"Aku benci pemuda itu," gerutu Tyo sembari menatap Kevin yang sedang bermain basket, dengan tatapan tajamnya. Kemarin sore sebuah buket bunga lengkap dengan cokelat, datang ke rumah Gauri. Si kurir mengatakan bahwa buket bunga dan cokelat itu untuk Wida dari Kevin. Jelas saja langsung dibuang oleh Wida. Wanita itu pun membenci Kevin. Dan karena hal itu pula, Gauri tengah dalam mode mengambek.
Andre menepuk bahu Tyo. "Wida itu sangat cantik. Jelas saja, banyak yang menaruh hati padanya. Termasuk––"
"Jangan bilang, dulu kau pun menyukai calon istriku," tukas Tyo menuduh Andre.
"Enak saja!" sembur Andre, "kalau tuan besar tahu aku menyukai putrinya, tidak akan ada Andreas Wardhana lagi, tahu!"
"Baguslah kalau begitu."
"Apanya yang bagus!?" sungut Andre.
"Andre, aku ini calon suami Nonamu, tahu! Yang sopan!"
"Masih calon, 'kan?"
"Kau ini––"
"Hai, Sayang."
Resti dengan seenaknya bergelayut manja di lengan Tyo, setelah memanggil Tyo dengan sebutan sayang. Bukannya tergoda, rasanya Tyo ingin muntah mendengar suara Resti yang sok manis. Andra disuruh pergi dari sisi Tyo oleh gadis kecentilan itu. Interaksi Resti dan Tyo menarik atensi semua orang.
"Maaf, perasaan aku dan kau tidak pernah punya hubungan apa pun. Jadi, jangan sembarangan memanggilku dengan sebutan sayang!"
"Kalau kau mau, mulai sekarang kita bisa memiliki hubungan istimewa."
"Kau ini kesambet setan mana sih!? Hush! Pergi sana!" usir Andre.
"Ini sekolah milik ayahku, asal kau tahu itu! Dan yang harusnya pergi itu kau! Dasar pengganggu!"
"Dih, yang di sini duluan kami, bukan kau!"
"Aku hanya mengusirmu, bukan Tyo!"
"Lepaskan tanganku, Resti," ujar Tyo dingin.
"Halah, tidak usah menolak ... Aku tahu, kau itu juga menyukaiku, 'kan?"
Tyo benar-benar muak melihat ekspresi wajah Resti yang dibuat-buat. Andre pun sangat ingin mencekik leher Resti. Wanita yang seperti ulat bulu itu terus menempel pada Tyo. Yang Andre takutkan adalah pawang alias calon istri seorang Setyo Prasad Saxena, melihat adegan menjijikkan ini.
'Perasaan kemarin dia menyukai kakak ipar. Kenapa sekarang belok padaku, sih!? Kalau Wida sampai melihat ini, bisa gawat!' gerutu Tyo dalam hati.
Ditengah-tengah usahanya melepaskan diri dari cangcorang––ah, ralat! Bukan cangcorang, tetapi, bekicot sawah, di kejauhan Tyo bisa melihat Wida tengah menatap ke arahnya. Tyo menelan ludahnya dengan susah payah, melihat raut muka Wida yang tampak sangat menakutkan.
'Mati aku!' batin Tyo.
'Nah, kan ... Baru saja dibicarakan dalam hati, manusianya sudah muncul,' batin Andre.
Dari sudut pandang Wida, ia tengah menatap Resti dengan pandangan penuh kebencian. Dia tidak akan melankolis seperti dalam kisah romantis pada umumnya, dengan berlari ke arah Resti dan Tyo lalu melabrak mereka. Karena memang cerita ini bergenre fantasi dan bukan drama, layaknya jeritan hati seorang istri yang biasanya mengudara di salah satu televisi swasta. Wida sedang berjalan berdampingan dengan kedua kakaknya, Hendra dan Pras. Mereka baru saja dari ruang BK, karena mendapat teguran dari kepala sekolah atas ucapan Pras yang mengejek Resti dengan sebutan badut. Yang salah siapa, tetapi, Wida juga terkena imbasnya.
"Adek, tenang ... Jangan emosi," bisik Hendra menenangkan Wida. Adik sepupunya ini sebelas dua belas dengan seekor singa betina yang kelaparan, jika sedang marah. Jangan sampai singa betina itu mengamuk dan menghancurkan segala rencana yang telah disusun.
"Dih, siapa juga yang emosi," ketus Wida, "aku hanya sedang ingin mematahkan sesuatu."
Mendengar jawaban Wida, Pras dan Hendra lantas ketakutan. Mereka buru-buru mengejar Wida yang sudah melangkah pergi, menghampiri Tyo yang terus digelayuti oleh Resti. Gadis itu benar-benar tidak bermoral. Wida harus melepaskan Tyo, calon suaminya, dari jerat bekicot sawah itu.
"Lepaskan Tyo atau aku akan benar-benar mematahkan lenganmu?!" ancam Wida yang tidak digubris oleh Resti.
"Memangnya kau siapa?! Apa belum cukup teguran tadi?!" sungut Resti berintonasi tinggi.
"Itu bukan kesalahanku, untuk apa aku takut atau khawatir? Kalau pun ditegur atau dikeluarkan dari sekolah ini pun, aku tidak masalah. Yang harusnya khawatir itu kau," balas Wida.
"Sejak kemarin kau selalu membuatku naik pitam, dasar gadis angkuh!" sentak Resti.
"Apa di rumahmu tidak ada cermin?" cibir Wida.
"Kau ini benar-benar sialan!"
Sekarang secara terang-terangan, Resti menantang Wida. Hendra, Pras, Andre dan Tyo hanya mampu terdiam. Para murid yang menonton pun kasak-kusuk membicarakan Resti dan Wida. Mereka berpikir, kejadian selanjutnya akan sangat seru. Mengingat Resti terkenal sadis dan tidak takut akan apa pun. Wida yang bisa membaca pikiran orang-orang, hanya tersenyum miring. Tidak ada yang menyadari bahwa Wida, diam-diam tengah menyiapkan sesuatu di tangan kanannya. Tepatnya di ujung jari telunjuknya. Ujung jari telunjuk Wida mulai meneteskan cairan hitam seperti darah. Namun, cairan ini bukan darah ataupun air. Akan tetapi, cairan ini adalah cairan yang sama, bahkan lebih berbahaya dari racun yang melapisi sayap Demian.
Racun yang telah dipersiapkan oleh Wida, perlahan-lahan berubah bentuk menjadi sebuah jarum. Beruntung bagi Resti, Demian datang tepat waktu. Dengan menggunakan mode hantu, Demian mencekal tangan kanan Wida, sedangkan tangannya yang lain menutup mata Wida. Iblis ini bisa merasakan kemarahan luar biasa, yang menguar dari tubuh Wida. Semua yang sudah disusun rapi bisa-bisa hancur, hanya karena emosi sesaat. Hanya orang-orang tertentu yang mampu melihat perbuatan Demian ini. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Pras untuk melerai Resti dan Wida.
"Kalau aku mau, aku bisa membeli seluruh kekayaan ayahmu lima kali lipat," ujar Pras, "kau lupa kalau di atas langit masih ada langit? Di luar sana, masih banyak orang-orang kelas atas yang lebih berkuasa dibandingkan dengan ayahmu."
Pras menyentak tangan Resti dari lengan Tyo. "Gadis murahan sepertimu lebih pantas berada di diskotek, daripada berada di lingkungan sekolah. Seragammu saja sudah seperti pelacur yang keluar di siang hari."
Hendra tersenyum miring. Dalam hati ia bergumam, tradisi pembalasan dendam keluarga Wicaksono dimulai. "Pras, jangan berkata seperti itu ... Tidak baik." Hendra menarik lengan Pras dan memberikan kode kepada Tyo untuk membawa Wida pergi.
"Dan ya, kalaupun dia pelacur, aku tidak ingin memakai jasanya. Terlalu murah," imbuh Hendra mengundang tawa semua orang.
Wajah Resti sudah merah padam karena malu bercampur marah. Baru kali ini dia dihina habis-habisan. Apalagi pelakunya adalah lelaki.
"Ayo pergi. Aku mulai kepanasan di sini," celetuk Andre mengajak Pras dan Hendra pergi. Kedua cucu Yordan Wicaksono itu berbalik, lantas melangkah pergi meninggalkan Resti yang menatap mereka dengan penuh amarah. Hal itu jelas terlihat dari kedua tangan gadis itu yang terkepal erat. Akan tetapi, Pras, Hendra dan Andre masa bodoh dengan hal itu. Tugas mereka selanjutnya adalah merantai amarah Wida. Wanita yang terlihat dingin itu sama persis dengan Tyo. Sama-sama pencemburu dan over posesif.
"Aku ketinggalan apa?" tanya Kusuma yang bertemu Pras, Hendra dan Andre di persimpangan lorong.
"Baru memberi pelajaran untuk gadis murahan itu. Dan ya, apa kau melihat Wida?"
"Tidak."
"Sudah ada Demian. Jadi, kita bisa lebih tenang."
***
"Brengsek!"
Plak!
"Apa salahku?" tanya Gauri dengan wajah memelas. Tiba-tiba saja Resti membentak lalu menamparnya. Gauri tidak merasa ia memiliki kesalahan pada Resti. Wajah gadis itu terlihat sangat marah.
Resti menjambak rambut Gauri. "Teman-temanmu itu kurang ajar padaku! Mereka mempermalukan aku di depan semua orang!" jerit Resti lalu mendorong Gauri, hingga gadis itu mengantuk sudut meja kantin. Lagi-lagi semua orang hanya menonton aksi Resti.
"Apa-apaan manusia keparat itu!? Di mana Wida!? Bajingan! Lepaskan Gauri!" jerit Tretan yang tidak tahan melihat Gauri diperlakukan layaknya penjahat oleh Resti. Dengan segenap kekuatannya, Tretan pergi mencari Wida dan yang lain. Walau bisa saja membalas Resti dengan kekuatannya, Tretan tidak memiliki kuasa untuk inversion seperti Phoenix. Dan lagi, Tretan ingin Wida yang membalas perbuatan Resti pada Gauri. Biarkan wanita yang berjuluk manusia dingin itu, membalas perbuatan Resti dengan balasan yang setimpal.
Resti kembali menarik rambut Gauri. Tanpa belas kasih, ia menyeret Gauri. Resti melampiaskan semuanya kepada Gauri. Gadis itu menangis sembari menatap semua orang untuk meminta pertolongan mereka. Namun, bukannya membantu, orang-orang yang bertatapan dengan Gauri malah memalingkan wajah mereka. Gauri hanya mampu menangis saat ini. Harusnya dia mendengarkan ucapan Tretan, untuk tidak jauh-jauh dari Dimas atau Wida.
"Hei, apa-apaan ini!" seru Devan yang membelah kerumunan orang yang menonton aksi brutal Resti.
Resti kembali menghempaskan tubuh Gauri. Untungnya, kali ini Gauri jatuh di pelukan Dimas.
"Di mana otakmu, Resti!?"
"Kau tidak usah ikut campur, Devan! Minggir!" Resti tetap berusaha menerjang tubuh Gauri yang berlindung di balik tubuh Dimas.
"Aku tidak melakukan apa pun padamu, Resti! Apa salahku?!" pekik Gauri disela tangisnya.
Resti seperti orang kerasukan. Dia menarik kerah seragam Devan lalu menghempaskan tubuh pemuda itu. Hal yang sama terjadi pada Dimas. Resti benar-benar dirasuki sesuatu. Tangannya mengudara, akan menampar Gauri lagi. Namun, sebelum berhasil menampar Gauri, tangan Resti berhasil dicekal oleh Wida.
"Hari ini kau sudah dua kali mengusikku. Jadi, jangan salahkan aku jika tulang-tulangmu remuk!"
Wida langsung menarik tangan Resti lalu tangan yang satu mencekik leher Resti. Phoenix mengembuskan gas yang membuat semua orang tertidur. Sedangkan Demian menusuk tubuh Resti dengan benang mahamasthra. Demian menarik benang-benang mahamasthra dari tubuh Resti dengan sekali sentakan. Resti ambruk dan Demian mendapatkan incarannya.
"Brengsek kau, Megan!" umpat Wida. "Demian, hancurkan tubuh bawahan Megan. Kirimkan mayatnya pada bajingan tengik itu! CEPAT!"
Dengan senang hati, Demian melakukan perintah dari Wida. Dia melilit tubuh iblis yang merasuki Resti, menggunakan benang-benang mahamasthra dengan erat. Suara tulang-tulang patah terdengar. Wida tampak menikmati suara tulang-tulang retak bahkan patah dari tubuh iblis kiriman Megan, untuk memancing Wida. Kebetulan Wida juga ingin segera bertemu dengan Megan. Dia tersenyum puas melihat jasad bawahan Megan. Demian pun melemparkan jasad itu ke arah utara, di mana rumah Resti berada.
"Kita tunggu hasilnya besok."
.
.
.
.
.
•••
🍃 Kesadaran adalah matahari 🍃
Copyright © Yekti Wahyu Widanti 2020