Kedua matanya langsung membelalak ketika ternyata ia baru saja tersadar bahwa dirinya sedang tidak berada di dunianya membuat gadis itu menghela nafas.
"Tempat ini lagi," gumamnya dengan kedua tangan yang melipat di dada. "Waktuku masih banyak, lalu aku akan melakukan apa di sini?"
Ametsa mengedarkan pandangannya ke sembarang arah dengan perasaan takutnya karena gadis tersebut yang tidak mengenal siapapun di dunia ini.
"Akhirnya kamu kembali, Ametsa."
Suara yang begitu familier di telinganya itu membuatnya langsung terpaku di tempat dan tidak berani untuk memutar tubuhnya melihat seseorang yang sudah lama tidak ditemuinya tersebut ternyata ada di belakangnya.
"Kau mau kemana?" tanya laki-laki itu saat melihat seseorang yang berada di hadapannya hendak pergi menjauhinya. "Aku baru saja mendatangimu, tetapi kau malah ..."
Ametsa menghela nafas lalu menghentikan langkahnya sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri untuk memutar tubuhnya ke belakang menghadap seorang pria yang baru saja berbicara kepadanya itu.
"Memangnya apa yang harus aku lakukan di sini?" ujarnya dengan kedua tangan yang langsung melipat di dada serta satu alis yang terangkat. "Aku tidak berniat untuk berada di sini, tetapi ternyata aku kembali ke sini."
"Apa kau sungguh tidak ingin bertemu denganku?" tanya pria tersebut yang membuat Ametsa menghela nafasnya. "Padahal aku sudah lama menantikanmu datang kembali ke sini, tetapi saat kau berkata seperti itu ... membuatku menjadi bersedih."
"Kamu sudah membuatku dipenuhi oleh rasa penasaran karena kau yang tidak pernah memperlihatkan wajahmu. Bagaimana bisa kau berharap aku ingin bertemu denganmu?"
Tanpa sadar apa yang diucapkan oleh seorang gadis yang berada di hadapannya saat ini membuatnya menjadi semakin merasa sakit. Entahlah, seandainya Ametsa tahu bahwa kehadirannya selama ini adalah untuk menjadi temannya seumur hidup.
"Ametsa, apa kau lupa? Aku ini adalah teman hidupmu. Sejak kecil aku selalu datang kepadamu, tetapi mengapa sekarang menjadi seperti ini? Apa aku membuat kesalahan sampai kau tidak mau bertemu denganku lagi?"
"Sadarlah, kau hanya teman khayalanku dan kita ini sedang berada di dunia yang tidak nyata." Ametsa menghela nafas sembari menundukkan kepalanya dengan kedua mata yang terpejam, lalu kembali mendongakkan kepalanya memandang seorang pria yang berada di hadapannya saat ini dengan perasaan kesalnya. "Baiklah, aku akan berkata jujur kepadamu."
Pria itu yang mendengarnya pun langsung mengerutkan keningnya dengan kedua mata yang memincing. "Apa yang akan kau katakan?"
"Sabarlah, aku harus mempersiapkan diri terlebih dahulu untuk mengatakannya," ujar Ametsa yang saat ini sedang merasakan detak jantungnya yang berdebar kencang. "Karena aku akan mengatakan langsung kepada dirimu."
Saat ini pria itu melihat dengan jelas bagaimana seseorang yang berada di hadapannya itu begitu lucu sehingga kini ia pun langsung menyunggingkan kedua sudut bibirnya sehingga membentuk sebuah senyuman. Dirinya benar-benar tidak menyangka bahwa Ametsa akan membuatnya memiliki perasaan seperti ini.
"Sebenarnya aku sudah lama menunggumu," ujar Ametsa dengan kepala yang menunduk. "Tetapi ketika kau datang, ternyata kau hanya khayalanku saja. Dunia kita pun berbeda, aku benar-benar berharap lebih dari ini. Tetapi aku sadar bahwa kau tidak akan pernah bisa menjadi nyata dan hidup dalam satu dunia yang sama sepertiku."
Tidak disangka bahwa Ametsa saat ini langsung menitikkan air mata begitu saja sehingga membuat pria tersebut yang melihatnya pun tak bisa berkutik.
"Apakah yang kau katakan itu memanglah benar?" tanya pria itu dengan kedua matanya yang menatap intens gadis itu. "Cepat katakan padaku. Apakah itu benar, Ametsa?"
Ametsa yang cukup lama menangis tanpa suara pun langsung menghapus air matanya dengan sebuah senyuman sebelum akhirnya gadis itu kembali berkata, "Sudahlah, lupakan saja apa yang aku katakan. Lagi pula, aku akan mencoba berkencan dengan seseorang."
"Berkencan?!" ujar pria itu terkejut dengan kedua mata yang membelalak. "Kau pasti bercanda 'kan, Ametsa?"
Gadis itu yang mendengarnya pun langsung memutar kedua bola matanya malas sebelum akhirnya kembali berkata, "Untuk apa aku bercanda, hah?" ujarnya. "Memang benar aku akan berkencan, jadi kau tidak perlu lagi masuk ke dalam mimpiku."
"Mimpimu?" tanya pria itu dengan satu alis yang terangkat. "Bagaimana bisa kau berpikir bahwa ini adalah mimpimu?"
Ametsa memutar kedua bola matanya malas setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh pria tersebut terhadapnya sehingga kini gadis itu menghela nafas seketika dengan kedua tangan yang berada melipat di dada.
"Menurutmu?" ujar gadis itu. "Sudahlah, aku benar-benar ingin merasakan rasanya berkencan, jadi jangan membuatku semakin sulit untuk melepaskanmu."
Sepertinya gadis itu tidak tahu apa yang sudah dikatakannya itu akan berakibat lain bagi pria yang saat ini masih berdiri di dekatnya tersebut.
Sebuah senyum pun terbit begitu saja setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Ametsa sehingga kini pria tersebut merasa memiliki sebuah harapan untuk bisa bertemu dengan gadis di hadapannya itu secara langsung di dunia nyata.
"Baiklah, jika itu yang kamu mau. Aku akan membiarkanmu merasakan bagaimana rasanya berkencan."
Detik berikutnya Ametsa pun langsung membuka kedua mata dan pemandangan pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamarnya. Gadis itu terbatuk-batuk sehingga Hanzo dan Meyra yang sedang berbincang di balkon kamarnya pun langsung segera memasuki kamar untuk melihat keadaannya.
"Ametsa, kau kenapa?!" tanya Meyra dengan kekhawatirannya itu yang begitu luar biasa. "Kau tidak apa-apa, 'kan?"
Begitu pula dengan Hanzo yang saat ini mengusap puncak kepala Ametsa dengan penuh kasih sayang. Pria itu benar-benar sangat menyayangi gadis ini yang sudah seperti anak kandungnya sendiri.
Terlebih ia yang begitu sangat menginginkan seorang anak perempuan, akan tetapi Tuhan berkata lain dengan mempertemukan dirinya dan Ametsa yang merupakan seorang yatim piatu.
"Paman, Bibi, berapa lama aku tertidur?" tanyanya dengan kedua alis yang terangkat.
Hanzo dan Meyra yang mendengarnya pun langsung menghela nafas dengan pandangannya yang saling memandang satu sama lain hingga salah satu di antara mereka pun mengatakan sesuatu yang
membuatnya langsung menghela nafas seketika.
"Kamu tertidur cukup lama, Ametsa. Memangnya ada apa?" Hanzo berkata dengan kedua alis yang terangkat. "Kamu mimpi buruk?"
Ametsa langsung terdiam dengan beberapa pikiran yang terus tertuju dengan perkataan pria itu yang berada di dalam mimpinya. Gadis itu menghela nafas sebelum akhirnya berkata, "Tidak, Paman. Mimpiku sangatlah indah sampai ..."
"Aku menyesal telah mengatakan hal itu kepadanya," lanjutnya di dalam hati.
Masih teringat dengan jelas bagaimana seseorang yang berada di dalam mimpinya itu mengatakan sesuatu sebelum dirinya benar-benar terbangun. Entah ini hanya firasatnya saja atau tidak, tetapi yang pasti saat ini Ametsa merasa ada sesuatu dibalik ucapannya itu, namun ia tidak tahu apa itu.
Ametsa menghela nafasnya, sedangkan Hanzo dan Meyra yang sedari tadi menunggu ucapan yang akan dikatakan selanjutnya pun saat ini memandangnya dengan bingung.