Pagi hari ini, ia biarkan rambut hitamnya terurai namun tetap rapih. Menatap wajahnya di cermin. Bersiap untuk berhias. Ia ingat kembali peristiwa kemarin, saat senyumnya tak pernah sudah dihadapan Nadir. Ia yakin di tiap detak yang Nadir rasakan, tak lebih hanya luka yang memenuhi. Tetapi ia pun tak bisa memaksakan semuanya, hatinya belum mau berbelok pada pria dokter bedah tersebut.
Hari ini ia bertekad menyelesaikan naskah yang akan diterbitkan pekan depan. Diantara karangan-karangan kata yang ada di dalam otaknya, ia tak lupa menyelipkan kata Ghya disana. ia memikirkannya lagi dan lagi.
Desember 2015
Di bulan ketiga Witya sebagai mahasiswi sastra, mulai disibukkan dengan mata kuliah yang lumayan rumit dan tugas-tugas yang menumpuk. ia merasakan perbedaan yang signifikan dengan semasa SMK dulu. ia coba bertahan dan mengikuti alur yang sekarang ia lalui. sementara itu, Ghya sedang berjuang seleksi untuk bisa masuk di PT. KAI Indonesia. Ghya memilih bekerja dibanding langsung kuliah seperti Witya. ada alasan yang tak bisa ia ungkapkan. dimulai dengan seleksi administrasi, ia harus mengirim dokumen-dokumen yang dibutuhkan secara online melalui website resmi PT. KAI Indonesia. Ghya mengalami kesulitan karena ia tak punya laptop . selama sekolah pun, ia selalu menumpang pada laptop Witya untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Ibunya sudah lama meninggal dan Ghya hanya hidup dengan ayahnya. tentu Ghya harus memprioritaskan segala kebutuhan ayahnya sampai-sampai untuk dirinya sendiripun harus seadanya yang ia punya. ia lakukan perkerjaan apapun dari pekerjaan paruh waktu di sebuah toko buku hingga menjadi freelance design demi menghidupi ia dan ayahnya.
ia bingung, sementara tenggat waktu pengiriman dokumen tinggal 2 hari lagi. akhirnya ia memutuskan meminta bantuan Witya .
" Wit, bantuin aku. gimana ini huaaaaaa" Ghya merengek di telepon.
" ada apa Ghy? kamu kenapa?" Witya ikutan panik
" Wit, bantuin aku upload berkas-berkas di website PT. KAI Indonesia dong, aku engga ada laptop dan engga bisa scan juga" jelas Ghya
" duh, tapi kan dokumennya ada di kamu semua, trus aku scannya gimana?"
"aku kirim aja ya Wit, pake pos kilat khusus biar langsung nyampe ke kamu. maaf Wit merepotkan kamu. aku engga tahu lagi harus minta tolong kemana, uangku habis buat biaya berobat ayah kemarin"
" yaudah Ghy buat kirim posnya minta uang ke Ibu aku aja ya, engga apa-apa nanti aku yang ngomong ke ibu. cepet sembuh buat Ayah" kata Witya
Ghya merasa beruntung mempunyai sahabat seperti Witya. sahabat yang sekaligus juga saudaranya. Ghya tak tahu akan seperti apa ia sekarang jika tanpa bantuan Witya dan keluarganya. Witya merasa sedikit bersalah karena disaat proses Ghya mencapai karirnya, ia hanya membantu dari jauh. betapa anak manusia saling berlari dan berkejaran dengan pikirannya masing-masing. Ghya yang mengejar agar dirinya bisa lolos seleksi sementara Witya sibuk membantunya dari jauh dan mengabaikan segala tugasnya demi Ghya. mereka saling berpacu dalam waktu hanya bedanya yang satu menyelamatkan dirinya sendiri sementara yang satunya lagi memprioritaskan yang bukan ragaya butuhkan. Ada rangkaian kalimat yang akan Witya katakan suatu saat nanti, entah kapan dan dimana, yang jelas semuanya harus tuntas. ia menyayangi hatinya, tapi ia juga lebih sayang orang yang ia cintai.
*****************************************************************************
Ghya mengabari Witya bahwa ia sedang di Jakarta, tetapi Ghya tak pernah ada waktu untuk menemui Witya barang sebentar saja. Witya merasa semakin berjarak dengan Ghya, tapi ia tak tahu kenapa. ia merasa tak ada masalah apapun dan kalaupun ada masalah, mereka pasti akan saling bicara dan menyelesaikannya baik-baik. padahal ini hal yang sepele, hanya masalah waktu untuk berjumpa, tapi rasa takut kehilangan yang ia rasakan begitu besar. Witya menepis jauh-jauh fikiran buruk tentang Ghya. ia mungkin tengah sibuk, fikirnya.
untuk beberapa hari ini ia harus rela lembur di kantornya demi deadline yang sudah ditunggu pimpinannya. Mood wanita yang memang terkadang tidak bisa ditebak, tiba-tiba saja Witya merasa malas pulang tapi ia juga tak ingin lama-lama di kantor. seakan ia hanya ingin berhak jiwanya merayakan apa yang dirasakan. berpura-pura kuat sebagai dewasa tak selamanya baik-baik saja, terkadang ia ingin seperti anak kecil yang maunya hanya dimengerti dan dituruti keinginannya. ingin menangis tapi sudah kehabisan tenaga karena emosi yang dipendam begitu banyak. kini Witya hanya berdiri di depan pintu keluar kantor. ia bingung mau kemana. ia resah. tak ada yang menolongnya hanya untuk meredakan keresahannya itu. Iman yang melihat Witya melamun langsung menghampirinya. " Wit, oy kok bengong? lo mau pulang apa mau jaga malem sama pa Satpam?" tanya Iman.
" eh, bang, engga tau nih bingung....engga mau pulang tapi engga tahu juga mau kemana. ah pusing!" Witya mengacak-acak rambutnya sendiri.
" yaelah gitu aja bingung, udah pulang aja, lagian mau ngapain lo malem-malem? inget, deadline lo engga peduliin lo lagi waras apa kagak. yang penting buru kelaaaar" kata Iman menakut-nakuti Witya.
" ih apaan sih baaaaang , nambah pusing tahu. ngantuk banget aslinya iniiiiiii" Witya mulai uring-uringan.
" yaudah yaudah, gue anter pulang deh ayok. jangan sampe lo teriak-teriak di jalan trus besoknya ada highlight di berita online yang judulnya " perantau yang gila di Jakarta akibat tidak bisa menahan kerasnya kehidupan Ibu Kota" serem kan lo? "
" bang , ibu kota kenapa engga pernah keliatan sama bapak kota ya?" tanya Witya, maksudnya sih coba ngelucu.
" mereka udah cerai akibat bapak kota ngilangin Tupperware ibu kota. puas lo?!. ini kita mau ngelawak depan kantor sampe subuh apa gimana?" Iman sedikit emosi tapi tetap terlihat lucu.
Witya tertawa terbaha-bahak. padahal lelucon tadi hanyalah lelucon receh yang sama sekali tidak terlalu lucu. tetapi begitulah uniknya orang yang terlalu banyak beban pikiran, demi menghibur dirinya sendiri, ia tertawa begitu keras menyembunyikan sedih yang tak perlu orang lain tahu.
Akhirnya Witya mau menerima ajakan Iman untuk pulang bersama karena ia merasa memang rawan jika selarut ini ia harus pulang sendirian. " Bang, terakhir abang jatuh cinta kapan?" tanya Witya iseng. " hmmm lupa gue Wit, kayaknya waktu gue SMA deh" Jawab Iman. " hah? masa sih? ah engga percaya aku". " heh beneran Wityaaaaa. gue waktu itu terakhir pacaran kelas 12 SMA. dia cinta pertama dan terakhir gue. gue sayang sama dia, banget malah. tapi ternyata Allah lebih sayang sama dia. Sebulan menjelang Ujian Nasional, dia sakit-sakitan sampe harus bolak-balik rumah sakit. Lo tahu Wit? ternyata selama sebulan itu dia menahan sakit yang lua biasa. dia kena kanker otak stadium akhir waktu itu. Dan lo tahu engga apa yang paling bikin gue syok dan nyesel sampe sekarang? gue baru tahu itu setelah dia meninggal. orang tuanya baru cerita ke gue. katanya cewek gue emang engga mau ngasih tahu kondisinya ke gue hanya karena takut gue sedih dan berat ninggalin dia. padahal dia engga tahu, gue lebih berat sekarang ngejalanin hidup sekarang. nyeselnya engga udah-udah. waktu itu, gue emang lagi sibuk-sibuknya persiapan olimpiade matematika tingkat provinsi. jadi gue nemenin dia 2-3 hari aja tiap minggunya. malah kadang dia ngelarang gue buat nengok alasannya engga mau ganggu konsentrasi gue buat persiapan olimpiade nanti. sumpah Wit kalau dibayangin, gue masih inget gimana wajahnya tersenyum, gaya bicaranya, tawanya bahkan yang paling gue suka dari dia adalah cara dia makan di depan gue yang engga ada jaim-jaimnya sama sekali. dia natural jadi dirinya apa adanya. kalo gue bisa ulang waktu, gue pengen banget peluk dia Wit. gue pengen ngomong betapa gue sayang sama dia" Iman menceritakan semuanya, tak terasa air matanya jatuh.
Witya yang mendengarnya pun sedikit merinding " Bang, aku engga nyangka seriusan". " engga nyangka gue pernah punya cewe?". " engga nyangka kok pernah ada yang mau sama abang ya, cewe itu khilaf engga ya?". " sembarangan looo hahaha. saran gue nih ya buat lo Wit, lo masih muda banget. galaunya jangan terlalu over cuma karena lo bingung mau pilih siapa. mending tanya hati lo yang paling dalem, sebenernya siapa yang paling lo sayang dan siapa yang beneran sayang sama lo. yakin deh Wit, dicintai sama orang yang bener sayang sama kita tuh nikmatnya emang nikmat banget. lo akan dihargai bagaimanapun diri lo. jangan nyiksa diri sendiri dengan mencintai yang tidak mencintai lo ya , Wit. " Nasehat Iman yang begitu panjang untuk Witya. Iman tahu, kini Witya sedang diambang bimbang memilih siapa dan akankah menyesal atau sebaliknya.
" iya bang, makasih yaaa... Witya bakal inget omongan abang barusan hehe". di perjalanan, tiba-tiba mereka melihat wanita yang tertunduk di pinggir jalan. seperti kebingungan hendak kemana. dilihat dari penampilan dan barang bawaannya, sepertinya ia baru di Jakarta. " Bang, berhenti bang" Witya menepuk pundak Iman " lah dikira gue kang ojek kali ya. paan sih Wit? udah malem ah lo, ngeri begal nih gue" . Witya ingin menolong wanita tersebut tetapi benar apa kata Iman, takutnya itu begal. tapi masa sih begal bawa tas koper gitu. ah tapi bisa aja. Witya ragu-ragu tapi kasihan tak tega melhat wanita malam-malam begini luntang-lantung pinggir jalan.
Dengan keberanian seadanya, ia akhirnya berani mendekati wanita tersebut. sementara Iman yang sedikit takut memilih menjauh dan duduk di motornya. " mmbaa punten,mba agak minggir aja ya jangan dekat jalan raya takut tertabrak " kata Witya. Wanita ini hanya bengong ketika Witya menyapa. " saya bingung mau kemana" Wanita itu kembali tertunduk. " memang mba darimana? malam-malam begini masih diluar dengan membawa koper. hati-hati banyak jambret mba". " saya dari Jogjakarta mba mau mencari seseorang tapi saya engga tahu dia dimana" oh rupanya wanita ini modal nekat, fikir Witya. " daripada malam-malam begini mba sendirian di pinggir jalan engga jelas, mba ikut saya aja ya, nanti saya bisa bantu juga cari orang yang mba maksud. saya juga perantau mba, tapi in syaa Allah sedikit banyak saya sudah tahu daerah ini dan teman saya juga akan membantu, iya kan bang?" kata Witya, membuat Iman terkejut karena ia dilibatkan dalam keadaan yang tidak ia suka. " hah? gue? Wit ah luu mah" Iman menolak. " ayolah baaang bantuin, kasian dia engga punya siapa-siapa dan lagi nyari orang yang dia aja engga tahu dimana" Witya memohon kepada Iman agar mau membantunya. karena diantara Witya, Tyara, Lutfi dan Iman, hanya Iman yang tahu seluk beluk Jakarta dan ia sangat cerdas masalah cari-mencari sesuatu. Pernah suatu hari Tyara kehilangan kucing yang paling ia sayangi, tak butuh waktu sehari Iman langsung bisa menemukannya. tak diragukan lagi memang kepintarannya, menemukan cara penyelesaian matematika aja dia jago apalagi masalah mencari yang hilang-hilang. sedikit tidak nyambung memang, tapi sudahlah, yang penting Witya yakin Iman bisa membantunya. Witya merasa tepat aja memilih Iman sebagai oarng yang akan membantunya.
Melihat wajah Wiitya yang terus-terusan memelas, akhirnya Iman mau membantu Witya , dan wanita itu. " okeee dan terus kita sekarang gimana? kita mau bonceng bertiga? lo mau gue dikira nyulik tante-tante tengah malem hah?" kata Iman. benar, kini mereka bingung karena tidak mungkin 1 motor ditumpangi 3 orang. " yaudah aku pesen taxi online aja ya, abang pulang duluan aja gapapa" kata Witya member usul. " kagak ah, gue khawatir ada apa-apa sama lo berdua. yaudah gini aja, lo berdua naik taxi dan gue ikutin dari belakang. udah ga usah protes tinggal iya aja" tegas Iman. " terima kasih yaaa.. hmmm siapa namanya?" kata Wanita tersebut. " oh aku Witya, dan pria baik hati ini namanya Iman." Witya mengulurkan tangannya tanda perkenalan sementara Iman hanya tersenyum tanpa mengulurkan tangannya. " aku Syva dari Jogjakarta. terima kasih ya, Puji Tuhan aku bertemu kalian" Wanita itu bahagia terlihat dari wajahnya yang begitu terharu.
Mereka pun pulang , selama perjalanan tak ada pembicaraan apapun. hanya sibuk dengan pikirannya maisng-masing. Setibanya di Kost Witya, Iman pun langsung pamit pulang. Witya membuka pintu kamar dan menyalakan lampu. ia buru-buru membereskan kamarnya. ia malu Syva melihat kamarnya yang berantakan " maaf ya Va kamarku berantakan hehe. taruh aja tasnya sebelah kasur. handuknya ada di gantungan sebelah kiri dekat cermin, pakai aja engga apa-apa. aku mau siapin makan malam buat kita berdua" kata Witya berusaha agar Syva nyaman di kamar kostnya. " engga usah Wit, aku engga mau ngerepotin..." Syva merasa tidak enak. sudah ditolong saja,ia merasa berterima kasih sekali pada Witya " engga apa-apa ih Va, santai aja... makanan ku agak banyak kok jadi engga habis kalau aku makan sendirian". setelah Syva mandi dan Witya pun selesai menghangatkan makanan dan juga selesai mandi, akhirnya mereka makan malam bersama. " Maaf kalau aku boleh tanya, kamu cari siapa disini?" tanya Witya dengan hati-hati, takut menyinggung. "sebenarnya aku sedang mencari pacarku yang 3 bulan tak ada kabar. aku merasa putus asa. nomernya tak bisa dihubungi. semua akun sosial medianya non-aktif. keluarganya pun bungkam tak mau memberitahu dia dimana dan mengapa tak kunjung menghubungiku. aku cuma bingung kehidupanku selanjutnya gimana. aku hancur sehancur-hancurnya sebagai wanita, Wit" Wanita itu menutup wajahnya dan menangis. Witya bingung. takut pertanyaan tadi ternyata benar-benar menyinggung Syva. " eh mm maaf va, aku engga bermaksud.. maaf va" Witya mulai panik. " engga kok wit, kamu engga salah. aku cuma mau pertanggungjawaban seorang laki-laki aja" kata Syva. ia memegangi perutnya. Sontak Witya terkejut, ia menutup mulutnya dan berusaha meredam ekspresi kagetnya. ia lemas. wanita dihadapannya kini memang sedang hancur-hancurnya. bagaimana tidak, harta satu-satunya dalam dirinya sebagai wanita ternyata telah direnggut oleh seorang anak adam yang tak bertanggungjawab.
" Vaaaa... yang kuat ya, oke aku bantu kamu sebisa aku yaa. kalau boleh tahu, cowoknya namanya siapa? mukanya kayak gimana?" Witya penasaran, siapa yang tega melakukan itu pada wanita dihadapannya kini. " ini Wit." Syva menyodorkan pas foto 3x4 kepada Witya. sekali lagi Witya dibuat terkejut. tidak habis fikir. ia lemas sejadi-jadinya. memijat keningnya sembari menahan tangis. lalu ia pandangi foto Ayahnya yang ada di meja dekat kasur, ia salami dalam-dalam wajahnya. Betapa Witya merasa terselamatkan karena ketidakrestuan Ayahnya waktu itu. Betapa Witya membayangkan kalau dirinya ada diposisi Syva, mungkin yang ada dalam benaknya hanya bagaimana caranya ia menghilang dari muka bumi ini.
" kamu bayangkan Wit, keluargaku sudah mengusirku. keluarganya pun tak mau menerimaku. kalau sudah begini, selain diriku sendiri, siapa yang mau menerima aku dan keadaanku?" akhirnya tangis Syva pecah lumayan keras. meski Witya takut terdengar oleh tetangga kamar kost yang lain, tapi Witya tak mau menghentikan tangis Syva, ia biarkan agar Syva merasa lega. Ia pun sontak langsung memeluk Syva dan ikut menangis.
Witya keluar kamar sebentar. ia pun menelpon Iman " Bang, aku engga tahu keputusanku akan konsisten atau berubah perihal menolong Syva tadi. jujur aku engga kuat bang" lagi-lagi, tangis Witya pecah. Semakin deras tangis Witya ketika mendengar ocehan dan nasehat dari Iman. setelah selesai menelpon Iman, ia pandangi lagi wajah Syva. Sebagai sesama wanita, rasa-rasanya Witya harus ambil suatu keputusan yang menurutnya tepat, yang tentunya setelah diskusi dengan Iman tadi. Witya masuk ke dalam kamar, mematikan lampu kamar, lalu mencoba memejam dengan Syva yang menemani tidurnya malam ini.