Matahari terlalu cepat datang untuk Witya yang sedang ingin memejam lebih lama. Hari ini, ia harus kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan pekerjaannya. Waktu bersama keluarga harus ia pangkas dulu demi kewajibannya sebagai editor. ia memasukan handset, handphone, charger, tas kecil berisi make up, minyak telon yang harumnya menjadi favorit Witya, Novel, dan dompet.
Witya ingin bertemu Ghya sebentar, tapi urung ia lakukan. Ia tahu Ghya pasti lelah karena baru pulang dinas. Semakin hari, perasaan Witya semakin tidak menentu. perasaan yang entah datang darimana. Sinar pagi tidak cukup untuk membuatnya merasa lega sepenuhnya, ia ingin melihat senyumnya lagi dan lagi. Berada di sampingnya membuatnya mengeluarkan tawa dengan mudah. Tapi di sisi lain, ia tahu risiko terburuknya adalah alih-alih rasa yang tidak tersampaikan, malah jarak memisahkan mereka semakin jauh.
" kaaaak, nanti aja ke Jakartanyaaa.. kenapa cepet banget sih?" Sastra tiba-tiba menarik-narik tangan Witya, tidak biasanya. Sementara itu, Aksa yang masih mengantuk, malah pindah tidur ke kasur Witya dengan membawa guling favoritnya. Witya tersenyum dan mensejajarkan wajahnya dengan wajah Sastra " adiknya ka Yaya yang paling bandel, kakak harus kerja dek. Nanti minggu depan kaka balik lagi kok. Lagian kamu tumben apa sampe segininya". Senakal-nakalnya mereka, Witya tetap sangat sayang adik-adiknya. Yang menjadikan alasan untuk Witya kuat dengan pekerjaannya yang sekarang. Ketika lelah, mereka hiburan yang paling bisa bikin Witya tertawa meskipun ada saja tingkah usil mereka yang kadang membuat Witya sedikit kesal. Witya ingat momen ketika mereka mendaftar di Sekolah Menengah Pertama, saat itu Witya yang mengantar Sastra dan Aksa, tidak seperti siswa-siswa lain yang diantar oleh Ayah dan Ibu mereka. Sastra yang tiba-tiba menangis kala itu " pengen sama Ayah..". Satu kalimat yang membuat hati Witya terisiris saat itu, tetapi ia berusaha untuk baik-baik saja di depan adik-adiknya.
Ia berangkat dari Stasiun Prujakan pukul 08.30 menggunakan KA Cirebon Ekspres kelas Ekonomi. Ia meminum kopi susu hangat yang ia beli sebelum naik tadi, sembari tangan kirinya memegang novel yang belum selesai ia baca. 1 jam perjalanan berlalu. Ia melirik ke sebelah kiri ada anak kecil yang menangis dipangkuan ibunya karena tidak betah ingin turun. Sang Ayah berusaha ikut membantu menenangkan, ia bercerita ini dan itu berharap tangis anaknya segera reda. Seketika Witya menitihkan air mata, ia rindu Ayahnya. Yang mengobati luka di dengkul karena jatuh dari sepeda, yang membantu membuat rumah kayu tugas prakarya sewaktu SD, yang bercerita tentang kisah-kisah Nabi, yang pandai meniru suara-suara kartun dan memeragakannya di depannya agar ia tak main di luar saat hujan, dan lainnya yang sangat Witya rindukan. Semoga bisa bertemu dengan Ayahnya sesegera mungkin.
Setelah perjalanan kurang lebih 3 jam, Witya tiba di stasiun Gambir. Ia langsung memesan ojek online untuk sampai di kantornya. ia kembali lagi bertemu dengan polusi ibu kota, gedung-gedung tinggi yang berdiri kokoh, kemacetan yang terus berulang-ulang. Witya sedikit tergesa-gesa karena ia sebenarnya sudah terlambat untuk sampai kantor. ada meeting dengan pimred ( Pimpinan Redaksi ). sudah terbayang di benak Witya bagaimana pimpinannya akan marah karena ia terlambat. ia hanya pasrah semoga tak dapat ceramah 3 sks.
setibanya di kantor, Witya langsung berlari menuju lift dan menekan tombol lift ke lantai 3 ruang meeting. sesampainya di depan ruangan, dengan menyiapkan segala mental, ia mengetuk lalu membuka ruang meeting " permisi.." ia pun langsung ditatap oleh semua yang hadir disana, tak terkecuali pimpinannya. " Jam berapa ini Witya? ini kita sedang dikejar deadline tolong disiplinnya jangan seenaknya sendiri!" ucap pimpinannya, Ibu Juli Anastasia, dengan nada meninggi. " maaf bu, tadi saya dapat jadwal keretanya jam 08.30 jadi saya sampai dikantornya terlambat " Witya menunduk, antara takut dan menyesal.
" silahkan duduk, mari kita lanjutkan pembicaraan kita tadi. oh iya kebetulan kamu datang Wit, naskah penulis Rangga Rakanata sudah selesai? kapan kita bisa terbitkan?"
" mohon maaf bu, belum selesai saya kerjakan, karena saya dengan mas Rangga selalu beda pendapat soal naskah. selain itu, sedikit sulit untuk membuat janji dengan mas Rangga untuk kelanjutan naskah"
" itu adalah persoalan yang harusnya bisa kamu selesaikan sebagai editor, kalau hanya itu saya rasa harusnya sudah selesai sejak awal. ini kita deadline 1 bulan lagi Wit. kita harus menerbitkan novel-novel dengan cerita yang menarik agar diminati pembaca. tolong tanggung jawabnya ya Witya, selesaikan sebelum waktu deadline" . ultimatum yang jelas dari ibu Juli.
" iya bu baik akan saya kerjakan sebelum waktu deadline". menghela nafas pelan agar tak kelihatan bu Juli.
"baik saya rasa cukup untuk meeting kali ini. Witya, silahkan tanya teman-teman yang lain mengenai pembicaraan sebelum kamu datang" ucapnya mengakhiri pertemuan.
" baik bu"
setelah semuanya bubar, yang ada di ruangan hanya Witya dan 3 rekan kerjanya, Lutfi, Iman, dan Tyara. Witya hempaskan tubuhnya ke belakang kursi lalu memijat kepalanya pelan. " Wit, parah lu. baru kali ini lu kena semport bu Juli. napa sih lu?" cecar Iman , yang orangnya memang ceplas ceplos. Witya sedari tadi menahan tangis, akhirnya pecah juga. " aku pusing, ini nuntut, itu nuntut" Witya langsung peluk Tyara " udah ah Wit lu kuat kok lu bisa, anggep aja omongan bu Juli tadi ga pake nada tinggi tapi nada-nada ciiiiiiiinta jadi adem aja diingatan dan hati lu" nasehat Tyara yang sungguh receh tapi benar. " udah ah udah jangan sedih-sedihan mending kita omongin nanti siang mau makan apa" Lutfi menengahi.
" gue mah apa aja fi, asal ditraktir elu ya! hahahaha" kata Iman. " iya siap, gue traktir batu mau?" "nah iya fi, sekalian kasih toping keju biar uwu uwuuuuw" gaya Iman yang sok imut. Witya tertawa sedikit melihat tingkah mereka. mereka sahabat Witya sejak pertama kerja di Jakarta. Tyara yang mencarikan kontrakan untuk Witya karena Tyara sudah mempunyai suami dan anak 1 sehingga tidak mungkin Witya tinggal bersamanya mengingat rumah Tyara pun kecil. Lutfi dan Iman yang rajin mengenalkan Jakarta kepada Witya. tentang budayanya, makanan khas Jakarta, tempat-tempat nongkrong yg asyik dan murah di Jakarta, dan selalu mengajak Witya berkeliling kemanapun ketika mereka sedang badmood, tapi ini tidak berlaku ketika tanggal tua alias engga punya duit. mereka bertingkah apa adanya dan tanpa dibuat-buat, membuat Witya merasa nyaman menjadi diri sendiri. seyogyanya sahabat memang begitu. sahabat adalah saudara yang terpilih. yang tidak meninggalkan ketika tahu sisi terburukmu, mereka yang akan menegurmu dengan cara yang baik dan tidak mengumbar sisi burukmu kepada orang lain. karena kita tidak tahu kedepannya akan terjadi apa, tapi satu hal yang harus diingat bahwa saat kamu jatuh dan terpuruk, hanya sahabat-sahabat yang tuluslah yang mau mengulurkan tangannya dan mengajakmu bangkit.
waktu menunjukan untuk makan siang, Witya, Tyara, Lutfi dan Iman bersiap keluar kantor untuk mencari makanan yang murah tapi mengenyangkan. saat tiba dipintu keluar, Witya terkejut. ada yang sudah menunggu lengkap dengan seragamnya. yap, siapa lagi kalau bukan Ghya. " ngapain Ghy?"
" jadi satpam di kantor kamu" jawab Ghya sekenanya. Witya senang, bahkan ia hampir kelepasan teriak karena saking senangnya. Ghya datang ke kantor Witya, lengkap dengan tentengan makanan kesukaan Witya : Mie ayam baso dan es jambu dengan makan penutup brownies lumer coklat.
" paham kan kalo aku udah bawa ginian?" kata Ghya. " iya paham. gengs, aku makan siang sama Ghya ya kalian duluan aja" kata Witya kepada sahabat-sahabatnya " iyeee Wit iyeee. paham kita mah" ucap Lutfi lalu mereka pun meninggalkan Witya dan Ghya.
Witya dan Ghya duduk-duduk di taman sebelah kantor. " kamu engga makan , Ghy?" " udah tadi. aku marah ya Wit, kamu ke Jakarta engga bilang dan engga nemuin aku dulu" Ghya cemberut. ada ya, orang marah tapi bilang haha. " maaf Ghy, aku engga mau ganggu kamu, kan kamu baru pulang dari Jogja semalem." Witya elus rambut Ghya lembut sebagai tanda maafnya " jangan lagi-lagi, Wit.". " siaaap padukaa" Witya mengacungkan jempol di depan hidung Ghya. ingin rasanya Witya memeluk Ghya tanpa ragu. hanya ingin menjelaskan bahwa ia pun sejujurnya ingin selalu ditemani Ghya karena ada rasa yang rasa-rasanya tidak bisa ia tampik lagi ; jatuh cinta, rindu.
ini diluar sadar Witya sebagai manusia biasa. ia biasa kuat, ia biasa tegar. tapi seketika ia hanya ingin dipeluk untuk alasan yang tak bisa ia jelaskan. ia tumbuh menjadi wanita yang semakin hari harus dituntut semakin dewasa. setiap kesempatan selalu punya pilihan, tetapi seringkali tak memberi ruang untuk memilih. akhirnya mau tidak mau berjalan saja. menjadi perasa pun bukan kemauannya, jadi berhenti untuk bersikap seenaknya dan menganggap orang-orang seperti ini mudah terbawa perasaan karena setiap orang punya perasaan , punya sesuatu hal yang dia suka dan dia tidak suka. lebih baik mulai menghargai daripada tak henti-hentinya menghakimi.