Keningnya berkerut dalam keadaan tertidur memikirkan seseorang membuat Ametsa tidak bisa tenang karena gelisah memikirkan Daniel. Ia sangat takut kehilangan orang yang begitu berarti untuknya meskipun dirinya tidak bisa menerima laki-laki itu sebagai kekasih.
"Daniel, maafkan aku," gumamnya dalam keadaan mata terpejam dengan kening yang berkerut samar.
Waktu sudah menunjukkan pukul 06.30 akan tetapi gadis itu belum juga beranjak dari tidurnya dan masih bergelung dengan selimut tebalnya seperti biasa, hingga dimana seseorang pun datang dan memasuki pekarangan Rumahnya.
"AMETSA!" teriak seseorang dari luar.
Laki-laki itu adalah Daniel, ketika sampai ia langsung bergegas menuruni motor sembari melepaskan helm nya. Kemudian dirinya pun berlari memasuki Rumah besar tersebut setelah memencet bel, tetapi tidak ada satu pun tanda-tanda bahwa gadis itu akan membukakan pintu.
"AMETSA!" lanjutnya lagi, tetapi tidak juga kembali terdengar bahwa gadis itu akan membuka pintu. Perasaannya yang kurang nyaman membuat Daniel langsung bergegas memasuli Rumah besar tersebut yang ternyata tidak terkunci menjadikan dirinya berpikiran yang buruk tentang musibah yang mungkin saja menimpa temannya itu.
Kedua matanya terbelalak dengan keringat serta nafas yang tidak teratur dikarenakan kekhawatiran dan kewaspadaannya yang begitu luar biasa. Dengan cepat ia memasukinya dan langsung berjalan menuju ke lantai atas dimana kamar dari gadis itu berada untuk memastikan bahwa Ametsa berada di dalam sana sehingga dirinya bisa merasa aman.
"Ametsa, apa kamu di dalam?" tanya Daniel yang saat ini sudah berada di dalam kamarnya itu. "Aku datang, ayo kita berangkat bersama denganku."
Akan tetapi masih belum juga ada sahutan dari dalam sana yang membuat Daniel semakin khawatir dan dengan sangat terpaksa ia pun membuka paksa pintu kamar tersebut yang ternyata baru dirinya ketahui bahwa Ametsa juga tidak menguncinya membuat laki-laki itu langsung menggelengkan kepala.
Kedua matanya langsung membulat setelah melihat seseorang yang berada di hadapannya saat ini sedang berbaring dengan selimut tebal serta sebuah figura foto yang sedang dipeluknya itu. Ia benar-benar sangat khawatir terjadi sesuatu kepada gadis itu sehingga kini dirinya langsung berlari mendekat ke arah Ametsa.
"Ametsa, apa kamu baik-baik saja?!" tanya Daniel yang kini begitu jelas terlihat khawatir. "Apa yang terjadi?"
Kemudian punggung tangan Daniel pun menyentuh kening dari gadis tersebut yang ternyata begitu panas membuat laki-laki itu menghela nafas.
"Kamu demam, Ametsa," lanjutnya.
Sementara itu Ametsa yang tidak bisa untuk membuka kedua matanya pun hanya bergumam sembari memanggilnya membuat Daniel menjadi merasa bersalah atas apa yang telah dilakukannya kepada gadis tersebut.
"Daniel," panggilnya dengan suara yang hampir berbisik.
"Aku di sini, Ametsa. Kamu bisa mendengarku, 'kan?"
Gadis itu yang mendengarnya pun menganggukkan kepala membuat Daniel yang tidak tega dengan keadaannya dengan sangat terpaksa harus menghubungi kedua orang tuanya untuk memberitahukan perihal kondisi kesehatan dari Ametsa.
"Aku telepon Dokter dulu, ya, kamu tunggu di sini," ujar Daniel kepada gadis itu.
Setelahnya laki-laki itu pun mulai melangkahkan kakinya menuju balkon kamar untuk menghubungi seseorang. Tidak lama kemudian panggilan pun tersambung dan Meyra menyahut di seberang sana.
"Ada apa, Daniel?" tanya wanita itu.
"Mama, Ametsa sepertinya demam, dia panas sekali."
"Apa?! Oke, ya sudah, kamu tunggu di sana, ya. Mama akan segera ke sana sekarang," ujar Meyra dengan kepanikannya yang luar biasa. "Untuk sementara kamu buatkan dulu minum untuknya."
"Iya Ma," balas Daniel dengan khawatirnya itu.
"Ya sudah, kalau begitu, Mama tutup dulu teleponnya. Sebentar lagi Mama berangkat," ujar Meyra yang langsung diangguki oleh laki-laki itu.
"Hati-hati."
Panggilan pun telah berakhir dengan Daniel yang langsung menghela nafas berat sembari memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Kemudian laki-laki itu pun masuk ke dalam untuk menemui Ametsa yang masih terbaring lemas di tempat tidur.
"Ametsa, aku ambilkan air dulu, ya."
"Jangan," ujar Ametsa sembari menggelengkan kepalanya . "Lebih baik kamu pergi bekerja saja, atau nanti Bos akan marah besar."
"Jangan pedulikan soal itu, bagiku yang terpenting hanyalah kamu, Ametsa."
Sebenarnya Daniel bekerja di sana hanya karena ia ingin menjaga Ametsa yang selalu saja menolak tawaran dari dirinya untuk bekerja di Perusahaan Papanya, maka dari itu laki-laki tersebut dengan suka rela ingin menemani gadis itu untuk menjaganya.
"Daniel, aku mohon..." Wajah gadis itu tampak berbeda membuat Daniel yang melihatnya pun menjadi merasa tidak tega dengan hal tersebut.
"Baiklah, aku akan pergi setelah Mama datang," ujar Daniel yang memilih untuk mengalah saja. "Aku ambilkan air minum dulu."
Ametsa pun menganggukkan kepala, gadis itu melihat kepergian Daniel yang kini sudah berlalu keluar dari dalam kamarnya dengan senyum tipisnya itu.
Di sisi lain seorang pria yang berbeda dunia kini sedang memperhatikan Ametsa dari sebuah cermin dengan begitu khawatirnya. Ia langsung menundukkan kepala dengan kedua tangan yang mengepal kuat dan menghela nafas beratnya. Dirinya sudah berulang kali menyaksikan penderitaan yang dialami oleh gadis itu, akan tetapi masih saja tetap tidak mampu melihatnya sehinggga membuatnya menjadi tak berdaya.
"Sudah kubilang jangan menyaksi dirimu sendiri seperti itu." Pak Tua datang melihatnya untuk memastikan sesuatu dan mendapati dirinya yang sedang mengamati seorang gadis membuat ia menjadi kesal. "Aku akan mempertimbangkannya lagi untuk ke dunia yang sama dengan gadis itu jika kau masih terus seperti ini."
"Aku adalah yang bertanggung jawab untuknya, mana mungkin aku bisa bersikap tidak peduli padahal gadis itu sedang menderita!"
"Dan aku adalah yang bertanggung jawab atas dirimu, ingat itu!" Kini Pak Tua itu berdiri di belakangnya dengan satu tangan yang menunjuk ke arahnya dengan tatapan tajamnya itu yang dipenuhi oleh ketegasan. "Kau harus ingat, bahwa aku yang telah membantumu untuk terlahir, jadi jangan sekalipun berpikir untuk menentangku."
Sementara itu seorang wanita kini sedang berlari memasuki Rumah besar yang sudah tidak asing lagi baginya. Ia datang bersamaan dengan Dokter yang akan menangani kondisi Ametsa yang sedang demam tinggi sehingga dirinya tidak perlu lagi merasa khawatir akan hal itu.
"Sayang, bagaimana keadaanmu?" ujar Meyra yang kini berada di samping Ametsa yang sedang menatap ke arahnya sembari tersenyum. Satu tangannya mengusap pipi gadis itu untuk memberikannya kekuatan dan menyakinkannya bahwa masih ada Daniel dan keluarganya yang akan menemaninya sehingga Ametsa tidak merasa sendiri. "Daniel baru saja menghubungiku bahwa kamu demam tinggi."
Bertepatan dengan itu datanglah Daniel yang baru saja memasuki kamar dengan membawa nampan dengan segelas air putih berada di atasnya. Laki-laki itu menghela nafas lega setelah mengetahui bahwa Ametsa sedang ditangani oleh Dokter.
"Mama, apa Papa tahu soal ini?" tanya Daniel.
"Tentu saja, dia akan segera datang sebentar lagi," jawab Meyra dengan senyum tipinya itu mengusap puncak kepala putranya yang kini berada di hadapannya.
Daniel yang mendengarnya pun langsung mengangguk, kemudian menoleh ke arah Ametsa yang saat ini sedang ditangani oleh Dokter tersebut.