti Indah yang memperlakukan dirinya dengan sangat baik.
****
Jeyhan menggebrak meja yang berada di hadapannya. Laporan Leo membuatnya sangat marah.
"Kirim orang untuk segera mendapatkannya. Kalau perlu seribu orang, aku yakin dia belum jauh dari Jakarta," ujar Jeyhan.
Leo mengangguk dan segera menghubungi kepala pengawal agar mengerahkan anak buahnya mencari Anelis.
'Itu belum seberapa dibandingkan dengan sakit hatiku yang kamu campakkan dengan hina dulu.' Jeyhan mengepalkan tangannya.
Jeyhan bangkit dari duduknya, ia lalu memakai jas hitamnya. "Hari ini kita ke Barat, kita temui keluarganya," ujar Jeyhan, beranjak keluar dikawali Leo dari belakang.
Mobil melaju begitu cepat. Ya, kali ini Jeyhan tak main-main. Amarahnya begitu meluap-luap. Dua jam berlalu, kini mereka sudah berada di ruang tamu tempat tinggal keluarga Anelis.
Santi menyeruput minumannya, "sungguh sebuah kehormatan tuan Jeyhan menyambangi ke rumah ini," ucapnya dengan lembut.
Terdengar suara mobil yang berhenti tepat di halaman rumah. Keluarlah Erika dengan bingkisan-bingkisan hasil shopping nya hari ini.
"Mama, aku pulang!" teriaknya.
Setelah masuk ke dalam rumah, Erika dikagetkan dengan sosok Leo dan Jeyhan. "Ada tamu, ya," ucapnya pelan seraya langkahnya menghampiri mereka.
"Erika, ini tuan Jeyhan. Dia suami kakakmu," ujar Santi membuat kedua bola mata Erika membulat sempurna.
Erika menatap lama pada Jeyhan. Terlihat jelas ia menyukainya pada pandangan pertama. Berbeda dengan Erika, lelaki itu terlihat tak sedikit pun memandang ke arahnya.
"Maksud kedatangan kami kemari yaitu untuk membawa kembali nona Anelis yang kabur dari kemarin pagi," jelas Leo.
"Apa? Anelis kabur?" Santi dan Erika saling bertatapan, terkejut mendengar penjelasan Leo.
"Bagaimana bisa pria setampan tuan bisa ditinggalkan olehnya?" Pertanyaan Erika membuat Jeyhan tidak suka.
Santi mendengus, tak habis pikir putri tirinya itu berani melawan Jeyhan yang terkenal arogan.
"Dalam lima hari, jika dia belum juga menampakkan diri. Kami tidak akan berbaik hati untuk membantu apa pun lagi. Ketahuilah, rumah ini bahkan belum cukup melunasi hutang piutang di antara kita," papar Leo.
"Maksudnya kami akan jatuh miskin?" tanya Erika.
"Begitulah kira-kira," jawab Jeyhan membuat Erika terperanjak.
"Ma, aku nggak mau miskin lagi, Ma," rengek Erika.
Santi memijat-mijat dahinya.
"Anelis kok tolol banget sih sudah diberikan hidup yang-"
"Jangan pernah mengatai istriku, atau kau akan tahu akibatnya," potong Jeyhan dengan suara yang begitu berat. Sontak membuat Erika membekap mulut dengan kedua tangannya.
Jeyhan dan Leo pun bangkit dari duduknya. "Kami tunggu hasil pencariannya," ujar Leo. Mereka pun beranjak pergi. Erika tampak mengagumi Jeyhan tetapi di lain sisi ia merasa ngeri pada kakak ipar nya itu.
Mobil yang dinaiki Jeyhan melaju cepat. Hingga tiba-tiba.
Syut!!!
Seorang pengendara motor tiba-tiba menghadang mobil mereka.
"Woy! Mau mati ya!" teriak Leo.
Si pengendara motor membuka helm yang dipakainya. Kemudian berjalan menghampiri mobil Jeyhan. Leo sudah berada di luar mobil seolah nenunggu kedatangan Tera.
"Apa yang kau-"
"Ssst, gue nggak ada urusan sama loe. Cepat suruh keluar bos loe," potong Tera, seraya mengunyah permen karet.
Leo menggeleng, wajahnya merah padam. Merasa sangat marah.
"Kenapa bengong? Cepat suruh bos loe keluar!" Suara Tera kian meninggi.
Jeyhan pun segera keluar dari mobil dan menghampiri Tera.
Tera mengeluarkan permen karetnya dengan cara meludah, "entah loe kenal sama gue atau nggak. Tapi, gue akan memperkenalkan diri gue. Nama gue Tera, sahabat dekat Anelis. Dari brojol kita sudah saling kenal hanya saja waktu itu whatsapp dan facebook belum ada. Dan gue kenal sama loe dari foto yang Anelis simpan."
Jeyhan mengerutkan dahinya, merasa heran pada penuturan Tera. "Dari mana Anelis mendapatkan fotoku?"
"Hahaha...gini nih laki-laki, gampang banget melupakan. Tapi, gue nggak bisa jelasin karena gue juga nggak tahu Anelis dapat dari mana. Awalnya gue penasaran siapa suami Anelis karena gue juga nggak tahu Anelis dibawa menikah. Untungnya tadi pagi bi Siti nelepon gue bilang kalau loe suaminya. Karena nggak percaya, makanya gue datang memastikan. Ternyata Jeyhan itu kak Han yang selalu dirindukan Anelis."
Jeyhan terdiam, merasa perkataan Tera hanyalah bohong belaka. "Tidak mungkin dia merindukanku setelah terang-terangan menghina aku," ujarnya dengan tatapan tajam.
Tera mendesah, "loe tunggu sebentar gue ambil sesuatu dulu," ujarnya seraya berjalan ke arah motornya.
Jeyhan dan Leo saling berpandangan, melemparkan tanya.
"Ini, apa loe masih ingat ini?" Tera memberikan sebuah kotak kayu dengan ukiran bunga milik Anelis. Ya, Tera mengambil kotak itu diam-diam takut kalau kenangan manis Anelis dibuang oleh Santi dan Erika.
Jeyhan langsung merebut kotak tersebut. Itu kotak yang ia buat dengan sepenuh hati untuk Anelis. Jeyhan membuka kotak tersebut. Semua hasil karyanya dahulu, terpampang nyata. Kotak yang memiliki ukiran sebuah hati berisikan gelang, kalung dan bahkan foto dirinya dan Anelis sewaktu di taman.
"Ini, bagaimana bisa?"
Tera tersenyum, "gue tahu cerita antara loe dan Anelis. Dia sangat menyayangi loe, dia nggak pernah benci sama loe."
"Bohong! Dia mengatakan kalau-"
"Level kalian berbeda dan dia menghina loe. Kenapa loe langsung percaya begitu saja. Dia itu selalu merindukan loe pagi, siang dan malam dia selalu memikirkan loe. Asal loe tahu, kalau dia terpaksa mutusin loe karena ketahuan sama si Erika terus ngadu ke Santi dan puncaknya ayahnya Anelis mendukung mereka dan menyuruh Anelis mutusin loe. Anelis sangat menyayangi ayahnya, jadi dia terpaksa melakukannya," jelas Tera.
Bak tersambar petir, Jeyhan terperanjak mendengar cerita Tera.
"Sekarang, loe sudah tahu ceritanya. Gue harap loe bisa memaafkan Anelis. Jangan membencinya, dan gue titip Anelis. Pokoknya loe harus membuatnya bahagia, ya," ujar Tera seraya beranjak pergi.
"Tunggu sebentar." Suara Leo membuat Tera berhenti.
"Nona Anelis, kabur dari rumah," lanjut Leo.
"Apa?" Kedua mata Tera memelotot.
****
Anelis menenteng rantang yang berisi makanan masakan Indah, untuk diberikan pada Indra yang sedang bekerja bangunan.
Langkah Anelis terhenti, ia berada di lokasi bangunan yang dimaksud Indah. Gadis itu, berjalan masuk ke kawasan tersebut. Sorot mata para pekerja memperhatikannya. Sebagian bingung dan sebagian lagi merasa terpesona.
"Maaf, mau mencari siapa?" tanya Bayu, pemimpin proyek tersebut.
Anelis menoleh, "saya mau mencari bang Indra," jawabnya seraya menunjukkan rantang yang dibawanya.
Bayu tersenyum, "ayo ikuti aku." Beranjak pergi diekori Anelis dari belakang.
Tepat di lantai dua bangunan tampak Indra bercengkerama dengan teman-teman pekerja lainnya.
"Ehm, Bang Indra ada yang mau bertemu," ucap Bayu.
Tawa Indra sontak meredup saat matanya berpapasan pada Anelis. "Lho, Intan ya? Kok bukan Indah yang datang?"
Para pekerja ikut memandangi Anelis. Mereka seolah tersihir pada kecantikan Anelis.
"Indah sibuk, Bang. Makanya, makan siang nya aku yang bawa," jawab Anelis seraya tersenyum.
"Cantik banget," puji salah satu pekerja.
Teman-teman Indra saling berbisik satu sama lain. "Eh, ini aku kenalin namanya Intan, sepupuku," ujar Indra.
"Oh sepupumu toh, aku kira istri. Hehehe...." Jawaban salah satu pekerja membuat mereka semua tertawa lucu termasuk Anelis.
Anelis tampak menikmati suasana di lokasi tersebut. Setelah puluhan tahun dikurung, akhirnya ia merasakan indahnya kebebasan meski harus hidup sederhana.
Setengah jam berlalu, Anelis pamit pulang dengan rantang yang sudah kosong.
"Indra, sepupu kamu itu cantik banget ya," ujar Anto. Teman dekat Indra.
Indra memandangi Anelis yang memunggunginya menjauh, "Iya, dia cantik," gumamnya pelan.
Anelis menyusuri jalanan, sedari tadi ia terus tersenyum menikmati kebebasan yang ia rasakan.
Di seberang jalan, tampak Ismi sedang sibuk dengan tumpukkan koran di tangannya. Sengatan cahaya matahari membuatnya lelah dan memilih untuk berteduh sejenak.
Anelis, menghampirinya dan ketika Ismi melihat ke arah Anelis, dia langsung mengalihkan pandangannya.
"Ngapain kamu kemari?" tanya Ismi dengan wajah masam tentunya.
Anelis tersenyum, ia tahu jelas bahwa Ismi tidak menyukainya. "Sini, biar aku yang menjajakan korannya." Menengadahkan kedua tangannya ke hadapan Ismi.
Ismi yang keras kepala tidak mengindahkannya. "Anggap saja, aku membayar sewa makan dan tempat tinggal," lanjut Anelis.
"Ismi menatapnya, Anelis tetap dengan senyumannya. Ismi pun mendesah pasrah, diserahkannya tumpukkan koran tersebut ke tangan Anelis.
pppppppp
Dengan semangat Anelis mendatangi para pengendara yang berhenti ketika lampu merah terpampang pada rambu lalu lintas.
"Permisi, mau beli korannya?" Anelis menjajakan koran tersebut.
Melihat kecantikan Anelis para pengendara memanggilnya untuk membeli koran tersebut. Bahkan dari mereka tidak butuh kembalian lagi.
Tak butuh waktu lama, koran pun habis terjual, Anelis kembali pada Ismi dengan uang di tangannya. Ismi memelotot tidak percaya.
BERSAMBUNG....