Mayang menatap adiknya dalam, "Benarkah?" tanya Mayang lagi.
"Aduh, kak. Kakak itu kenapa sih? Juju 'kan sudah bilang kalau Juju nggak mau ikut acara itu. Lagipula Juju nggak suka ikut acara seperti itu. Daripada Juju bermain-main seperti itu, lebih baik Juju belajar. Iya 'kan Kak?" balas Juju sambil senyum.
Senyum yang Mayang tahu bukan senyum sebenarnya.
"Jadi karena itu, Juju tidak memberitahukannya pada kakak?"
Junior menggangguk.
"Tentu saja. Apalagi alasannya kalau bukan karena Juju tidak berminat. Lagian ini 'kan keinginan Juju. Kenapa malah kakak yang rewel sih?!"
Mayang tiba-tiba saja memeluk Junior dengan lembut.
"Apa kau kira kakak tidak tahu apa alasanmu tidak ingin ikut?" ujar Mayang sambil membelai rambut Junior, "Kau tidak ikut karena kau tidak ingin membebani Kakak dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk ikut acara itu 'kan? Kakak benar 'kan?"
Junior diam sejenak dan tidak membalas. Ia tahu kakaknya pasti tahu kalau ia sudah berbohong. Karenanya ia tidak berani menatap wajah kakaknya dan melepaskan pelukan.
"Nggak 'koq, kak!"
"Yakin?" ujar Mayang sekali lagi.
Junior hanya bisa menunduk.
"Juju cuman nggak pengen merepotkan kakak. Lagipula Juju sudah bilang ke Pak Guru kalau Juju nggak ikut. Jadi, nggak apa-apa koq, Kak."
Junior memang anak yang sangat baik dan pengertian. Semenjak ayah meninggal, ia tahu bahwa kakaknya harus bekerja keras siang dan malam untuk menggantikan almarhum ayah menjaga dan menghidupi keluarga. Ia tahu seberapa besar kakaknya berjuang untuk bisa memenuhi semua kebutuhannya. Karenanya Ia sebagai adik, tidak ingin terlalu menjadi beban bagi kakaknya. Apa itu salah?!
Sementara bagi Mayang. Junior adalah segala-galanya baginya. Ia akan rela melakukan apapun demi adiknya karena Junior adalah satu-satunya hartanya yang paling berharga didunia ini.
"Apa kamu tahu? Di umurmu yang sekarang sudah seharusnya kamu itu banyak bermain. Belajar itu penting. Tapi bermain dan bersosialisasi dengan teman-temanmu itu juga penting. Tentu saja kakak sangat mendukung kalau kamu belajar dengan rajin dan bermain disaat kamu butuh. Kakak cuman nggak ingin melihat adik kesayangan kakak punya tampang yang tua karena terlalu banyak berpikir dan belajar. Teman-temanmu pasti ingin kalau kamu ikut. Iya kan? Apalagi sahabat kecilmu itu, siapa namanya?" tanya Mayang sambil berpikir.
"Stenly dan Thommas..." Junior langsung membalas.
"Ah, ya.. Stenly dan Thoms," lanjut Mayang, "Mereka tak berusaha mengajakmu?"
"Tentu saja. Tapi Kak..."
"Tidak ada kata tapi-tapi. Lagipula, kalau hanya untuk biaya kamu bersenang-senang ke acara seperti itu, tentu saja kakak masih bisa membayarnya. Kamu kira Kakak ini tidak punya uang apa?" Mayang menepuk pundaknya dengan bangga, "Kakakmu ini punya banyak simpanan uang. Kamu tidak perlu merasa sungkan atau khawatir jika itu akan menguras kantong Kakak. Itu tidak mungkin terjadi. Apa kau tidak tahu siapa kakakmu ini?"
"Kakak punya tabungan. Tabungan yang sudah Kakak siapkan untukmu. Kamu mau jadi dokter, kan?"
Junior mengangguk.
Mayang memeluk Junior lagi. Kali ini dengan lebih erat dan sedikit diayun-ayunkan.
"Aigooo.... kamu benar-benar adik Kakak yang paling hebat. Kakak nggak sabar lihat kamu pakai pakaian dokter. Ehm... masih harus menunggu berapa tahun lagi ya?!"
"Aduh, Kak. Jangan dipeluk terus dong. Juju sudah umur sepuluh tahun. Bukan anak kecil lagi," rengek Junior sambil malu-malu dan berusaha melepaskan pelukan kakaknya.
Mayang menatap Junior sinis, "Aduh-aduh... ucapanmu ini. Kamu tiru dari mana sih? Jangan sok-sok-an dewasa, ya! Kamu itu masih kecil! Kamu itu masih bocah berumur sepuluh tahun. Jadi jangan bersikap tidak sewajarnya. Mengerti? Kau membuat kakakmu ini merinding saja."
Mayang bergidik membuat Junior tertawa lebar.
"Habisnya Kakak.. sudah dibilang aku nggak tertarik buat ikut rekreasi itu. Tetap saja dipaksa. Lagipula, ya 'Kak, dokter itu tidak main-main di dufan 'Kak. Dia serius di meja operasi dan di rumah sakit. Aku 'kan mau jadi dokter. Bukannya jadi petugas dufan," tutur Junior polos dan membuat Mayang tertawa geli.
"Ya, kau benar. Tapi karena kau belum menjadi dokter dan masih anak-anak, kau seharusnya bermain dan bersenang-senang bersama teman-temanmu.
Lagipula, nanti saat kau sudah jadi dokter, kamu pasti tidak akan punya waktu untuk pergi ke tempat bermain. Kau akan sibuk dengan pasienmu. Karenanya bersenang-senanglah sekarang selagi kamu masih bisa. Kamu mengerti?" balas Mayang.
Junior mengangguk.
"Maaf-in Juju, ya 'Kak. Juju nggak bermaksud bohong sama kakak. Juju cuma nggak mau senang-senang sendiri disaat kakak sibuk kerja buat Juju. Juju sayang sama kakak. Juju nggak mau kakak sampai terlalu capek hanya demi memenuhi semua kebutuhan Juju menggantikan Ayah. Ada Kakak disamping Juju saja, Juju sudah seneng banget."
Mayang hampir saja menangis terharu mendengar penuturan bocah kecilnya itu. Junior tumbuh menjadi anak yang baik dan sangat penurut. Bagaimana mungkin ia tidak menyayanginya?
"Kakak juga sayang sama Juju. Tapi Juju janji, sama Kakak ya! Juju harus janji kalau ada apa-apa Juju harus cerita sama Kakak. Apapun itu. Juju nggak boleh diam-diam seperti ini. Kalau Juju seperti ini, Juju akan buat Kakak sedih. Juju ngerti 'kan?"
"Iya, Kak," sahut Junior, "Jadi, besok Juju boleh main sampai puas?"
Mayang menggangguk dan menjawab, "Iya" lalu mengacak sayang rambut Junior.
"Hore! Asyik!!" teriak senang Junior.
Ini adalah kebahagian sederhana yang selalu membuat hati merasa hangat. Cinta pada keluarga adalah segalanya. Dan keluarga adalah hal yang terpenting di dunia ini, selain diri kita sendiri. Walaupun hanya berdua, Mayang merasa sangat bersyukur ada Junior di sampingnya. Ia akan membuktikan pada Ayah dan Bunda bahwa ia bisa membesarkan dan menjaga Junior sampai ia besar nanti. Ia yakin itu.
***
Nenek Linda berada di dalam mobil di bangku belakang saat ia menelpon Glen untuk menanyakan perihal tentang kepulangannya.
"Kenapa kau masih saja di sana? Bukankah Nenek sudah menyuruhmu untuk pulang berulang kali hingga mulut Nenek berbusa? Mau sampai kapan kau di sana?? Bukankah kau sudah di sana selama delapan tahun? Apa itu belum juga cukup?" marah Nenek pada cucu tertuanya yang masih saja keras kepala.
Glen diseberang telpon menjawab dengan santai, "Nek, aku sudah katakan bukan, aku suka tinggal di sini. Aku akan pulang nanti begitu aku merasa jenuh dan bosan di sini. Tapi tentu bukan sekarang. Nenek tak usah khawatir. Aku baik-baik saja di sini."
"Siapa yang mengkhawatirkanmu?!" protes Nenek, "Aku sama sekali tidak mengkhawatirkanmu. Nenek hanya merasa kasihan padamu. Bukankah menyedihkan jika kau sampai lupa dimana tanah kelahiranmu sendiri? Kau bersikap seolah kau adalah warga negara sana dengan tinggal dan menetap di sana. Apa jangan-jangan kau sebenarnya berencana tinggal selamanya di sana? Awas! Jika sampai itu terjadi. Ayo, cepat! Pulanglah!"
***