Chapter 3 - Chapter 003 ( Keributan )

Si Nenek mengerutkan kening. Yang bisa dilakukannya hanyalah memijat-mijat pelan keningnya yang terasa berat setiap kali menghadapi situasi seperti ini. Wanita tua itu adalah orang yang pernah ditolong Mayang. Ya, seorang nenek yang hampir tertabrak mobil di tikungan jalan saat Mayang akan berangkat kerja kemarin.

Mereka mulai lagi, batin Nenek Linda datar karena sepertinya sudah terbiasa dengan keributan seperti ini. Tak perlu heran lagi. Mungkin hal yang lebih bisa mendeskripsikan perasaannya saat ini dalam menghadapi situasi seperti ini adalah 'bosan'. Ya, ritual yang amat membosankan.

Apa mereka tidak bisa tenang sedikit walau hanya sehari saja? Kenapa mereka harus ribut setiap kali berkumpul? gerutu Nenek dalam hatinya.

Nenek melirik kedua cucunya yang duduk di sebelah kirinya itu lalu melirik ke sebelah kanannya.

Setelah ini pasti si nomor 4 bakal ikut-ikutan, batin Nenek Linda dengan pandangan sinis.

Dan benar seperti apa yang dipikirkan nenek. Cucu ke-4nya, mulai mencoba menyuarakan pendapatnya. Laki-laki dengan postur tubuh tinggi hampir sama seperti dua laki-laki yang sebelumnya, berpenampilan cuek hanya dengan kemeja polos warna hitam yang juga digulung lengannya sesiku dan tiga kancing atas baju yang sengaja tidak dipasang -mungkin karena gerah, kebiasaan atau untuk style, entahlah- serta celana jeans berwarna pucat.

"Itu benar. Hentikan aturan bodohmu itu sekarang juga," celetuk cucu ke-4 dengan malas-malasan, "Walaupun aku tidak suka dengan cara kerja para karyawan yang lebih banyak bermain-main dan mencuri-curi jam kerja kantor hanya untuk urusan pribadi mereka masing-masing... tapi aku tetap tidak setuju dengan aturan yang mengharuskan setiap karyawan harus melaporkan dan merincikan setiap kegiatan apapun yang mereka kerjakan di luar kantor pada bagian Tata-Humas. Apa kau tak bisa memikirkan ide lain yang lebih baik?"

Cucu ke-2 tersenyum tipis merespon penuturan adiknya itu, "Kenapa? Apa karena aku menambahkan perkerjaanmu, makanya kau merasa tidak senang?" ledeknya.

Cucu ke-4 menatapnya sinis, "Tanpa kau membuat peraturan itu, aku sudah cukup sibuk. Kenapa kau harus menambahkannya segala? Jika itu peraturan yang kau buat, lakukanlah! Tapi tidak dengan melemparkan pekerjaan seenak pikiranmu itu pada oranglain."

"Wah, ternyata tidak hanya aku saja yang merasa dirugikan dengan peraturan tidak berbobot itu. Apa kau memang sengaja melakukannya? Aku yakin kau memang sengaja!" timpal anak ke-3 dengan nada penuh tuduhan. Ia yakin kakak keduanya itu pasti sengaja ingin mencari keributan.

Cucu ke-2 tetap bersikap cuek dan tenang, "Entahlah. Aku hanya tiba-tiba saja menemukan suatu ide yang brilian. Dengan munculnya peraturan ini, bukankah efisiensi kerja jadi lebih jelas terlihat?"

Cucu ke-4 menatap kakaknya kesal, "Hah! Apanya yang efisiensi kerja yang lebih terlihat? Ini sama saja seperti kau menambahkan dedaunan kering saat orang sedang mencoba menyapu di halaman yang penuh dengan ranting kering dan setumpuk dedaunan kering yang sudah tersebar di mana-mana. Sudah kukatakan, bukan? Jika kau ingin membuat peraturan sesukamu, lakukan itu! Tapi jangan pernah melibatkan bagian humas. Kami sudah cukup kerepotan, jadi jangan menambahnya!!"

"Bukankah hal seperti itu yang harusnya dilakukan oleh bagian humastor? Hubungan masyarakat sekitar perkantoran? Jika bukan kuserahkan ke wilayahmu, lalu pada siapa lagi?" balas cucu ke-2 sedikit menantang.

"Kau..." eram cucu ke-4 dengan emosi tertahan, "Apa kau kira aku hanya mengurusi masalah humas saja? Itu hanya sebagian kecil dari pekerjaan teamku. Tugas utamaku adalah melakukan perencanaan produksi. Perencaaan!! Apa kau mengerti? Hah! Aku rasa kau tak akan mengerti karena kau terlalu banyak bekerja di belakang layar dan terlalu banyak tampil dengan para investor."

"Kau terlalu meninggikan nada bicaramu itu. Apa kau kira aku tidak bisa mendengarmu?" balas cucu ke-2 datar yang langsung mendapat tatapan tak percaya dari cucu ke-4.

Sementara cucu ke-3 saling menatap kakaknya dan adiknya itu secara bergantian. Merasa heran kenapa jadi mereka yang ribut? Bukankah masalah awalnya adalah dirinya dan kakak ke-2?

"Hei, apa kalian sedang mengacuhkanku?" protesnya, "Bukankah aku duluan yang mengajukan protes? Kenapa jadi kalian yang saling melemparkan pekerjaan? Jika peraturan itu hanya akan merepotkan saja, lebih baik segera dihapus! Begitu saja apa susahnya, sih?!"

"Tidak akan," jawab cucu ke-2, "Peraturan yang sudah dibuat tidak bisa diganti atau dicabut seenaknya. Bukankah kalian juga sudah tahu akan hal itu?"

Kedua adik laki-laki menatap kesal pada kakaknya. Cucu ke-3 menoleh pada neneknya meminta pertolongan.

"Nek, lihatlah, hanya karena dia cucu yang paling tua di sini, dia bertingkah seperti seorang raja. Sungguh menggelikan!" rengek cucu ke-3 pada Neneknya yang juga mendapat anggukan dari cucu ke-4.

Nenek hanya diam. Tidak mencoba meladeni. Dan tidak juga menengahi.

Lalu bagaimana dengan cucu perempuan Nenek? Apa mereka justru bersikap manis dan akur karena mereka satu-satunya cucu perempuan di rumah itu? Tentu saja tidak.

"Kau memakai barangku lagi!" teriak cucu ke-5 yang tomboy pada kembarannya si cucu ke-6 yang jika dilihat, dibandingkan dengannya terlihat lebih feminim. Cucu ke-5 memiliki potongan rambut model bob, sedangkan kembarannya yang satunya memiliki model rambut panjang bergelombang.

Cucu ke-6 menyantap rotinya dengan santai dan tak memperdulikan teriakan saudara kembarnya itu.

"Aku bicara padamu!" teriak cucu ke-5 yang merasa diacuhkan. Ia melotot tajam, "Siapa yang mengizinkanmu menggunakan barang-barangku seenaknya, hah? Kau selalu saja seperti itu. Meminjam atau memakai barang milik oranglain tanpa permisi dan sopan santun sama sekali. Apa kau tak punya etika?"

"Tak perlu melototiku seperti itu," balas cucu ke-6, "Aku 'kan hanya meminjamnya sebentar. Lagipula, jika aku minta izin terlebih dahulu, apa kau akan memberikannya padaku? Tidak 'kan? Itu sebabnya lebih baik aku mengambilnya diam-diam, baru jika aku sudah selesai menggunakannya maka pasti akan aku kembalikan. Kau tidak perlu khawatir. Siapa suruh kau sering lupa mengunci kamarmu?!"

Cucu ke-5 menatap kembarannya tak percaya, "Pintar berkilah!"

"Aku memang pintar," balas asal cucu ke-6.

"Dasar rubah licik!"

Cucu ke-6 gantian yang melotot, "Kau bilang apa??"

"Rubah licik," ulang cucu ke-5.

"Nenek! Lena mengataiku Si Rubah Licik," rengek cucu ke-6 sesungutan karena menahan kesal.

"Itu memang benar!! Kau memang persis seperti Rubah Licik yang tidak tahu malu," timpal cucu ke-5.

"Hellena!!"

Nenek kembali menyentuh keningnya yang terasa berat dan mulai berputar-putar. Di saat para kakak laki-lakinya saling berdebat, kenapa para adik perempuan bukannya melerai atau paling tidak duduk dengan tenang, tapi mereka malah ribut dengan urusannya sendiri. Cucu-cucu macam apa ini, jika yang dijumpainya hanya ribut, ribut, dan ribut saja.

Nenek melirik ke meja paling ujung kirinya. Diantara semua cucunya, hanya cucu paling bungsu yang paling tenang saat makan bersama di meja makan keluarga.