Wida berjalan menyusuri lorong yang langsung terhubung dengan kantin. Ia baru saja meletakkan tumpukan buku tugas murid XII-1, di meja Bu Monika. Sebenarnya Wida sedang dalam mode malas. Akan tetapi, guru centil itu malah menyuruhnya sedangkan dia asyik berbincang-bincang dengan beberapa mahasiswa yang sedang PPL di SMA. Jika saja ini di dimensi luar paralel, dia pasti menolak lalu mulai membuat keonaran.
"Aku jadi teringat akan sesuatu. Dulu, Wida pernah dengan sengaja membakar sebagian SMA Lokajaya, hanya karena ada seorang guru matematika, yang membuang buku catatannya ke tempat sampah," ujar Phoenix yang masih setia berjalan di belakang Wida, menggunakan mode hantu.
Wida memutar bola matanya. "Salahkan guru keparat itu! Siapa suruh seenaknya membuang buku catatanku. Padahal, aku hanya kurang satu materi. Itu pun tidak kucatat gara-gara lelah! Kalau diperbolehkan, aku akan memanggangnya sekalian," oceh Wida dengan sekali tarikan napas. Wida mengoceh seperti sedang menyanyi lagu rap, tidak ada koma dan spasi. Phoenix, Azuna dan Demian sampai sesak mendengarnya.
"Lalu, bagaimana tindakan pihak sekolah, Ayah?" tanya Demian dengan wajah penasarannya.
"Dia langsung dikeluarkan dari sekolah," jawab Phoenix yang diakhiri dengan tawanya yang melengking. Phoenix dan Demian sama-sama tertawa bahkan sampai terbahak-bahak. Itu membuat Wida kesal siaga satu.
"Dan karena perbuatannya, Chandra harus membayar uang ganti rugi sebesar dua puluh lima juta ryo," imbuh Azuna, "kalau dirupiahkan, mungkin sekitar dua ratus lima puluh juta rupiah."
"Kau masih ingat, bagaimana wajah kesal sekaligus gemas Chandra, 'kan, Azuna?"
Azuna menganggukkan kepalanya. Tawa Demian semakin tidak terkendali. Iblis kemarin sore itu bahkan sampai berguling-guling di lantai lorong.
"Terus saja ejek aku sepuas kalian!" dengkus Wida dengan wajah ditekuk.
"Untungnya, kau berasal dari keluarga kerajaan. Coba kalau tidak..." ujar Demian lalu berdecak beberapa kali, layaknya seekor cecak.
"Wida–"
"Aku tahu, Paman," tukas Wida. Matanya melirik ke arah belakang, tanpa menoleh. Iris mata Wida berubah menjadi biru kehitaman. Ia tengah mempersiapkan perubahan wujud menjadi Avatar Azunaphoenix. Pendengaran Wida menajam. Samar-samar, dia mendengar langkah kaki yang mengikutinya sejak tadi. Bukanya Wida baru menyadari jika dirinya tengah dibuntuti oleh seseorang, tetapi, dia ingin memastikan bahwa yang mengikutinya adalah manusia dan bukan roh penasaran.
Wida memberi kode kepada ketiga iblis pendampingnya untuk berpisah di pertigaan lorong. Mereka pun mengangguk paham.
Sesampainya di pertigaan, Wida memilih lurus sedangkan ketiga iblisnya langsung menghilang.
"Keluarlah, aku sudah tahu keberadaanmu," ujar Wida tanpa membalikkan badannya.
"Sudah kuduga, kau menyadari keberadaanku," sahut penguntit yang membuntuti Wida sejak tadi, layaknya seorang sasaeng.
"Apa maumu, Dimas?"
Wida membalikkan badannya, menghadap Dimas yang sudah berdiri di depannya.
Dimas tersenyum. "Sebenarnya, kau ini siapa?"
Satu alis Wida terangkat. "Apa maksudmu? Aku tidak paham," ujar Wida, menahan nafsu membunuhnya yang tiba-tiba muncul.
"Tidak usah bermain drama denganku, Wida. Aku tahu, kalau kau dan kelima murid baru itu bukan dari dimensi ini. Sepasang sayap hitam di punggungmu–"
Belum usai Dimas berucap, ratusan helai benang mahamasthra muncul dari bawah tanah lalu melilit tubuhnya. Kejadian selanjutnya adalah Dimas ditarik masuk ke dalam tanah dengan paksa. Demian berhasil membawa Dimas ke dimensi Neraka. Baru saja akan menyusul Demian, sosok makhluk berwujud manusia setengah ular melilit tubuh Wida dengan ekornya.
"Urus Dimas untukku, Demian!" seru Wida pada Demian yang berniat membantunya lepas dari lilitan makhluk astral itu. Demian terpaksa menuruti Wida. Dia langsung menghilang dari hadapan Wida.
"Lepaskan Dimas!" ujar siluman ular itu sembari mempererat lilitannya di tubuh Wida.
Wida tampak hampir kehabisan napas. "Sepertinya tidak etis jika aku melawanmu menggunakan wujud manusia," ujar Wida dengan susah payah.
Gelombang panas menguar dari tubuh Wida dan membuat ekor siluman ular itu melepuh. Sang Siluman mengibaskan ekornya yang otomatis membuat tubuh Wida terlempar.
"Kalau mau melempar aku, bilang dong!" sungut Wida. Beruntung dia tidak menghantam dinding kelas. Beruntung pendaratannya begitu mulus. Andai Wida tidak siap, mungkin dia sudah terluka.
Sang siluman masih sibuk berguling-guling karena tubuhnya menderita luka bakar yang cukup parah.
Wida mulai menggunakan mode hantu untuk melawan siluman ular kurang ajar, yang dengan seenaknya melilit tubuh mungilnya.
"Kalau begini 'kan aku lebih leluasa," ujar Wida dengan santai.
Kini giliran Wida yang melilit tubuh siluman ular itu menggunakan ratusan benang mahamasthra miliknya. Dengan sekuat tenaga, Wida melempar sang Siluman ke lapangan utama. Karena area itu cukup luas. Jadi, Wida dan siluman itu bisa lebih leluasa untuk bertarung.
Siluman ular putih itu langsung menyerang Wida dengan kekuatan penuh. Wida berhasil menghindari kibasan ekor sang Siluman. Tangan Wida terulur, lalu dalam sekejap, muncul pedang kesayangannya.
"Sancaka!"
Wida berdecak mendengar teriakan Dimas. Demian pasti lupa untuk menyumpal mulut Dimas, agar tidak menjerit-jerit seperti gadis perawan yang akan dinodai.
Sancaka merubah wujudnya menjadi manusia seutuhnya. Bersenjatakan tombak yang entah kapan munculnya, Sancaka kembali menyerang Wida. Gerakannya begitu lihai sampai membuat Wida hampir tertusuk ujung tombak.
"Kau berhasil membuatku kewalahan. Jadi, aku juga akan lebih serius," ujar Wida.
"Kau pikir, sejak tadi kita bermain-main, begitu? Cih! Kesombongan adalah pintu kegagalanmu, Nona!" sahut Sancaka dengan wajah sombong. Dalam hati, Wida hanya menggerutu. Dia menyebut Wida sombong, tetapi siluman itu sendiri yang memasang wajah angkuh. Bahkan wajahnya terangkat, seperti anggota kerajaan yang gila hormat.
Wida menghunuskan pedangnya. Kali ini dia akan mulai serius. "Aku yang akan meruntuhkan kesombonganmu, dasar Siluman belut albino!" pekik Wida kesal.
"Aku siluman ular putih, tahu! Bukan siluman belut albino!"
"Ular putih atau belut albino, bagiku sama saja!"
"Jelas berbeda!"
"Di negara ini semua orang bebas berpendapat. Mengapa kau berusaha membungkam pendapatku? Apa di negara ini, peraturan ada untuk dilanggar?"
"Cih! Aku tidak tahu dan tidak peduli. Sekarang, membunuhmu adalah tujuan utamaku!"
"Oh, ya? Silakan kalau bisa."
Wida dan Sancaka kembali beradu senjata. Pertarungan keduanya begitu sengit. Mode hantu benar-benar membantu Wida untuk lebih leluasa mengeluarkan kekuatannya. Para makhluk halus yang selalu mengerumuni Wida, kini berada di sisi kanan dan kiri lapangan utama, dengan wajah mereka yang beragam. Ternyata makhluk astral pun memiliki rasa penasaran yang tinggi. Pantas saja, mereka disebut roh penasaran.
Pertarungan antara Wida dan Sancaka mulai terlihat tidak seimbang. Wida benar-benar dibuat kewalahan oleh serangan Sancaka yang bertubi-tubi. Bahkan, ujung tombak Sancaka berhasil menggores lengan Wida cukup dalam. Darah segar mengalir dari luka goresan itu.
Sancaka tertawa terbahak-bahak. "Aku berhasil menggores lenganmu dengan ujung tombakku. Sebentar lagi, racunku akan mulai menjalar ke seluruh tubuhmu dan akhirnya ... Kau akan mati!"
Dalam hitungan kurang dari satu menit, luka sayatan ujung tombak Sancaka pada lengan Wida perlahan menutup. Hal itu membuat Sancaka terdiam dalam per sekian detik. Ia kembali mendapatkan kesadarannya ketika Wida meludahkan cairan hitam tepat di hadapannya.
"Itu yang kau sebut racun?" tanya Wida mencibir kesombongan Sancaka.
Wida menyeka bibirnya. "Kau pikir, aku akan mati hanya karena racun amatirmu itu?"
Wida tersenyum miring, lalu kembali menyarungkan pedangnya. Seperti saat muncul tadi, pedangnya tiba-tiba menghilang dan digantikan oleh trisula.
Wida merentangkan kedua tangannya. Elemen api biru mulai membakar tubuhnya. Bak ular berganti kulit, Wida merubah wujudnya menjadi Avatar Azunaphoenix. Tubuhnya dilapisi oleh bajra (baju perang) berwarna merah keemasan, dengan ikat kepala berlambang Phoenix di dahinya. Bola matanya berwarna biru kehitaman. Sepasang sayap berwarna hitam muncul di punggung Wida.
Pertarungan kembali dimulai. Wida mengibaskan sayapnya. Bulu-bulu berbentuk seperti pisau tanpa pegangan itu, terlontar dan menancap ke segala penjuru. Bahkan, ada beberapa bulu yang menancap di tubuh para makhluk halus yang menonton.
"Maaf, aku sengaja!" seru Wida diakhiri suara tawanya yang terdengar sangat mengerikan.
Sancaka mulai panik. Dia tidak menyangka akan bertemu dengan sosok Wida di dimensi nyata ini. Tubuhnya kini sudah penuh dengan bulu-bulu sayap Wida. Tidak sampai di situ saja. Wida bahkan mengerahkan ratusan helai benang mahamasthra* dari punggungnya, yang langsung ia gunakan untuk menusuk titik-titik cakra Sancaka.
"Ini tidak akan sakit. Hanya ... Seperti dibakar hidup-hidup."
Elemen petir tingkat tinggi mengaliri benang mahamasthra yang sudah tertancap di hampir seluruh tubuh Sancaka. Siluman ular putih itu meraung-raung dengan jeritan yang sangat nyaring. Andaikan manusia biasa mendengarnya, gendang telinganya pasti sudah pecah karena mendengar jeritan Sancaka.
"Jangan pernah bermain api denganku," ujar Wida dengan intonasi rendah.
Wida menarik benang mahamasthra kembali ke tubuhnya. "Katakan padaku, siapa dan dari mana kau berasal?" tanya Wida.
"Lepaskan Dimas dulu, baru kita bicara," sahut siluman itu terbata-bata.
"Sudah hampir mati, masih saja peduli pada orang lain," ujar Wida. "Katakan padaku, bagaimana rasanya peduli pada orang, sedangkan orang itu tidak peduli pada kita."
Sancaka menatap Wida dengan ekspresi anehnya.
"Ck! Kau tidak akan paham."
Wida menjentikkan jarinya. Dia membawa siluman ular itu ke dimensi Neraka. Di dimensi Neraka, Sancaka bisa melihat Dimas yang tergantung dalam posisi terbalik di atas kawah Candradimuka.
"Sancaka!" jerit Dimas.
"Apa dia sangat tangguh, sampai membuatmu repot-repot menggunakan wujud Avatar Azunaphoenix?" celetuk Demian.
"Bisa dibilang begitu," sahut Wida. Wujud wanita ini kembali ke wujud manusia biasa. Sosok Wida dewasa yang mengenakan pakaian khusus berlogo GoE.
"Demian, tolong turunkan pemuda bau kencur itu kemari."
Demian melaksanakan perintah Wida tanpa banyak bicara. Hal itu membuat Wida menaikkan satu alisnya lantas tersenyum miring.
"Tumben kau menurutiku tanpa banyak bicara," cibir Wida, "biasanya, kau akan melakukannya sembari menggerutu seperti ibu-ibu."
"Kau ini kebanyakan bicara, Wida! Urus mereka saja, tidak usah mengurusi aku!" omel Demian yang langsung ditertawakan oleh Wida.
"Katakan dengan jujur, siapa kalian sebenarnya!" desak Wida setelah tawanya reda.
"Dan kau siapa!? Di mana Wida!?"
"Apa kau tuli? Baru saja iblis itu memanggilku Wida!"
"Tidak mungkin! Wida adalah gadis seusiaku. Dia–"
Wida merubah wujudnya menjadi Wida remaja. Hal itu berhasil membuat Dimas melongo dengan wajah tidak percaya.
"Ya Gusti! Ternyata kau siluman!" pekik Dimas heboh.
"Aku bukan siluman!" protes Wida.
Phoenix tertawa terbahak-bahak. "Hukum karma."
Semua menoleh ke arah Phoenix dan Azuna yang baru sampai. Wida menatap Phoenix dengan tatapan jengkel.
"Baru sampai, huh?" cibir Demian.
"Diam!"
"Aduh! Sakit, Ayah!" pekik Demian kesakitan. Phoenix baru saja mendaratkan sentilan mautnya di dahi Demian. Bekas sentilannya langsung membiru.
"Salah sendiri, kau menyebalkan."
"Aku?! Bukankah kau–"
"Kau, kau! Aku ini ayahmu, jadi panggil aku dengan sepatutnya."
"Sepatutnya."
"Bukan itu maksudku, Demian! Oh, astaga! Kenapa aku lupa untuk memberikan otak kepadanya!?" pekik Phoenix frustrasi.
"Permisi, tuan-tuan ... Pertengkaran kalian tidak akan ada habisnya. Jadi, sebelum aku mengeluarkan tongkat saktiku, lebih baik kalian berdamai," ancam Azuna. Dia lelah jika harus mendengar pertengkaran tidak bermutu antara Phoenix dan Demian. Ayah dan anak sama saja. Sama-sama gila.
"Kalian menghambatku untuk mewawancarai mereka, tahu!" imbuh Wida mengomeli Phoenix dan Demian. Kedua iblis yang menjadi sasaran omelan dua wanita berbeda jenis ini, hanya bisa diam sembari menggerutu dalam hati.
"Oke, sampai mana tadi?"
"Sampai aku menyebutmu siluman," sahut Dimas dengan tidak tahu malu.
"Nah, iya! Hei, pemuda busuk! Aku bukan siluman ya! Aku menggunakan ilmu malih rupa!"
"Jadi, benar ... Kau bukan dari dimensi ini?"
"Dimensi mana yang kau maksud? Dimensi nyata?"
"Dimensi nyata?"
"Kau ini! Ada orang bertanya, malah balik bertanya!" omel Wida.
"Habisnya aku tidak paham dengan pembicaraan ini!"
"Hei, Anak muda! Pembicaraan ini bahkan belum dimulai. Dan kau malah memancing tekanan darahku!" balas Wida.
"Ya, santai dong, Tante!"
Wida mendaratkan sentilannya ke dahi Dimas dengan keras. Sancaka sampai meringis melihatnya.
"Ayo, kita serius dulu. Agar masalah ini cepat selesai," ujar Wida setengah kesal.
"Oke."
Wida melemparkan tubuh Sancaka ke dalam kawah Candradimuka. Dimas langsung menjerit histeris, memanggil-manggil nama Sancaka.
"Selain tuli, kau juga bodoh ya?"
"Apa maksudmu?!"
"Apa kau tidak pernah mendengar cerita pewayangan mengenai kawah Candradimuka? Kawah itu akan menyembuhkan Sancaka dari luka-luka yang kubuat."
"Oh, begitu...."
Wida dan ketiga iblis pendampingnya hanya bisa memutar bola mata lantas mendengkus. Beberapa menit berselang, Sancaka kembali ke permukaan dengan kondisi seperti semula.
"Sekarang, jelaskan siapa kalian sebenarnya."
"Namaku Sancaka–"
"Kami sudah tahu itu!" pungkas Demian.
"Kau ini benar-benar memancing emosiku, Demian! Dia belum selesai berbicara!" omel Phoenix.
"Aku benci belut," sahut Demian.
"AKU ULAR! BUKAN BELUT!" jerit Sancaka memprotes ucapan Demian yang menyebutnya belut.
"Hei, kalian makhluk-makhluk tak kasat mata! Jangan mengalihkan pembicaraan yang bahkan belum dimulai ini! Kumohon, serius dulu! Jangan melawak terus, karena jujur saja, lawakan kalian garing!" cerocos Wida, kembali mengeluarkan omelannya yang seperti seorang rapper.
Wida mengatur pernapasannya. "Langsung saja, sebelum kalian kembali berbicara hal lain! Siapa dan apa kalian ini sebenarnya! Bagaimana bisa, kalian tahu mengenai identitasku? Bagaimana bisa kau melihat sayapku? Dan bagaimana bisa kalian bersama–maksudku, bagaimana bisa kalian memiliki ikatan, seperti aku dengan ketiga iblis ini?"
Semuanya melongo mendengar perkataan Wida. Benar-benar tanpa jeda. Jika Wida orang teater, dia adalah pemilik pernapasan paling bagus. Berbicara satu paragraf dengan sekali tarikan napas. Benar-benar pemilik paru-paru ganda.
"Seperti yang kau tahu, aku Dimas dan dia Sancaka. Aku adalah indigo dan dia adalah makhluk pendampingku."
"Kalian–apa?"
"Tante-tante budek," gerutu Dimas.
"Apa kau bilang barusan?!"
"Wida!" seru Phoenix memperingatkan Wida untuk tidak melanggar ucapannya sendiri.
"Oh, iya, maaf."
"Kau bukan indigo, Dimas," celetuk Sancaka.
"Hah?"
"Ini yang benar yang mana sih!?"
"Sebelumnya, saya mohon ampun, Nona," ujar Sancaka sembari bersujud kepada Wida.
"Kenapa tiba-tiba kau bersujud padaku!? Aku bukan Tuhan! Cepat bangun!"
Sancaka berdiri. "Sebenarnya, aku adalah makhluk peralihan elemen milik mendiang tuan Ilyas Wicaksono, paman Anda, Nona."
"Tunggu ... Apa!?"
.
.
.
.
.
•••
🍃 Kesadaran adalah matahari 🍃
Copyright © Yekti Wahyu Widanti 2020
Benang mahamasthra merupakan wujud interpretasi dari elemen petir yang dimiliki oleh seseorang. Di seluruh Negara Elemen, hanya Wida, Phoenix dan Demian yang memilikinya. Karena hanya mereka yang memiliki elemen petir. Sebelumnya ada mendiang Yordan Wicaksono yang juga memiliki benang ini.
Cara kerja benang mahamasthra adalah melilit, mengikat dan menusuk targetnya. Ujung dari benang ini adalah sebuah jarum yang sangat tajam, berfungsi untuk menusuk dan mencabik-cabik tubuh targetnya.