Chereads / RELUNG PALING PALUNG / Chapter 5 - Satu Hari Saja

Chapter 5 - Satu Hari Saja

Januari 2016

setelah liburan UAS semester ganjil kemarin, Nadir kembali lagi ke Purwokerto. sejujurnya ia pulang kampung bukan untuk berlibur tapi hanya ingin menemani ibunya yang kini sedang menjalani proses penyembuhan di salah satu Rumah Sakit Jiwa di Padang. yah, ibu Nadir mengalami guncangan jiwa yang hebat. membuat akalnya sudah tak lagi sehat. kadang teriak, kadang seharian hanya menangis. tentu ini menyakiti Nadir. batinnya ikut tersiksa melihat ibunya seperti itu. namun Nadir harus kuat demi studinya. Ia tak boleh gagal. maka dari itu, Nadir memilih menjadi pendiam karena ia merasa hanya ia yang mengerti tentang dunianya sendiri.

Hari pertama perkuliahan di semester baru usai liburan di semua Fakultas di Unsoed, masih belum berjalan dengan kondusif dikarenakan hanya sesi perkenalan dan kontrak kuliah dengan dosen saja. Witya yang memang ada janji dengan Nadir dan Ahmad---berinisiatif menghampiri Nadir ke Fakultas Kedokteran. Witya penasaran dengan gosip, yang katanya, mahasiswa-mahasiswi Fakultas Kedokteran itu cantik-cantik dan ganteng-ganteng. sekalian cuci mata, fikirnya. Witya melewati tiap kelas di Fakultas kedokteran. memang benar, rata-rata mahasiswa kedokteran mempunyai strata sosial menengah keatas dilihat dari gaya berpakaian dan cara mereka bersosialisasi. dan ya benar saja, cowok-cowok kedokteran ternyata ganteng semua, kecuali Nadir, si pendiam sedingin kulkas. tiba-tiba Witya berhenti di depan salah satu kelas Fakultas Kedokteran, kelasnya lumayan banyak diisi oleh mahasiswa. jumlahnya sekitar 30 mahasiswa. Witya melirik sedikit, ia terkejut Nadir sudah melihatnya duluan. Witya malu. ketika ingin putar balik, ia mendengar hentakan kaki lumayan keras sebanyak 3 kali. lalu Witya menerima pesan singkat, dari Nadir...

From : Mas Nadir Kedokteran

Kalau tadi kamu dengar suara hentakan kaki sebanyak 3 kali, artinya aku menyadari ada kamu disitu dan memberitahu bahwa aku akan segera keluar. yang diluar, harus menunggu yang didalam untuk menemui. paham kan, Wit?

Meski sedikit aneh bagi Witya, ia menurut saja. ia menunggu Nadir diluar. dan benar saja, 10 menit kemudian Nadir keluar dari runag kelas.

" cieee Nadir ditungguin cewek. anak mana tuh, Nad?" celetuk salah satu teman sekelasnya.

" sudah sudaaah sana pulang" ucap Nadir mendorong temannya agar pergi dari hadapannya.

" Mas, tadi aku malu. temen-temen kamu pasti liatin aku ya?" kata Witya yang masih menahan malu. " sepertinya engga tuh, Cuma aku yang lihat kamu. ayo kita ke Ahmad, pasti dia udah nunggu" ajak Nadir. lalu Nadir menggandeng tangan Witya menuju Fakultas Teknik. Witya diam saja tak meminta tangannya dilepas. dua-duanya sama-sama tak sadar. bukan, bukan, hanya Witya yang tak sadar. kalau Nadir? sudah pasti ia tersenyum dalam hatinya. ia melirik sebentar gadis disampingnya. andai waktu tidak berjalan terlalu cepat, andai ia selalu diinjinkan dalam kondisi seperti ini. ada nyaman yang tak ingin ia sudahi buru-buru. sayangnya, ribuan ragu menahan seluruh aksaranya untuk berucap. tak apa, mungkin belum saatnya, fikir Nadir.

Ahmad yang sudah menunggu di bangku taman dekat pohon besar, tertawa kecil melihat Nadir dan Witya. " ooooh jadi kalian sudah pacaran nih?" sindir Ahmad. " apaan sih kamu mad, engga ah" sangkal Nadir. " lah itu tangan ga dilepas-lepas kenapa? takut hilang pak? hahahahaha" Ahmad tertawa puas. Nadir buru-buru melepaskan tangan Witya. sedikit membanting lebih tepatnya. "duh...Mas Nadir ih" keluh Witya.

"kemana kitaaa? tanya peta..tanya peta" kata Ahmad sambil menirukan gaya kartu Dora the explorer.

" ke toko buku nyari buat bahan perkuliahan. ayo nanti keburu sore " Nadir langsung menuju parkiran. Witya mengelus dada dan melirik Ahmad . " sabar wit, sabar... Nadir kalau engga gitu namanya bukan Nadir. hehe" Ucap Ahmad nyengir kuda.

"aku bonceng siapa nih?" tanya Witya. " aku engga bawa helm dua , Wit. Sama Nadir aja tuh" kata Ahmad. Witya menghampiri Nadir dan tanpa basa-basi Nadir langsung memberikan helm pada Witya. mereka menuju toko buku yang berada lumayan jauh dari kampus mereka. 15 menit perjalanan, Witya dan Nadir hanya diam saja. "Mas,ayam di kampungku kemarin anaknya meninggal 1 lho,tau engga kenapa?" kata Witya memecahkan keheningan. " lah mana aku tahu, emang kenapa?" tanya Nadir " aku juga engga tahu, tanya aja sama ibu ayamnya hahaha" Witya tertawa sendiri. Nadir hanya geleng-geleng kepala.

" Garing Wit"

"biarin yang penting Mas Nadir ngomong. emang enak boncengan diem-dieman. ayolah mas, jangan kaku-kaku banget" cerocos Witya.

omongan Witya barusan membuat Nadir berfikir sejenak. mungkin selama ini Nadir terlalu kaku. Nadir baru menyadari itu sekarang." pegangan Wit, aku mau ngebut ". hah, ngebut?!. parah Nadir. Lalu, Witya pegangan apa?. terlambat, Witya belum menemukan pegangan apa malah Nadir sudah ngebut duluan. Alhasil Witya refleks memeluk pinggang Nadir. ia memejamkan mata. ia takut jatuh. perjalanan menuju toko buku, bersama Witya, menjadi pengalam baru bagi Nadir. ia yang biasanya sendiri, kini ia ditemani orang yang diam-diam membuat dunianya jungkir balik. membuat logikanya berfikir berlainan arah.

****************************************

Di dalam sebuah kedai kopi, kopi cappuccino disesap Nadir dengan pelan karena masih panas. dihadapannya, hilir mudik kendaraan roda empat dan roda dua tak henti-hentinya lalu lalang. ada yang sedang sibuk menelpon, ada yang berjalan terburu-buru, ada penjual asongan yang tak lelah menjajakan makanan dan minuman di lampu merah. semua orang berjuang atas takdir yang tlah mereka terima. mengeluh mungkin ada, tapi rasanya bukan jalan terbaik jika hanya diam mengeluh tanpa usaha. mereka tak pernah tahu apa yang akan terjadi di depan nanti, yang mereka tahu hanya bagaimana caranya bertahan ditengah keadaan yang lebih sering membawa mereka—dalam keadaan tidak baik-baik saja.

pejamkan mata sejenak, ia menahan sesaknya sekali lagi, ingin ia tumpahkan air mata itu namun urung. andai ia lebih cepat pada saat itu, mungkin hatinya tak bertugas mencintai sendirian. ia terus memegangi dadanya, ia harus menyiapkan ribuan kata agar tak mati kutu di depannya nanti. Nadir beranjak dari tempat duduknya menuju alamat yang tertulis di kertas yang ia pegang. ia nyalakan mobil dan bersiap menuju suatu tempat. Ahmad baik hati mau meminjamkan mobil kepada Nadir agar Nadir lebih mudah menempuh perjalanan Purwokerto-Jakarta. ia meminjamkan kepada Nadir tanpa pamrih, hanya ingin melihat sahabatnya bahagia dan tak lagi terkurung dalam penyesalan.

dengan berbekal alamat dan pengetahuan seadanya, akhirnya Nadir sampai di tempat tujuannya ; Kantor tempat Witya bekerja. ia rapihkan kerah kemejanya. menyisir rambutnya yang sedari awal sebenarnya sudah rapih. tarik nafas. buang. tarik nafas. buang. sangat grogi hanya karena ingin bertemu Witya. ia turun dari mobil. melangkahkan kaki menuju lobi kantor. bertanya pada Satpam apakah Witya ada di kantor. dan beruntung, Witya belum keluar istirahat makan siang. lumayan lama Nadir menunggu. 20 menit kemudian Witya keluar. kali ini Witya keluar sendirian karena Tyara, Lutfi dan Iman masih banyak pekerjaan.

Witya terkejut bukan main. " Mas..Mas Nadir?"

" eh..hmm..hai Wit"

mereka berdua canggung. padahal dulu mereka adalah sahabat karib yang sangat akrab.

" kok disini mas? mau ketemu siapa?"

" Kamu" Nadir malu-malu.

" oh.. mau ngobrol disini atau sekalian makan siang?"

" makan siang aja yuk, aku bawa mobil"

" ih mobil mas Ahmad ini hahaha motormu masih ada mas? ga rusak kan?"

" engga kok. tapi motorku engga bisa diajak pergi jauh. manja emang"

Witya tertawa kecil. ia sedikit rindu rupanya dengan sosok yang dihadapannya kini. pria kaku nan dingin ini, hanya sedikit yang memahaminya. Witya terus memandangnya. " Wit, ayo" terlihat sekali Nadir grogi di depan Witya. keringatnya sudah penuh membasahi wajahnya.

" Mas..mas.. mobilnya dingin lho kok kamu keringetan" Witya mengambil tisu dan mengusap keringat yang ada di wajah Nadir. terhanyut dalam suasana, Nadir refleks memegang tangan Witya. " aduh..maaf Wit. aku engga sengaja. oh iya, ini aku udah bawa makanan buat kamu, Nasi ayam geprek. tadi aku beli sekalian kesini. kamu suka kan?"

" suka kok mas. makasih ya" Witya tersenyum. mereka saling menatap dan tersenyum lagi.

" aku lagi pengen jalan-jalan aja Wit. bosen di Purwokerto terus. skalian jalan-jalan sebentar gapapa ya? " tawar Nadir. takut Witya tak mau. " mau kok. yuuuk gaass. udah lama juga engga naik mobilnya mas Ahmad haha"

di tengah perjalanan , Witya yang asyik memakan Nasi ayam geprek yang diberikan Nadir, Nadir malah bingung mau membuka topik pembicaraan apa. ia tak ingin Witya bosan bersamanya. memang begitu cinta, ia akan melakukan apa saja agar yang dicinta tetap disisi. mencari obrolan yang mengasyikan, menarik perhatian agar terus ada dalam tatapannya. entah sampai kapan rasa itu suka sekali memendam dirinya sendiri.

" Mas engga makan?"

" engga, tadi udah. oh ya Wit, kamu masih percaya angin?"

Witya tersedak. " hah apaan mas?? Witya engga ngerti"

" ia aku nanya, kamu masih percaya angin?"

" selama masih bisa dirasa, aku selalu percaya. tak terlihat, tapi sapaan lembutnya memang nyata" jawab Witya.

" kalau angin itu menghilang bagaimana?"

" engga mungkin. ia akan tetap ada walau tak terlihat. membawa pesan alam dari semesta kepada manusia bahwa terkadang kita boleh diam sejenak, hempaskan yang terlalu memberatkan dan rasakan semilirnya yang menenangkan. ia akan terus menemani walau ia dianggap hanya lewat."

Nadir tersenyum mendengar jawaban Witya. ia masih seperti Witya yang dulu. Sastrawan favoritnya, bahkan seumur hidupnya ia adalah penggemar terdepan Witya.

Nadir menepikan mobilnya ke pinggir taman kota. tak ramai, hanya beberapa anak-anak yang bermain sepeda dan layang-layang. ia dan Witya duduk di bangku taman. Nadir pergi ke pedegang gerobak minuman lalu memesan minuman es jambu kesukaan Witya dan Es teh manis untuknya. tak lama, ia membawakan minuman dan memberikan satu untuk Witya.

tiba-tiba Nadir tertunduk " Wit..aku minta maaf"

" aku yang harusnya minta maaf mas. harusnya aku mendengarkanmu dulu. harusnya akuuu.." Witya mulai menitihkan air mata.

" jangan nangis Wit. aku yang salah, aku yang terlalu buru-buru waktu itu. udah ya, kamu harus senyum. akan ku coba lagi tapi mungkin caranya engga sama. keadaan kita yang sudah berbeda meski entah dihatimu kini masih miliki dia atau tidak." tangan Nadir bergetar. merah. menahan sesuatu.

" Mas..maaaaf" Witya memeluk Nadir. ia tak kuasa menahannya sedari tadi. ia merasa sangat bersalah tlah menyakiti Nadir selama ini. kegamangan hatinya membuat hati yang lain tersakiti.

Nadir mengelus pelan rambut Witya " udah ah Wit kamu jangan nangis. aku kesini pengen seneng-seneng sama kamu. yaa meskipun sehari, tapi gapapa kan?"

Witya mengangguk senang. Hari ini, ia membawa Nadir ke tempat-tempat yang sering ia kunjungi. dari kedai kopi favoritnya di Jakarta sampai jembatan penyembarangan tempat ia bisa lewat untuk menuju ke kantornya. tawa tak hentinya hadir diantara mereka. membeli gulali di pedagang pinggir jalan, memakan es krim, bercerita ini dan itu tanpa batas, seperti sepasang kekasih. yah, hanya seperti tapi bukan yang sebenarnya. Witya sampai harus bela-belain ijin tidak balik kerja ke kantor demi menemani Nadir yang hanya sehari saja di Jakarta karena ia harus bertugas di Rumah Sakit esok harinya. sepasang insan yang menyadari rasa itu ada tapi yang satu memilih mengubur dan satunya lagi memilih berkilah. Satu hari mereka habiskan bersama, senyum yang selalu menghiasi diantara wajah mereka.

Malam pun tiba, Nadir mengantar Witya menuju Kost nya. Witya menyadarkan kepalanya di bahu Nadir " Mas, kita ini menyakitkan engga sih?" tanya Witya.

" aku engga tahu, Wit. selama aku menganggapnya tidak apa-apa, ku rasa semua bisa berjalan baik-baik saja. entah apa yang kita tunggu, waktu padahal selalu ada, kesempatan selalu minta dijemput tapi hati kita yang tak ingin beranjak kemana-mana ; diam di tempat yang kita suka dan enggan pergi dari sana. udah ya gapapa, kamu harus semangat agar aku juga tahu bagaimana ukuran semangatku saat ini dan saat nanti" Jawab Nadir

" lah kok gitu?" Witya heran

Nadir tersenyum. ia mengusap pipi Witya. hari ini, ia semakin yakin hatinya harus pergi dan menetap dimana.