Chereads / Kembalinya Sang Mantan / Chapter 9 - Bab 9

Chapter 9 - Bab 9

Jeyhan merapikan jas yang ia kenakan. Jas berwarna silver, yang lembut buatan Italia. Leo mendatanginya sambil membawa tablet yang sering ia gunakan untuk bekerja.

"Bagaimana harimu? Apa kau masih memikirkan wanita itu?" tanya Jeyhan sambil membenarkan dasinya yang semula miring.

"Pekerjaan tidak ada hubungannya dengan hal pribadi Tuan. Dan lagipula, aku tidak tertarik pada wanita yang sudah menikah. Terlebih lagi karena dia sudah menjadi milik Tuan," jawab Leo sambil terus mengotak-atik tablet tersebut.

"Bagus! Ayo kita berangkat. Waktu kita sudah tidak banyak lagi," ujar Jeyhan sambil menyunggingkan senyumannya.

Leo pun menunduk lalu berjalan mengikuti Jeyhan dari belakangnya. Wajahnya yang masih terlihat patah hati, berusaha ia sembunyikan dengan sebisa mungkin. Biar bagaimanapun wanita yang ia cintai itu sudah menjadi nona muda.

"Bagaimana keadaan rumah? Apa dia sudah sadar?" tanya Jeyhan.

"Sudah Tuan. Nona Anelis bahkan sudah mengitari hampir seluruh ruangan rumah," jawab Leo.

Anelis, apa kau sebahagia itu? Setelah kau menghinaku, kau hidup dengan bahagia. Kau benar-benar menghapusku dari hidupmu. Batin Jeyhan sambil memandangi jalanan yang berada di luar mobil.

***

Anelis memandangi para bibi yang sibuk bertempur dengan masakan mereka tanpa menyadari adanya dia disana.

"Selamat pagi, para Bibi," sapa Anelis dengan ramah.

"Eh se-selamat pagi Nona." Para bibi dibuat terkejut dengan suara nona baru mereka

"Lanjutkanlah! Saya hanya sedang melihat-lihat. Sepertinya para Bibi sangat bersemangat sekali," ujar Anelis sambil tersenyum.

"Tuan muda akan kembali. Tentu saja kami semangat pasti Nona juga begitu 'kan," jawab bik Tatik bibi termuda diantara lima bibi lainnya.

Mendengar pernyataan bibi tersebut, wajah Anelis berubah akan tetapi, senyumannya tetap terlihat meskipun sebenarnya ia sedang gundah.

Pagi berganti siang, dan siang berganti petang. Malam pun tiba, makanan terhidang sempurna di atas meja. Tinggal menunggu sosok yang mereka rindukan kepulangannya.

"Kalau para Bibi lelah, lebih baik tidur saja. Saya enggak apa-apa menunggu," ujar Anelis. tidak tega melihat para ART yang kelelahan.

"Nona juga istirahatlah. Nona pasti sudah mengantuk," jawab bik Narsi.

"Enggak apa-apa. Sebagai seorang istri sudah sewajarnya saya menunggu," jawab Anelis.

Para ART pun tidak bisa berbuat apa-apa selain mematuhi perkataan Anelis. Mereka pun beranjak meninggalkan Anelis sendiri di ruang makan.

Suara detak jam pun turut mengiringi bola mata Anelis yang mulai berkedip lelah. Gadis itu kini sedang mengantuk, namun tetap memaksakan diri untuk menyambut kepulangan suaminya. Setelah menunggu cukup lama, gadis itu pun tumbang tepat diatas meja makan. Malam itu tepat pukul 02.35 WIB.

****

Pagi pun tiba, Anelis pun bangun dari tidurnya. Betapa terkejutnya dia setelah mendapati tubuhnya sudah berada di atas ranjang.

Kepalanya masih pusing akibat begadang tadi malam. Ia pun langsung beranjak dari tidurnya. Berlari menuruni anak tangga berharap dapat bertemu suaminya. Akan tetapi, hasilnya nihil dimanapun sosok Jeyhan tidak ia jumpai.

"Bik Narsi, maaf! Apa tadi malam tuan pulang?" tanya Anelis yang mulai frustasi.

"Tuan muda sangat sibuk Nona. Jadi, tadi malam tuan tidak pulang sama sekali," jawab bik Narsi.

"Jadi yang mengangkat saya tadi malam. Siapa?" tanya Anelis memastikan bahwa Jeyhan yang membawanya ke dalam kamar.

"Itu Antony, salah satu pengawal tuan muda yang menjaga bagian depan rumah Nona," jawab bik Narsi.

Anelis pun tak berkata apa-apa lagi. Mulutnya seketika terkunci. Ia tidak percaya Jeyhan tidak mengabarinya sedikit pun. Ia sangat ingin memastikan bahwa Jeyhan dan Han adalah orang yang sama. Orang yang ia nantikan kehadirannya.

Tapi apalah daya, baik para ART dan para pengawal sepakat memberikan jawaban yang sama yaitu, Jeyhan tidak pulang! Tidak ada lagi yang Anelis harapkan. Gadis itu kembali ke dalam kamarnya kembali ke dunianya sendiri tanpa siapapu.

"Mama! Tera! Aku membutuhkan kalian." Air mata yang tak bisa Anelis bendung mengalir dengan derasnya. Bibirnya bergetar ikut menunjukkan betapa menyedihkannya hidup seperti dia.

Tok! Tok!

"Nona sarapan pagi sudah siap. Mau makan disini atau di bawah?" tanya bik Narsi dari luar kamar.

Anelis segera menghapus air matanya. Lalu berjalan keluar menghampiri bik Narsi. Senyuman palsu pun terlukis di wajahnya. Berpura-pura bahagia adalah pilihan paling tepat untuknya.

"Saya makan di bawah saja Bik. Ayo kita turun," jawab Anelis sambil menggandeng tangan bik Narsi. Bik Narsi terlihat kebingungan dengan perlakuan hangat dari Anelis.

"Nona sepertinya pemandangan ini sangat tidak pantas," ujar bik Narti sambil menghentikan langkahnya.

Anelis tidak menghiraukannya dan tetap menggandeng tangan bik Narsi layaknya seorang anak yang sedang bermanja pada ibunya.

"Saya bosan di dalam kamar terus. Saya ingin keluar jalan-jalan," ujar Anelis sambil mengusap bibirnya dengan tisu.

Para bibi saling menoleh satu sama lain. Mereka sebenarnya tidak tega pada Anelis tapi biar bagaimanapun Jeyhan yang memiliki kuasa atas diri mereka.

"Tuan muda berpesan untuk tidak memperbolehkan Nona keluar selain di area rumah," jawab bik Narsi, sambil memasang wajah memelas.

Anelis tidak menjawab, ia pun bangkit dan berjalan keluar. Ia akan patuh mengingat para bibi yang sudah memperlakukannya dengan baik.

Tera benar, aku bahkan lebih menyedihkan dibandingkan para burung yang berada di dalam sangkar. Aku butuh kebebasan, aku lelah hidup menyedihkan seperti ini. Aku benci! Batin Anelis sambil menatap pagar besi yang tinggi sebagai pembatas dirinya dengan dunia luar.

"Pak Bahron! Sebenarnya kita berada di kota mana?" tanya Anelis sambil membaca nama pengawal yang tertulis di seragamnya.

"Kita masih di Jakarta bagian selatan Nona," jawab Bahron.

Anelis pun memilih duduk di sebuah ayunan yang memiliki dua sisi dan ia pun menggerak-gerakkan ayunan tersebut. Ia menyenderkan tubuhnya sambil menatap langit yang cerah.

Kak Han, jika kalian adalah orang yang sama. Apakah ini sebuah dendam untukku? Jika benar, lakukanlah tidak apa-apa paling tidak rasa bersalah yang menghantuiku bisa berkurang. Batin Anelis.

"Eh! Rumah ini yang aku impikan dari dulu. Kata mamaku sih pasti pemiliknya seorang pengusaha." Terdengar suara remaja dari luar pagar.

"Hmmm, pasti korupsi. Aku yakin itu," jawab temannya.

"Yang penting kaya tahu. Urusan itu belakangan saja."

"Enggak ah! Dosa pasti hidupnya enggak bahagia."

"Benaran begitu ya. Jadi takut."

Percakapan 2 remaja itu pun berakhir seiring langkah mereka. Anelis hanya menatap luar pagar yang kosong. Ia teringat betapa indahnya kehidupannya di waktu seumuran mereka. Kasih sayang ayahnya serta memiliki teman yang banyak. Ditambah lagi Han yang selalu menatapnya penuh cinta.

Waktu pun begitu cepat berlalu. Matahari kini berganti dengan bulan dan bintang. Anelis duduk di sofa menanti kepulangan suaminya. Akan tetapi, lagi-lagi matanya lengah dan ia pun kembali tertidur.

****

Anelis membuka matanya dan sudah mendapati tubuhnya sudah berada di atas ranjang. Ia pun beranjak keluar menanyakan pertanyaan yang sama namun mendapatkan jawaban yang sama.

Alih-alih berharap Jeyhan pulang. Ia justru dikejutkan oleh larangan dirinya untuk kemana pun termasuk keluar rumah bahkan ke taman sekalipun. Hidup Anelis bertambah hancur, nafsu makannya berkurang. Dia menjadi lebih tertutup bahkan seharian ia tidak mengeluarkan suara sedikitpun.

Para bibi semakin sedih melihat perubahannya yang menjadi lebih menyedihkan. Anelis membaringkan tubuhnya, tatapannya kosong pada langit-langit kamar yang memiliki lampu hias yang mewah.

Lakukan Kak Han. Lakukanlah! Tidak apa-apa. Dengan begini aku akan merasa lega. Dan dengan begini, aku akan pergi dengan tenang. Ya, pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal. Batin Anelis, air matanya seakan telah habis.

***

Anelis membuka matanya. Tampaklah bi Narsi beserta empat ART lainnya yang menatap sedih ke arahnya. Mereka begitu mengucap syukur ketika Anelis mengedipkan kedua matanya.

"Apa yang terjadi? Kenapa ramai sekali?" tanya Anelis terkejut.

"Nona ditemukan tidak sadarkan diri. Nona seharian tidak makan kemarin. Tapi untungnya dokter mengatakan tidak begitu parah. Hanya gejala maag," jawab bik Narsi sambil membantu Anelis untuk duduk.

"Terima kasih perhatian para Bibi sekalian."

"Bisa tidak Nona jangan mencari masalah?" tanya seorang ART dengan tatapan tajam.

"Suri, jangan mulai lagi deh kita sudah membahasnya tadi," ujar Tatik sambil menepuk punggungnya.

"Maksud Bik Suri apa? Apa saya ada salah?" tanya Anelis merasa kebingungan.

"Maaf Nona! Saya bukannya berniat menggertak Nona. Tapi tolong untuk tidak membahayakan diri lagi, karena bukan hanya Nona. Kami para ART terancam dipecat bukan hanya itu tuan bahkan memenjarakan kami. Tolong! Sebagai Nona yang paling kami hormati, hargai hidup Nona. Karena kalau tidak kami akan ikut terseret," jawab Suri sambil memegang tangan Anelis.

"Ma-maaf karena kebodohan saya kalian semua jadi menderita. Saya tidak bermaksud mencelakai para Bibi. Akan tetapi, saya merasa hidup saya benar-benar tidak berguna. Sendiri tanpa teman membuat saya depresi." Anelis tidak bisa membendung kesedihannya, air matanya mengalir deras di pipinya yang sudah memerah.

"Kalau Nina mau. Kami akan merasa bahagia bila Nona mau berbagi. Sama seperti tuan Jeyhan, Nona Anelis adalah orang yang kami cintai," ujar Suri sambil menghapus air mata Anelis.

Kamar yang mulanya hangat itu berubah menjadi suasana penuh haru.

BERSAMBUNG...