"Hai, Wida."
"Hai, Wida."
Wida membalas sapaan dari orang-orang dengan tersenyum canggung. "Apa mereka gila?" bisiknya pada Gauri.
Gauri terkekeh-kekeh melihat kecanggungan Wida yang disapa oleh banyak siswa laki-laki. Mereka kini menuju kantin untuk mengisi perut. Menghabiskan waktu selama tiga jam mata pelajaran untuk mendengarkan ceramah guru matematika, benar-benar membuat batin dan fisik mereka lelah.
"Mereka menyapamu, Nona," ujar Gauri.
"Sudah kukatakan padamu, jangan panggil aku dengan sebutan Nona! Cukup memanggilku Wida, oke?"
"Iya."
"Mereka menyapaku saja? Dan kau tidak? Ckckck ... Mereka sangat keterlaluan," gerutu Wida. Padahal dia murid baru, akan tetapi para siswa-siswi SMA Pattimura ini malah tidak mengacuhkan Gauri.
'Sebenarnya apa yang salah dengan otak orang-orang ini?' batin Wida.
"Di sini, tingkat kekerasan baik secara verbal maupun nonverbal sangat tinggi. Jadi, kau jangan terkejut," ucap Phoenix.
Wida berjalan beriringan dengan Gauri. Phoenix, Azuna dan Demian berjalan di belakang mereka. Saat ini, ketiga iblis itu tengah menggunakan mode hantu. Mereka bertugas untuk menjaga Wida selama di dimensi nyata. Dan mereka juga bertugas untuk menutup identitas Wida dari manusia-manusia yang memiliki kekuatan supranatural.
Bagi kaum indigo, walaupun Wida telah menutupi identitasnya sebagai manusia dimensi lain, tetap saja akan terlihat identitas aslinya. Mereka masih bisa melihat sepasang sayap hitam Wida yang berkilau. Dan menurut mitos, makhluk dimensi lain yang memiliki sayap berwarna hitam adalah sosok malaikat.
"Cih! Ternyata dimensi nyata dan dimensi luar paralel sama saja."
"Jangan menyeringai, Wida ... Kau akan dikira orang gila, tahu!" ujar Demian memperingati Wida.
"Hei, bocah! Mau kuadukan kelakuan bejatmu kemarin?" ancam Wida.
"Kalian sedang bicara apa? Kenapa menutup sambungan telepati kami?" tanya Phoenix.
"Paman, putramu itu mesum! Kemarin-"
"Nah, kita sudah sampai," ujar Gauri membuat Demian menghela napas lega. Jangan sampai Phoenix tahu, jika kemarin dia menggunakan wujud manusia dan melihat Wida tanpa busana. Sebenarnya yang murahan 'kan Wida. Akan tetapi, malah Demian yang merasa berdosa.
Dan satu informasi lagi. Jika Phoenix, Azuna dan Demian tengah menjelma menjadi manusia, maka seluruh sifat dan tabiat mereka seperti manusia pada umumnya. Dengan artian, mereka akan memiliki nafsu seksualitas dan kawan-kawannya itu. Sampai di sini paham, 'kan?
Wida dan Gauri duduk di bangku paling ujung kantin. Mereka melihat-lihat menu yang tersedia. Mata Wida langsung tertuju pada cumi-cumi ekstra pedas dan cumi-cumi goreng. Wanita—err gadis ini—ah sebut saja gadis. Toh, dia tengah menggunakan wujud seorang remaja—gadis ini adalah maniak cumi-cumi. Dia tidak bisa menolak makanan yang berbahan dasar cumi-cumi.
"Kau pesan apa, Wida?" tanya Gauri yang sudah siap dengan kertas serta pulpen di tangannya.
"Aku pesan cumi-cumi goreng dengan sambal mentah ekstra pedas. Nasinya sedikit saja dan minta cumi-cuminya lebih banyak."
"Kau ini maniak sambal dan cumi-cumi, ya?"
"Siapa kau?" ketus Wida.
"Hai."
Gauri tersenyum canggung lalu berdeham. "Perkenalkan, dia–"
"Namaku Devan," tukas Devan, si Ketua OSIS SMA Pattimura. Pemuda tampan ini mengulurkan tangannya lalu disambut oleh Wida walau setengah hati.
"Wida," ketus Wida.
"Nama yang bagus."
"Hmm."
Tawa Demian pecah. Beruntung, hanya Wida dan Gauri yang bisa mendengar tawa menyebalkan Demian. Rasanya, Wida ingin menebas leher iblis itu sekali lagi. Sayangnya, setelah dia menebas leher Demian, kepalanya akan tumbuh lagi.
"Tutup mulutmu atau aku akan menjahitnya," ancam Wida.
"Dia pemuda yang sangat lucu, astaga!" ujar Demian tetap dengan tawanya yang melengking. Dia ini tidak sadar atau bagaimana? Tawanya benar-benar seperti kuntilanak yang sedang bertengger di pohon.
"Demian, tawamu terdengar seperti kuntilanak, tahu!" sahut Tretan yang ikut-ikutan menggunakan mode hantu, dan ikut menimbrung.
"Kuntilanak?"
"Hantu wanita berambut panjang dengan daster putihnya."
"Bukankah itu wujud Moora?" ujar Phoenix meledek Moora yang sejak tadi duduk anteng di samping Gauri. Moora pun mendelik dan memilih diam. Dia sadar diri. Kekuatannya tidak selevel dengan Phoenix.
Tuk!
Bunyi pukulan keras itu terdengar sebanyak tiga kali. Azuna tersenyum puas karena telah mengetuk kepala Demian, Phoenix dan Tretan menggunakan tongkat saktinya.
"Kau ini seperti ibu tiri saja! Dasar iblis betina kejam!" sungut Tretan.
"Eh, halo ... Permisi, ini bukan komisi perkumpulan para iblis, oke? Jadi, mohon ketenangannya," ujar Wida yang masih tersambung dengan para iblis itu melalui telepati.
Gauri mendengkus. "Ternyata menjadi Avatar dari makhluk peralihan elemen yang cerewet itu sulit ya?"
"Ya ... Begitulah."
"Kalian kenapa diam?" tanya Devan, "apa kalian sedang bertelepati?"
Wida dan Gauri kompak terbatuk-batuk karena tersedak air liur masing-masing.
"Eh? Apa yang kukatakan itu benar?"
"Tentu tidak!" sanggah Wida dan Gauri bersamaan. Baiklah, mereka juga kompak berbohong.
"Lagian, reaksi kalian seperti mengiakan," protes Devan.
"Akhh! Daripada pusing berdebat soal tidak penting, lebih baik aku pergi memesan makanan kami. Permisi!" ujar Gauri lalu pergi menuju pantri kantin langganannya.
Iris mata Wida berubah menjadi biru kehitaman lalu kembali berubah seperti semula. Dia berdecih kemudian menatap Devan yang duduk di depannya, akan tetapi pandangan pemuda itu malah terpaku pada punggung Gauri.
"Kalau kau mencintainya, katakan ... Sebelum dia diambil oleh orang lain," ujar Wida.
Devan tampak salah tingkah laku menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Sangat terlihat, ya?"
"Menurutmu?"
"Kau benar ... Aku mencintai—tunggu dulu! Kau bukan mind reader, 'kan?"
"Hei, pemuda sok kenal yang menyebalkan ... Wajahmu itu terlalu memperlihatkan bahwa kau sangat mencintai Gauri. Dan kau malah menyebutku pembaca pikiran?!"
"Padahal mah memang iya," cibir Demian.
"Diamlah, Demian!" sentak Wida, namun detik selanjutnya dia membungkam mulutnya.
"Nah, 'kan keceplosan," ujar Phoenix, Azuna dan Tretan bersamaan.
"Demian? Siapa Demian? Oh, jangan-jangan kau indih*m ya?!"
"Indi—apa?"
"Indigo! Ish! Kau ini tidak bisa diajak bercanda ya!?"
"Tentu bisa! Lawakanmu saja yang garing!"
"Kau saja yang tidak bisa menangkap lawakanku!"
"Menangkap? Kau pikir kita sedang bermain voli?!"
"Terserah!"
"Idih! Bodo amat!"
"Kalian ini baru kutinggal sebentar sudah bertengkar hebat. Lihat! Kalian jadi bahan tontonan, tahu!" sungut Gauri dengan tangan yang membawa nampan berisi pesanannya dan Wida.
"Dia yang mulai!" pekik Wida dan Devan bersamaan sembari saling melemparkan tatapan maut mereka.
"Aih, aih ... Kompaknya ... Jangan-jangan kalian jodoh," kelakar Gauri. Raut wajah Devan langsung suram.
'Kapan kau akan melihat ke arahku, Gauri?' batin Devan sembari menatap Gauri dengan sendu. Wida menatap Devan miris. Gauri benar-benar sudah dibutakan oleh cintanya kepada Kevin, adik sepupu Devan. Padahal, Kevin selalu menyakitinya.
"Apa cinta bisa membuat orang menjadi bodoh?"
"Bisa, contohnya kau dan Tyo."
"Kenapa sekarang kau sangat cerewet, Paman?"
"Dari dulu ayahku memang cerewet, Wida."
"Diamlah kau bedebah kecil!" sungut Phoenix dan Wida bersamaan.
"Aku ke ruang OSIS dulu ya," pamit Devan.
"Kok buru-buru? Gak makan dulu, Dev?" tanya Gauri.
Devan menggeleng lantas pergi meninggalkan Gauri dan Wida.
"Gauri, apa kau tidak sadar? Devan, dia-"
"Aku tahu," sela Gauri, "aku bahkan sangat tahu. Tapi, aku tidak bisa."
"Kenapa? Oh, jangan bilang karena kau mencintai sepupunya yang bernama Kevin itu?"
Gauri terdiam.
"Itu terserah padamu. Hanya saja, aku sarankan, cobalah buka hati untuk Devan," ujar Wida, "jangan sia-siakan orang yang mencintaimu demi orang yang tidak mencintaimu."
Gauri hanya tersenyum. Mereka mulai memakan pesanan mereka dalam diam. Wida tahu, Gauri adalah tipe orang yang menerima kritik dan saran orang lain. Semoga saja, tidak ada hati yang tersakiti lagi.
Demian menoleh sisi kirinya sembari menghembuskan napasnya dengan kasar.
"Arthur apa kabar?" cibir Demian dengan suara selirih mungkin. Tidak sengaja matanya menangkap siluet seseorang yang langsung bersembunyi dibalik dinding, ketika dia menatap ke arah siluet itu.
Demian langsung berdiri lantas dengan kecepatan cahaya, mengejar siluet itu. Akan tetapi, Demian kehilangan jejaknya.
"Apa ada masalah?" tanya Phoenix yang tiba-tiba berdiri di belakang Demian.
"Tadi aku melihat ada seseorang yang mengawasi kita. Aku yakin, dia bukan orang dari dimensi ini, Ayah," jawab Demian.
"Kita kembali dulu. Lagi pula, kau kehilangan jejaknya, 'kan?"
Demian mengangguk.
"Ya sudah, ayo."
***
"Dasar bodoh!"
Tuk!
"Aduh!" pekik Tyo ketika mendapatkan tanda kasih sayang dari calon kakak iparnya.
Tyo, Pras, Kusuma, Andre dan Hendra sudah sampai di dimensi nyata. Mereka sengaja untuk tidak mengajak para wanita, supaya tidak merepotkan. Dan ya, mereka memilih menyamar di SMA Pattimura sebagai tukang kebun, satpam, petugas kebersihan, dan ibu-ibu kantin, untuk melihat-lihat situasi juga kondisi. Itu semua atas usulan dari Hendra. Walaupun awalnya semua menolak, akhirnya menurut juga karena Hendra mengeluarkan jurusnya yang paling ampuh. Yaitu, jurus seribu bujukan yang dibumbui sedikit ancaman dan drama.
"Gara-gara kecemburuanmu yang over limit, kau hampir membuat Demian menangkap basah kita," omel Kusuma.
Tyo mencebikkan bibirnya. "Pria mana yang tidak cemburu, melihat kekasihnya—ah ralat! Pria mana yang tidak cemburu, melihat calon istrinya berbicara dengan lelaki lain!" ketusnya.
Hendra menepuk dahinya. "Oh, astaga! Hei, tuan posesif nan cemburuan, tadi Wida dan pemuda bau kencur itu berdebat, bukan berciuman!" ujarnya ikut mengomeli pria cemburuan ini.
"Baiklah, baiklah! Setelah ini apa?" ketus Tyo mengalihkan pembicaraan. Walau dalam hati masih sangat gondok, Tyo berusaha profesional. Jika mereka sudah menikah, Tyo bersumpah akan mengurung Wida di kamar dan membuatnya tidak bisa berjalan.
Pras sekali lagi menjitak kepala Tyo dengan geram. "Singkirkan pikiran kotormu itu! Atau aku akan membatalkan pernikahan kalian!" ancamnya. Tyo lupa jika Pras dan Wida adalah saudara. Dan mereka berdua itu sama.
Sama-sama bisa membaca pikiran orang lain.
"Setelah ini, kita akan ikut menjadi murid baru di kelas yang juga ditempati oleh Wida dan gadis dimensi nyata itu," ujar Hendra.
"Mana Andre?" tanya Kusuma yang menyadari personil mereka kurang satu.
"Aku di sini!" sungut Andre sembari menaikkan dasternya.
Pras dan yang lain tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Andre. Pria itu tampak sangat kesal karena harus menyamar menjadi ibu-ibu kantin yang memakai daster.
"Kalau bukan demi Wida, aku tidak sudi memakai baju ini. Dan lagi, rambut palsu ini berulang kali mencolok mataku!" oceh Andre melampiaskan kekesalannya. Kalau boleh memilih, Andre lebih memilih berenang dilaut yang penuh dengan hiu.
"Sabar ... Toh, penyamaran ini hanya sehari, 'kan?"
"Tetap saja menyebalkan!"
"Hei, sudah, sudah!" lerai Kusuma, "daripada berdebat seperti ini, sebaiknya kita kembali ke rumah untuk memulihkan tenaga."
"Nah, iya ... Ayo!"
.
.
.
.
.
•••
🍃 Kesadaran adalah matahari 🍃
Copyright © Yekti Wahyu Widanti 2020