Chereads / The Resurrection of The Devil : TROYA / Chapter 5 - Episode 4 : Menyusul Wanita Keras Kepala

Chapter 5 - Episode 4 : Menyusul Wanita Keras Kepala

Brak!

Pras membuka pintu apartemen Wida dengan kasar. Kombinasi sandi apartemen adiknya memang sulit ditebak. Bahkan oleh Tyo, Kusuma dan Andre, sebagai orang yang sering menginjakkan kaki di apartemen ini.

"Wida!" seru Pras untuk sekian kalinya. Sejak kemarin, Wida tidak terlihat baik di kantor maupun di istana. Ia curiga kalau Wida benar-benar sudah berangkat ke dimensi nyata. Adik tersayangnya itu sungguh keras kepala. Jika Wida sudah menginginkan sesuatu, maka, ia harus mendapatkannya sampai dapat.

"Bagaimana, Pras?" tanya Kusuma ketika mereka bertemu di area dapur.

"Tidak ada," sahut Pras, "Naga, tolong endus keberadaan Phoenix, Azuna dan Demian. Semoga saja Wida belum menyeberang ke dimensi nyata."

Sesosok ular naga bersisik perak keluar dari dalam tubuh Pras. Makhluk peralihan elemen milik Pras ini bernama Naga, sesuai dengan wujudnya. Sosok ini mengangguk lantas mulai menyisir apartemen dengan mode tak kasat mata. Jangan sampai ada yang tahu mengenai menghilangnya Wida.

Beberapa saat kemudian, Naga kembali dengan wujud manusianya.

"Aku tidak bisa mengendus aroma Phoenix dan Azuna dari segala penjuru," ucap Naga, "bahkan, aku tidak bisa mengendus aroma tubuh Demian yang beraroma busuk itu."

Untuk informasi, Naga memiliki kekuatan untuk mengendus sesuatu sejauh seribu kilo meter dari tempatnya berdiri. Dan lagi, Naga sangat membenci aroma tubuh Demian. Menurutnya, aroma iblis baru lahir itu benar-benar busuk, mengingat, nama lain Demian adalah Aversion yang berarti keengganan alias kebencian.

"Brengsek!" umpat Pras, "Wida benar-benar sudah menyeberang ke dimensi nyata!"

"Tunggu dulu...." Naga kembali mengendus sekitarnya. Bola mata manusia jadi-jadian itu berubah menjadi hitam seluruhnya.

"Ada apa dengan matamu itu, Naga?" tanya Pras tidak sabar.

"Aku mencium aroma dari makhluk peralihan elemen lain," ujar Naga sembari terus mengendus sekitarnya, "aroma ini bukan berasal dari dimensi ini. Kemungkinan, Wida dibantu sosok lain yang berasal dari dimensi yang akan ia tuju."

Naga menormalkan ekspresinya. "Adikmu sudah bertindak sejauh ini. Menurutku, dia pasti sudah memiliki rencana yang sangat matang. Apalagi, Phoenix, si raja elemen keparat itu adalah rajanya strategi."

"Kau benar, Naga ... Adikku bukan tipe orang yang grasah-grusuh. Dia pasti sudah menyusun rencana. Dan ya, bukan hanya tenaga dalam, Phoenix dan Azuna juga mengajari Wida untuk membuat strategi di keadaan mendesak seperti sekarang ini."

"Daripada kalian mengoceh soal hal remeh seperti itu, lebih baik kita menemui Ayah mertua," celetuk Tyo.

"Aku setuju dengan Tyo, Pras," ujar Kusuma, "kita temui Ayah Chandra, setelah itu, kita akan bertindak sesuai dengan perintahnya."

"Ayo!"

***

Chandra memperbaiki posisi kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya. Berkas-berkas di depannya ini harusnya sudah ditangani oleh Revan, selaku penerus takhta Negara Api. Tapi, dengan kurang ajarnya, Revan berkata agar Chandra mengurus berkas-berkas lama sebelum pelantikan dirinya menjadi gubernur yang baru, bulan depan.

"Surya, tolong buatkan aku kopi. Mata tua ini benar-benar tidak bisa diajak kompromi," ujar Chandra. Surya mengangguk lantas pergi melaksanakan permintaan Chandra.

Beberapa saat kemudian dia sudah kembali membawa dua cangkir kopi hitam untuknya dan Chandra.

Chandra mendongak, "Satu saja, Surya. Kenapa kau-"

"Memangnya yang mau minum kopi hanya dirimu, tuan besar?" cibir Surya.

Chandra memutar bola matanya, "Ya ... beginilah jadinya, jika kau menjadikan sahabatmu yang kurang ajar, menjadi sekretaris sekaligus asisten pribadimu," kesalnya.

Surya tertawa, "Terima kasih atas sanjungannya," ujarnya.

Chandra berdecak, "Beruntung kita ini sahabat. Kalau tidak-"

"AYAH!"

"AYAH MERTUA!"

Jeritan itu berasal dari Pras, Kusuma dan Tyo yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang kepemimpinan Negara Api, tanpa mengetuk pintu.

Bagus! Sopan sekali!

"Apa kalian tidak pernah diajarkan untuk mengetuk pintu sebelum masuk?" sembur Surya kepada ketiga pria di depannya ini.

"Ada apa?" Chandra meraih cangkir berisi kopi lalu menyesapnya perlahan-lahan.

"Wida sudah menyeberang ke dimensi nyata!" sahut Pras, Kusuma dan Tyo dengan kompak.

Brus!

Chandra menyemburkan kopi yang sudah berada di mulutnya. Beruntung, cipratan kopi itu tidak mengotori dokumen-dokumen penting yang berada di atas mejanya. Chandra terbatuk-batuk, kemudian minum air putih yang disodorkan oleh Surya.

"Tunggu ... APA?!" pekik Chandra setelah batuknya reda.

"Wida sudah pergi ke dimensi nyata untuk-"

"Iya, tahu! Wida memang pergi ke dimensi nyata. Dia mengatakan segalanya kepadaku. Dan aku mengizinkan semua yang akan dia lakukan. Bahkan, aku sudah memberikan dia sejumlah lima miliar ryo untuk bekalnya selama di dimensi itu," pungkas Chandra, "dia bilang kalau akan berangkat besok pagi. Karena aku, Yonas dan Ridwan yang akan membukakan portal lintas dimensi untuk Wida menyeberang. Tapi—akhh! Punya satu anak gadis tapi keras kepalanya minta ampun!"

Chandra mengatur napasnya lalu menatap Surya dengan sangat tidak santai.

"Panggil seluruh petinggi GoE! Suruh mereka untuk cepat datang dan tidak pakai lama!" perintah Chandra yang langsung dilaksanakan oleh Surya.

Pras, Kusuma dan Tyo kompak terdiam, tidak ingin membantah ataupun menatap wajah garang Chandra.

Revan langsung menerobos masuk ruangan Chandra. "Ayah, paman Krishna menelepon Wida tapi—drama apa lagi ini?" tanya Revan dengan wajah tanpa dosanya.

Chandra menatap Revan dengan datar. "Duduk!" perintahnya dengan intonasi sedatar wajahnya.

"Ada apa ini?" tanya Revan berbisik pada Pras.

"Abang, berhenti menanyakan ada apa setiap baru datang. Karena jujur, itu memuakkan," ketus Pras pada Revan yang tentu juga berbisik. Revan mendengkus lantas memilih diam. Dia benar-benar sudah tidak memiliki harga diri sebagai seorang kakak di hadapan seorang Prasetyo Kamajaya Chandra Wicaksono.

Hening melanda. Pras, Kusuma, Tyo dan Revan sama-sama terdiam sembari sesekali saling menatap. Pikiran mereka tertuju pada satu orang. Seorang wanita keras kepala yang membuat mereka geram sekaligus gemas ingin memutilasinya saat ini juga. Sedangkan Chandra, dia tercenung dengan tangan kanan yang menopang dagu. Dia tengah mengumpat dalam hati, karena terlalu menghawatirkan anak gadisnya. Hal itu membuat lipatan di keningnya kian kentara.

Terdengar bunyi pintu diketuk.

"MASUK!" seru Chandra.

Mira, Dewi, Lena, Fatma, Yanuar, dan Andre, satu persatu memasuki ruangan. Chandra memilih untuk berjalan terlebih dahulu, menuju ke ruang rapat yang bersebelahan dengan ruangan Chandra.

"Kalian pasti tahu, apa tujuanku meminta kalian kemari secara dadakan seperti ini."

"Jujur ... Tidak," celetuk Revan yang mendapat tatapan setajam silet dari ayahnya.

Tatapan Chandra beralih kepada para petinggi GoE dengan tatapan nyalang.

"Intinya, Wida sudah berangkat ke dimensi nyata-"

"APA!?"

"Kalian ini dramatis, ya?" cibir Surya.

"Tolong, jangan menyela ketika aku sedang berbicara," ujar Chandra memperingatkan, "aku ingin kalian menyusul Wida dan membantunya untuk mencari Troya, paham?"

"Siap, paham!"

"Bagus ... Aku sudah mengirimkan sejumlah uang untuk bekal selama kalian berada di dimensi nyata. Kalian harus mengubahnya ke mata uang rupiah dulu, baru bisa menggunakannya," jelas Chandra.

"Siap, tuan Chandra!"

"Surya, cepat hubungi Yonas dan Ridwan ... Katakan bahwa ada perubahan rencana."

"Baik, Tuan."

***

"Huh, lega...."

Wida keluar dari kamar mandi Gauri setelah setengah jam menghabiskan waktu di dalam sana. Ia merasa lega karena telah mengeluarkan seluruh cairan dalam perutnya. Ternyata, menyeberang ke dimensi nyata berdampak buruk untuknya.

Wida keluar dengan handuk yang melilit tubuhnya. Beberapa menit ia habiskan untuk memuaskan rasa mualnya. Dan sisanya dia habiskan untuk mandi.

"Kau ... Memiliki tato?" tanya Gauri dengan wajah yang keheranan. Secara, Wida adalah putri bungsu dari seorang gubernur di negara adikuasa seperti Negara Api. Harusnya, peraturan mereka sangat ketat dalam hal penampilan.

"Iya, kenapa?" Wida melonggarkan handuknya dan memamerkan tato bergambar Phoenix yang hampir menutupi seluruh punggung indahnya.

Gauri semakin dibuat melongo. Tato berbentuk sosok Phoenix itu, sungguh indah. "Besar sekali ... Apa pihak kerajaan tidak menegurmu? Kenapa tatomu berwarna hitam dan tidak ada warna lain? Apa tidak ada bentuk lain selain Phoenix? Kenapa harus dia? Kenapa tidak bunga atau apa, begitu?" cecar Gauri.

"Justru, pihak kerajaan yang menyarankannya ... Jika kau memperhatikan tatoku secara detail, ada bagian yang warna hitamnya lebih pekat dibandingkan yang lain," jelas Wida, "Ini adalah bekas luka karena kebangkitan Azunaphoenix dulu. Waktu itu, seluruh kulitku terkelupas karena tubuhku tidak kuat menahan panasnya inti api milik Phoenix."

Wida mengeratkan lilitan handuknya. "Dan untuk soal bentuk, aku memilih Phoenix karena iblis itu memaksa ... Katanya, sebagai tanda bahwa aku adalah Avatar dari raja elemen terkuat," ujar Wida dengan nada mencibir. Mengingat bagaimana Phoenix memaksa agar memilih wujud aslinya sebagai bentuk tato yang akan dilukis untuk menutupi bekas lukanya.

"Ngomong-ngomong ... Di mana Phoenix?"

"Ayah dan Azuna pergi untuk mengamankan wilayah Surabaya ini," sahut Demian yang dengan santainya tengkurap di ranjang empuk milik Gauri sembari sibuk bermain ponsel.

"Demian! Kau! Dasar iblis jantan mesum!" jerit Wida melempar Demian dengan buku tebal di dekatnya.

Demian berguling ke sisi lain ranjang, menghindari lemparan Wida. "Secara harfiah, aku tidak memiliki nafsu seperti manusia biasa. Dan ya, kalaupun aku punya nafsu, aku tidak bernafsu dengan tubuh kerempengmu, Wida," cibir Demian masih fokus pada ponselnya.

Demian meletakkan ponselnya. "Dan lagi, sebenarnya aku tidak memiliki jenis kelamin. Tapi, karena Ayah memberiku nama Demian, dan Demian identik dengan nama seorang laki-laki, jadilah aku seorang laki-laki yang tampan."

Wida dan Gauri kompak memasang wajah ingin muntah.

"Tidak juga," celetuk Wida, "kau bisa ganti nama jadi Deminia, Demia, bahkan Pandemi atau Epidemi."

"Nama-nama yang menjijikkan! Lagi pula pandemi dan epidemi adalah wabah penyakit!" protes Demian.

"Ya sudah ... Bagaimana kalau Mia?"

"Tidak!"

"Bagaimana-"

"Tidak, Wida! Aku tidak akan merubah namaku!"

"Aversion?"

"Itu nama belakangku."

"Kau punya marga?"

"Marga?"

"Aku lelah menghadapimu, Demian."

"Harusnya aku yang berkata seperti itu, Wida!" jerit Demian dengan geram.

"Kalian mulai melantur," kesal Gauri. "Lekas ganti baju ... Kau bisa masuk angin, Nona."

"Masuk angin?" tanya Wida dan Demian bersamaan yang tak lama kemudian sama-sama tertawa terbahak-bahak.

"Penyakit macam apa itu?"

"Aku tidak bisa membayangkannya."

"Aku tidak bisa menghentikan tawaku, tolong!" ujar Demian memegang perutnya yang terasa keram karena tertawa.

"Terserah kalian ... Orang dimensi lain mana paham," ujar Gauri dengan wajah datarnya.

"Sekarang, lebih baik kita istirahat ... Besok kita akan belanja untuk keperluanku selama misi dua minggu ke depan," ujar Wida yang dengan santainya mengenakan pakaian di depan Gauri dan Demian.

"Katanya tidak punya nafsu ... Kenapa menatapku?" celetuk Wida tanpa menatap Demian. Untung dia sudah memakai celana pendek dan tinggal menggunakan bra kemudian kaos hitam.

Demian mengalihkan pandangannya. "Apa kau lupa jika aku masih menggunakan wujud manusia?"

"Lalu?"

"Terserah!" ketus Demian. Terkadang, kepolosan Wida membuatnya tidak tenang. "Aku mau mandi air dingin. Minggir!"

"Dasar aneh!"

.

.

.

.

.

•••

🍃 Kesadaran adalah matahari 🍃

Copyright © Yekti Wahyu Widanti 2020