Chereads / Suddenly Rich : One Lady and Four Knights (Can I Choose 1?) / Chapter 10 - Chapter 010 ( Seperti Anak Kecil )

Chapter 10 - Chapter 010 ( Seperti Anak Kecil )

Seorang waiters tidak sengaja menumpahkan minuman ke pakaian seorang tamu. Spontan ia panik dan langsung meminta maaf dengan sangat. Waiters itu menundukkan kepalanya saking takutnya begitu melihat tamu yang ditumpahinya itu sangat marah.

"Apa yang kau lakukan?" teriak tamu itu dengan nada tinggi, yang ternyata adalah Danil, si cucu ke-4 keluarga Gandhinengara.

"Apa kau tahu berapa harga baju yang kau tumpahkan ini?" tanyanya emosi. Si waiters semakin ketakutan. Melihatnya saja ia sudah tahu bahwa harga baju yang dikenakan pria yang ada di hadapannya sekarang ini pastilah sangat mahal. Ia tidak akan mungkin sanggup menggantinya dengan gajinya yang hanya seorang pelayan di restoran, jika pria itu menagihnya. Waiters itu makin panik.

"Bagaimana bisa kau yang sangat ceroboh dan payah seperti ini bisa bekerja di sini? Apa restoran ini tidak perlakukan penyeleksian setiap kali menerima karyawan untuk berkerja?" lanjut Danil, "Apa mereka tidak melakukan training terlebih dahulu atau paling tidak mencari waiters yang berkompeten? Bukankah ini adalah salah satu restoran berbintang?"

Sang waiters tidak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa mengucapkan kata maaf berkali-kali dan hampir saja menangis jika saja Al tidak angkat bicara.

"Hei, sudahlah. Kau lebih baik tenang dan duduk kembali," sangah Al menengahi, "Jangan buat keributan di sini! Banyak orang yang melihat. Kau jangan membuatku malu."

Al memberi isyarat agar waiters itu pergi dan waiters itu menurut dengan perasaan sangat lega. Ia masuk ke dallam untuk menemui temannya dan menceritakan tentang apa yang baru saja dialaminya.

"Sungguh mengerikan, May. Pria itu hampir saja memanggil manager jika saja orang yang datang bersamanya itu tidak mencegahnya. Aku sungguh takut tadi," seru Si Waiter yang benama Shella yang adalah teman Maya begitu ia selesai bercerita tentang insiden ketumpahan air tadi.

"Kau ini!! bagaimana bisa kau sampai ceroboh seperti itu?" tanya Maya heran, "Tak biasanya kau seperti itu."

Maya tersenyum malu-malu, "Habisnya, mau bagaimana lagi, May. Kau 'kan tahu, aku paling tidak tahan bila melihat pria tampan? Apalagi, sampai tiga pria tampan sekaligus. Hah!! Aku sungguh merasa gugup sekali. Rasanya jantungku memompa lebih cepat 3kali lipat. Kau akan mengerti jika kau juga di sana tadi."

Maya geleng-geleng kepala menanggapi celotehan Shella yang begitu antusias. Ia heran, bukannya tadi dia habis dimarahi? Bagaimana mungkin dia bisa tersipu-sipu seperti itu? Dasar aneh!

***

"Kenapa kau menghentikanku membuat masalah dengan waiters itu?" protes Danil merasa tak senang.

"Bukankah sudah kukatakan, Aku tidak ingin menanggung malu atas perbuatan yang kau lakukan. Kau boleh melakukannya jika kau tidak bersama denganku," balas Al santai.

Danil menatap Al kesal, "Ini semua salahmu. Jika saja kau tidak mengajak kami kemari, kejadian seperti ini tidak akan mungkin terjadi. Haizz, ini celana favoritku. Bagaimana bisa wanita itu mengotorinya? Apa aku harus menuntutnya?"

Vicky menatap sinis Danil.

"Jangan melebih-lebihkan! Bukankah kau punya 4 celana yang sama dengan yang kau pakai saat ini? Untuk apa kau mengoleksinya sampai begitu banyak dengan warna, bahan, model dan merek yang sama?! Apa kau punya suatu kelainan obsesi terhadap pakaian yang kau sukai?" Vicky menatap tak percaya kelakuan adiknya.

"Apa urusannya denganmu? Memangnya aku membelinya menggunakan uangmu?" balas Danil kesal, "Jika memang iya, kau baru berhak untuk protes! Jika tidak, tutup saja mulut baumu itu!"

Vicky tersenyum kecut dan membalas.

"Aku juga tidak ingin repot-repot mengurusimu. Buat apa? tidak ada untungnya," ujar Vicky acuh.

Danil tak menggubris, ia malah balik menatap Al.

"Untuk apa kau membawa kami kemari? Aku tak punya banyak waktu, jadi kau jangan menyita waktuku lebih banyak lagi," ujar Danil pada Al to-the-point. Vicky segera menimpalinya.

"Apa kau sungguh tidak tahu apa tujuannya mengundang kita kemari?" tanya Vicky merendahkan.

Vicky lalu menatap Al, "Jangan kau pikir dengan mentraktir kami makan atau istirahat sejenak seperti ini, kau bisa membujuk kami untuk mendukungmu menjadi CEO menggantikan nenek. Heh! Jangan harap!"

Al tersenyum tipis. Ia memang sudah menduga Vicky tahu maksudnya. Sejak dulu, dia memang selalu pintar dalam membaca situasi. Berbeda dengan Danil yang sama sekali tidak menduganya.

"Kau ingin menyogok kami untuk memilihmu? Menyuruh kami mundur dan dengan senang hati menyerahkan kedudukan itu padamu?" Danil bertanya dengan tidak percaya.

"Aku koreksi, bukannya menyerahkan tapi lebih tepatnya tidak menganggu. Jabatan itu memang seharusnya diberikan padaku. Kalian jelas tahu, aku adalah anak tertua setelah kakak pertama absen dalam dunia bisnis. Tentu saja akulah yang paling berhak! Kalian seharusnya berada di bawahku dan mendukungku. Bukankah itu yang seharusnya dilakukan para adik-adik untuk kakaknya?" ujar Al mengungkapkan beberapa fakta yang ia yakini.

Kedua adiknya menatapnya tak percaya lalu tertawa mengejek.

"Itu tidak akan terjadi. Jangan pernah berharap aku akan mendukungmu dan menyerahkan begitu saja perusahaan ini padamu. Sekalipun aku yang paling muda di antara kalian. Aku tetap percaya pada kemampuanku. Aku tidak akan menyerahkan posisi itu dengan mudah. Jadi jangan pernah bermimpi dan mengkhayal!" Danil memperingatkan.

"Aku juga jelas tidak akan mendukungmu. Untuk apa aku mendukungmu jika aku juga sangat percaya diri bisa menandingimu dalam hal bisnis. Kau dan aku memiliki kemampuan yang hampir sama hebatnya walau berbeda sence. Sehingga tak ada alasan untukku menyerah begitu saja. Aku yakin kau juga akan perpikiran sama bila berada di posisiku," ujar Vicky yakin pada kemampuannya sendiri.

Al menatap kedua adiknya dengan malas. Sejujurnya ia juga sudah menduga akan hal ini, mengingat sifat keras kepala mereka. Kedua adiknya itu pasti tidak akan semudah itu menyerah posisi Nenek padanya.

Tapi sekalipun ia sudah menduganya, tetap saja perkataan mereka membuatnya tak senang.

"Sudah! Aku tidak mau berlama-lama di sini. Jika tahu ini tujuanmu yang sebenarnya, aku tidak mungkin akan datang kemari bersamamu. Karena mengikuti keinginanmu, aku mendapatkan kesialan. Dasar, menyebalkan! Kurasa seharusnya kau yang kutuntut!" seru Danil marah-marah lalu pergi meninggalkan kedua kakaknya begitu saja.

Vicky mengikuti, "Aku juga. Walaupun aku sudah menduganya. Tapi aku tak menyangka kau sungguh melakukannya. Apa kau menganggap rendah kami?"

Vicky pergi tanpa mendengar ucapan Al lagi.

Sementara Al tak mengambil pusing ucapan adik-adiknya, dan dengan santai menyeruput kopinya.

***