"Sebenarnya di mana Phoenix, Azuna, Wida dan Demian? Sejak kemarin mereka belum terlihat," tanya Gauri yang berjalan beriringan dengan Tretan dan Moora.
"Mana aku tahu, mungkin mereka kembali ke dimensi luar paralel," sahut Tretan dengan asal.
Banyak teman-teman Gauri yang lalu lalang, melewatinya begitu saja. Jika tidak ada Wida, keadaan kembali seperti semula. Tidak ada yang menyapa Gauri seperti saat beriringan dengan Wida. Gadis delapan belas tahun itu hanya bisa tersenyum miris. Tidak ada kebaikan yang benar-benar tulus. Mereka hanya melihat ke arah orang yang memiliki kasta yang sederajat dengan mereka. Padahal, kalau Gauri mau, ayahnya bisa membeli yayasan SMA Pattimura ini. Bahkan kekayaan yang dimiliki oleh Sanjaya, ayah Gauri, lebih besar dibandingkan dengan kekayaan Prayoga, ayah Resti.
"Manusia memiliki hati lebih bejat dibandingkan dengan iblis," ujar Tretan dengan seringainya.
"Mau mengiakan, tapi aku manusia. Jadi, aku diam saja," balas Gauri.
Tretan menghentikan langkahnya. Hidungnya terus mengendus. Dia mencium aroma tubuh dari orang yang sangat ia benci. Matanya mengilat karena amarah yang tiba-tiba muncul.
"Ada apa, Tretan?" tanya Moora.
"Aku mencium aroma gadis jalang itu."
"Siapa?"
"Resti."
Tepat setelah Tretan menyebut nama Resti, sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan Gauri. Tak lama kemudian, keluarlah seorang gadis berdandan menor, di susul oleh dua orang gadis lainnya dari bangku penumpang.
Gauri menghela napas. 'Kenapa harus bertemu di saat seperti ini coba? Malas aku tuh, ' batinnya.
"Oh, hai, Gadis cupu!" seru Resti menyedot perhatian semua orang. "Baru satu bulan tidak bertemu, rasanya aku rindu padamu."
Resti menarik rambut Gauri dengan kasar. "Rasanya tanganku kaku karena tidak ada rambut yang bisa kutarik seperti ini di rumah," ujar Resti lantas menghempaskan Gauri dengan sembarang.
Beruntung, sebelum menghantam kerasnya tanah, Pras berhasil menahan tubuh Gauri lalu membantunya untuk berdiri.
Sikap Resti tiba-tiba berubah menjadi anggun dan bertingkah sok malu-malu kucing, ketika melihat ketampanan Pras.
"Apa seperti itu, caranya bersikap pada teman sendiri?" ketus Pras membuat Resti memberengut.
"Aku tidak sengaja," ujar Resti dengan intonasi selembut putri keraton. Hal itu berhasil membuat Tretan, Moora, Hendra, Tyo, Andre dan Kusuma mual.
"Kakak ipar, sepertinya cangcorang satu ini jatuh cinta padamu," bisik Tyo menggoda Pras.
"Bicaralah seperti itu sekali lagi. Aku bersumpah akan mematahkan lehermu," ancam Pras dengan geram. Tyo dan yang lain terkikik geli melihat ekspresi kesal Pras.
"Kalian anak baru ya?" tanya Riya basa-basi.
"Menurutmu?" ketus Pras lagi. "Daripada mengurusi gadis berperilaku buruk seperti dia, ayo kita pergi."
Pras merangkul Gauri lalu mengajaknya pergi dari hadapan Resti. Hendra yang lain pun mengekor di belakangnya. Namun, belum jauh Pras pergi, dia kembali ke hadapan Riya.
"Dan ya, apa hari ini ada acara ulang tahun sekolah?" tanya Pras.
Resti menggelengkan kepala. "Seingatku tidak," sahutnya.
"Lalu, kenapa ada badut di sini?" tanya Pras sekali lagi, mencibir dandanan Resti yang tidak selayaknya anak SMA. Semua orang yang mendengar ucapan Pras pun diam-diam tertawa. Tretan sudah tertawa terbahak-bahak. Setidaknya ada yang menampar Resti dengan kata-kata.
"Itu baru permulaan. Tunggu saja sampai kau berhadapan dengan singa betina bernama Wida," ujar Tretan disela-sela tawanya.
"Berdoalah agar Wida tidak mendengar ucapanmu, Tretan," sahut Gauri. Dia pun mati-matian menahan tawanya. Setelah Pras berucap, Resti pergi sembari mengentakkan kakinya dengan kesal. Dua kacung Resti yang bernama Fani dan Nindi pun mengikuti sang Bos.
"Kau keterlaluan, Pras," ujar Kusuma.
"Apa? Masih mending aku berkata seperti itu. Coba saja kalau Wida. Dia pasti sudah mematahkan lengannya," ujar Pras.
"Adikmu memang mengerikan, Pras," sahut Tyo.
"Mengerikan pun itu calon istrimu, Bung!" sungut Hendra.
Tyo hanya tersenyum lebar sembari memamerkan gigi putihnya yang berjejer dengan rapi. Keenam manusia dan dua makhluk astral itu kembali melangkahkan kaki menuju kelas.
***
"Jadi, seperti itu...."
Sancaka menghentikan ucapannya. Pandangannya langsung berubah datar, ketika melihat tingkah makhluk berbeda jenis di depannya.
Wida, Demian dan Dimas tampak berebut sekantung keripik. Mereka juga sibuk berdebat mengenai siapa yang akan membuang bungkusnya. Sedangkan Phoenix dan Azuna, kedua iblis ini menyimak perdebatan Wida, Demian dan Dimas.
"Jadi, sejak tadi aku berbicara dengan angin?" gumam Sancaka.
Siluman ular putih itu melihat interaksi antara Wida, Demian, Azuna, Phoenix dan Dimas. Sancaka mulai tersenyum, walaupun samar-samar.
'Aku jadi ingat mendiang Yordan Wicaksono,' batin Sancaka.
Sedetik kemudian Sancaka menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Dia jadi terbawa suasana gara-gara tingkah makhluk-makhluk tidak tahu diri di depannya ini.
"Mohon perhatiannya sebentar! Sebentar lagi akan ada ujian esai dan kalian harus menjawabnya, paham!?" pekik Sancaka geram.
Wida dan yang lain malah menatapnya dengan wajah tak berdosa.
"Apa kau mengenalnya?" tanya Wida sembari memasukkan keripik ke mulutnya.
Dimas mengangkat bahu. "Tidak, siapa dia?"
Perkataan Dimas barusan berhasil membuat Sancaka mulai kesal. Phoenix pun tidak bisa menahan tawanya. Raja elemen itu tertawa terbahak-bahak sampai memegangi perutnya.
"Aku senang karena setidaknya bukan hanya aku yang menderita, gara-gara mengurus manusia yang bertingkah seperti balita," ujar Phoenix setelah mengurai tawanya.
"Terkadang kau juga seperti balita, Paman," celetuk Wida.
"Eh? Aku?"
"Kesadaran adalah matahari. Dan sayangnya, kau rembulan," ujar Wida dengan nada sarkastis.
"Aku heran, setiap kita memulai obrolan serius selalu saja ada perdebatan tidak penting, yang melenceng dari perbincangan awal dan berakhir dengan melupakannya," celetuk Azuna.
"Aku setuju denganmu, Azuna," sahut Demian.
Wida mendaratkan pukulannya di kepala Demian dengan cukup keras. "Kau dan Phoenix sama saja, sama-sama tidak sadar diri!"
Sancaka bertepuk beberapa kali. "Perhatian, perhatian! Ayo kita membahas aku dan Dimas dulu! Jangan mengalihkan pembicaraan terus! Sejak cerita ini dimulai, pasti ada adegan memotong cerita orang lain! Sebenarnya apa masalah kalian? Ingin memperpanjang cerita? Atau ingin membuat lelucon? Atau bagaimana!? Ingat! Genre kita bukan komedi! Kalaupun komedi, lawakan kalian garing!" cerocos Sancaka sembari menyemburkan seluruh kekesalannya.
"Kau ini siluman ular atau siluman hipertensi!? Dari tadi, kau marah-marah terus," sungut Wida yang diangguki oleh Demian dan Dimas.
Wida berdiri dari duduknya. Dia meremas bungkus keripik yang telah kosong di tangannya, lalu ia lempar kepada Dimas. Pemuda itu akan melayangkan protesnya, tetapi Demian mencegah.
"Kukira kau akan santai dan fleksibel, seperti Tretan dan Moora. Makanya aku santai sejak tadi. Aku bukannya tidak mendengar semua ceritamu, karena tanpa kau menceritakannya pun aku sudah tahu, berkat bantuan penglihatan masa lalu milik Demian," ujar Wida sembari duduk dengan anggun di singgasana miliknya.
Sancaka hanya menyimak sembari terus membatin. 'Dia sangat mirip dengan Yordan Wicaksono. Dan lagi, situasi mencekam macam apa ini!?'
"Menghadapi sesuatu terlalu serius itu tidak baik untuk kesehatan. Apalagi untuk kalian, para iblis tua bangka," ujar Wida dengan wajah tanpa dosanya.
"Apa aku boleh melemparnya ke kawah Candradimuka?" bisik Sancaka pada Phoenix.
"Walau aku juga sangat ingin, tetapi, kalau sampai kau melakukannya, aku akan mengulitimu, Belut albino!" sahut Phoenix.
"Aku–ah! Terserah kalian menyebutku apa! Intinya, aku ular, bukan belut!" sungut Sancaka.
"Jadi, paman Ilyas sudah memprediksi peristiwa hari ini?"
"Bisa dibilang begitu. Sewaktu Phoenix meledakkan tonggak pasung jiwa yang hampir jadi, juga membuat Negara Api diselimuti gelombang panas, Ilyas sudah melemparkan aku ke dimensi nyata. Terakhir yang kuingat adalah jasad dari Grahita, Renata, Gayatri, Hamdan, dan Yordan yang sudah tergeletak. Kondisi–"
"Hentikan! Aku mohon, jangan ceritakan bagaimana kondisi jasad ibu dan anggota keluargaku yang lain. Walau sudah bertahun-tahun lalu, tetap saja masih terasa sangat menyakitkan."
"Ah, sudahlah. Mari ganti pembicaraan," sahut Phoenix.
Wida menatap Phoenix lalu beralih kepada Sancaka. "Apa kau tahu sesuatu mengenai Megan?"
"Megan? Gendruwo keparat itu? Aku tahu–hei, tunggu dulu, jangan bilang dia adalah iblis yang kau cari."
"Lebih tepatnya, aku mencari dia karena Megan adalah bawahan Troya. Dan apa itu Gendeng ruwo?"
"Gendruwo! Bukan gendeng ruwo!" pekik Sancaka yang semakin kesal kepada Wida.
"Setelah ini, aku sarankan untuk gantilah nama, menjadi Hipertensi. Dari tadi kau kesal tanpa alasan," sungut Wida.
"KAU YANG MEMBUATKU KESAL, WIDA AKCAYA CHANDRA WICAKSONO!"
"Kalian mau bicara omong kosong sampai kapan? Kalian sudah satu hari satu malam di dimensi paralelku," celetuk Phoenix.
"APA!?" pekik Wida dan Dimas bersamaan.
"Jika ada yang menjual otak, rasanya aku ingin membelikan mereka masing-masing satu otak," gerutu Demian.
"Hari ini jalang itu kembali ke sekolah. Jika aku tidak ada di samping Gauri, maka–"
"Ternyata dugaanku benar ... Kalian ada di sini."
Semuanya menoleh ke arah sumber suara. Tretan dan Moora datang menyusul ke dimensi paralel Phoenix. Si pemilik dimensi paralel hanya bisa menghela napas sembari membisikkan kata sabar pada dirinya sendiri.
"Ini namanya penjajahan," gerutu Phoenix.
"Apa ada masalah? Apa Resti menyakiti Gauri? Kenapa kalian kemari? Dan–"
"Tenanglah, Wida. Semua baik-baik saja. Ya, walaupun tadi gadis jalang itu sempat menjambak rambut Gauri."
"Apa!? Beraninya bedebah itu! Aku bersumpah akan meremukkan tangan–"
"Hei sudah, sudah. Tidak baik bersumpah seperti itu. Kau tidak bisa seenaknya mematahkan tangan orang seperti mematahkan sapu lidi," ujar Dimas memperingati Wida.
Wida mendengkus. "Lalu, bagaimana keadaan Gauri?"
"Pras dan yang lain melindungi Gauri dari Resti," sahut Moora.
Wida menepuk dahinya. "Oh, iya. Kakak dan teman-teman keparatku kan juga di dimensi nyata," gumam Wida.
"Hoi, Sancaka!" sapa Tretan.
"Maaf, apa aku mengenalmu?"
"Jangan sok tidak tahu! Setiap hari secara diam-diam, kau dan pemuda mesum ini mengawasi gerak-gerik Gauri. Kau pikir aku tidak menyadarinya, huh!?" ketus Tretan.
Sancaka dan Dimas terdiam.
"Oho, aku mencium aroma-aroma cinta dalam diam," ujar Wida menggoda Dimas sembari menaikturunkan alisnya.
Dimas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Selamat, kau orang pertama yang tahu akan hal itu," ujar Dimas malu-malu kucing.
"Lalu kami!?"
"Kalian kan iblis! Kenapa aku harus menyebut kalian orang!?" sungut Dimas dengan wajah merahnya. "Dan ya, aku mohon, jangan katakan apa pun pada Gauri, Wida. Aku tahu, kalau dia mencintai Kevin. Dan aku pun tahu, kalau sebenarnya Devan juga suka pada Gauri. Maka dari itu, menurutku, cinta dalam diam lebih baik untukku dan hatiku tentunya."
"Aku akan menutup mulut, tapi, kau harus menjadi rekanku. Bagaimana?" tawar Wida.
"Tanpa kau ancam pun, aku bersedia membantumu. Sepertinya, aku akan belajar mencintaimu juga," kelakar Dimas.
"Bulan depan dia akan menikah, Bung!" sahut Demian.
"Patah hati sebelum berjuang," ujar Dimas mendramatisasi suasana.
Wida memutar bola matanya. "Jangan membuat aku menggunakan mode serius. Misiku tinggal satu minggu saja. Karena aku harus menyiapkan pernikahanku dengan Tyo. Sekarang, katakan di mana Megan?"
Intonasi bicara Wida mulai berubah. Setelah Demian mengingatkan bahwa pernikahannya tinggal menghitung minggu, Wida mulai kehilangan kesabaran. Ia lupa jika bulan depan adalah pernikahannya. Itulah alasannya, kenapa sejak awal Wida tampak santai dalam menjalankan misi.
"Megan adalah makhluk peralihan elemen–"
"Tidak perlu kau jelaskan hal itu," ujar Wida memotong ucapan Sancaka. "Jelaskan di mana keberadaannya?"
"Sebelum bertemu dengan Megan, pancinglah Prayoga untuk datang ke sekolah atau ke hadapanmu. Jika Prayoga datang, maka, otomatis Megan akan datang."
"Mengapa begitu? Apa Prayoga itu orang dimensi luar paralel?"
"Bukan, tapi, Megan adalah peliharaannya."
"Oh, aku paham."
Wida menatap semuanya bergantian. "Aku akan memancing Prayoga melalui Resti. Aku akan membuat Resti mengantarkan aku kepada Megan, sekaligus membalas perbuatannya kepada Gauri."
.
.
.
.
.
•••
🍃 Kesadaran adalah matahari 🍃
Copyright © Yekti Wahyu Widanti 2020