"Abang yakin sama Syva?" tanya Witya.
" sama kayak iklan sabun cair Wit ; 100% yakin. yaaa emang sih ini peristiwa teraneh yang pernah gue alamin tapi gue engga pernah nyesel Wit. kadang kala, kita akan dibenturkan pada beberapa kejadian yang sebenarnya secara engga langsung akan ngebuat lo milih antara maju atau mundur, semangat atau menyerah dan yang paling penting lo harus tanggung jawab sama pilihan yang lo pilih. engga usah sok-sokan nyalahin takdir, lah wong lo yang udah milih kok." tutur Iman panjang lebar sembari membereskan barang-barang Syva yang masih di kost Witya.
" trus abang mau ke Jogjakarta?" Witya merasa khawatir perihal niat Iman yang ingin ke Jogjakarta menemui keluarga Syva
" iyaa Wit, bismillah aja dulu. gue engga tahu apa yang akan terjadi disana, gue cuma pengen nyelamatin Syva dan membuatnya merasa kalo gue adalah lelaki pilihan yang tepat buat dia. perkara apa yang terjadi disana nanti, lillahita'ala aja gue mah Wit. yaudah gue berangkat ya" Iman pamit.
" take care bang" Witya melambaikan tangan pada Iman. Iman balik melambaikan tangan dan tersenyum.
Witya yang tengah bersiap kerja,tiba-tiba ia kefikiran cerita Ghya kemarin di rumah sakit. ia berada di persimpangan antara mengutarakan atau lebih baik putar balik. antara nasib persahabatannya atau memenangkan hatinya. ia hanya tak menyangka Ghya tega menyakitinya secara tidak langsung. tapi kalau difikir-fikir lagi, Ghya tidak bermaksud menyakiti hatinya, hanya Wityanya saja yang terluka oleh harapannya sendiri. rasanya ia malas bekerja hari ini. semuanya jadi tak karuan. nafsu makannya tiba-tiba saja menghilang.
Boneka panda pemberian Ghya 6 tahun yang lalu masih ia simpan. Kondisinya sudah lusuh dan kusam tapi anehnya justru menjadi benda favorit Witya selama hidupnya. Ghya yang mengubahnya menjadi periang. meyakinkan Witya jika dunia luar tak sekejam yang ada difikirannya. membuat Witya memiliki mental bergaul dan bersosialisasi dengan orang lain. ia banyak mengubah hidup Witya. ia memeluk boneka itu, lalu perlahan menitihkan air mata. sungguh ia takut kehilangan. sungguh ia ingin ditemani. ia ingin ada yang memeluknya tanpa harus merengek dulu.
Ketika Witya bersiap pergi kerja, tiba-tiba sudah ada yang bertengger di depan gerbang kost ; siapa lagi kalau bukan Ghya dan mobil kesayangannya. " Wit, jalan-jalan yuk. aku baru nyampe Jakarta nih, tapi pengen melipir duluuu" kata Ghya dengan gaya tengilnya.
"boleeh, kemana? tapi aku ke kantor dulu ya ambil laptop nanti sekalian aku nulis juga." Jawab Witya.
" baaaaiiik ibu Witya. buru masuk ih lamaa" Ghya yang selalu tak sabaran.
Witya hanya tertawa kecil melihat tingkah Ghya seperti ini. ternyata ia tak kehilangan Ghya seutuhnya. setidaknya ada kebiasaan-kebiasaan yang hanya dia yang tahu.
Mereka berdua terdiam. Tak ada pembicaraan selama perjalanan. Witya melirik Ghya sekali lagi. Menyamakan pandang mata dengan isi hatinya apakah tetap selaras atau sudah berlainan arah. Ternyata memang tak berubah. betapa ia ingin mengusap pipi Ghya yang lelah akibat dinas antar kota. Resiko pekerjaan yang justru sangat disukai Ghya. Menurut Ghya, ia senang dengan pekerjaannya kini karena ia bisa jalan-jalan keliling kota tanpa harus mengeluarkan biaya katanya. Apapun itu, Witya senang ketika Ghya senang.
April 2014
Witya yang sedari awal masuk SMK sudah memakai kacamata tentu tak bisa lepas dari benda tersebut. kadang ia iri kepada teman-temannya yang mempunyai fisik sempurna, paras ayu nan menawan, sekali senyum semua mengkerubuti sedangkan semua itu terbalik dengan diri Witya. yang ia pandang hanya buku, yang ada diotaknya hanya pengetahuan-pengetahuan yang ia baca. dan satu lagi, orang yang tahan dengan segala anehnya Witya hanya 1 manusia ; Anarghya.
Witya yang sedang duduk sambil membaca di teras kelas pun dikagetkan dengan kehadiran Ghya " eh Wit, jajan yuk" kata Ghya masih setengah tersengal-sengal usai bermain sepak bola. " Ghya ih keringetnya masih banyak banget, di elap duluuuu" Witya risih melihat keringat Ghya yang masih bercucuran di wajah.
" cieee pacaran mulu nih. tumben lo ada yang mau? emang ada ya cowok yang suka sama lo Wit? kacamata tebel amat" kata salah seorang temannya dari kelas sebelah. Witya berusaha menahan emosinya, tapi tidak dengan Ghya.
" heh, tutup kerupuk! mulut lo enaknya dibakar atau dibuang ke tong ya? sama-sama sampah sih!. gue denger lo sekali lagi ngomong gitu ke Witya, siap-siap aja alis lo ilang sebelah" kata Ghya memperingatkan wanita itu.
" Ghya ah udaah malu" Witya dengan segala sifat ketidak-enakannya, ingin melerai mereka. Wanita itu pun pergi meninggalkan Ghya dan Witya.
" Wit, kamu harusnya ngelawan kalau ada yang begitu jangan diem aja. semakin di diemin , semakin ngelunjak yang kayak gitu.." Ghya meletakan jarinya di hidung Witya " kamu harus bahagia Wit, harus!" ditatapnya Witya dengan perlahan dan dalam.
" Ghyyy makasih yaaa, makasih udah engga nyerah sahabatan sama aku" kata Witya , matanya memanas , terharu dengan sikap Ghya. " Wit , jajan sih ayoook yaelah laper banget ini" Ghya merengek minta jajan, seperti anak kecil aja haha.
" ngapain jajan sih Ghy, itu aku udah bikin cemilan banyak. sengaja aku bikin buat kamu juga, ambil aja gih di dalem di sebelah tas aku.". " gaaaasss" soal makanan, Ghya juga termasuk yang paling semangat.
mereka memakan camilan pisang goreng, bolu pisang dan kue coklat keju buatan Witya di pinggir lapangan sambil menonton yang sedang bermain bola di lapangan . " suatu saat aku harus sukses Wit. pengen banget bapak bangga. tapi sedih mamah udah engga ada". Ghya terlihat sedikit murung. Witya memiringkan wajahnya agar sejajar dengan wajah Ghya lalu menyodorkan sepotong bolu pisang " kan ada kuenya Witya yang selalu nemenin Ghya hihihi" Witya berusaha menghibur. Ghya tertawa kecil.
" okee pokoknya kamu engga boleh absen masakin aku ya Wit. harus. bahkan pas aku udah sukses sekalipun" kata Ghya. " iya Ghy, semoga kita masih bisa sama-sama ya". hanya dijawab anggukan oleh Ghya karena mulutnya sudah penuh kue coklat keju.
****************************************************************************
Pernikahan Shifa dan Leo tak serasa sebentar lagi pelaksanaannya, semua sibuk termasuk sahabat-sahabatnya. " ini Shifa mau bikin hajatan 7 hari 7 malem apa gimana sih ya ampuuun" kata Hadi mengeluh. " hust ah jangan sampe kedengeran Shifa. bisa-bisa kamu digoreng sama kentang tuh haha" Ahmad menimpali. Nadir yang sedari dari terlihat gelisah pun di sadari oleh Ahmad. " Nad, kamu kenapaaa?" Ahamd bertanya kepada Nadir. " harusnya sih engga apa-apa cuman kok aku ngerasa gelisah ya mad. tadi telfon suster yang jaga ibu dia bilang baik-baik aja. engga tahu deh apaan" Nadir Nampak bingung dengan dirinya sendiri. semua memegang bagiannya masing-masing, Hadi bagian atur dekorasi, Ahmad atur bagian sound system (karena dipandang sebagai anak IT yang bisa segalanya, Shifa malah menyuruhnya atur bagian sound system haha) dan Nadir bagian acara. Shifa memang menyewa wedding organizer, tapi ia tetap lebih percaya dengan sahabat-sahabatnya sebagai pengatur utama. ini antara percaya dengan lebih hemat budget karena sahabat-sahabatnya sendiri yang membantu haha.
" gaaaes, udah beres semua?" Sapa Shifa. " Nah ini dia mandornyaaaaa. beres matamu, iki lhooo masih banyak yang belum" lagi-lagi Hadi keluarkan omelannya. " marah-marah aja sih Di heran haha" Shifa malah tertawa. " eh eh Witya jadi kesini engga sih? bilangnya otw sebelum hari H awas aja kalo engga" kata Shifa sambil cek notifikasi di handphonenya.
" emang Witya hari ini kesini?" bak magnet, ia langsung tertarik dengan apapun perihal Witya. "gercep amaaaat bang udah kayak admin olshop kalo ada orderan haha" Hadi menyauti. Nadir salah tingkah. kini apa yang harus ia lakukan, menjemput Witya atau bagaimana? ah diam-diam Nadir tersenyum bahagia walau baru mendengar nama Witya. " yang nikah itu Shifa bukan kamu, Nad. engga usah senyum-senyum sendiri" Ahmad meledeki Nadir lalu kabur karena Nadir sudah pegang sapu.
sementara di sudut Jakarta sana, Witya mulai bersiap-siap pergi ke Purwokerto. ia tak sabar ingin bertemu dengan sahabat-sahabatnya, rasanya yang sudah lama sekali tidak bersenda gurau dengan mereka. membayangkan sahabatnya Shifa akan menikah, ia pun berharap semoga segera menikah juga.
Witya hendak menelpon Ghya untuk minta diantar ke stasiun. Biasanya Ghya akan mengambilkannya tiket kereta dan langsung menyiapkan tempat duduk untuknya. kini, ia mendadak ragu untuk mengandalkan Ghya. Witya ingat bahwa sudah ada orang lain yang menjadi prioritas Ghya. yang menjadi telinga Ghya disaat Ghya ada masalah. yang menjadi tangan Ghya saat Ghya menangis. meski Witya belum tahu jelas mereka seperti apa, rasa-rasanya menyiapkan seribu langkah untuk pergi adalah jalan terbaik karena bertahan pada harap yang belum tentu arahnya hanya akan berujung ratap.
setelah berfikir lama, akhirnya Witya memberanikan diri menelpon Ghya. ya, memberanikan diri. mereka ternyata memasuki fase baru dimana mereka akan menjadi asing karena sudah ada manusia lain dalam kehidupan mereka. " Assalamu'alaikum Ghy, lagi dimana? anter aku ke stasiun yuk Ghy. Aku mau ke Purwokerto. bukti booking tiketnya juga udah aku kirim ke kamu Ghy" kata Witya to the point. " wa'alaikumsalam Wit, maaf yaa Wit aku baru aja mau pulang ke Cirebon. gini aja, nanti aku pesenin mobil online terus..." belum selesai Ghya bicara, Witya inisiatif untuk memotong pembicaraan " udah Ghy udah engga usah aku bisa sendiri. terima kasih" Witya langsung menutup telepon.
sudah ia duga, jawabannya akan menyakitkan. ia belum siap dengan keadaan seperti ini. Ghya berubah, mereka berubah tetapi hanya Witya yang harus mengalah. akhirnya ia memutuskan untuk berangkat sendiri menuju stasiun. Witya tiba di stasiun 20 menit sebelum keberangkatannya. ia sengaja berangkat lebih awal. ia ingin merasakan menunggu di tempat duduk sebelah rel kereta api. ia yang biasanya menunggu Ghya disini, kini Ghya tengah asyik dengan manusia barunya. semakin lama, semakin menggrogoti batin Witya. ia semakin tidak bisa menahan tangisnya. Lensa kacamata yang tebal serta masker yang ia kenakan nyatanya tak bisa menutupi sedihnya. boneka panda kecil pemberian Ghya , yang ia bawa kemana-mana menjadi barang paling tak boleh lecet apalagi hilang. tapi disisi lain, ia merasa seperti memeluk lukanya sendiri.
ia yakin semua ini hanya tentang perjalanan. tentang yang menemukan lebih dulu lalu bahagia setelahnya. tentang perjuangan yang cepat atau lambat, akan menemui muaranya. bahkan ia berfikir apakah perasaan ini sungguh hina hanya untuk dipedulikan? apa segala sirat dan surat yang ia beri tak mampu dibaca olehnya? apakah nadi yang paling dekat harus mengalah dari ufuk? ia ingin di dekap sekali saja, yah hanya sekali saja. ditengah suasana dengan rintik hujan serta lamunannya yang semakin ia nikmati, notifikasi pean teks berbunyi disana tertulis Adik Aksa.
Adik Aksa:
Kak,ibuu aneh. ibu jahaat.
Witya heran, berkali-kali adiknya mengirimkan teks seperti itu. Witya mikir tak mungkin ibunya jahat kepada adik-adiknya, mungkin karena adik-adiknya bandel lalu ibu menjewer telinga adiknya, sehingga mereka berfikir ibu jahat padahal kan itu hukuman wajar agar mereka jera. witya hanya membalas dengan bilang ke mereka bahwa mereka jangan nakal dan harus nurut sama ibu.
kereta Witya tiba, lalu ia buru-buru masuk ke dalam kereta karena barang bawaannya lumayan berat sehingga ia ingin segera menaruh barang-barangnya. sembari sesekali berfikir, ada apa dengan adik-adiknya? perasaan Witya semakin risau. lalu ia tepis lagi. ia akan langsung pulang ke Cirebon selepas 2 minggu di Purwokerto. sengaja ia meluangkan waktu agak lama di Purwokerto, ia hanya rindu dengan kota khas getuk goreng tersebut. semua kenangan dari ia belum jadi apa-apa sampai sekarang ia bisa mandiri. tempaan dan binaan selama ia kuliah menjadikan ia kuat saat ini. meski kekanak-kanakan itu masih ada, tapi setidaknya ia kini berubah bahwa dewasa itu bukan untuk dirisaukan tapi dijalankan. persoalan tentang perasannya harus diistirahatkan terlebih dahulu. ia ingin bernafas lega sejenak.
Perjalanan di tempuh selama 4 jam, ia telah tiba di stasiun Purwokerto. ia rindu aroma udara segar di kota ini, yang menjadikannya candu setelah kota kelahirannya sendiri. ia menunggu Hadi menjemputnya di stasiun. Witya heran kenapa bukan Nadir? tapi yasudahlah tidak apa-apa mungkin Nadir sibuk praktek atau apapun itu Witya tak tahu. setelah menunggu kurang lebih 30 menit, akhirnya Hadi datang dengan mobil yang Witya kenal ; mobil Ahmad . Hadi buru-buru menuju Witya dan membawakan barang-barangnya, " maaf ya Wit telat tadi ada perdebatan sengit perkara bensin doang. engga ngerti lagiiiii sama manusia jaman pasca purba ini" kata Hadi sambil menggendong tas dan menyeret koper Witya. "haduh haha berantem sama siapa sih bang?" Witya tertawa. " siapa lagi sahabatmu yang paling ajaib wujudnya" jawab Hadi dengan muka kesal tapi tetap lucu. " haha Shifa?" tebak Witya. Hadi hanya mengacungkan jempol di depan muka Witya. Witya hanya tersenyum dan geleng-geleng saja. kelakuan sahabat-sahabatnya semua memang unik bahkan terkadang memalukan namun lebih dari itu, Witya terlanjur cinta mereka. sehat-sehat ya sahabat.
" Wit..." Hadi sepertinya ragu untuk memulai percakapan. " iyaa?" Witya sedikit kaget karena lagi-lagi ia melamun. " kabarmu gimana sekarang?" Hadi memberanikan diri untuk bertanya walaupun klasik sebenarnya.
" baik bang Hadi, kabarku sih gini-gini aja haha" jawab Witya
" bukan itu, maksudku, hatimu apa kabar? jadi kamu pilih siapa?" Hadi takut kalau pertanyaannya malah menyinggung Witya.
" aku engga milih siapa-siapa dan engga ada yang dijadikan pilihan juga" jawab Witya, sedikit kecut.
akhirnya Hadi memilih diam dan tak bicara lagi. membiarkan Witya dalam lamunannya lagi.
perjalanan rumah Shifa kurang lebih 30 menit. Witya sudah tak sabar bertemu dengan Ahmad dan Shifa. daaaan Nadir juga. mengenang lagi masa-masa mereka masih duduk di bangku perkuliahan. setidaknya Witya ingin mencari tawa disini atas apa yang dirasakannya akhir-akhir ini.
Sesampainya di rumah Shifa, Ahmad, Nadir dan Shifa sedang duduk-duduk di teras depan rumah, kegirangan ketika Witya datang. " Wityaaaaaaa!!! sumpah yaa sumpah aku kangen banget sama kamu wit" Shifa langsung memeluk Witya. " biarin Witya istirahat dulu kek fa" kata Hadi.
" iyaaa ih bawel. EH INGET YAAA BENSIN GANTIIN" Kata Shifa meledek. " IYA IYAAA AMPUN DAH AKU SAMA KAMU FAAAA. UNTUNG MAU NIKAAH" Hadi langsung ke dapur ambil minuman dingin. semuanya hanya tertawa melihat tingkah mereka bak kartun tom and jerry.
" apa kabar faaa? beda sekarang kamu" kata Ahmad menyalami Witya. " engga ah mas aku biasa aja, masih kayak yang dulu. baik mas, mas Ahmad gimana? kerjaan lancar?" Witya tanya balik.
"baik wit, kerjaan lancar jaya abadi makmur wit, saking lancarnya boss aku enak banget kalo nyuruh, mau gimana lagi butuh duit buat menimbun kekayaan di hari tua" kata Ahmad hiperbola ekpresi nangis. lalu mata mereka beradu lagi ; Nadir dan Witya, saling tatap dan senyum hadir diantara keduanya. Ahmad yang menyadari itu, segera pamit undur diri. " yoook mundur yook fa, jangan ganggu matahari lagi cerah-cerahnya" kata Ahmad. " hah? apaan sih mas?" Shifa tak paham dengan maksud Ahmad. Ahmad gemas dengan Shifa yang tak mengerti maksdunya pun akhirnya ia tarik ke belakang dengan mengapit kepala Shifa ke ketiak Ahmad.
kini mereka kaku, padahal belum lama ini mereka bertemu. rupanya sekat itu belum juga hilang dari mereka. masih merasa canggung. " Mas Nadir engga sibuk?" Witya mengawali pembicaraan. " aku baru aja pulang, sengaja ambil pulang cepet biar bisa bantu-bantu disini. kamuuu..sendirian?" Nadir balik bertanya.
" iya sendirian mas. oh ya, aku bantu apa nih?" Witya mengalihkan topic pembicaraan takut terlalu jauh.
" kamu bantuin habisin makanan aja nih haha" kata Nadir sambil menyodorkan singkong rebus kepada Witya.
" boleh boleh haha"
" kamu berapa lama disini wit?" tanya Nadir. " entah mas, mungkin 2 minggu" kata Witya sambil memakan singkong rebus yang Nadir sodorkan tadi.
" nantiiii..jalan-jalan yuk Wit" ajak Nadir, ragu.
" siaaap, emang tujuanku kesini karena pingin jalan-jalan jugaaa haha" Witya tertawa, namun matanya berkata lain. dan Nadir hafal itu.
" kamu lagi ada apa wit? jujur" selidik Nadir
" engga mas, engga apa-apa. aku ke dalam dulu ya mas mau mandi. permisi" Witya buru-buru masuk ke dalam. Witya sadar, Nadir adalah orang ketiga setelah keluarganya dan Ghya, yang bisa membaca gerak-geriknya ketika ia sedang baik-baik saja ataupun sebaliknya.
Malam harinya, semuanya sibuk mempersiapkan acara pernikahan Shifa besok. Hadi yang sibuk menata dekor, Ahmad yang sibuk menyiapkan sound system agar besok tak ada kendala yang berarti dan Nadir yang sedang briefing dengan pengisi acara besok dari mulai MC sampai pengisi acara adat jawa. sementara itu, Shifa tidak diperbolehkan membantu apapun lagi karena harus fit di hari pernikahannya besok. Di kamar Shifa, mereka memulai pembicaraan wanita " Wit, kamu gimana sekarang? ayolah Wit, kamu harus bahagia" Shifa menggenggam tangan Witya.
" aku engga tahu lagi mesti gimana Fa, perasaan aku engga bisa dipaksa. ternyata baik aja engga cukup. selalu ada engga menjamin aku akan dipilih. semakin aku tepis, semakin semuanya kuat fa" Witya menangis dalam pelukan Shifa. betapa ia rindu curhat dengan sahabatnya yang satu ini, meski sahabatnya terkenal dengan bobroknya, tapi urusan curhat dan cerita-cerita, Shifa adalah orang yang paling bisa diandalkan Witya semasa kuliah hingga saat ini. selain karena mereka sesama wanita yang mengerti sensifisitas masing-masing, juga karena Witya merasa ia bisa bebas menceritakan semuanya tanpa ragu ; cerita kegamangannya antara Ghya dan Nadir. sebuah pilihan yang nyatanya bukan pilihan.
" gini ya Wit, gini, memang semua pilihan ada di kamu. tapi apa-apa yang membuatmu sakit jangan diteruskan. apa-apa yang membuatmu bahagia kejar dan lanjutkan. jangan sia-siakan waktumu Wit" Shifa tersenyum meyakinkan sahabatnya itu.
sementara itu diluar, Ahmad, Nadir dan Hadi duduk karena kelelahan. " Bang, bayangin nih ya, bayangin aja dulu, kalo di kursi itu berdiri bang Nadir dan Witya beuuuh mantul bang, mantap betuuul" kata Hadi sambil menunjukan gaya seperti sedang memotret menggunakan kamera canggih. " nagwur kamu" tepis Nadir. "aminin dulu kek, ya enggaaa?" saut Ahmad. Hadi hanya menunjukkan jempol di muka Ahmad " ampun dah diiii, kamu sering banget nempelin jempolmu, mending kalo udah cuci mah" kata Ahmad risih. bukannya menyadari, malah Hadi memperlihatkan ekspresi lucu dan bodo amatnya.
Nadir tersenyum dan hanya mengaminkan dalam hati. tetapi ia kembali disadarkan dengan kenyataan bahwa ia dan hidupnya apakah bisa disandingkan dengan orang sesempurna Witya?
malam semakin larut, Witya dan Shifa tidur di kamar Shifa sementara Ahmad, Nadir dan Hadi tidur di kamar tamu yang sudah disediakan.
Keesokan harinya, tibalah saat yang dinanti semuanya, terutama ratu yang paling cantik hari ini, siapa lagi kalau bukan Shifa. Shifa yang memakai gaun pengantin warna putih dengan jilbab syar'i dan tambahan mahkota kecil diatasnya semakin membuatnya terlihat anggun. Shifa yang keturunan Arab-Jawa, dengan polesan make up professional kepercayaan keluarganya, tentunya terlihat cantik nan menawan. Di lain tempat, Witya dengan setelan kebaya pendek dan rok batik panjang yang pas membentuk tubuhnya serta rambutnya dibuat cepol jawa pun tak kalah cantik, terlebih dimata Nadir. Untuk rombongan lelaki , mereka cukup memakai batik pendek yang dipadu padankan dengan celana kain hitam dan rambut yang ditata rapih.
Acara akad berlangsung khidmat sampai mereka semua berkata " SAAAAHHH.." semuanya menangis haru, termasuk Hadi, rival berantem Shifa " wih gilaaa, kamu yang paling sesegukan nangisnya diiii" Ahmad meledek Hadi " huhuhu apaan, engga. aku cuma terharu aja, meski Shifa banyak nyebelinnya, melihatnya bahagia seperti itu, aku juga ikut seneng woy. Cuma demi Shifa aku ambil cuti. kalian tahu sendiri kan cuti di bank susahnya kayak apa" Hadi tak bisa membendung tangisnya sampai menempelkan wajahnya di pundak Nadir " woy woy woy, kotor ih Hadiiii" Nadir jijik.
setelah akad, ada rangkaian-rangkaian adat yang dilalui dengan harapan dan do'a terkadung didalamnya tentunya. banyak makna yang menjadi bekal mereka untuk mengarungi rumah tangga. setelah rangkaian-rangkaian adat selesai, akhirnya para tamu undangan dipersilahkan untuk menikmati hidangan yang telah disediakan. Witya harusnya senang-senang sekarang, tapi entah mengapa ia semakin gelisah dan selalu kepikiran adik-adiknya.
panjang umur, Sastra, adiknya, menelponnya " kak , pulang yaa. sebentar aja, aku engga kuat." suara sastra serak seperti usai menangis. " dek kenapaaa sih? ada apa? kakak masih di Purwokerto" kata Witya. tanpa menjawab pertanyaan Witya, Sastra menutup teleponnya. tanpa pikir panjang, Witya langsung cek jadwal kereta yang bisa diambil pagi ini. sebenarnya ia tak enak dengan Shifa tapi kini adik-adiknya lebih penting. dan beruntungnya, ada kereta yang jadwal keberangkatannya jam 10 pagi.
" Fa, aku mendadak pamit ya, maaf banget bukannya engga mau disini lama-lama sama kalian tapi ada yang lebih urgent faaa" Witya buru-buru pamit. " ta..tapi Wit. yaudah yaudah kamu diantar mas Nadir yaa. duh mas Nadir mana sih?" Shifa ikutan panik. " udah engga usah fa, aku bisa sendiri. mungkin mereka lagi sibuk. selamat menempuh hidup baru yaa Shifa dan kak Leo. samawa yaa aamiin" Witya slaaman dengan Leo dan memeluk Shifa.
Witya semakin tak sabar ingin berhambur ke stasiun dan ingin langsung sampai di Cirebon. ia telepon Aksa dan Sastra bergantian, tak ada yang menjawab. yang ada di benaknya kini hanya ada apa dan ada apa. rencananya menenangkan diri ia batalkan semuanya.
Duduk di kereta selama 3 jam membuatnya merasa gelisah, tak terasa ia menangis tapi tak tahu karena apa. seolah memberinya isyarat bahwa memang di rumah sedang tidak baik-baik saja. cobaan apa lagi iniiii, fikirnya. setelah 3 jam ia dibunuh gelisahnya perjalanan, akhirnya ia sampai di stasiun prujakan. ia coba sekali lagi telfon adiknya, dan kini diangkat " dek, apa-apaan sih kamu ga angkat telepon kakak? hah?" Witya langsung memarahi adiknya diatas ojek online. " kak sampai mana? " dan sekarang, suara Aksa yang parau. " sebentar lagi tunggu". kata Witya langsung menutup teleponnya.
Sesampainya di rumah, Witya melihat mobil yang tak asing baginya. kendaraan awet yang satu ini, yang selalu mengantarkannya kemanapun ketika sosok itu ada, ya itu mobil Ayahnya. Witya tersenyum senang akhirnya Ayahnya pulang. tapi anehnya, kenapa adik-adiknya malah nangis. ia ketuk pintunya dan mengucapkan salam. ia berjalan pelan. dilihatnya di ruang tamu sudah ada Ayahnya dan sosok wanita yang..asing di keluarganya. lalu ibunya yang terlihat tegang dan pandangan kosong seperti habis menangis seharian. fokus Witya kini beralih pada cincin yang diletakkan di meja, setahunya itu ada cincin pernikahan ibu dan ayah. sedangkan di tangan Ayahnya cincin itu sudah tak ada. " ada apa ini?" tanya Witya dingin. " sekali lagi saya tanya, ADA APAA?! SIAPA KAMU?" Kata Witya sambil menunjuk ke wanita asing. " naaak..duduk dulu" ibu coba menenangkan Witya. Witya tak peduli dengan perkataan ibunya. ia langsung lari ke kamar adiknya di lantai 2 dan ketika ia membuka pintunya, ia banting semua tasnya dan langsung memeluk adiknya. berantakan kamarnya. mereka terlihat semakin kurus. " dek kenapa engga bilang? kenapa deek? maafin kakak" ia menangis sejadi-jadinya memeluk adiknya Aksa. " udah kita bilang kan kak, ibu jahat, ayah juga jahat" jawab Aksa lemas
" Sastra mana?" Witya baru menyadari Sastra tak ada. Aksa menunjuk kamar mandi. Witya gedor-gedor pintu kamar mandi, tak ada jawaban. mau tak mau ia dobrak. Witya semakin terkejut, Sastra pingsan di kamar mandi dengan pisau di tangan kanannya. Witya teriak. betapa bodohnya ia selama ini sibuk dengan urusannya sendiri. tak sadar bahwa adik-adiknya selama ini menanggung beban yang sama sekali tidak mereka ceritakan. ia papah Sastra ke kasur. " dek bangun dek. maafin kak Yaya" Witya berusaha membangunkan Sastra dengan segala cara. Witya mengganti pakaian Satsra yang basah. " Aksa, kakak mau ke bawah. jaga Sastra. pintunya kakak kunci".
Kemudian Witya kembali ke lantai 1 dan menemui kedua orang tuanya " jelaskan maksud anda berdua sekarang? kenapa kelakuan kalian..kelakukan kalian..MEMBUAT MENTAL ADIK-ADIK SAYA DOWN!!!" Witya marah besar. "Wit, maafkan Ayah. Ayah dan Ibu memang tak bisa bersatu lagi" Ayahnya berusaha bicara padanya. orang yang selama ini menjadi panutannya dalam hidup setelah Allah, mengkhianatinya dan meghancurkan kepercayaannya tak bersisa, dan parahnya sosok penghancur itu ada di sebelah Ayahnya. terlebih lagi, sosok wanita panutan hidupnya juga, melakukan hal yang sama hanya karena dendam. Witya kini tidak punya tempat untuknya sekadar mengadu. rumah yang ia fikir istananya, kini berubah menjadi neraka secara instan. " kalian urus urusan kalian, bebas mau apa. kalian sudah menghancurkan kehidupan saya dan adik-adik demi ego kalian yang kesetanan!. adik-adik saya bawa, persetan kalian setuju atau tidak." tanpa banyak bicara lagi, Witya meninggalkan mereka berdua. " Witya, jangan seperti itu!" teriak ibu. " peduli apa ibu?!" Witya tak kalah teriak.
Witya bantu kemasi barang-barang adik-adiknya dan langsung keluar dari rumah tanpa pamit sedikitpun kepada orang tuanya. ia harus menyembuhkan mental adik-adiknya. karena tak ingin saudara-saudaranya tahu, ia akhirnya memutuskan untuk pergi ke hotel yang ada di jalan kartini saja agar adik-adiknya nyaman dan tenang. " kak.." Sastra memeluknya lagi. " tenang ya dek, ada kakak. kalian mandi trus makan ya, tadi kakak udah pesen makan juga. inget jangan berbuat yang macem-macem kakak engga suka. kakak takut kehilangan kalian" perintah Witya. " kakak mau kemana?" tanya Aksa. Witya hanya tersenyum dan keluar. ia ingin menangis sekencang-kencangnya dan ia tahu tempatnya dimana.
tak terlalu jauh, ia pergi ke SMKnya dulu. di lapangan basket, ia terdiam. ia ingat saat pertama kali diantar ayah dan ibunya daftar ulang di SMK ini, harapan mereka besar sekali pada Witya . disini juga tempat ia bertemu cinta pertamanya, yang sekarang masih membuatnya menjadi abu-abu. beban yang ia pikul begitu berat. " HAAAAAAHHHHHHHH!!!!!" Witya teriak sekencang-kencangnya. kebetulan ini hari minggu, tak ada siswa sekolah. ia tak menyangka bahwa kehilangan dan kebahagiaan hanya berjarak satu centi saja. mereka cepat sekali bergantian tugas tanpa jeda. tanpa memberinya aba-aba. punggungnya seperti ditimpa dan ditimpa lagi batu besar yang terus saja ditambah. Witya terlalu lemah untuk ini, ia hanya bisa menangis dan menangis. Witya terduduk dan mengacak-acak rambutnya. hidupnya kini kacau. ia benar-benar tidak baik-baik saja. ia merasa orang paling bersalah karena ia terlambat menyelamatkan adik-adiknya, andai ia lebih peka dan tidak sibuk sendiri.
" Wit, udah belum?"
Witya termangu. kaget. ia balik badan. ternyata Nadir ada disana.
" beluuuum" Witya kembali menangis. Nadir mendekat. ia rentangkan tangannya lebar-lebar. " maaaaaassss...akuuu...maaasss" tanpa fikir panjang, Witya memeluk Nadir erat.
Tanpa Witya sadar, Nadir sudah mengatur dengan sebuah aplikasi untuk mengetahui Witya akan pergi kemana saja. tujuannya hanya tak ingin Witya kenapa-kenapa. Dan benar saja, Witya kini hancur sendirian. Nadir elus rambutnya pelan, membiarkan dadanya basah akibat air mata Witya. Bahwa sedihnya perlu di dekap, keadannya perlu di sadari dan batinnya butuh ditenangkan.