Chereads / Kembalinya Sang Mantan / Chapter 10 - Bab 10

Chapter 10 - Bab 10

Anelis yang telah mendapat ancaman bertubi-tubi dari Jeyhan pun tetap berusaha menjalani hidupnya seperti biasa. Menatap kosong keluar jendela kamar, menemui para bibi dan bercengkrama dengan mereka serta menonton TV hingga membuatnya jenuh.

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Tepatnya dua minggu, setelah menikah Anelis tak kunjung bertemu dengan sosok suaminya tersebut. Ia sudah tidak memikirkannya lagi. Yang terpenting baginya kini menjaga kehidupannya tetap sehat agar ancaman untuk keluarga serta para bibi tidak terjadi. Dia merelakan kebahagiannya untuk hidup orang-orang yang terlanjur ia sayangi tersebut.

"Nona adalah perempuan yang paling cantik, yang pernah aku lihat. Artis manapun lewat. Nona kita bukan kaleng-kaleng," ujar Suri sambil menyisir rambut Anelis.

Anelis yang mendengar pujian tersebut, terkekeh. Diantara para bibi, Suri memiliki sifat yang paling ceria namun juga sensitif. Akan tetapi, berkat dia Anelis tidak bisa berbuat hal-hal yang mengerikan lagi. Gadis itu mencoba untuk hidup normal meskipun sebenarnya ia tetap hanyut dalam kesedihan.

"Halo Nona-nona semua sudah selesai. Rujak bik Narsi telah siap. Ayo kita serbu!" seru Tatik membuat Suri dan Anelis beranjak dari kamar.

Di halaman belakang tempat para bibi berkumpul itu menjadi saksi betapa riangnya mereka bercengkrama sambil memakan rujak di sore hari.

"Nona, ceritakan dong masa-masa sekolah Nona," ujar Suri.

"Oh itu sudah lama sekali ya. Hahaha aku enggak yakin kalau aku masih mengingatnya atau tidak," jawab Anelis sambil mencolek bumbu rujak dengan jambu air.

"Ayo dong Nona. Kami sangat penasaran. Maklum tak seorang pun dari kami yang pernah duduk di bangku sekolah," rengek Suri lagi.

"Suri! Sejak kapan kamu menjadi pemaksa seperti itu. Nona kita sedang-

"Tidak apa-apa Bik Narsi. Saya akan menceritakannya. Ehm, dulu waktu saya duduk di sekolah dasar saya sangat pemalu. Banyak murid lain yang saya jauhi dan itu membuat mereka berasumsi kalau saya sangatlah sombong padahal itu semua karena saya pemalu, hahaha!" kenang Anelis disertai tawa kecilnya.

"Enggak nyangka cantik-cantik pemalu. Patutlah dicap sombong. Hehehe,"

"Iya begitulah sampai murid baru masuk ke kelas saya. Rambutnya keriting dikepang rapi. Dia bernama Tera. Akan tetapi, cara jalannya sangat tomboy pokoknya dia enggak seperti anak perempuan pada umumnya."

"Ada apa dengannya? Apa dia membuli Nona?" tanya Suri mulai penasaran.

"Enggaklah, dia mendekati saya. Awalnya saya merasa gimana ya. Risih sih enggak cuma 'kan saya pemalu. Jadi, tetap saja saya menghindarinya. Saya kira dia menghindari saya dan akan mengatakan saya sombong seperti anak lainnya. Ternyata diluar dugaan dia semakin bersemangat. Dimulai dari berbagi bekal, belajar bersama dan sering cerita hal-hal yang seru kami pun menjadi dekat."

"Wah Nona enggak kesepian lagi dong!" seru Tatik.

"Ya enggak dong. Masa SMP adalah masa yang paling saya senangi. Karena adanya Tera teman berbagi dalam berbagai hal. Pokoknya apapun yang kami lakukan rasanya bahagia banget."

"Pasti Nona sangat populer. Nona 'kan cantik pasti cowok-cowok sangat menyukai Nona," ujar Suri.

"Hmmm itu bukanlah hal yang bisa aku banggakan. Para senior di sekolahku tak henti-hentinya meneror. Padahal boro-boro menggoda setiap bertemu cowok saya selalu menundukkan kepala. Yang enggak enaknya disitu! Tapi berkat adanya Tera, saya enggak takut apapun! Tak lama kemudian para senior itu dikeluarkan dari sekolah. Hah! Lega rasanya."

"Kalau masa SMA Nona, bagaimana?"

"Ah disaat indahnya masa SMP. Tepat di hari kelulusan saya mama justru meninggal. Dan tak lama kemudian papa menikah lagi. Alasannya tidak tega melihat saya kesepian padahal saya tahu jelas papa lah yang kesepian."

"Maaf Nona, saya enggak bermaksud-

"Enggak apa-apa! Tetap saja masa SMA saya terasa indah. Saya mulai menyukai seorang remaja laki-laki."

"Benarkah? Apa dia tampan? Pasti ketua osis 'kan?" tanya Suri semakin penasaran.

Anelis menyunggingkan senyumannya melihat respon Suri yang sangat bersemangat mendengar cerita Anelis.

"Dia sangat tampan. Dia laki-laki yang paling tampan yang pernah aku lihat. Penampilannya sangat sederhana, dia sangat pemalu. Dan satu lagi dia sangatlah romantis. Maksudku bukan kata-katanya yang manis tetapi setiap perbuatannya sangat manis. Seperti membuat kalung buatan tangan kalung pokoknya semua asli buatan tangannya sendiri," kenang Anelis sambil tersenyum simpul.

"Ah jadi penasaran banget! Pasti sangat tampan. Dimana dia sekarang?" tanya Suri semakin penasaran.

"Hari sudah mulai gelap, saya rasa waktunya Nona mandi. Kami akan menyiapkan makan malam untuk Nona," ujar bik Narsi sambil menutup mulut Suri.

Anelis pun bangkit dari duduknya. Ia berjalan masuk ke dalam rumah.

"Kamu ini semakin lama semakin lancang. Bagaimana kalau tuan Jeyhan mendengar pertanyaanmu tadi?" tanya bik Narsi.

"Aku lupa Bik! Ah padahal enggak bermaksud apa-apa. Maaf Bik," rengek Suri sambil terus menggenggam tangan bik Narsi.

Para ART lainnya terkekeh melihat tingkah Suri. Mereka pun beranjak masuk menuju dapur menyiapkan makan malam.

Hari itu pun berakhir manis. Kehidupan Anelis perlahan berubah meskipun ia menangis begitu ia sendiri di dalam kamar. Karena sekuat apapun ia bertahan tetap saja kehidupan itu bukanlah seperti yang ia inginkan.

***

Pagi pun tiba. Anelis bergegas membersihkan tubuhnya. Kali ini, tanpa para bibi ia merapikan rambutnya sendiri. Ia membiarkannya terurai indah. Dengan memakai gaun berwarna pink serta jepitan rambut dengan warna senada.

Setelah memastikan dirinya rapi. Ia pun bergegas turun menemui para bibi yang disibukkan dengan urusan dapur.

"Pagi Bik Narsi, Bik Tatik, Bik Suri, Bik Lia dan Bik Nita," sapa Anelis layaknya sedang mengabsen para bibi.

"Wah Nona cantik sekali! Pagi-pagi sudah rapi. Wajah Nona juga terlihat sangat cerah," puji bik Suri.

"Terima kasih Bik. Oh ya, hari ini mau memasak apa?" tanya Anelis.

"Sup iga untuk Nona Anelis yang cantik. Ini bagus banget untuk pembentukan body lho!" seru Tatik.

"Benarkah? Yang semangat ya semua!" seru Anelis.

Mereka pun tersenyum senang melihat perubahan sikap Anelis yang semakin banyak bicara.

"Oh ya bik Nita. Saya bisa enggak minta tolong, belikan alat lukis yang lengkap?" tanya Anelis.

"Bisa Non. Sekarang juga bisa mencarinya," jawab bik Nita dengan logat Jawanya.

"Kalau sekarang saya belum punya uang Bik. Lupakan saja! Lain kali tunggu saya punya uang," ujar Anelis sambil menunduk malu.

"Enggak apa-apa Non. Pakai uang ini saja, kita 'kan keluarga masalah keuangan jangan dipikirkan Non!" seru Nita.

"Benar Nona tidak perlu khawatir tabungan kami banyak. Enggak akan habis kok," timpal Tatik.

"Maaf merepotkan Bibik," jawab Anelis sambil tersenyum canggung.

Para ART itu pun tersenyum riang melihat ekspresi wajah Anelis yang mendadak merasa malu. Setelah selesai menyiapkan sarapan, mereka pun melahap sup sambil bercengkrama.

"Nona suka melukis ya?" tanya Suri.

"Suka banget. Tapi kalau jago sih enggak, otak saya pas-pasan," jawab Anelis sambil mengunyah makanannya.

"Wah pengen deh dilukis sama Nona," ujar Tatik.

"Iya aku juga," sahut bik Lia.

"Aku juga mau!" seru bik Suri.

"Ehm! kalian diamlah dulu! Enggak baik makan sambil ribut-ribut," ujar bik Narsi.

"Saya akan melukis bik Narsi terlebih dahulu," jawab Anelis sambil tersenyum. Para ART terkekeh mendengar jawaban Anelis.

***

Anelis memperhatikan alat lukis yang sudah berada di hadapannya. Setelah memastikan semua lengkap, ia mulai menari-narikan jemarinya di atas kanvas dengan kuas yang sudah ditempelkan dengan cat.

Para bibi dibuat senang sekaligus tegang dengan berharap bahwa lukisan Anelis terlihat bagus agar nona muda mereka semakin semangat menjalani hidupnya.

Setelah cukup lama menanti, Anelis telah selesai melukis wajah bik Narsi yang sudah tersimpan jelas di otaknya.

"Wah cantik sekali. Benaran mirip sama yang aslinya. Cema beda di kerutan saja. Yang dilukis Nona terlihat lebih awet muda," ujar Suri.

"Iya! Aku mau dong!" teriak Tatik.

"Maaf Bibik semua! Lain kali saja ya. Saya mau istirahat dulu tangan saya pegal banget," jawab Anelis sambil menggerak-kerakkan tangannya.

Para bibik pun menuntunnya ke kamar. Mereka bahkan menunggu Anelis hingga terlelap. Setelah itu, mereka pun keluar dari dalam kamarnya.

BERSAMBUNG...