Chereads / The Resurrection of The Devil : TROYA / Chapter 13 - Episode 12 : Meminjam Pulpen

Chapter 13 - Episode 12 : Meminjam Pulpen

"Hormat saya, Tuan."

Pria tua bersetelan jas rapi berbalik, menghadap bawahannya yang baru saja datang. Semoga saja dia membawa informasi yang ia inginkan.

"Katakan."

Sang bawahan menegakkan tubuhnya. "Dugaan Anda benar, Tuan. Nona muda tidak berada di tempat. Kursi kepemimpinan GoE tengah dipegang oleh Miranda."

Mahesa tersenyum miring. "Bocah kemarin sore mau menantang seorang Mahesa?" monolog Mahesa dengan intonasi sombongnya.

Mahesa berjalan menuju kursi kebesarannya, lantas duduk lalu membuka dokumen yang telah ia siapkan.

"Biarkan dia tetap di dimensi nyata. Toh, kita sudah memiliki bukti-bukti yang menunjukkan bahwa mereka melanggar peraturan kedua dimensi. Dan ya, hukuman untuk kesalahan ini hanya satu ... Hukuman mati."

Mahesa kembali tersenyum miring. Dia berpikir, kalau sudah berada dua langkah di depan Wida. Karena sebelum data-data pelanggaran yang dilakukan oleh Chandra, Yonas, Ridwan dimanipulasi, dia sudah lebih dahulu menduplikatnya.

"Kali ini, aku akan benar-benar menghancurkan kepemimpinan klan Wicaksono sampai akar-akarnya." Mahesa menyeringai. "Oh, iya, kuberi kau satu tugas penting lagi."

Sang bawahan menegakkan tubuhnya. "Apa pun akan kulakukan untuk Anda, tuan Mahesa."

"Cari tahu alasan Wida pergi ke dimensi nyata."

***

"Demian! Aku lelah!" pekik Wida merengek kepada Demian. Mereka sedang mengelilingi langit Surabaya menggunakan mode hantu. Phoenix dan Azuna sudah jauh berada di depan, sedangkan Demian dan Wida masih tertinggal di belakang. Itu karena ulah Wida yang terus merengek minta untuk beristirahat. Padahal tadi yang memaksa untuk ikut mencari keberadaan Megan adalah dirinya sendiri. Sejak memberikan teka-teki tidak jelas kemarin, Megan menghilang seperti ditelan bumi. Dan jangan ditanya lagi, bagaimana gilanya Wida mencak-mencak tidak karuan karena kehilangan jejak Megan.

Demian pun hanya bisa menghela napas panjang. Ia harus menahan untuk tidak mencekik leher Wida. Avatarnya hari ini sedang dalam mode menyebalkan.

"Hoi, Ratu bekicot! Cepatlah, sebelum Ayah dan Azuna meninggalkan kita!" seru Demian kesal.

Wida kembali berdecak sembari menendang-nendang udara. Ia mencebikkan bibirnya. "Aku lelah! Jangan paksa aku untuk—Demian! Lihat itu!" ujar Wida sembari menunjuk ke arah rumah mewah di bawah mereka.

"Sekarang apa!?" sentak Demian kesal.

"Kemarilah, cepat!"

Dengan malas, Demian menghampiri Wida yang terus menatap ke arah rumah mewah di bawah mereka.

"Apa!?" sungut Demian.

"Lihat itu," sahut Wida sembari menunjuk ke arah rumah mewah—lebih tepatnya ke arah kubah yang melindungi rumah mewah itu.

Wida terbang menghampiri kubah lantas mencoba menyentuhnya. Demian ingin mencegah Wida, namun, terlambat. Tepat setelah tangan wanita itu menyentuh kubah, Wida terhempas cukup jauh. Demian berusaha sekuat tenaga untuk tidak tertawa. Namun, apa daya, Demian tertawa terbahak-bahak melihat kebodohan Wida.

"Berhenti tertawa!" sungut Wida kesal.

"Apa ini efek dari kau terlalu lama di dimensi nyata?" cibir Demian, "kau harusnya tahu, kalau tabir atau kubah gaib itu pasti ada pelindung yang melapisinya."

"Lupa itu manusiawi, kan?"

"Cih! Alibi macam apa itu!?" cibir Demian.

Tiba-tiba saja suasana menjadi hening. Wida terbang mondar-mandir sembari mengamati kubah. Demian berniat menghentikan Wida yang terus mondar-mandir di depannya, namun, ia urungkan karena malas berdebat dengan Wida. Akhirnya, karena kesal dan pusing melihat Wida mondar-mandir di depannya, ditambah lagi kepakan sayap Wida mengenai wajahnya, Demian pun memutuskan untuk menjegal kaki Wida. Alhasil, Wida hampir terhempas ke tanah karena ulah Demian. Wida pun membalas dengan memukul bahu Demian sekuat tenaga. Pukulan Wida berhasil mengempaskan tubuh Demian hingga menghantam dinding kubah.

Dengan rasa sakit yang luar biasa menyerang tubuhnya, Demian melesat kembali ke samping Wida dengan wajah sangarnya.

Wida membalas delikan tajam Demian dengan tatapan yang tak kalah tajamnya. "Apa!? Salah sendiri kau menjegal kakiku!"

Demian berniat membalas ucapan Wida, tapi, perhatian keduanya teralihkan ke arah kubah. Mereka mendengar suara retakan lalu beberapa detik kemudian kubah pecah.

"Hayo loh, Demian," goda Wida.

Demian panik, tapi, Wida malah mengejeknya.

'Apa aku boleh, membunuh Avatarku sendiri?' batin Demian.

Wida segera menarik Demian untuk bersembunyi di dalam dimensi Phoenix. Penglihatan terakhir Wida adalah ia melihat seorang wanita keluar dari rumah mewah, diikuti oleh sosok manusia setengah naga di belakangnya.

"Kau ini apa-apaan sih, Wida!?" amuk Demian.

"Tadi ada orang keluar dari rumah mewah itu!"

"Lalu kenapa? Toh, kita menggunakan mode hantu, kan?"

"Yang menjadi masalah bukan dia, Demian. Tapi, siluman di belakangnya," ujar Wida lalu memukul tengkuk Demian. "Makanya, punya otak itu digunakan! Atau kalau tidak, jual saja sana ke pasar gelap!"

"Kami cari di mana-mana, ternyata ada di sini."

Demian dan Wida menoleh. Phoenix dan Azuna sama-sama memasuki dimensi paralel.

"Oh, hai, Ayah!"

"Apa!?" ketus Phoenix.

"Anu ... Salahkan gadis itu saja, Ayah! Dia yang—"

"Paman, aku mendapatkan sesuatu," ujar Wida menyela ucapan Demian. "Aku tadi melihat seorang wanita diikuti oleh siluman naga."

"Lalu?"

"Aku yakin, mereka bisa membantu kita."

Demian berdecak. "Begini, ya, Wida ... Tidak semua siluman bisa kau ajak beraliansi. Tidak semua siluman bisa diajak kompromi."

"Tidak, Demian. Yang dikatakan Wida ada benarnya. Kalau kita tidak mencoba, bagaimana kita tahu?"

"Ya, ya, terserah kalian. Aku hanya bisa mendukung kalian."

***

Esoknya, Wida dan Demian berangkat berdua. Mereka kembali mengaktifkan mode hantu untuk menuju rumah mewah semalam. Dengan kecepatan cahaya, keduanya sampai di tempat tujuan.

Demian terus menyumbat kedua telinganya menggunakan kapas, sebab, Wida sejak tadi pagi terus menerus mengoceh tanpa alasan. Ia heran, bagaimana bisa Tyo jatuh cinta kepada gadis sejenis Wida. Gadis cerewet dan super menyebalkan ini benar-benar terlampau barbar. Pihak kerajaan Api pun tidak mengambil tindakan apa-apa atas sikap Wida. Padahal umumnya, seorang putri raja itu harus berperilaku halus, kalem dan sopan. Tapi ini malah berbanding terbalik. Wida bahkan berpakaian seenak jidatnya. Gadis itu mengenakan bandeau putih dibalut dengan jaket kulit dan dipadukan dengan celana kulit yang juga berwarna hitam. Rambut hitam panjangnya terurai dengan indah.

Tanpa riasan pun, Wida terlihat begitu cantik. Hal itu membuat Demian meradang, tetapi, sekuat tenaga ia menahan diri. Avatarnya ini benar-benar tidak tahu keadaan. Jaket kulit model crop top yang ia pakai itu, tidak mampu menutupi tubuh bak gitar Spanyol milik Wida. Bukannya apa, Demian hanya tidak ingin dicekik oleh Tyo. Pria posesif itu pasti akan mengomel dan mengoceh sepanjang waktu, jika tahu kalau Wida memamerkan kesempurnaan tubuhnya.

"Kenapa kau tidak memakai bikini saja, Wida?!" sungut Demian sembari membuang sumbatan telinganya.

"Apa salahnya aku memakai ini?!" sungut Wida balik, "ah, astaga! Jangan-jangan kau jatuh cinta padaku, lalu sekarang kau sedang menunjukkan sisi posesifmu kepadaku. Iya?"

"Kau terlalu banyak menonton drama!" omel Demian. "Dan lagi, aku tidak mungkin jatuh cinta kepada manusia. Apalagi manusia sejenis kau, Wida!"

Wida hanya berdecih lantas mulai melewati gerbang. Merasa situasi aman, Wida melanjutkan langkahnya menuju pintu utama. Demian berdecak layaknya seekor cecak di malam hari, sembari menatap Wida dengan tatapan miris.

"Punya sayap kok tidak dipakai," cibir Demian yang sudah sampai lebih dahulu di depan pintu utama.

"Ah, kau benar juga, Demian." Wida yang baru setengah jalan, memutuskan untuk menggunakan sayapnya. Entah kenapa akhir-akhir ini Wida seperti kehilangan kendali atas dirinya. Mungkin karena dia terlalu santai dalam menghadapi masalah ini. Namun, apa pun itu, Wida berusaha tetap berada diniat awalnya ke dimensi nyata ini.

Menemukan dan menghajar Troya serta Megan, karena sudah membuatnya harus melakukan misi di masa cuti panjangnya.

Wida dan Demian menonaktifkan mode hantu mereka. Demian pun merubah wujudnya menjadi seorang manusia.

"Aku masih penasaran, kenapa kau memaksa untuk mendatangi rumah ini. Sebenarnya apa tujuanmu, Wida?" tanya Demian.

Wida menekan bel pintu. "Oh, kalau soal itu, aku mau meminjam pulpen di sini," ujar Wida dengan tampang tanpa dosanya.

Demian melongo mendengar ucapan Wida. Bagaimana bisa manusia sekaya Wida, tidak memiliki pulpen? Bahkan dengan kekayaannya saja, ia bisa membeli puluhan perusahaan pulpen. Dan apa tadi dia bilang?! Dia mau mampir hanya ingin meminjam pulpen?! Baiklah, setelah misi ini selesai, Demian bersumpah akan memaksa Chandra untuk memeriksakan mental Wida. Demian tidak mau memiliki Avatar gila.

"Sebenarnya kau meninggalkan otakmu di mana, Wida?!" sungut Demian dengan wajah memerah, "katakan di mana, aku akan mencarikannya untukmu!"

Wida menyentil dahi Demian. "Otakmu terlalu dangkal, Demian!" sungut Wida balik.

"Aduh! Sakit, Wida!"

"Makanya—"

Ucapan Wida terhenti ketika pintu terbuka, dan menampakkan seorang pria tampan berwajah oriental dengan tinggi hampir sejajar dengan Wida.

"Apa Tiana ada di rumah?" tanya Wida dengan wajah sok kalemnya.

"Maaf, apa kalian bisa berbicara dengan bahasa Inggris atau Korea?"

Demian menahan tawanya. "Nah, kan, tidak paham dengan bahasanya. Sok tahu sih," gumam Demian mencibir Wida.

"Ya, aku bisa menggunakan bahasa Inggris."

Jawaban dari Wida berhasil membuat Demian terkejut. Sepengetahuannya, selama di dimensi nyata, Wida hanya belajar bahasa Indonesia. Yang menjadi pertanyaan Demian saat ini adalah bagaimana bisa dia menggunakan bahasa asing itu?

"Apa Tiana ada di dalam?" tanya Wida sekali lagi menggunakan bahasa Inggris.

Bukannya menjawab, pria di depan mereka hanya terdiam sembari menatap Wida. Demian bisa menangkap bahasa tubuh pria di depan Wida itu. Tatapan yang sama dengan tatapan Tyo kepada Wida. Artinya, pria di depan mereka ini terpana dan bisa dibilang jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Wida.

"Permisi, apa Tiana ada di rumah?" tanya Wida sekali lagi.

"Apa kau tuli, Bung!?"

Pria itu baru sadar dari lamunannya, ketika Demian menaikkan intonasi bicaranya.

"Kau tidak sopan, Demian!" desis Wida.

"Salah sendiri dia malah melamun, sembari menatapmu dengan tatapan mesumnya," balas Demian.

"Kenapa kau lama sekali—oh, hai, ada yang bisa saya bantu?"

Muncul seorang perempuan dengan tangan yang memegang sendok sayur dan apron masak masih melekat di tubuhnya.

"Aku sedang mencari gadis bernama Tiana," jawab Wida.

"Oh, saya sendiri. Silakan masuk," ujar Tiana mempersilakan Wida serta Demian masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Tiana melepas apron masak yang ia kenakan, kemudian memberikannya kepada pria pembuka pintu, sekalian sendok sayur yang ia pegang.

"Tolong bawa ini ke dapur, Namjoon-ah," pinta Tiana.

Pria bernama Namjoon itu tampak gelagapan, seperti orang yang sedang terciduk. Ia meraih apron dan sendok sayur yang diulurkan kepadanya. "O–oke. Aku permisi."

"Ah, sampai mana tadi?" tanya Tiana berusaha mengenyahkan rasa penasarannya akan tingkah Namjoon barusan.

"Kita bahkan belum memulai apa pun," sahut Demian.

"Oh, iya, aku lupa memperkenalkan diri." Wida mengulurkan tangannya. "Namaku Wida Akcaya Chandra Wicaksono. Kau bisa memanggilku Wida. Karena sepertinya kau lebih tua dariku."

"Ah, namaku Oktatiana Aliya Hassandani. Senang bertemu denganmu," ujar Tiana sembari menyambut uluran tangan Wida.

"Dan ya, di sampingku ini namanya Demian. Kau pasti sudah tahu, kalau dia bukanlah manusia. Karena aku yakin, kau bisa melihat sayap yang ada di punggung kami."

Tiana terlihat salah tingkah, karena ia ketahuan oleh Wida. Memang benar, sejak tadi dia terus mencuri pandang ke punggung dua orang di depannya ini. Keduanya sama-sama memiliki sayap transparan.

"Ya! Noona, gambasnya sudah matang!" seru tiga orang pemuda tampan yang berlari memasuki ruang tamu. Ketika sadar dengan kekonyolan mereka, ketiganya pun minta maaf, lalu memilih kembali ke dalam sembari menahan malu.

"Mereka bicara dengan bahasa apa? Kenapa asing di telingaku?" tanya Wida.

"Mereka artis-artis Korea yang sedang berlibur di Indonesia. Aku pemandu wisata mereka," sahut Tiana.

"Bisakah kita fokus kepada niat awal kita kemari, NONA MUDA!?" celetuk Demian sembari menekankan 'Nona Muda'.

"Babu tidak tahu diri!" sungut Wida.

"Kau bilang apa!? Babu!? Halo! Kau bukan majikanku, oke?! Dan ya, walaupun kau adalah avatarku, kau tetap bukan majikanku!" sungut Demian balik.

"Permisi, Adik-adik! Silakan lanjutkan pertengkaran kalian, aku akan mengambilkan minuman untuk kalian. Dan ya, kuharap, setelah aku kembali dari dapur, kalian sudah selesai berdebat. Permisi." Tiana beranjak menuju dapur, mengambilkan minuman dingin untuk kedua tamunya.

Tatapan mata Demian tidak lepas dari Tiana.

"Entah kenapa aku merasakan hawa elemen di sini." Demian kembali mengendus sekitarnya. "Apa dia juga keturunan atau bahkan manusia dimensi luar paralel?"

"Bukan, aku yakin itu." Wida menyilangkan kakinya. "Tapi, kau benar, aku pun mencium hawa elemen di sini."

Tepat setelah Wida selesai berucap, sosok manusia setengah naga memasuki rumah dengan santainya. Ketika tatapan mereka berserobok, suasana tiba-tiba hening. Tidak ada yang beranjak dari tempat masing-masing.

Satu....

Dua....

Tiga....

Terdengar suara pedang terhunus. Itu berasal dari Demian yang sudah pasang badan melindungi Wida.

"Tenangkan dirimu, Demian," ujar Wida. "Duduklah."

"Tapi—"

"PHONEMIAN DEMON, DUDUK!"

Demian berdecak, tapi, tetap menuruti perintah Wida.

"Dan kau!" Wida menunjuk ke arah makhluk setengah naga itu. "Ubahlah wujudmu, karena aku tahu kau bisa melakukannya."

"Siapa kau, sampai aku harus menuruti perintahmu?"

"Wida Akcaya Chandra Wicaksono."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

~Setiap orang berhak mendapatkan apresiasi atas perjuangannya~

•••

🍃 Kesadaran adalah matahari 🍃

Copyright ©Yekti Wahyu Widanti 2021