Chereads / The Resurrection of The Devil : TROYA / Chapter 7 - Episode 6 : Kemarahan Wida

Chapter 7 - Episode 6 : Kemarahan Wida

"Ada apa, Demian?" tanya Wida tanpa menghentikan langkahnya menuju kelas XII-1. Hari ini Gauri tidak masuk sekolah karena sakit. Gauri sakit karena efek setelah latihan di kawah Candradimuka milik Phoenix. Salah gadis itu sendiri, yang kekeuh dengan pendiriannya. Padahal, dia, Phoenix dan juga Tretan sudah memperingatkan, bahwa tidak sembarang orang bisa melewati ujian kawah Candradimuka.

"Aku merasakan ada hawa elemen," ujar Demian , "dan aroma ini tidak asing."

"Benarkah? Atau jangan-jangan hawa elemenku bocor?"

"Kalaupun bocor, Ayah tidak mungkin tinggal diam, Wida ... Lagi pula, di sini tidak akan ada yang bisa mendeteksi hawa elemenmu," ujar Demian tetap dengan wajah seriusnya. Wida duduk di bangkunya lantas mengeluarkan buku paket, buku tulis serta pulpen untuk pelajaran jam pertama nanti.

"Ya, kau benar."

Wida bangkit dari duduknya lantas merentangkan kedua tangannya. Matanya terpejam dengan mulut bergumam. Selang beberapa menit kemudian, muncul gumpalan-gumpalan air yang entah dari mana asalnya, memasuki ruang kelas XII-1. Air itu sudah dalam kendali Wida. Dengan sedikit gerakan tubuh Wida, air itu mulai membasahi lantai lalu membersihkan kotoran-kotorannya. Setelah dirasa sudah bersih, Wida membuang air yang sudah berubah warna menjadi kecokelatan itu ke luar. Tidak sampai di sana saja, Wida mengembuskan gelombang panas dari dalam tubuhnya untuk mengeringkan lantai.

"Tugas piketku sudah selesai!" pekik Wida dengan senangnya. Wida duduk kembali sembari mengusap peluh di dahinya. Ia mengambil botol minumnya lantas menenggak air minum itu hingga tinggal setengah botol.

"Berhentilah menggeram, Demian. Kau bukan anjing," ucap Wida sembari mengembalikan botolnya ke tempat semula.

"Mereka tidak akan berani mendekat. Kau sudah tahu itu ... Tapi, kau masih saja bertingkah seperti ini," imbuh Wida.

Dari tadi Demian menggeram seperti seekor serigala yang bertemu dengan musuh bebuyutannya. Demian menggeram dengan wajah menyeramkan. Jangan lupakan taring serta darah hitam yang terus menetes dari ujung taringnya. Demian bertingkah seperti itu karena makhluk-makhluk astral penghuni sekolahan mengerumuni kelas XII-1. Lebih tepatnya, mengerumuni tempat di mana Wida berada, selama di sekolah ini. Mereka tertarik dengan aroma darah Wida yang berbeda dengan manusia di dimensi nyata.

Namun, tiba-tiba ratusan roh penasaran itu menghilang ketika Dimas, salah seorang teman sekelas Wida, memasuki kelas dengan santainya.

"Selamat pagi, Wida," sapa Dimas.

"Pagi," balas Wida ala kadarnya.

Untuk beberapa detik, Demian merasa bahwa pandangannya dan Dimas saling bertemu. Demian segera memperbaiki ekspresinya dan bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.

Iblis Phonemian itu kembali mengendus sekitar. Matanya kali ini berubah warna menjadi kehitaman.

Mata Wida menyisir ruang kelas. "Di mana Paman dan Azuna, Demian?"

"Mereka sedang dalam perjalanan kemari. Barusan, Gauri mengalami kejang dan Ayah juga Azuna harus membantu Tretan mengendalikan Moora."

Baru saja diperbincangkan, dua sosok makhluk peralihan elemen itu muncul. Bagi orang awam, mereka bisa merasakan embusan angin yang terasa sangat panas. Akan tetapi, bagi Wida itu hanya embusan angin pagi yang sangat dingin.

"Apa kami ketinggalan sesuatu?" tanya Azuna.

"Tidak ada, Azuna. Hanya saja, sejak tadi Demian menggeram seperti anjing."

"Kenapa? Apa ada masalah selama kami belum datang? Atau apa ada yang mengganggumu?" tanya Phoenix beruntun. Wida dan Demian sama-sama menghela napas.

"Paman, kau terlalu paranoid."

"Kecemasanmu seperti nenek-nenek, Ayah."

"Apa kau tidak malu, sudah mengolok-olok ayahmu sendiri?!" sungut Phoenix.

"Kenapa pemuda itu terkekeh?" tanya Azuna yang secara tidak langsung melerai pertikaian yang sebentar lagi akan pecah. Wida, Demian dan Phoenix kompak menatap ke arah Dimas yang masih terkekeh-kekeh entah apa sebabnya.

"Jangan-jangan ... Dia mata-mata yang dikirimkan oleh Mahesa?"

"Jangan asal menuduh, Paman. Lebih baik kalian selidiki dulu, sebelum menuduhnya."

"Tanpa kau minta, kami akan melakukannya, Wida."

Satu persatu murid mulai berdatangan. Dimas menghentikan tawanya dengan wajah pucat. Dia bertingkah seolah-olah bisa mendengar percakapannya dengan Phoenix. Wida mulai mencium sesuatu yang amis di sini. Semoga saja ketakutannya tidak terjadi.

Bel sekolah berdentang, menandakan jam pertama akan dimulai.

Bu Monika, guru sosiologi sekaligus wali kelas XII-1 memasuki ruangan. Kening Wida dan para murid lainnya mengerut. Hari ini tidak ada jam sosiologi. Akan tetapi, guru cantik itu malah masuk ke dalam kelas.

Dimas si Ketua kelas mengangkat tangannya. "Mohon maaf, Bu Monika. Hari ini tidak ada jam pelajaran sosiologi," ujarnya.

Bu Monika tersenyum. "Memang tidak ada. Saya kemari untuk mengantarkan beberapa murid baru yang akan menjadi bagian dari kelas ini...."

Demian kembali mengendus. "Aroma ini...."

"Kau mencium apa, Demian?"

"Aroma dari–"

"Silakan masuk, anak-anak," ujar Bu Monika. Selang beberapa detik kemudian, lima orang siswa memasuki ruang kelas.

"Pras dan kawan-kawan..." ujar Demian melanjutkan ucapannya yang sempat terpotong. Wida pun mendongakkan kepalanya. Sejak tadi, dia sibuk dengan buku komiknya.

Wida langsung terbatuk-batuk karena tersedak air liurnya sendiri. Hal itu menarik perhatian semua orang. Semua pemuda berlomba-lomba memberikan air minum mereka kepada Wida. Namun, Wida menolaknya lalu meminum air minumnya sendiri.

"Ada apa, Wida?" tanya Bu Monika.

"Tidak ada apa-apa Bu," ujar Wida.

"Sungguh?"

"Iya, Bu."

Wida tersenyum canggung. Sedangkan Pras dan yang lain diam-diam terkekeh geli melihat reaksi Wida. Akan tetapi, ekspresi Pras dan yang lain langsung berubah ketika melihat tatapan tajam dari Wida dan ketiga makhluk peralihan elemen yang berdiri di belakang Wida.

Bukan tatapan Demian, Phoenix dan Azuna yang mereka takutkan. Akan tetapi, tatapan Wida yang terasa sangat tajam. Dan ya, bola mata Wida perlahan-lahan berubah warna. Elemen tingkat tinggi Wida hampir mencapai batasnya. Dengan cepat Demian menutup mata Wida dan menenangkan gadis itu.

"Setelah ini, kita bertemu di rumah Gauri," ujar Wida menghubungi kakak dan teman-temannya melalui telepati.

***

Wida meletakkan berkas ke atas meja. Saat ini, mereka tengah berada di ruang keluarga rumah Gauri. Keadaan begitu mencekam, dengan wajah Wida yang tampak begitu mendukung suasana menjadi lebih seram.

"Aku sudah menandatangani surat pengunduran diriku sekaligus pengangkatan Kusuma sebagai pemimpin GoE yang baru."

"Apa maksudmu, Wida? Kenapa tiba-tiba?"

"Aku sudah lelah menjadi pemimpin dari para pembangkang."

"Bicaralah dengan jelas, Wida!"

"Apa perkataanku belum jelas? Aku sudah lelah menjadi pemimpin dari para pembangkang!"

"Pembangkang? Apa maksudmu?"

"Jangan bertele-tele, Wida!" sentak Pras.

Brak!

Wida memukul permukaan meja kaca setebal lima sentimeter itu hingga hancur. Semua orang berdiri untuk menghindari pecahan kaca yang terlempar ke sembarang arah. Wida menunjukkan wujud Avatar Demian. Sayap hitam berlapis racun mematikan terbentang hampir memenuhi rumah. Kobaran api hitam mulai membakar tubuh Wida. Dan jangan lupakan bola matanya yang berubah menjadi biru kehitaman. Sepasang pedang terhunus di kedua tangan Wida. Sepertinya wanita itu siap untuk memenggal kepala semua orang yang ada di rumah ini.

"Wida, tenanglah ... Sebenarnya apa yang membuatmu sampai menunjukkan wujud Avatar Demian?!"

"Masih belum jelas, Setyo Prasad Saxena!?" Wida melemparkan kedua pedangnya ke arah Tyo. Beruntung, pria itu berhasil menghindarinya.

"PERCUMA SAJA AKU MENJADI PEMIMPIN, JIKA KALIAN TIDAK PERNAH MEMPERCAYAI KEPUTUSANKU! PERCUMA AKU MENJADI PEMIMPIN, JIKA KALIAN SELALU MENGANGGAP AKU INI ANAK KECIL YANG GEGABAH DALAM MEMUTUSKAN SESUATU!" jerit Wida dengan api amarah yang membara dalam hatinya. Sakit rasanya, ketika sahabat, tunangan bahkan kakak kandung sendiri tidak mempercayai kita. Pras dan yang lain bertindak seenaknya dengan menyusulnya ke dimensi nyata. Rasanya, Wida menyesal karena sudah memberitahukan misinya kepada Chandra. Karena Wida sangat yakin, jika dalang dari datangnya Pras dan teman-temannya adalah ayahnya sendiri.

"Apa kalian tahu, alasan mengapa aku tidak mengajak kalian kemari?!" sentak Wida, "itu karena penyeberangan kalian ke dimensi ini ilegal! Walaupun Ayah, paman Yonas dan paman Ridwan sendiri yang membukakan gerbang lintas dimensi untuk kalian ... Tetap saja itu ilegal!"

"Alasan keduaku karena aku tidak ingin kalian terluka–"

"Dan kau mengorbankan dirimu, begitu?" tukas Kusuma.

"Tentu tidak! Aku tidak akan pernah terdeteksi oleh Mahesa dan petinggi lainnya, karena aku menyeberang ke dimensi ini melalui dimensi paralel milik Tretan! Dan kenapa aku tidak mengajak kalian? Karena kalian hanya akan menjadi beban untukku dan Phoenix!"

"Beban?! Kau bilang kami hanya akan menjadi beban?!"

"Ya! Karena Megan akan dengan mudah mendeteksi kalian! Padahal aku sudah mati-matian menyembunyikan identitasku dengan bantuan Moora! Kalian benar-benar memuakkan! Aku kecewa kepada kalian!"

Amarah Wida perlahan tergantikan oleh tangisan yang sangat menyayat hati. Wujud Wida pun kembali seperti semula.

"Aku berusaha melindungi kalian dari segala mara bahaya yang akan datang dikemudian hari. Mencari Troya tidak semudah mencari bukti kejahatan Sammy. Mencari Troya sama halnya mengorbankan jiwa kepada kematian. Dan aku tidak mau kalian mati sia-sia! Aku terlalu mencintai kalian semua!"

"Dan kau mengorbankan dirimu sendiri, begitu?!" sentak Andre.

"Ya! Aku rela mati demi kalian! Aku...."

Bruk!

"Wida!" pekik semua orang. Pras dan yang lain berlari menghampiri Wida. Namun, Phoenix mencegah mereka.

"Bawa Wida ke kamar, Demian!"

"Baik, Ayah."

Demian membopong Wida lalu membawanya ke kamar. Sedangkan Phoenix mulai mengayunkan tangannya. Ia tengah melakukan inversion, untuk mengembalikan kerusakan yang telah Wida perbuat seperti semula.

"Harusnya aku mencegah Wida untuk memberitahu Chandra waktu itu."

"Kenapa?" ketus Hendra.

"Karena inilah akibatnya. Wida sampai kehilangan kendali atas dirinya, itu semua karena kalian."

"Kalian tahu? Wida sebenarnya akan mengajak kalian untuk menyeberang ke dimensi ini melalui gerbang lintas dimensi yang akan dibukakan oleh Chandra. Namun, beberapa jam sebelum Wida ke kantor GoE untuk membicarakan ini, Tretan mengatakan bahwa gerbang lintas dimensi jika dilewati lebih dari dua orang, akan berakibat buruk bagi penyeberang. Dan juga, alarm pelanggaran milik Mahkamah Hukum Tertinggi akan berdentang. Hal itu akan membuat misi kalian terbongkar. Ingat! Misi kalian berhubungan dengan Troya. Dan kalian tahu sendiri siapa Troya itu," jelas Azuna.

"Jika orang-orang Mahkamah Hukum Tertinggi tahu kalau Troya masih hidup, bisa jadi, dalang atas peristiwa keluarga Wicaksono akan semakin sulit untuk ditemukan." Phoenix berdecih. "Yang ada dalam otak kalian hanya rasa curiga dan tidak percaya kepada Wida. Kalian menganggap Wida masih naif dan gegabah. Padahal kalian salah! Wida bahkan memiliki pemikiran lebih dewasa dibandingkan dengan aku dan Azuna."

"Lalu, kami harus apa?"

"Entah ... Aku masa bodoh dengan nasib kalian. Paling-paling, setelah kembali dari dimensi ini, pihak Mahkamah Hukum Tertinggi akan mencopot jabatan Chandra, Yonas dan Ridwan secara tidak hormat. Lalu pembubaran GoE secara paksa. Dan ya, itu hanya hukuman ringannya ... Hukuman terberatnya adalah hukuman mati untuk Wida karena dia adalah pemimpin GoE."

"Tidak mungkin!"

"Sudahlah, aku muak dengan akting sok peduli kalian ... Permisi!"

Phoenix dan Azuna menghilang begitu saja. Sedangkan Pras dan yang lain terdiam. Mereka tidak berpikir dengan matang.

"Kita harus melakukan sesuatu."

.

.

.

.

.

•••

🍃 Kesadaran adalah matahari 🍃

Copyright © Yekti Wahyu Widanti 2020