Chereads / Kembalinya Sang Mantan / Chapter 11 - BAB 11

Chapter 11 - BAB 11

Di bawah terik mentari yang hangat. Para bibi dan Anelis mulai memandangi lukisan yang Anelis lukis kemarin. Ungkapan rasa kagum bertubi-tubi Anelis dapatkan. Wajahnya tak henti-hentinya membentuk senyuman yang sangat jarang ia tunjukkan.

"Selain cantik nona kita juga sangat berbakat. Beruntungnya tuan muda." Pujian yang dilontarkan bik Suri, membuat senyuman Anelis menghilang dalam sekejab. Dia benar-benar sedih jika dikait-kaitkan dengan Jeyhan.

"Hari ini Nona mau makan apa?" tanya Tatik sambil tersenyum.

"Terserah Bibik saja mau masak apa. Saya enggak rewel kok kalau soal makanan," jawab Anelis.

"Baiklah! Nona kami tinggal dulu enggak apa-apa 'kan. Kami mau menyiapkan makanan dulu," tutur bik Narsi.

Anelis menunduk mengiyakan. Para bibi pun beranjak masuk. Sementara itu, Anelis tetap bermain dengan kuas serta alat lukis lainnya.

***

Jeyhan memandangi cincin yang melingkar di jari manisnya. Wajahnya mengeluarkan kerutan halus. Ada perasaan marah dan kebencian. Segera ia lepas cincin tersebut dan meletakkannya ke dalam laci.

"Permisi Tuan! Ini berkas yang harus ditanda tangani hari ini," ujar Leo sambil memberikan sekumpulan kertas yang sudah tertata rapi.

"Bagaimana keadaan rumah?" tanya Jeyhan sambil memainkan pena miliknya di atas kertas tersebut.

"Keadaan rumah aman. Nona Anelis sudah menurut sekarang, aku dengar dia disibukkan dengan kegiatan barunya yaitu melukis," jawab Leo.

"Melukis?" Memelotot kaget.

"Nona sangat jago melukis dia-

"Cukup! Aku mengerti. Apa jadwal hari ini?" Memotong perkataan Leo.

"Jadwal Anda kosong Tuan. Ini hari libur dan berkas yang saya berikan tadi tugas waktu mendatang," jawab Leo.

"Baiklah kau boleh keluar sekarang," ujar Jeyhan sambil mengibaskan tangannya.

Leo pun menunduk lalu berjalan keluar. Sementara itu Jeyhan tampak berpikir keras sambil terus memijat kepalanya.

Melukis? Tidak mungkin. Batin Jeyhan.

***

Anelis menatap detail lukisannya. Lukisan seorang wanita yang tak lain ibunya sendiri. Ia pun memajang lukisan tersebut di atas nakas yang berada di samping tempat tidurnya.

"Mama, sangat cantik," gumam Anelis.

"Makanya Nona terlahir cantik juga," sahut bik Suri sambil membawa minuman serta beberapa buah.

"Bik Suri, membuatku kaget saja," ujar Anelis sambil memelotot kaget.

"Wah lukisannya sangat cantik sekali. Nona memang hebat," puji bik Suri.

Anelis tersenyum, ia pun memakan buah yang sudah dipotong-potong para bibi. Sementara itu, bik Suri tetap berdiri menatap kagum pada lukisan Anelis.

"Bisa tidak lukiskan tuan muda? Pasti bagus banget," tanya bik Suri.

"Bagaimana bisa saya melukisnya. Ketemu saja baru sekali. Semenjak menikah kami tidak pernah bertemu," jawab Anelis membuat bik Suri terdiam.

"Maaf Non, saya ada pekerjaan lain saya harus turun sekarang. Permisi!" Bik Suri pun segera beranjak keluar.

Aku tahu kalau para bibi menghindar untuk membahasnya. Tidak apa-apa Anelis jalani hidupmu seperti udara yang terus berhembus. Batin Anelis sambil menatap dalam ke arah lukisan ibunya.

***

Hari-hari pun berlalu. Kini Anelis tidak memikirkan lagi tentang apapun. Kebebasan yang hanya impian belaka ia kubur dalam-dalam. Baginya membahagiakan diri sendiri adalah cara terbaik. Meskipun sebenarnya dia tidak bahagia.

Malam itu, Anelis tertidur di sofa panjang setelah menonton TV. Tak seorang pun yang berani menyentuh dan membangunkannya.

"Maaf Tuan mengganggu istirahan Anda. Lagi-lagi nona Anelis tertidur di ruang tengah," ujar salah satu pengawalnya.

"Baik! Terima kasih informasinya Pak Idris," jawab Jeyhan sambil berjalan masuk.

Jeyhan menatap Anelis yang sudah terlelap dalam tidurnya. Ia pun menyingkirkan rambut yang menutupi wajah istrinya itu.

Dan ini ke sekian kalinya aku mengendongmu. Batin Jeyhan sambil menggendong tubuh Anelis menuju kamar.

Tidak mau menemuinya. Tetapi tidak mau orang lain menyentuhnya. Apakah itu cinta? Batin Leo sambil menatap heran pada Jeyhan yang memunggunginya.

Jeyhan membaringkan Anelis di atas ranjang lalu memakaikannya selimut. Pandangannya beralih pada lukisan yang tergeletak di atas nakas.

Apa dia yang melukisnya? Sejak kapan dia memulainya? Batin Jeyhan sambil menyentuh lukisan tersebut.

Jeyhan pun beralih ke arah tempat tidur. Akan tetapi, Jeyhan tak sengaja menginjak sebuah kuas di lantai membuatnya terpeleset hingga terperanjak ke atas tempat tidur lebih tempatnya di atas tubuh Anelis.

Jeyhan pun segera bangkit. Namun terlambat kedua mata Anelis sudah membulat sempurna ke arahnya. Mereka pun saling bertatapan cukup lama.

"Kak Han," ujar Anelis.

Jeyhan terdiam, segera ia langkahkan kakinya menghindar dari Anelis.

"Jeyhan itukah namamu?" tanya Anelis membuat langkah Jeyhan terhenti.

"Jeyhan Pradifta itu benaran nama Kakak ya. Tidak heran kalau Kakak menghindariku. Tapi kenapa Kakak menikahiku?" tanya Anelis sambil bergerak dari tempat tidur.

"Anelis Gurawa. Aku kira kita tidak akan pernah bertemu. Tidak disangka, malah begini akhirnya." Berbalik menatap Anelis.

"Apa kabar Kak Han? Sudah lama tidak bertemu. Aku sangat menantikan hari ini. Aku senang berjumpa dengan Kakak lagi," ujar Anelis sambil tersenyum serta mata berkaca-kaca.

"Hahaha! Apa kau penasaran dengan kehidupan yang aku alami setelah kau menghinaku? Begitukah?" Tersenyum sinis membuat Anelis terbungkam.

"Lihatlah Anelis aku sudah memiliki semuanya itu berkat perkataanmu. Haruskah aku berterima kasih?" Dengan pelan Jeyhan melangkahkan kakinya mendekati Anelis.

Sebulir air mata pun mengalir di pipi Anelis. Sementara itu Jeyhan tak henti-hentinya tersenyum sinis sambil terus berkata kasar.

"Jadi, apa tujuan Kakak menikahiku? Apakah mau membalaskan dendam?"

"Apa kau pikir aku masih menyukaimu? Jangan berpikir terlalu jauh. Kau tidak ada apa-apanya lagi bagiku."

"Cukup Kak! Aku mengerti. Balas dendam lakukanlah. Aku terima semuanya. Tidak apa-apa asalkan itu membuat Kakak bahagia," jawab Anelis dengan air mata yang sudah mengalir deras di pipinya.

"Tepat sekali, nikmati hari-harimu."

"Pernakah Kakak mencintaiku?" tanya Anelis dengan suara sesenggukan. Dan lagi-lagi membuat langkah Jeyhan terhenti.

"Aku pernah mencintaimu lebih dari apapun. Sebelum aku tertipu dengan sifat aslimu," jawab Jeyhan lalu beranjak pergi.

Isak tangis Anelis pun terdengar begitu kuat. Air mata itu tak berhenti mengalir. Sementara itu, Jeyhan terus melangkah keluar tanpa mempedulikannya.

***

Sial! Kenapa aku kepikiran dengannya? Batin Reyhan sambil mengepalkan tangannya.

"Permisi Tuan, apa kita bisa pulang sekarang?" tanya Leo.

"Hmmm!" Hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Jeyhan. Ia melangkahkan kakinya lalu diikuti oleh Leo dari belakang.

"Katakan padaku, apa kau masih menyukainya?" tanya Jeyhan dengan nada serius.

"Tidak mungkin 'kan Tuan cemburu pada saya?" Jawaban Leo membuat Jeyhan merasa kesal.

"Aish sudah lupakan saja," jawab Jeyhan sambil menatap jalanan yang gelap.

"Menurut saya, ada baiknya kita tinggal di rumah dibandingkan dengan villa karena jaraknya lebih dekat ke perusahaan," ujar Leo sambil terus menyetir.

"Aku tidak mau mendengar saranmu. Aku tidak akan mengubah pemikiranku dengan orang lain," jawab Jeyhan dengan lantang.

Leo tersenyum, melihat tingkah bos sekaligus sahabatnya itu yang kekanakkan dan tidak mau kalah.

"Sebenarnya apa tujuanmu menikahi Anelis? Apa kau pernah mengenalnya?" tanya Leo membuat Jeyhan terperanjak kaget. Pria itu terdiam bingung dan kehabisan kata untuk menjawab.

"Sekarang sudah tengah malam. Masa kerjaku sudah lewat, mari kita bicara seperti sahabat lainnya. Kamu mengerti 'kan, Jeyhan Pradifta," tutur Jeyhan sambil menekankan suaranya di akhir kalimat.

"Wah! Kau ada kemajuan tidak seperti biasanya yang terlihat plin plan dan sungkan. Apa karena mau membahas wanita itu?" Tersenyum sinis.

"Baiklah aku mengaku. Bisakah kamu menjawab pertanyaanku?" tanya Leo.

"Tidak!" teriak singkat Jeyhan membuat Leo tersenyum.

"Baiklah kalau begitu," jawab Leo fokus menyetir mobil.

'Andai kau tahu Leo, wanita yang kau puja-puja itu tidak sebaik kau pikirkan.' Leo membenak sambil memijat kepalanya.

BERSAMBUNG....