Chereads / The Resurrection of The Devil : TROYA / Chapter 2 - Episode 1 : Teka-teki Mimpi

Chapter 2 - Episode 1 : Teka-teki Mimpi

"Ayah!" seru Wida sembari celingukan mencari keberadaan ayahnya. Dia harus memberitahu Chandra soal mimpi yang menghampirinya selama satu minggu ini.

"Selamat pagi, Nona," sapa Alex.

"Pagi."

"Ada yang bisa saya bantu, Nona?" tanya Alex saat melihat raut wajah Wida yang terlihat gusar. Dia sangat hafal dengan nonanya ini. Wida akan menggigit bibir bawahnya jika sedang gusar atau gugup.

"Kau terlalu peka, Alex. Di mana Ayah?"

"Tuan besar sedang bermain catur dengan pangeran mahkota di paviliun. Di sana juga ada tuan muda Pras, Tyo dan Kusuma," jawab Alex.

"Terima kasih." Wida langsung menuju paviliun yang berada di sisi utara istana. Dia harus segera menceritakan mimpinya kepada Chandra. Karena Wida yakin, mimpi yang ia dapat adalah pecahan dari teka-teki yang berkaitan dengan masa lalu keluarga Wicaksono. Dan yang namanya teka-teki harus dipecahkan, benar?

Tanpa mengetuk pintu, Wida langsung menerobos masuk paviliun.

"Ayah!"

"Astaga!" pekik Chandra dan Revan bersamaan. Tyo, Pras dan Kusuma pun turut kaget. Namun, untungnya mereka sedikit kalem dibandingkan dengan Chandra dan Revan.

"Adek, ih! Kalau masuk ucap salam dulu. Bukannya main menyelonong masuk!" sungut Revan dengan kesal. Wida tidak peduli dengan ocehan kakak tertuanya itu. Dia langsung menutup kemudian mengunci pintu paviliun bahkan melapisinya dengan elemen petir. Hal itu membuat kening Chandra dan Revan berkerut.

"Kamu ada masalah, Sayang?" tanya Tyo.

"Simpan dulu play station dan papan catur kalian. Aku sedang dalam masalah."

Semua pria dalam paviliun itu menurut. Mereka melakukan perintah dari Wida lantas menyusul gadis itu yang sudah duduk manis di sofa ruang tamu.

"Katakan apa masalahmu."

Wida menatap Chandra dan yang lain satu persatu. Dia mengembuskan napasnya, cenderung seperti mendengkus. Wida meraih dua lembar foto polaroid dari dalam tasnya lalu meletakkan foto itu di tengah-tengah meja.

"Apa ini?" tanya Chandra sembari meraih dua lembar foto polaroid itu.

"Ayah ih, belum lihat juga," protes Pras, Tyo dan Kusuma bersamaan.

"Kalian diamlah dulu." Revan memperingatkan.

Chandra memejamkan mata sebentar lalu membukanya lagi. Iris mata pria paruh baya itu berubah warna menjadi warna merah.

"Dari mana kau dapat ini, Sayang?" tanya Chandra setelah iris matanya kembali seperti semula. Ia baru saja menggunakan kekuatannya untuk menelisik hal yang terkandung dalam foto dengan masa lalu. Siapa tahu foto ini adalah suatu pesan khusus dari seseorang atau apalah itu.

"Dari mimpiku, Ayah."

"Mimpi?"

"Iya, selama satu minggu ini Wida selalu terbangun pukul tiga pagi. Kemarin, Wida pergi ke tempat paman Krishna untuk menanyakan simbol-simbol yang muncul dalam mimpiku. Paman Krishna menggunakan kekuatannya untuk melihat mimpi. Dan itulah hasil dari penelusuran paman Krishna," jelas Wida.

"Ini bukan simbol," celetuk Chandra. Semua orang menaruh perhatian padanya. "Ini adalah aksara sanskerta."

"Aksa—apa?"

"Aksara sanskerta, Wida," ujar Pras gemas.

"Aksara apa itu? Apa aksara ini berasal dari luar Negara Elemen?"

"Aksara yang berasal dari dimensi nyata."

Phoenix, Demian dan Azuna tiba-tiba muncul.

"Kau dari mana saja, paman!" ketus Wida. Sejak kemarin dia mencari keberadaan Phoenix, Azuna dan Demian. Bahkan dia juga menunggu di dimensi paralel lapisan pertama selama berjam-jam.

"Kami ada urusan sebentar."

"Tretan membuat ulah. Dia terus mengamuk setelah kau mematahkan sayapnya waktu itu," celetuk Demian.

"Bisakah kau menutup mulutmu, Bocah!" sungut Phoenix.

"Wida bertanya ya Demian jawablah," balas Demian dengan enteng.

"Kalau kalian ingin bertengkar, lebih baik ke dimensi paralel lapisan kelima sana! Atau kalian mau aku celupkan ke lahar seperti teh celup?" ancam Azuna membuat kedua iblis itu diam seribu bahasa.

Wanita kurang ajar!

Azuna bedebah!

"Aku bisa mendengar makian kalian, tahu!" Azuna tampak emosi. Dia memandang Phoenix dan Demian dengan kesal. Wida mengusap wajahnya yang lelah. Lelah melihat pertengkaran ketiga makhluk peralihan elemen menyebalkan bin bunuh-able.

"Permisi ... Kalian itu menghambat pembicaraan kami. Bisa diam?"

"Ah, maaf. Silakan lanjutkan."

Phoenix merebut dua lembar foto polaroid itu dari tangan Chandra dengan paksa. Alisnya mengerut. Wida dan Azuna kompak berdecih ketika melihat wajah Phoenix yang sok tampan dan sok serius itu. Dia benar-benar ketagihan dengan wujud manusianya yang terlihat sangat tampan—menurut Phoenix sendiri.

"Ini adalah aksara sanskerta. Pantas saja kalian tidak bisa membacanya. Sebentar, aku akan membacanya untuk kalian." Phoenix menghela napas. "Aku hanya wujud tanpa tubuh yang terus hidup terpisah dari pemilik—catat Wida!"

"Iya paman, iya!" pekik Wida kesal. Phoenix jika sedang dalam mode menyebalkan seperti ini, benar-benar memancing nafsu Wida untuk kembali menyegel Phoenix lalu mencelupkannya di kawah candradimuka—julukan kawah berisi lahar yang berada di dimensi paralel lapisan terakhir milik Phoenix—seperti teh celup yang tinggal seduh.

"Aku adalah tempat di mana semua bermula namun aku bukan dewa atau titisan dewa. Aku-"

"Tunggu-tunggu!" tukas Wida sembari mengocok pulpennya. "Pi, pulpenmu mana? Pulpenku habis ... Aku lupa di mana meletakkan pulpen baruku!"

"Astaga, Wida!"

Kusuma mengulurkan pulpen miliknya, "Nih! Masih muda, tapi, pikun!"

"Biasa saja, bisa tidak?!" sungut Chandra.

"Lanjut atau tidak ini!" kesal Phoenix.

"Sebentar, yang mulia Phoenix sang raja elemen yang terhormat!" Wida menunduk mencari keberadaan catatannya barusan. "Abang, ambilkan Wida kertas lagi dong!"

"Sebentar." Pras merobek buku catatan milik Chandra dengan asal hingga bentuknya tidak karuan.

"Nih!" ujarnya sembari menyodorkan kertas buruk rupa kepada Wida.

"Gak mau! Jelek! Ganti!" protes Wida.

"Oh, astaga! Wida! Jangan ribet!" seru semua orang gemas.

"Yok!" seru Wida setelah rempong menyuruh Pras mengambil kertas yang lebih bagus dibanding dengan yang ia ambil sebelumnya dan Wida bingung sendiri ketika catatan pertamanya jatuh ke bawah meja.

"Lanjut nih?" tanya Phoenix memastikan. Dia tidak ingin disela lagi apalagi oleh gadis yang sayangnya adalah Avatar kesayangan dan tercintanya.

"IYA PHOENIX!"

"Kalian sungguh tidak sopan kepada raja elemen seperti aku," cibir Phoenix.

"Sekarang malah kau yang membuat rumit! Lanjutkan atau aku akan mengikatmu menggunakan rantaiku lagi!" ancam Azuna.

"Baiklah, baiklah." Phoenix berdeham. "Aku adalah wujud dengan seribu mahamasthra namun cahaya putih lepas dari tanganku."

Kening semua orang mengerut. "Apa maksudnya?" gumam mereka bersamaan.

"Lanjut."

"Aku adalah kunci atas kejadian masa lampau. Kehancuran dan pemberontakan, aku tahu bahkan seluruh tubuhku adalah kata sandi."

Phoenix beralih pada lembar foto satunya. "Aku berwujud aswa dengan agni yang menyelimuti seluruh ragaku. Aku hidup dalam dunia dengan dimensi tanpa elemen. Aku ... T ... R ... O ... Y ... A."

"TROYA?" jerit Phoenix setelah mengeja aksara terakhir yang sedikit kabur.

Raut muka Phoenix tiba-tiba panik. "Kau dapat ini dari mana Wida?" desak Phoenix dengan sangat tidak sabar.

"Mimpi ... Dan beberapa hari lalu saat Tyo dan papi menemukanku pingsan di apartemen, aku bertemu dengan sosok menyeramkan yang diselimuti api. Awalnya kukira hantu ... Ternyata bukan karena aku bukan indro."

"INDIGO!"

"Iya, itu maksudku."

"Aku benar-benar belum paham dengan semua ini," ungkap Tyo. "Apa maksud dari pesan-pesan yang tercantum di polaroid itu? Dan mengapa kau tampak panik setelah menyebut nama Troya, Phoenix? Bukankah dia makhluk peralihan elemen milik mendiang tuan Yordan Wicaksono, yang artinya Troya adalah penjagamu sebelum Azuna?" cecar Tyo.

"Tanya satu-satu, dasar bocah!" ketus Demian.

"Aku juga tidak paham, Tyo."

"Lebih baik kita pecahkan dulu teka-teki ini perlahan-lahan. Dengan begitu siapa tahu kita bisa mengetahui petunjuk selanjutnya mengenai Troya," usul Revan.

"Nah, betul juga usulanmu."

Phoenix menatap Demian yang sibuk dengan berondong jagung di tangannya. Entah dari mana Demian mendapat satu stoples besar berisi berondong jagung. Phoenix mendengkus. Bukankah sebelum ia datang pembicaraan ini terlihat sangat serius? Tapi, setelah kedatangannya beserta Azuna dan Demian, pembicaraan terasa sangat konyol dan bertele-tele.

"Letakkan stoples itu dan pecahkan teka-teki ini Demian," perintah Phoenix. Demian menurut karena seketika rasa takut melingkupi hatinya. Dia melihat wajah Phoenix begitu menyeramkan dan sepertinya dia siap untuk menyembur Demian dengan seribu bayangan bahasa yang terdengar membingungkan.

"Berikan catatanmu itu Wida," pinta Demian mengulurkan tangannya. Wida menyodorkan lembar catatannya yang disambut oleh Phoenix.

"Baiklah ... Kita mulai dari teka-teki pertama."

"Aku hanya wujud tanpa tubuh yang terus hidup terpisah dari pemilik ... Artinya dia adalah sosok peralihan elemen tanpa wujud yang terpisah jauh dari sang Avatar." Demian menatap Phoenix lalu melanjutkan analisisnya. "Sama seperti aku sebelum memiliki raga, Troya saat ini hanya sesosok wujud peralihan elemen tanpa Avatar. Lebih tepatnya jauh dari avatarnya."

"Aku adalah wujud dengan seribu mahamasthra namun cahaya putih lepas dari tanganku ... Dia adalah wujud yang memiliki benang mahamasthra sama seperti ayah, aku dan Wida. Dan cahaya putih yang di maksud di sini adalah ayah sendiri."

"Aku?" alis Phoenix terangkat satu.

"Ya, karena cahaya putih ini kemungkinan besar adalah api putih milikmu, ayah. Dan di seluruh Negara Api bahkan di seluruh dunia hanya ayah yang memiliki api berwarna putih."

"Kau benar juga Demian. Tidak sia-sia aku menciptakanmu," ujar Phoenix bangga.

Bolehkah Demian menyombongkan diri?

"Aku adalah kunci atas kejadian masa lampau. Kehancuran dan pemberontakan, aku tahu bahkan seluruh tubuhku adalah kata sandi ... Kita semua tahu, pemberontakan dan kehancuran yang dimaksud adalah pemberontakan yang dilakukan oleh Hamdan Zoelva Wicaksono dan kehancuran dinasti Wicaksono."

"Lalu tubuhnya adalah kata sandi itu apa?" tanya Pras.

"Aku tidak tahu pasti. Intinya, dia ingin meyakinkan Wida bahwa dia adalah kunci dari kisah masa lalu keluarga Wicaksono," tutur Demian.

"Sejak kapan kau bermimpi tentang Troya, Wida?" tanya Phoenix.

"Sejak satu minggu yang lalu," jawab Wida dengan yakin.

Demian menegakkan tubuhnya, "Dan yang terakhir ... Aku berwujud aswa dengan agni yang menyelimuti seluruh ragaku. Aku hidup dalam dunia dengan dimensi tanpa elemen." Kening Demian mengerut. "Wujud Troya adalah Aswa yang dalam bahasa sanskerta berarti kuda ... Kuda yang diselimuti oleh api. Agni adalah api, 'kan?"

"Iya. Kota ini juga bernama Agni," celetuk Chandra.

"Lalu dengan 'Aku hidup dalam dunia dengan dimensi tanpa elemen'?"

"Itu berarti dia hidup di dunia di mana tidak ada elemen. Artinya, dia hidup di dimensi yang berbeda dengan kita namun bukan dimensi paralel seperti milik Phoenix dan makhluk peralihan elemen lainnya. Dia hidup di dimensi di mana aksara itu berasal ... Dimensi nyata," jelas Revan setelah menangkap arti dari pesan yang dipecahkan Demian barusan.

"Hei tunggu ... Ada yang ketinggalan Demian," ujar Wida menyadari ada satu pesan yang belum diungkapkan oleh Demian.

"Oh ini ... Sudah jelas bukan? Di kalimat ini ... Aku adalah tempat di mana semua bermula namun aku bukan dewa atau titisan dewa ... Dia adalah tempat di mana semua—kekacauan terjadi—namun dia bukan dewa ataupun titisannya."

"Jelas dia bukan titisan dewa seperti aku atau Demian." Phoenix tampak berpikir sejenak. "Itu artinya Troya masih hidup," celetuknya.

"APA? BAGAIMANA BISA?" pekik semua orang.

"Paman, dalam buku kuno yang aku temukan beberapa waktu lalu-"

"Makhluk peralihan elemen dan sang Avatar adalah sesuatu yang saling terikat dan tidak bisa dipisahkan kecuali kematian yang memisahkan. Mereka memiliki satu energi yang perlahan akan menghilang dalam kurun waktu lima tahun sejak kematian sang Avatar," tukas Azuna.

"Kita harus mencari kebenaran informasi ini, Wida," ujar Chandra.

"Ayah benar."

"Ayo kita ke perpustakaan utama."

.

.

.

.

.

•••

Bersambung....

🍃 Kesadaran adalah matahari 🍃

Copyright © Yekti Wahyu Widanti 2020