Chereads / The Resurrection of The Devil : TROYA / Chapter 10 - Episode 9 : Nasihat

Chapter 10 - Episode 9 : Nasihat

Semua murid menepi, ketika seorang gadis yang dengan percaya diri, melenggak-lenggokkan tubuhnya bak model kelas atas, berjalan menyusuri lorong. Rambut panjang berwarna cokelat kemerahannya melambai-lambai dengan wajah mendongak. Gadis berpenampilan nyentrik itu melewati lorong dengan langkahnya yang angkuh. Dua orang gadis yang juga berpenampilan nyentrik, berjalan di belakangnya.

Resti Putri Prayoga, anak tunggal dari pemilik yayasan yang menaungi SMA Pattimura. Sudah menjadi rahasia umum, jika para guru 'mentoleransi' sikap Resti yang sebenarnya sangat kelewat batas. Jika ada yang berani menentangnya, Prayoga, sang Ayah, akan bertindak. Karena dalam kamus seorang Prayoga, jika uang berbicara, semuanya akan beres.

Resti berjalan diikuti kedua temannya, Fani dan Nindi. Jika dibilang berteman pun tidak, sebab Resti memperlakukan keduanya layaknya seorang babu. Dan bodohnya, mereka menurut. Alasan utamanya karena Resti adalah jenis manusia yang sangat royal. Jika berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan atau liburan ke luar negeri, Fani dan Nindi pasti 'kecipratan'.

Mereka bertiga berjalan dan dari kejauhan, Resti melihat Gauri duduk berdampingan dengan Wida di taman depan kelas mereka. Resti mengernyitkan dahinya.

"Apa dia anak baru?" tanya Resti.

"Ya, itu adalah gadis yang pernah kami ceritakan itu," sahut Nindi.

Resti menyeringai. "Mainan baru," gumamnya.

"Bedebah itu menghampirimu, Wida," ujar Tretan yang melihat Resti menghampiri Wida dan Gauri. Tretan segera kembali ke tempatnya semula.

Wida memperbaiki letak kacamatanya, sembari terus fokus pada Gauri yang sejak tadi mengoceh seperti burung beo. Sejak kerja sama antara Wida dan Dimas terjalin, pemuda setengah matang itu terus bertengkar dengan Gauri mengenai semua hal. Bahkan kemarin, mereka bertengkar hanya karena pertanyaan 'mengapa lelaki itu tampan, dan wanita itu cantik'. Wida dan para Devil Line, hanya bisa menonton. Demian bertugas membuat berondong jagung sedangkan Wida bertugas menghitung waktu (timer).

"Apa kau tidak lelah, Gauri? Sudah setengah jam kau mengoceh soal Dimas," ujar Wida.

"Harusnya kau paham posisiku, Wida. Dimas itu pemuda menyebalkan. Dia––"

"Hai, Cupu," sapa Resti, lebih tepatnya cibir Resti untuk Gauri.

"Oh, wow, penampilanmu berubah ... Apa kau mencuri untuk merubah penampilanmu, agar lebih trendi?" cibir Resti

"Apa masalahmu?" sungut Wida yang tidak tahan, karena melihat Gauri memilih untuk tetap bungkam dengan kepala tertunduk.

"Avatarmu itu bodoh atau bagaimana, Tretan?" celetuk Demian yang sibuk dengan sestoples berondong jagung di pangkuannya. Kini para Devil Line tengah duduk manis, berjejer di bangku taman yang letaknya jauh dari Wida dan Gauri.

"Diam atau kusumpali mulutmu dengan batu!" ketus Tretan. Jujur, Tretan sangat gemas dengan Gauri. Gadis terlalu baik itu membuat Tretan panas dingin karena gemas.

"Ngehahahaha ... Avatar kita sama sekaligus berbeda. Wida itu juga terlalu baik bahkan cenderung bodoh. Tapi untungnya, dia masih punya kesadaran untuk melindungi dirinya dari penindasan," celetuk Phoenix yang membanggakan Wida, seperti seorang ayah yang sedang menyombongkan keunggulan putrinya.

"Apa yang terjadi dengan tawamu, Ayah? Kenapa 'ngehahahaha' dan bukan 'hahahaha' atau 'hihihihihi'?" tanya Demian yang sebenarnya sangat tidak disarankan untuk dijawab. Karena––ya, paham sendiri, 'kan?

"Hei ... Ibu-ibu gagal dapat diskon, mohon ketenangannya. Drama–"

"Sssssttt! Diam, Azuna! Drama akan dimulai," pungkas Demian lalu kembali memasukkan berondong jagung ke dalam mulutnya. Walau para iblis itu menggunakan mode hantu, tetap saja, mereka menggunakan wujud yang sedikit enak dipandang. Dan Demian sangat senang dengan wujud remajanya. Demian merasa bahwa dirinya sangat menggemaskan. Sedangkan di sisi lain, Azuna tampak kesal, karena dialognya direbut Demian. Ya begitulah nasib seorang figuran.

"Wow! Luar biasa ... Selamat ya, Gauri. Ada yang berani membelamu," ujar Resti angkuh, "dan kau! Apa kau tidak tahu siapa aku?!"

"Tahu, tapi, aku malas menyebut namamu. Dan ya, jauhkan telunjukmu dari wajahku," ujar Wida memperingati Resti yang menunjuknya menggunakan jari telunjuk, tepat di depan wajahnya.

"Kau menantangku?!"

Wida memutar bola matanya. "Jauhkan telunjukmu atau aku akan mematahkannya," ancam Wida. Dia menatap Resti dengan tajam.

Ajaib! Resti terdiam lantas menurunkan tangannya. Dengan kekesalan yang membuncah, Resti memutuskan untuk pergi dari hadapan Wida. Hal itu membuat Fani dan Nindi terheran-heran. Tidak biasanya, Resti memilih untuk melepas mangsanya.

Resti terus berjalan dengan hati gondok. Dia baru berhenti melangkah ketika sudah duduk di bangkunya, kelas XII-5.

"Kenapa kau melepaskan murid baru itu, Res?" tanya Nindi yang tidak habis pikir dengan tingkah Resti.

"Iya, seperti bukan dirimu, Res," tandas Fani.

"Kalian ini bisa diam tidak?!" ketus Resti, "aku juga tidak tahu kenapa aku melepaskannya, hanya karena dia menatapku dengan tatapannya yang mengerikan."

"Apa kau salah makan, Res?"

"Kalian pikir aku sedang keracunan makanan, sampai-sampai kau bertanya seperti itu?!"

Dengan polosnya, Fani dan Nindi menganggukkan kepala.

"Jelas tidaklah! Aku sangat sehat."

"Tapi, sikapmu sangat aneh, Res," ujar Nindi.

"Tatapan murid baru itu begitu tegas dan sangat menyeramkan. Tatapan yang membuatku segan padanya."

"Kau semakin melantur, Res."

"Terserah kalian mau percaya atau tidak. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana cara untuk membalas mereka."

"Nah, iya."

"Kalian ada rencana?"

"Sudah pasti ada."

Ketiganya saling menatap lantas menyeringai. Ketiga gadis itu tidak menyadar bahwa tengah diawasi oleh Moora. Sedangkan iblis itu langsung membisikkan apa yang ia dengar barusan kepada Azuna.

"Kita sama-sama manusia ... Kenapa kau takut kepadanya, Gauri?" tanya Wida dengan intonasi rendah. Gauri mendongak mendengar intonasi ucapan Wida. Nada bicara yang sama ketika mode serius atau marah. Ketika matanya bertemu pandang dengan Wida, Gauri ikut terdiam. Tatapan mata Wida terasa sangat menusuk dan membuat orang yang menatapnya langsung merasa segan.

"Aku hanya tidak ingin ada keributan," sahut Gauri dengan takut.

"Sesekali cobalah untuk melawan. Jika aku selesai dengan misiku nanti, siapa yang akan menghalau parasit semacam Resti darimu? Jangan bergantung kepada Tretan. Karena apa pun alasannya, tetap saja, Tretan adalah iblis. Dan kau tidak seharusnya menggantungkan nasib pada seonggok iblis sejenis Tretan," ujar Wida panjang lebar.

"Cih! Bukankah kau juga menggantungkan hidupmu pada Phoenix, Wida?" cibir Tretan.

"Katakanlah sekali lagi, Tretan. Aku jamin mulutmu akan berpindah tempat. Dan kali ini bukan hanya patah, tetapi, aku juga akan mencabut sayapmu dengan sekali sentakan!" ujar Wida dengan nada bicara yang terdengar semakin menyeramkan.

Tretan terdiam. "Padahal aku Cuma bercanda," lirih Tretan yang ketakutan karena ternyata candaannya ditangkap serius oleh Wida.

"Di dunia ini bukan hanya soal balas membalas, Wida. Akan tetapi––"

"Kalau kau tidak sanggup membalas secara fisik, setidaknya balas dia dengan ucapan," pungkas Wida. "Lindungi hatimu dari manusia beracun sejenis Resti. Ingat! Hidup bukan hanya soal kedamaian. Terkadang kita juga harus memberontak dan membenarkan sesuatu yang tidak pada tempatnya."

Wida kembali semakin menatap Gauri dengan tajam. "Ini bukan kebaikan ... Akan tetapi, bentuk suatu kebodohan, Gauri! Kau rela diinjak-injak oleh orang lain. Kau pikir, kau itu luar biasa? Apa kau berpikir hal itu sebuah ketulusan?" Wida berdecih, "menurutku itu sebuah kebodohan, Gauri! Kebodohan!"

"Ya, aku tahu aku bodoh."

"Setiap manusia berhak membela diri mereka dari sesuatu yang mengancamnya. Kau punya hak itu. Dan––akh! Ada apa denganku ini? Percuma saja jika aku mengoceh sampai mulutku berbusa, kalau orang yang kunasihati tidak pernah menyadari kesalahannya."

"Sebentar lagi bel masuk berbunyi. Ayo kembali ke kelas," ajar Wida yang berjalan terlebih dahulu. Gauri pun mengejar Wida.

Para Devil Line masih betah di bangku taman yang sedang mereka duduki saat ini. Kelima iblis itu duduk berjejer seperti orang yang sedang menunggu bus di halte. Yang terdengar hanya suara Demian mengunyah berondong jagung.

"Wida terlihat sangat emosi. Padahal itu hanya masalah sepele," ujar Tretan.

"Penindasan bukanlah hal yang main-main, Tretan. Apalagi sikap Gauri yang terus mengalah dan membiarkan dirinya ditindas, sama saja dia menghina Tuhan."

"Mendengar iblis semacam kau berbicara soal Tuhan, membuatku merinding, Phoenix."

"Eh, mohon maaf ya ... Aku––lebih tepatnya kita ini bukan iblis secara harfiah. Hanya saja, agar lebih mudah penggambaran dan penyebutan, kita disebut iblis. Dan ya, aku tidak mau disamaratakan dengan Lucifer atau siapa pun itu," sahut Phoenix.

"Terserahlah ... Masa bodoh dengan jati diri kita. Yang penting sekarang adalah saatnya untuk memata-matai Resti dan mencari keberadaan Megan."

"Tretan benar, Phoenix. Langkah untuk memancing perhatian Resti telah berhasil. Langkah kedua ini berada di tangan kita."

"Aku heran, kenapa mencari Troya sangat sulit!? Ditambah lagi, kita harus mencari Megan untuk bisa sampai ke tempat Troya! Sebenarnya apa mau dari keledai keparat itu!?" jerit Phoenix memuntahkan seluruh emosinya. "Semuanya terlalu membingungkan. Padahal, bisa saja kita mengendus keberadaan Troya melalui sesuatu yang tidak sengaja keledai itu injak, sewaktu meneror Wida di apartemen dulu!"

"Itu terlalu mudah, Ayah. Ini efek dari usia atau memang kau ini bodoh, Ayah? Kita tidak bisa seenaknya––aduh!" jerit Demian mendapat pukulan yang cukup kuat di ubun-ubunnya.

"Jangan memantik api kemarahanku, Demian!"

Demian mengusap ubun-ubunnya yang dipukul oleh Phoenix. "Dasar siluman burung unta!" sungut Demian kesal.

"Yang kau katakan ada benarnya, Phoenix. Kenapa––"

"Itu percuma, Azuna," tukas Demian. "Mengendus keberadaan Troya melalui media yang tidak sengaja disentuh oleh iblis itu, sama saja dengan percuma. Karena siluman kuda itu pasti sudah mandi."

"Lawakanmu garing, Bung!"

"Ish! Aku sungguh-sungguh! Apa kau tidak pernah membaca buku sejarah?!"

"Aku iblis dan aku tidak suka membaca," ucap Tretan enteng.

"Intinya, Troya akan membersihkan tubuhnya––maksudku, dalam rentang waktu tertentu, api ditubuh Troya akan padam lalu berganti api yang baru. Itu yang aku maksudkan dengan mandi."

"Dari mana kau tahu itu, Demian? Jangan mengada-ada!"

"Aku membacanya di buku agenda Yordan yang kau simpan di ruang rahasia, di dimensi paralel lapisan kelima."

"Oh...." Satu detik kemudian Phoenix tersadar akan sesuatu. "Tunggu dulu! Kau––penyusup!"

"Apa?"

"Kau masuk ke ruangan itu tanpa izinku, Demian!"

"Lalu di mana letak kesalahanku?"

"Kau ... Tidak menemukan buku lain selain agenda Yordan, 'kan?"

Demian tampak mengernyitkan dahinya. "Tidak," sahut Demian singkat padat dan jelas.

Diam-diam Phoenix menghela napas lega. Jangan sampai buku keparat itu ditemukan oleh Demian atau Azuna. Dan ya, setelah ini Phoenix bersumpah akan memaksa putra kurang ajarnya ini, untuk membuat dimensi paralelnya sendiri. Lama-lama sesak rasanya, jika harus berbagi dimensi dengan Demian. Mereka terus berdebat sepanjang waktu. Membayangkan bagaimana stresnya Azuna menghadapi dirinya dan Demian, membuat Phoenix merasa iba.

Di sisi lain, sosok hitam besar dengan sepasang taring panjangnya, tersenyum miring melihat sepasang sayap berwarna hitam di punggung Wida. Sejak tadi, bahkan sejak beberapa hari yang lalu, dia sudah mengawasi gerak-gerik Wida dari kejauhan. Sayap hitam Wida terlalu menyilaukan mata. Dan itu berhasil menarik perhatiannya.

Sosok menyeramkan itu berteleportasi ke suatu tempat. Sesampainya di tempat yang ia tuju, sosok menyeramkan itu merubah wujud menjadi sosok manusia.

"Nona muda sudah berada di dimensi ini," ujar sosok tersebut.

Sesosok pria paruh baya berwajah tampan, duduk bersandar pada sofa besar yang terlihat sangat empuk dan berkelas. Ia meletakkan cerutu yang baru saja ia hisap kemudian tersenyum miring, setelah mendengar penuturan bawahannya itu.

"Tuntun dia kemari untuk menemuiku. Waktu kita semakin sempit. Dan ya, berikan sedikit rintangan untuknya. Bermain-main dengan cucu Yordan sepertinya akan seru."

"Baik ... Troya."

.

.

.

.

.

•••

🍃 Kesadaran adalah matahari 🍃

Copyright © Yekti Wahyu Widanti 2020